Sabtu, 18 Juni 2011

Demokrasi, Pancasila, dan Spirit Multikultural*


Euforia demokrasi pasca-Reformasi terasa semakin jauh dari solidaritas dan kebersamaan. Santernya gerakan radikalisme agama dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang terus terjadi akhir-akhir ini menjadi bukti bahwa demokrasi kita sedang limbung.

Berdasarkan survei Moderate Muslim Society (MMS), misalnya, menyebutkan bahwa sejak Reformasi, gerakan ekstremisme di Indonesia terus membesar. Pada 2009, MMS mencatat 59 kali kasus kekerasan terjadi atas nama agama. Sementara itu, pada 2010, meningkat 30 persen menjadi 80 kali kasus. Adapun pada tahun ini, diperkirakan bisa mencapai 100 persen. Fenomena inilah yang kemudian oleh Profesor Azyumardi Azra (2011) disebut sebagai anomali demokrasi.

Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem paling ideal untuk sebuah negara plural seperti Indonesia pun menimbulkan paradoks. Banyak orang bersuara lantang dan saling mencibir dengan dalih demokrasi. Begitu halnya dengan ekspresi-ekspresi yang berwujud kekerasan, juga terjadi karena alasan demokrasi. Demokrasi seolah hanya menjadi tumbal untuk membenarkan tindakan ekspresif. Akibatnya, demokrasi pun sekadar menjadi pil pahit dalam kehidupan berbangsa yang harus terus ditelan namun tidak dapat menyembuhkan berbagai penyakit kebangsaan.

Paling tidak ada dua alasan mengapa fenomena di atas itu terjadi. Pertama, karena hilangnya nilai-nilai Pancasila dalam demokrasi. Kedua, karena runtuhnya spirit multikultural dalam Pancasila itu sendiri.

Demokrasi dan Pancasila

Tidak harmonisnya hubungan antara demokrasi dan Pancasila merupakan alasan utama mengapa domokrasi menjadi bebal. Ketidakharmonisan ini secara kasuistis dapat dilihat dari UU 20/2003 (Sisidiknas) yang tidak lagi menyebut Pancasila sebagai pelajaran wajib. Pancasila terabaikan bahkan cenderung termarginalkan hanya karena dianggap tidak reformis. Akibatnya, demokrasi dimaknai bebas sebebas-bebasnya dan cenderung mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Padahal, demokrasi sebagai sistem negara sudah selayaknya merangkul Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Jika demokrasi merupakan napas Pancasila, Pancasila adalah pakem demokrasi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai gotong royong dan kesetaraan. Sebab, kebiasaan untuk memandang dan memperlakukan orang lain setara itulah amanat penting dari Pancasila. Sebagaimana dikatakan filsuf politik kontemporer John Rawls (1993), kesetaraan adalah syarat penting bagi hidup bernegara sebagai suatu “sistem kerja sama sosial”.

Tak pelak jika pada masa pemerintahan Presiden John F Kennedy, negara yang paling ditakuti Amerika Serikat ialah Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia memiliki ghirah nasionalisme yang sangat kuat, sebagai akibat penjelmaan bangunan teoretis konsepsi Pancasila. Menurut Kennedy, Pancasila merupakan sebuah ideologi besar, yang mampu mengobarkan semangat nasionalisme, sangat toleran, antikorupsi, saling menghargai, dan menjunjung tinggi perbedaan, serta sangat mengakomodasi persamaan. Di sinilah demokrasi dan Pancasila diibaratkan sebagai setali tiga uang yang saling berkelindan.

Spirit Multikultural

Spirit multikultural menjadi jalan utama jika ingin mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan Pancasila sebagaimana yang dicita-citakan bangsa. Sebab spirit inilah yang nantinya akan menjadi katalisator untuk meredam terjadinya persinggungan atau gesekan antaretnis dan agama. Spirit multikultural menjadi penting fungsinya di dalam negara yang bermasyarakat majemuk seperti Indonesia. Ini karena semangat multikultural terbukti telah mampu menginterupsi berbagai ketegangan yang ada di masyarakat.

Entitas multikultural berlatar pada keragaman etnisitas agama, ekspresi budaya, dan lain sebagainya, yang semuanya harus dikelola dan difasilitasi dalam kesetaraan pengakuan dan toleransi. Di sinilah semangat Pancasila sangat berbanding lurus dengan pengakuan multikultural, karena Pancasila lahir dari perbedaan etnis, identitas, kultur, dan kemajemukan.

