Selasa, 31 Agustus 2010

PUASA (Perbuatan, Ucapan, Akal, Sifat, dan Amal) oleh In'am Muhlisin*

Kita sebagai orang yang beriman diwajibkan untuk berpuasa. Adapaun pengertian puasa itu sendiri secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan diri dari berbuka pada siang hari yaitu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan disertai niat berpuasa. Sebagaimana firman Allah swt di dalam surat Al-Baqarah ayat 187

"dan makan minumlah kalian hingga terang bagimu antara benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” maksudnya adalah setelah terbit fajar kita tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, dan berhubungan sex.

Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan sex kita juga harus menjaga dan meningkatkan 5 perkara, yaitu yang pertama adalah Perbuatan, yang kedua adalah ucapan, yang ketiga adalah Akal atau pikiran, yang keempat adalah Sifat, dan yang terakhir adalah Amal. Agar lebih mudahnya kelima perkara tersebut bisa disingkat menjadi PUASA yaitu Perbuatan, Ucapan, Akal atau pikiran, Sifat dan Amal.

Pada kesempatan yang penuh Rahmat ini kita akan mencoba menguraikan satu-persatu dari singkatan PUASA tersebut.

Huruf yang pertama adalah P yaitu Perbuatan, di dalam bulan Ramadhan yang suci ini marilah kita tingkatkan perbuatan yang baik dan tinggalkan perbuatan yang buruk Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu dapat menghapuskan keburukan tadi.”

Hadis diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi,

Hadis ini menjelaskan bahwasanya perbuatan buruk bisa dihapus dengan perbuatan baik, maka dari itu di dalam bulan yang penuh dengan rahmah dan ampunan ini marilah kita berlomba-lomba untuk berbuat baik kepada diri kita sendiri dan kepada sesama.

Huruf yang kedua adalah U yaitu Ucapan, ada pepatah mengatakan “mulutmu harimaumu” pepatah ini sudah jelas bahwa betapa bahayanya mulut / ucapan kita kalau kita tidak bisa menjaganya. Kemarin ada berita di TV, hanya gara-gara tersinggung dengan ucapan, seorang mahasiswa tega membunuh temannya sendiri, naudzubillah min dzalik. Nah oleh karena itu di dalam bulan yang penuh rahmah ini marilah kita menjaga mulut kita dari ucapan-ucapan yang negatif seperti berdusta, mencaci maki, ngrumpi dsb. Rasulullah bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yg tdk meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum” Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Inti dari pada hadis ini adalah kalau kita tidak bisa menjaga ucapan dan perbuatan kita maka puasa kita akan sia-sia belaka.

Huruf yang ketiga adalah A yaitu akal, akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan akal kita bisa membedakan mana yang baik dan mana buruk akan tetapi biasanya manusia sering menggunakan akal untuk berpikir yang negative atau negative thinking, misalnya ada tetangga kita yang biasa2 aja yang kerjanya hanya sebagai satpam tiba2 membeli mobil mewah, pasti kebanyakan dari kita sudah berpikir yang tidak-tidak “dapet duit dari mana dia bisa beli mobil mewah? padahal pekerjaannya Cuma satpam aja, janga-jangan...” Nah inlah yg dinamakan suudzon atau negative thinking padahal kita belum tau kebenarannya. Bapak2 dan ibu yg diberkahi Allah, di dalam bulan yang penuh kesempatan ini marilah kita rubah pikiran kita dari pikiran yang negative menjadi pikiran yang positif, yaitu selalu husnuzzon atau postif thinking karena pola pikir yang baik dapat merubah kehidupan kita menjadi lebih baik.

Huruf yang keempat adalah S yaitu sifat, setiap orang pasti mempunyai sifat baik dan sifat buruk oleh karena itu di dalam bulan yang penuh berkah ini marilah kita berusaha menghilangkan sedikit demi sedikit sifat-sifat buruk yang ada di dalam jiwa kita. Rosulullah bersabda:

"Banyak orang yang puasa mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus saja". H.R. bukhari.

