Laiknya cendawan di musim hujan, aras demokratisasi telah menemukan momentumnya pasca 1998. Namun sisi lain demokratisasi membuat separatisme makin menguat, dan gerakan-gerakan kontra kebangsaan semakin berani menunjukan taringnya. Sejumlah organisasi yang merupakan gerakan transnasional, seperti NII bahkan jelas-jelas menolak Indonesia dan Pancasila.
Yang lebih ekstrem lagi, ada upaya untuk mengganti sistem republik dengan sistem lain (khilafah, syariah dll) yang jelas-jelas tidak cocok dengan pluralitas yang ada. Ini sangat kontras, mengingat prinsip demokrasi yang seharusnya mengedepankan kemaslahatan di atas segala-galanya harus tunduk pada pandangan yang justru mengerdilkan nasionalisme.
Secara historis, runtuhnya sebuah negara kerap ditimbulkan karena kekurangpercayaan terhadap institusi dan elemen bernegara, serta menghilangnya nasionalisme di dada sivitasnya. Kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia bisa dijadikan pelajaran, bahwa proyek nasionalisme harus kembali digaungkan di seantero negeri.
Di kedua negara tersebut, nasionalisme coba dibangun dengan penyamarataan kesepahaman, serta menghilangkan perbedaan. Hasilnya bisa dilihat, mereka gagal, dan hilang dari peta dunia. Karena, menghilangkan perbedaan yang memang sudah ada sejak lahir merupakan suatu pemaksaan yang melawan hak asasi manusia (HAM) hingga tidak bertahan lama.
Maka, membincang nasionalisme Indonesia, haruslah menengok rentetan sejarah panjang bahwa nasionalisme mampu menjadi tonggak kemerdekaan. Ia yang lahir secara tertulis sejak 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda itu memang lebih bersifat nasionalisme politik. Artinya, kesadaran sebagai bangsa yang diikrarkan para pemuda tanggal 28 Oktober, merupakan sebuah kesadaran, dan kesepahaman politik untuk menggalang persatuan, serta merapatkan barisan atas dasar satu tujuan bersama.]
Tidaklah salah, jika menimbang bahwa nasionalisme itu mampu meleburkan sekat dan bias etnisitas yang sering terwarta sebagai sesuatu yang tertolak. Kesadaran berpolitik inilah agaknya yang menjadi entitas penting dalam meretas kesatuan atas nama Pancasila sebagai payung yang mampu mengayomi seluruh partitur negara.
Menyitir pendapat Mohammad Yamin bahwa nasionalisme Indonesia sebelum itu, pada saat kelahiran Budi Utomo (10 Mei 1908), lebih bersifat nasionalisme kultural. Karena, jika ditilik lebih lanjut, nasionalisme kultur bangsa Indonesia sebenarnya sudah mulai terbina sejak masa lampau, dan mencapai puncak pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Pelbagai fakta itu semakin menambah pudarnya nasionalisme yang menjadi cikal Indonesia. Setidaknya, ada tiga elemen substansial yang perlu ditelaah dalam rangka revitalisasi nasionalisme.
Pertama, penguatan identitas. Secara sederhana, kesadaran akan identitas nasional bisa dipantik oleh rasa etnitisas, letak geografis, ras, dan keluarga besar bernama Indonesia. Begitu halnya pengalaman pahit yang dialami secara bersama, walaupun tidak hidup bersama dalam sebuah tempat.
Mengaca pada kasus pengalaman penjajahan yang dilakukan Belanda selama ratusan tahun, yang dilanjutkan dengan kebengisan Jepang, dua peristiwa ini haruslah menumbuhkan kesadaran akan identitas diri dan identitas nasional. Intinya, bangsa ini ingin melepaskan belenggu kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun. Termasuk hegemoni ekonomi neoliberal yang sedang mencengkeram.
Identitias diri inilah yang nanti akan mewujudkan siapa diri kita, yang tentu akan menyatu dengan identitas nasional. Meskipun, secara geografis Indonesia bukanlah negara yang dengan mudah mampu menghimpun seluruh elemen yang menyebar di antara ribuan pulau dan ratusan suku yang ada.
Fakta sejarah membuktikan bahwa perbedaan bukanlah penghalang besar mewujudkan solidaritas dan identitas nasional. Tentu, kesadaran akan identitas sebagai bangsa ini tidak lahir secara mendadak. Identitas nasional Indonesia dirumuskan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di kepulauan Nusantara, meskipun beraneka ragam latar belakang, tetapi tetaplah berpandangan satu. Yakni Indonesia.
Kedua, pemahaman kembali multikulturalisme dan pluralisme. Istilah ini agaknya bukanlah kosa kata asing kala kita mendengarnya. Ia acapkali bersanding selaras dengan pergerakan tentang kemajemukan, sesuatu yang datang seiring munculnya makna baru tentang kesadaran, dan hidup berdampingan di antara sesama.
Bagi Ben Agger (2003) dalam buku Teori Sosial Kritis, dijelaskan tentang kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, dengan menyatakan bahwa perubahan sosial tidak dapat berlangsung di pundak individu-individu. Sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme yang tidaklah mampu berdiri sendiri. Karena, akan menjadi lahan empuk bagi liberalisme.
Menimbang tesis di atas, maka multikulturalisme hendaklah berdampingan dengan pluralisme. Ini sekaligus sebagai
pemaknaan mendasar konsepsi masyarakat kita yang majemuk, degan beraneka ragam perbedaan, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentatif dan cenderung destruktif. Juga, tidak boleh dipahami sekedar kebaikan yang negatif, hanya ditinjau dari asas, dan kegunaannya untuk menyingkirkan sikap fanatisme, vandalisme dan separatisme.
Ketiga, pemaknaan ulang simbol dan pilar negara. Empat pilar penting bangsa, yakni UUD 1945, NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sudah mulai redup di mata banyak orang. Tentu, kita tidak ingin ke depan nantinya, bangsa kita ini akan hancur karena generasi penerus tidak mengetahui apa pilar bangsa ini. Agaknya revitalisasi ini menjadi penting, mengingat semakin memudarnya nasionalisme di tengah sivitas Indonesia yang plural ini.
Sumber : Opini, Harian Nasional Suara Karya, Kamis 26 April 2011
Oleh : Dedik Priyanto