Pancasila sendiri merupakan institusionalisasi multikultural yang membuka ekspresi, solidaritas, dan partisipasi dalam semangat persatuan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, multikulturalisme merupakan sebuah gagasan perjuangan tentang pengakuan atas realitas masyarakat yang majemuk dan pluralistik (bineka).

Oleh karena itu, spirit multikultural hendaknya dipahami sebagai unsur penting dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan mengibarkan bendera demokrasi, agar sesuai dengan pakemnya. Spirit multikultural ini mengandung beragam prinsip penting. Pertama, prinsip universalitas, yakni sebagai unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsur kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity).

Kedua, prinsip relevansi, yakni sebagai budaya yang mempunyai kegunaan praktis (utility) dalam masyarakat majemuk yang memerlukan kerangka acuan maupun media sosial untuk memperlancar interaksi sosial lintas lingkungan atau ranah kebudayaan secara tertib. Ketiga, prinsip distingtif (distinctiveness), yakni sebagai unsur yang menunjukkan kekhususan sebagai unsur budaya yang diidolakan sebagai unsur jati-diri bangsa yang membedakan dari bangsa lain. Dalam bentuk yang praktis, prinsip distingtif ini akan membentuk kepribadian bangsa yang diharapkan, seperti nilai-nilai budaya dalam menghargai musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam tataran demokrasi.

Keempat, prinsip kemajuan (adab), yakni sebagai unsur yang membuka peluang atau memperlancar kreativitas masyarakat untuk mengembangkan penemuan menuju adab sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Di sinilah spirit multikultural tetap dapat mengadopsi budaya asing, tetapi dengan catatan tidak menghilangkan nilai dan alur budaya bangsanya sendiri.

Kelima, prinsip kesetaraan (equality), sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa semangat kesetaraan di samping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimana tercermin tentang arah kemajuan harus terus ditempuh, juga agar setiap orang mampu menuju peradaban yang maju, berbudaya, dan persatuan bangsa. Dengan spirit inilah, kekecewaan maupun kecemburuan sosial yang ditimbulkan oleh kecenderungan subjektif dan dominasi ideologi atau golongan tertentu akan dapat teratasi.

Sudah saatnya prinsip-prinsip demokrasi, nilai-nilai Pancasila, dan spirit multikultural disinergikan sebagai upaya menciptakan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera.

Sumber : Sinar Harapan, http://www.sinarharapan.co.id/content/read/demokrasi-pancasila-dan-spirit-multikultural/

*Oleh Ali Rif'an

Penulis adalah Peserta Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan; Aktif di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi


· · Bagikan
Selengkapnya...

Sabtu, 11 Juni 2011

Sedapnya Mie Instan, Sedapnya Hidup Instan

"Dengan kata lain kita tak mau kerja repot-repot untuk sekedar makan, ogah pergi ke pasar, beli cabe, bawang, sayur, beras, lauk-pauk, bawa pulang, diracik, dimasak, baru bisa makan. Kita sering tak sabar atau malas lalu membuat berbagai alasan—yang tak masuk akal. Tak sempatlah, tak pandailah, tak anulah, tak itulah, tak …"


SIAPA DI BUMI Indonesia ini yang tak pernah makan mie instan? Apalagi mie instan merek-nya pakai nama “Indo” itu. Bahkan, orang-orang di kampung saya sampai salah paham, dikirain nama mie yang satu itu adalah nama lain untuk mie instan. Jadi satu kali ketika ia membeli mie instan merek lain, dia menanyakannya ke penjual, “Buk ada “Indo” merek “Anu?”

Konyol lagi, Si Penjual malah menjawab: “Indo” merek “Anu” gak ada, Dik. Tapi “Indo” yang “Anu” ada!”

Hahaha…, Ya tak jadi masalah mereka mau bilang begitu. Saya mau balik ke soal awal; kita suka makan mie intan. Hmm, bisa dipastikan karena: instan. Cepat saji. Dan siapa saja bisa memasaknya. Kalau tak mau repot-repot mengolahnya, tinggal menyeduhnya saja dengan air panas, lalu diaduk dengan bumbu-bumbunya. Siap sudah. Tak sampai hitungan 10 menit, dan kita bisa menyantap mie yang lezat lagi nikmat.

“Slruppp!”