Secara tersirat Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang masih mempunyai sifat-sifat buruk seperti iri, dengki, sombong, dsb maka orang tersebut tidak akan mendapatkan pahala puasanya.

Huruf yang terakhir adalah A yaitu Amal, bulan ramadhan adalah bulan amal Ibadah dimana kaum muslimin saling berlomba dalam menggapai amal Ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan amal ibadah kepada Allah swt., seperti: menolong orang yang kesulitan, mendamaikan orang-orang yang bertengkar, tadarus Al-Qur’an, infaq, sedekah, berzikir kepada Allah, dan sebagainya.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ.

“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata: kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku akan membalas sendiri orang yg melaksanakannya.” Hadis Riwayat Imam Muslim

Betapa dahsyatnya bulan puasa ini, hadits di atas dgn jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah akan melipatgandakan pahala bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat namun akan dibalas sesuai dgn keinginan-Nya padahal kita tahu bahwa Allah Maha Pemurah maka Dia tentu akan membalas dgn berlipat ganda.

Demikian yang dapat saya sampaikan semoga dalam melaksanakan ibadah puasa kita juga dapat memperbaiki dan meningkatkan PUASA yaitu Perbuatan, Ucapan, Akal (pikiran), Sifat, dan Amal kita. Amin..

Kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, akhirul kalam wabillahi taufiq wal hidayah..

والسلام عليكم….


* Ketua Umum Silaturahmi Mahasiswa Pati(SIMPATI)Jakarta dan Sekitrnya Periode 2006-2009

Selengkapnya...

Jumat, 20 Agustus 2010

Puasa dan Spirit Kemerdekaan* Oleh Ali Rif'an**

Bagi umat Muslim Indonesia, bulan Agustus kali ini memiliki makna yang berbeda, yakni menjalankan ibadah bulan puasa sekaligus memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks Indonesia, baik bulan Ramadhan maupun 17 Agustus, keduanya menghadirkan momentum yang bertemu pada satu titik, yaitu 'kemerdekaan'. Hanya saja, konteks makna 'kemerdekaan' yang terkadung di dalamnya berbeda. Tujuhbelas Agustus bisa dibilang sebagai kemerdekaan yang berupa fisik, sementara Ramadhan lebih identik dengan kemerdekaan non-fisik.

Kemerdekaan fisik tujuhbelas Agustus tercermin dari terbebasnya rakyat Indonesia dari cengkeraman kaum kolonial. Kemerdekaan dalam konteks ini lebih diorientasikan bagaimana rakyat Indonesia tidak lagi ditindas dan dijajah oleh bangsa asing, bagaimana kekayaan alam tidak lagi dikuras oleh para penjajah, rakyat Indonesia memiliki kebebasan (mengungkapkan ekspresi, berbicara, berpendapat, dan lain-lain), mempunyai papan, sandang dan pangan yang layak, hidup sejahtera, makmur dan seterusnya.

Sedangkan kemerdekaan yang diusung dalam bulan Ramadhan adalah kemerdekaan jiwa, ruh, dan mental-spiritual. Puasa pada dasarnya merupakan kekuatan pembebas (liberating power) dari belenggu tangan penjajahan. Penjajahan dalam konteks ini menjurus kepada hal-hal yang berkategori ruhani, seperti suka berbohong, berkhianat, mencela, korupsi, maling, sombong, mau menang sendiri, bertindak sewenang-wenang, anarkis, dan lain sebagainya.

Kemerdekaan Mendesak

Pada saat ini, kemerdekaan mendesak yang harus segera diwujudkan adalah kemerdekaan Ramadhan (kemerdekaan ruhani). Spirit kemerdekaan yang terkandung dalam bulan Ramadhan selayaknya ditancapkan dalam setiap segi-dimensi kehidupan berbangsa. Sebab. kemerdekaan fisik sudah tampak dengan terbebasnya rakyat Indonesia dari belenggu, pengangkangan, dan penindasan oleh kaum penjajah bangsa asing. Sementara kemerdekaan ruhani masih mengundang 'tanda tanya besar'. Karena harus diakui, menjubelnya berbagai permasalahan yang belakangan ini menimpa bangsa Indonesia menandakan bahwa ruhani kita masih terjajah. Artinya, kekacauan diri akan berimplikasi pada kekacauan sistem dan tatanan dalam masyarakat, bangsa dan negara. Karena, sebuah masyarakat, bangsa dan negara dibangun oleh individu-individu di dalamnya, yang memiliki perbedaan latar belakang antara satu dan lainnya. Kita bisa saksikan pada level elite politik, korupsi kian merajalela.