Memang yang serba cepat lan nikmat selalu diburu orang. Sikap begitu tak berhenti pada kesukaan pada mie instan semata. Semua mau cepat. Tak mau repot-repot walaupun kita bukan seorang Gusdurian yang berprinsip, “Begitu saja kok repot!” Kita mau cepat lulus sekolah, cepat dapat kerja, cepat sukses, dlsb tanpa mau bekerja keras. Dengan kata lain kita tak mau kerja repot-repot untuk sekedar makan, ogah pergi ke pasar, beli cabe, bawang, sayur, beras, lauk-pauk, bawa pulang, diracik, dimasak, baru bisa makan. Kita sering tak sabar atau malas lalu membuat berbagai alasan—yang tak masuk akal. Tak sempatlah, tak pandailah, tak anulah, tak itulah, tak …

Karena ingin lulus—tanpa mau belajar—mulailah kita melakukan usaha-usaha instan: minta bocoran soal sebelum ujian berlangsung, kalau tidak dapat minta jawaban dari teman, kalau kawan-kawannya pelit ya buka contekan. Kopekan. Atau apalah namanya. Kalau tidak juga, kita hitung kancing baju: ABCD-ABCD-an untuk memilih jawaban. Setelah kita berdoa kepada sesuai dengan agama dan keyakinan kita masing-masing.

“Ya Allah, luluskanlah hamba. Hamba telah berusaha semampu hamba!”

Ya, banyak juga yang lulus. Berhasil. Tapi namanya juga instan, ya hasilnya tak memuaskan, pun kalau nilainya tinggi ya itu tak asli—aslinya ya tetap dodol juga. Lah, bayangkan saja, kalau kita sarapannya mie instan pagi-pagi mestilah jam-jam 9-an sudah lapar lagi. Sudah keroncongan lagi. Iya apa tidak?—sejauh pengalaman saya: iya!

Dalam karir tak jauh beda. Mau langsung sukses. Tak perlu repot lamar kerja sana-sini, tapi ingin langsung bekerja. Kalau perlu langsung dapat jabatan yang basah: manager kek, direktur kek, atau apalah yang punya kuasa mengambil kebijakan. Sedapnya jalur instan—layaknya mie instan—selalu ada; tersedia dimana-mana. Siapkan uang sogokan kalau mau jadi PNS. Gitu juga waktu lamar jadi Polisi, Jaksa, Hakim; pakai orang dalam plus sogokan juga (konon orang dalam saja tak cukup).

Lalu jadilah kita PNS, jadi polisi, jadi Jaksa, jadi Hakim. Jangan lupa, dengan catatan: instan. Yang instan kan selalu memble. Maka tak heran kalau ada PNS yang sudah pulang jam 10 pagi—sekedar isi absen—ada Polisi yang suka “damai” di tengah jalan, ada Jaksa yang suka terima sogokan, dan ada hakim yang hobby membebaskan koruptor manakala kantog toganya sudah dipenuhi uang sogokan.

***

YA BOLEH DIBILANG kita ini bangsa mie instan (dan Soekarno benar kita bukang Bangsa Tempe). Dari rakyat kecil sampai yang tinggi sana suka mie instan. Dari buruh sampai presiden. Lihat saja, wong SBY juga waktu mau jadi presiden untuk kedua kalinya juga pakai cara-cara mie instan. Ingat saja jingel kampanyenya dulu yang memakai jingel mie instan merek “Indo” tadi. SBY sangat-sangat sadar kalau kita—rakyat Indonesia—suka mie instan.

“Terus Anda mau menuduh kebobrokan pemerintahan SBY sekarang gara-gara mie instannya itu?” tandas Anda.

Akh.., kalau itu Anda sendiri yang mengatakan. Saya cuci tangan (dulu): mie instan saya sudah siap, hahaha…

“Slrup!” [*]


Dikutip dari catatan Jimmie

Selengkapnya...

Jumat, 10 Juni 2011

Menunda Kiamat

Di suatu waktu yang terpaut jauh di depan dari sekarang. Ketika seluruh manusia sudah menilai buruk adalah baik, tidak ada lagi kebaikan (penilaian sekarang). Tolong menolong adalah buruk, orang yang menolong bahkan dianggap bodoh, goblok. Sebaliknya, mendholimi dianggap biasa, bahkan semakin mendholimi semakin dianggap hebat. Kalaupun ada yang menolong, itu pun sebenarnya mendholimi. Umpamanya perbankan yang sepertinya menolong dengan mengucurkan dana pinjaman, tapi sebenarnya dibalik itu ada bunga yang tinggi, tentu saja membuat orang susah.


Begitu juga dengan memuji, dianggap buruk sekali. Sebaliknya semakin mampu mengolok-olok orang lain dianggap memilki kemampuan yang hebat. Makanya, saat itu media massa yang semakin mampu mengolok-olok, mempergunjingkan orang, ratingnya semakin meluncur ke atas. Dan juga dengan macam keburukan-keburukan yang lainnya. Semua orang berlomba-lomba melakukan keburukan.


Lantas, bagaimana dengan Al-Qur’an dan kitab-kitab lain yang notabenenya memuat berbagai macam nilai kebaikan? Tanya saja pada orang-orang jaman itu, pastinya mereka akan menjawab kira-kira seperti ini.


Apa?” tanya mereka dengan mengingat-ingat, “Oh, itu buku-buku kuno yang menumpuk di museum. Yang diraknya ada tulisan ‘buku-buku kuno, memuat pemikiran-pemikaran jaman dulu yang terbelakang’. Hm...kabarnya museum itu mau ditutup karena hanya buang-buang uang untuk perawatan dan isinya mau dibakar karena memang tidak ada gunanya,” lanjut mereka.


Itulah gambaran masyarakat saat itu, peradaban berjalan dengan penuh kebohongan, kecurangan, gosip-gosip negatif merebak, dan tentu saja kemaksiatan merajalela.

Menjauh dari peradaban manusia, menuju suatu tempat yang jauh, tempat yang menyiratkan rahasia kegaiban dunia lain. Terdapat singgasana yang mewah di ruangan yang gemerlapan penuh dengan intan permata, di situlah iblis duduk dengan tidak nyaman, dari raut wajahnya menyiratkan kebingungan.

Kurang ajar manusia, kenapa mereka terlalu mudah dibujuk rayu oleh pasukan syetanku, hingga tidak ada lagi yang mampu bahkan tahu apa itu kebaikan sebenarnya.


Iblis pun tahu, ketika semua kebaikan di dunia ini sirna, maka Tuhan akan menurunkan kiamatnya. “Tapi, terlalu singkat hidupku di dunia ini semenjak jaman Adam dulu. Belum cukup senang aku di sini. Belum saatnya aku sengsara di neraka,” pikir iblis.


Sambil memutar otaknya yang cerdas, terbersit dalam benak iblis, “Sampai sejauh ini, kiamat masih belum terjadi. Logisnya, kebaikan masih belum benar-benar sirna dari muka bumi.”


Dengan kecepatan yang tak terbayangkan, bahkan melebihi kecepatan cahaya, iblis menghilang dari singgasananya. Saat itu juga dia muncul di sebuah lapangan, yang dipenuhi-sesak oleh tentara-tentara syetan. Wajah para syetan ini terlihat cemas, karena sudah satu minggu ini mereka di non-aktifkan oleh raja mereka, Iblis.


Usut punya usut, ternyata memang sudah tidak ada lagi yang bisa para syetan ini lakukan. Manusia sudah tidak memerlukan lagi bujuk-rayu syetan untuk melakukan keburukan, karena buruk, bagi manusia sudah tidak berarti buruk lagi. Mereka cemas, jangan-jangan akan ada PHK besar-besaran dari pekerjaan menjadi syetan. Kalau pemecatan terjadi, dari mana lagi mereka akan memberi nafkah untuk keluarga.

Kecemasan para syetan ini terlihat oleh iblis, dan dia berkata, “Tenang tentara-tentaraku, aku sebagai raja kalian yang baik, tidak akan memecat satu pun dari kalian. Tapi aku tugaskan pada kalian, cari hingga dapat orang yang masih menyimpan kebaikan dalam hatinya di dunia ini. Setelah kalian temukan. Segera laporkan padaku.”


Bersorak-sorailah para syetan, “Siap paduka Iblis, laksanakan,” dan merekapun lenyap dari hadapan iblis untuk menunaikan tugas. Selang satu hari, di kerajaan iblis, terlihat iblis sedang duduk dengan seenaknya di singgasana. Wajahnya menyiratkan kegembiraan, karena di depannya bersimpuh sesosok syetan sedang melapor, “Lapor paduka, tadi malam hamba melihat segerombol malaikat turun dari langit,” lapor syetan dengan semangat, “hamba ikuti para malaikat itu tanpa mereka ketahui, ternyata mereka menuju ke sebuah lembah yang jauh sekali dari peradaban. Di lembah tersebut ada sebuah rumah reot tapi memancarkan cahaya yang menyilaukan. Ternyata setelah hamba dekati ada seorang manusia yang sedang sholat malam bersama istrinya.”