Hasil riset Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta (Pukat Korupsi), misalnya, menyebutkan bahwa dalam Triwulan II-2010, Indonesia mendapati 124 kasus korupsi. (Kompas, 6 Agustus 2010) Ironisnya, pelaku tindak korupsi tersebut paling banyak dilakukan oleh para pejabat negara.

Begitu pula dalam gelanggang hiburan di Tanah Air. Kasus hebohnya video porno dan tayangan infotainment vurgar yang belakangan semakin merebak mengindikasikan bahwa moral anak bangsa kita masih sakit, terjajah, dan belum merdeka. Ini belum termasuk konflik vertikal dan horizontal yang hampir saban hari menghiasi persada negeri bumi Pertiwi. Seperti pertikaian para elite politik, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, kisruh antarpenduduk desa, konflik antarpartai politik, atapun merebaknya politik uang di arena pilkada (pemilihan kepala daerah) dan politisasi pendidikan yang kian merajalela dan lain-lain.

Mengapa semua itu terjadi? Karena, hati dan jiwa sebagian besar masyarakat kita masih dalam kondisi terjajah. Dengan terjajahnya hati dan runani, seseorang akan berjalan tidak stabil, kacau, dan cenderung menuruti nalar hewani. Untuk itu, puasa disyariatkan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membabat habis mental dan hati yang rusak tersebut. Tujuan puasa adalah membebaskan jiwa atau hati (qolb) dari penyakit-penyakit ruhani. Puasa mampu mendorong manusia untuk mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri dari segala sifat hewan, dan mencari hakikat kebenaran yang transendental. Puasa mendesak kita untuk bisa kembali kepada fitrah sebagai manusia seutuhnya. Eksistensi kesederhanaan dan kejujuran yang memang merupakan sifat dasar manusiawi. Islam memang keyakinan yang tidak menentang kepemilikan harta dan pemenuhan hasrat duniawi. Namun spirit ketauhidan menginterupsi hasrat kita berlaku adil dalam menciptakan kesalehan sosial.

Puasa juga menghadirkan pendidikan berupa latihan agar dalam memenuhi aneka dorongan tubuh terarah ke jalan yang benar, tidak melanggar etika sosial keagamaan, dan tidak melanggar harmoni kehidupan sosial kemasyarakatan. Melalui puasa, kita akan menemukan korelasi dan koherensi antara tujuan mulia kemanusiaan dan kenegaraan dengan jalan menjauhi kekerasan, ketidakadilan, demoralisasi, dan intoleransi.

Inti puasa adalah melahirkan manusia agar menjadi lebih baik dan sempurna. Seperti ulat ketika hendak menjadi kupu-kupu yang indah, ia harus berpuasa terlebih dahulu dengan menjadi kepompong. Karena itu, puasa dalam Islam bertujuan untuk mencapai tingkat ketakwaan setinggi-tingginya guna melahirkan kesalehan sosial. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Untuk itu, mari kita jadikan bulan Ramadhan kali ini tidak hanya sekadar menjadi ritual yang kaku, beku, dan mati. Hakikat puasa adalah untuk menahan hawa nafsu. Esensi Ramadhan seharusnya menjadi titik tolak kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan hakiki yang akan mampu mengentaskan bangsa ini dari segala keterpurukan.



* Terbit di Harian Suara Karya Jumat, 20 Agustus 2010

** Penulis adalah kader muda Nahdatul Ulama (NU); tinggal di Jakarta.



Selengkapnya...