Seketika iblis berdiri dan berkata, “aku terima laporanmu, sekarang biar aku yang turun tangan sendiri,” dan hilanglah iblis. Di sebuah lembah terpencil yang jauh sekali dari segala macam peradaban manusia. Ada seorang tua, berbaju putih, dengan tongkat kayunya berjalan menuju rumah reyot, wajah orang tua ini begitu tenang dan menyiratkan kecerdasan dan kebijaksanaan tanpa batas. Itulah Iblis dengan ilmu penyamarannya, merubah bentuk wajah dan tubuhnya. Siapapun tak kan tahu kalau orang tua itu adalah penyamaran Iblis. Apalagi pasutri yang mendiami rumah reyot itu.


Melihat ada orang tua yang berjalan menuju rumah mereka, suami-istri tersebut terheran-heran. Pasalnya, belum pernah ada manusia di sekitar lembah ini sebelumnya. Jauh sebelum ini.


Mereka sendiri terjebak di lembah ini 20 tahun silam. Ketika mereka sedang berlibur ke daerah ini, untuk menghilangkan kejenuhan hidup di perkotaan barang sejenak, tanpa disangka-sangka kendaraan yang mereka naiki terperosok ke dalam lembah. Masih untung mereka selamat dari kecelakaan itu. Tapi, ternyata setelah di kelilingi beratus-ratus kali, lembah ini benar-benar buntu, tidak ada jalan keluar. Dinding-dinding lembah begitu tinggi bepuluh-puluh meter dan terjal. Dan mereka sama sekali tidak membawa alat komunikasi, karena niat mereka di awal memang ingin menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Dan tanpa dinyana, ternyata mereka harus benar-benar putus hubungan dengan keramaian dunia sampai selama ini.


Entah ada skenario apa dari Tuhan, yang jelas mereka masih diberi umur panjang dengan hidup di lembah yang ternyata banyak terdapat ayam hutan dan dialiri sungai yang penuh dengan ikan, belum lagi tumbuhan-tumbuhannya yang dapat hidup karena tanahnya yang subur.

Itulah, mereka merasa ini jalan hidup yang telah ditentukan oleh Tuhan, lantas mereka mengikhlaskannya dan bersyukur. Begitu juga, mereka juga mengikhlaskan, ketika ternyata mereka tidak bisa mendapatkan keturunan, mungkin akibat dari kecelakaan yang menyebabkan mereka terjerumus di lembah ini.


Dengan berbekalkan ilmu pengetahuan dan segala macam peralatan tool-box, yang ditemukan dari puing-puing mobil, mereka mulai bertahan hidup. Selama ini mereka mulai membudidayakan ayam hutan agar tidak kehabisan nantinya, dan membuat kebun untuk bahan-bahan makanan mereka. Kehidupan baru mereka pun dimulai dengan rutinitas yang benar-benar baru. Mereka bisa hidup tenang dan beribadah tanpa gangguan. Sedangkan, apapun yang terjadi di dunia luar sana mereka sama sekali tak tahu-menahu.

Orang tua itu semakin mendekat.


Melihat wajahnya yang tenang dan kelihatan bijaksana, kedua penghuni rumah tidak merasa takut, hanya sedikit janggal karena selama ini belum pernah melihat orang lain di tempat ini, apalagi orang yang bertamu.

Orang tua itu sudah di depan pintu.


Tok...tok...tok... “Assalamu’alaikum,” sapa orang tua.


“Wa’alaikum salam,” jawab kedua penguni, dan sang suami membukakan pintu, lantas bersalaman dengan orang tua. Tangan orang tua itu terasa hangat.


“Apa ini rumahnya Hasan dan Mutmainnah?”


“Iya, Pak,” Hasan menjawab, walaupun merasa aneh, dari mana orang tua ini tahu namanya dan istrinya. “Silahkan masuk, Pak.”


Orang tua itu tersenyum dan melangkah masuk, sambil melihat-melihat isi gubuk reyot itu.


“Maaf, Pak,” kata Hasan kepada orang tua, “Rumah kami memang segini-gininya, sekedar gubuk yang reyot.”


“O...gak apa, saya juga mengerti kok,” kata orang tua sembari tersenyum.


Dan Hasan kembali bingung, “Dari mana dan bagaimana orang tua ini datang, dan sekali-kalinya datang, serba tahu pula,” pikir Hasan.


“Silahkan duduk, Pak,” Hasan mempersilahkan orang tua duduk di salah satu kursi buatan sendiri. Di ruangan ini hanya ada dua kursi dan satu meja terbuat dari kayu yang kasar buatannya. Untuk dia dan istrinya.


Setelah orang tua dan Hasan duduk di kursi-kursi tersebut, Mutmainnah pergi ke kebun belakang untuk menyiapkan buah-buahan dan mengambil air dari sungai untuk minuman. Dan selama menyiapkan itu semua, pikiran Mutmainnah selalu penuh tanda tanya seperti suaminya, tapi ada sedikit harapan dalam hatinya.


Dan Mutmainnah kembali ke rumah dengan membawa buah-buahan dan air minum, dilihatnya mereka masih duduk di tempat semula, keduanya diam.


Mutmainnah menaruh makanan yang dibawanya di meja, “Silahkan dimakan dan diminum, Pak, seadanya saja,” Mutmainnah mempersilahkan orang tua itu. Dan berdiri di samping tempat duduk suaminya.


Orang tua itu mulai meminum air. Sambil menunggu orang tua selesai minum, Hasan berkata, “kami sudah lengkap sekarang, tadi Bapak tidak mau berbicara apa-apa dan menjawab pertanyaan saya karena Istri saya tidak di sini, jadi silahkan sekarang Bapak bercerita.”

“Ehm..., tadi pertanyaan beruntunmu sangat lengkap sekali. Dan istrimu juga harus mendengarkan jawaban ini, makanya saya menunggu kalian lengkap dulu”


“Baiklah,” orang tua itu mulai berkata, “Saya ini hanyalah orang tua yang tinggal di lembah seperti kalian, di seberang jauh di sana. Menjauh dari keramaian dunia yang semakin tidak karuan. Dan tadi malam saya melihat banyak cahaya yang turun dari langit menuju ke lembah ini. Saya bertanya pada salah satu cahaya yang berada di dekat saya, dan cahaya itu menjawab dan bercerita segalanya tentang kalian.”

Penuturan orang tua ini penuh dengan keganjilan tapi tidak mungkin suatu kebohongan, karena selain wajahnya menyiratkan kejujuran, terbukti orang tua ini tahu nama mereka. Hal ini membuat pasangan suami istri ini sepakat dalam hati, bahwa orang tua ini kemungkinan Wali Tuhan yang diberi karomah.


“Lantas, Bapak ada keperluan apa dengan kami?” tanya Mutmainnah.


“Sebelum saya menjawab hal itu, saya ingin bertanya dulu, apa kalian tahu bagaimana keadaan dunia di luar sana?” Orang tua bertanya balik.


Tentu saja keduanya menggelengkan kepala bersamaan, tanda tidak tahu. Kemudian orang tua tersebut menceritakan segalanya yang terjadi di luar sana. Keduanya pun terkejut dengan perubahan yang terjadi, mereka tidak mengira bakal terjadi keadaan dunia seperti demikian.


“Karena itu, saya bahagia sekali adanya kalian dan keadaan kalian di sini,” kata orang tua.


“Kenapa, Pak?” tanya Hasan.


“Tentu kita bertiga tidak senang dengan apa yang terjadi di dunia ini, saya ingin berdakwah, tapi umur saya tidak memungkinkan, jadi adanya kalian memberi harapan untuk mengembalikan cahaya keselamatan di muka bumi ini,” jawab orang tua dengan tersenyum.


“Maaf, Pak. Bukannya kami tidak mau. Tapi kami rasanya tidak yakin mampu berdakwah, dan lagi pula kami terjebak di lembah ini,” kata Mutmainnah.


“Untuk itu saya kesini, saya akan ajarkan pada kalian bagaimana berdakwah yang baik, mengikuti sunnah Nabi. Dan setelah itu saya yang akan membawa kalian keluar dari sini,” jelas orang tua.


Demikianlah, orang tua itu mengajari mereka berdua berdakwah selama satu minggu. Kemudian di kaki lembah dengan memegang pundak keduanya, mereka berdua diperintahkan memejamkan mata, kedua suami-istri ini pun kaget karena kaki mereka tiba-tiba serasa menjauh dari permukaan lembah dan melayang ke atas. Mereka pun semakin yakin, itulah karomah seorang wali.


Sesampai di atas, dengan bimbingan orang tua kedua suami-istri ini pun mulai berdakwah. Sampai suatu saat orang tua itu menghilang tanpa ada kabar.


Kembali di kerajaan Iblis. Terdengar suara tertawa terbahak-bahak.


Iblis duduk seenaknya di singgasana kerajaannya, sambil tertawa.


“Manusia-manusia, sebentar lagi mereka akan kembali ke fitrahnya, semakin banyak dan semakin banyak. Pasukan tentara syetanku sengaja tidak kusuruh menyebarkan virus keburukan dulu. Tunggu hingga pengikut suami-istri tersebut berjumlah banyak, pastinya cepat, karena dasarnya manusia berhati baik, baru kesenangan mempermainkan nafsu manusia dimulai,” pikir Iblis dengan tertawa.


Dan di atas itu semua, pencapaian yang membuat Iblis bahagia adalah kiamat berhasil di tunda. Itu pun pikir Iblis yang masih saja tertawa tak henti-hentinya.


Dikutip dari Catatan Moham Fahdi

Selengkapnya...

Kamis, 09 Juni 2011

Falsafah Kepemimpinan Soeharto

Rabu (8/6) Peluncuran buku Pak Harto, "The Untold Stories" yang diterbitkan oleh Keluarga Cendana membangkitkan kenangan masyarakat akan kepemimpinan Soeharto. Menurut survey yang diselenggarakan oleh Indobarometer menunjukkan bahwa Soeharto menjadi Presiden paling popular dan dirindukan kepemimpinannya. Survei ini juga menujukkan bahwa 40% responden lebih suka orde baru, angka ini cukup tinggi di tengah perjuangan menegakkan reformasi di Indonesia.

Soeharto memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, di awal kepemimpinannya Soeharto menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia secara jelas. Obama menurut kesaksiannya ketika hidup di Jakarta menggap bahwa apa yang dilakukan Soeharto ketika membangun Jakarta begitu menakjubkan, seperti sulap tuturnya. Selain itu keberpihakan Soeharto pada petani sangat jelas, Soeharto lahir dari keluarga petani sehingga mengenal betul bagaimana cara membangun pertanian. Keberpihakannya pada petani itu berhasil menjadikan Indonesia maju di bidang pertaniannya. Selain kondisi di atas, kerinduan masyarakat akan kepemimpinan Soeharto akibat dari kondisi paska reformasi yang semakin membuat kehidupan masyarakat sulit, Pejuang-pejuang Reformasi yang duduk dipemerintahan juga mengecewakan. Kalau benar apa yang dikatakan oleh Marzuki Alie bahwa tokoh muda DPR 70% menjadi masalah di DPR menunjukkan bahwa ternyata reformasi tidak lebih baik. Partai Politik produk reformasi juga tidak ada yang menunjukkan keberpihakan kepada Rakyat. Munculnya politisi bermasalah, keberpihakan pada (capital) pengusaha yang semakin jelas, mafia hokum, peradilan, kasus, dominasi asing yang semakin mengecilkan peluang pribumi. Selain itu premis yang menunjukkan bahwa korupsi terjadi akibat distribusi kekuasaan yang merata, sehingga terciptanya otonomi daerah yang malah menyebabkan korupsi yang dulunya terpusat sekarang tersebar ke daerah. Yang paling sederhana bagi persepsi masyarakat akan dua orde ini adalah kemudahan masyarakat dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari. Perbedaan-perbedaan yang mencolok ini membuat sebagian masyarakat merindukan kepemimpinan Soeharto

Kekuasaan Soeharto disebut sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa, Nuansa jawasentris sangat kuat. Kepemimpinan Soeharto, berdasarkan perspektif teleologi (tujuan), memang penuh dengan simbol-simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa (Tunjung W. Sutirto, 2008).. Sistem politik Orde Baru dibangun di atas falsafah dan nilai-nilai budaya Jawa yang kental. Dalam memimpin Soeharto menguatkan ketokohannya sebagai pemimpin yang berkuasa, sesuai dengan falsafah “raja berkuasa tidak boleh dibantah.” Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). [Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta, 2003)] Hal ini ditunjukkan Soeharto dengan membangun sistem kekuasaan sentralistik, feodalis, dan otoriter. Kebijakan-kebijakan nasional sepenuhnya di bawah pengaruh Presiden, bahkan DPR-MPR dipilih langsung oleh Soeharto, hal ini membuat langkah Soeharto mulus menjadi Presiden selama 32 Tahun.

Soeharto yang memiliki latarbelakang etnik Jawa memanfaatkan nilai-nilai luhur budaya Jawa sebagai simbol kekuasaannya. Dengan nilai-nilai falsafah budaya Jawa, Soeharto melegitimasi setiap sepak-terjangnya yang dianggap merepresentasikan kepemimpinan ala Jawa. Franz Magnis Suseno mengemukanan, menunjuk “manajemen kekuasaan” Soeharto selama ini “mengoper” pola kekuasaan Raja Jawa. Pola inilah yang membuat pembantunya “yes-men”. Ketika Soeharto berkehendak tidak ada satupun orang dekat yang berani membantah. Jawasentrisme ini juga akhirnya menyebabkan gejolak daerah karena merasa Jawa terlalu mendominasi sehingga kebudayaan lain cenderung terabaikan.

Pada awal masa kekuasaan Soeharto, karakter kepemimpinan Soeharto yang kuat efektif mempersatukan Indonesia di tengah kekacauan politik dan perpecahan, Soeharto juga awalny merepresentasikan pemimpin yang bersahaja dan merakyat. Bahkan menurut pengakuan Tri Sutrisno beliau kerap datang ke daerah dengan cara menyamar untuk mendapatkan gambaran langsung tentang kondisi masyarakat, karena jika diberitahukan sebelumnhya dengan menggunakan protokoler kondisi yang didapatkan tidak apa adanya. Namun Sejumlah paranormal Jawa melihat sejak perekonomian Indonesia mulai tumbuh. Soeharto mulai menumpuk kekayaan. Saat itulah Sri Sultan HB ke IX melihat Soeharto mulai melanggar ajaran Jawa. Sebagai bentuk “protes”nya beliau menolak dicalonkan kembali menjadi wapres.

Seseorang yang diberikan kekuasaan berlebih akan menimbulkan penyelewengan terbukti benar. Lingkar Soeharto menumpuk kekayaan, Praktik KKN merajalela, Pungli terjadi hamper disetiap lini Ramage dalam buku Politics in Indonesia menyatakan bahwa Budaya membangun suatu rekanan di era Soeharto, merupakan salah satu contoh sistem patronase. Dalam hal ini, atasan dan bawahan seperti halnya hubungan patron-client. Oleh karena itu, seorang bawahan harus pada suatu waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah pengarem-arem atau upeti. Padahal, sebenarnya budaya patronase merupakan salah satu pemikiran luhur Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian memberikan sebagian rezekinya kepada atasan. Karena pada saat itu, atasanlah yang memberi tanah garapan.


Fuad Bawazier dalam sebuah wawancara di televisi mengungkapkan bahwa Soeharto memiliki pemahaman ekonomi yang lemah karena Soeharto adalah orang yang sederhana namun juga kompleks. Secara intelektual, wawasannya sempit dan sederhana, hal ini disebabkan oleh pendidikannya yang terbatas. Ia juga tidak mempunyai kebiasaan membaca, merenung ataupun membuat suatu teori. Hal ini dimanfaatkan oleh ekonom-ekonom penjahat untuk meracuni pak Harto dalam menentukan kebijakan Ekonomi Makro. Ekonom-ekonom tu memberikan pemahaman kepada Soeharto bahwa APBN Indonesia berimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Padahal yang terjadi adalah devisit, dikatakan oleh mereka berimbang karena pendapatan negara dari hutang luar negeri menutupi devisit negera sehingga terlihat berimbang. Selain itu pemerintah orde baru menganggap bahwa hutang luar negeri adalah sebuah bentuk kepercayaan kepada Indonesia, sehingga pemerintahan Soeharto gemar berhutang.

Ishak Raffick dalam bukunya Catatan Hitam 5 Presiden Indonesia mengungkapkan bahwa resep-resep IMF yang ditawarkan oleh ekonom-ekonom pejahat itu berakibat pada beban hutang yang sangat tinggi, apalagi setelah terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan nilai tukar rupiah anjlok setelah band intervensi terhadap kurs mengambang terkendali itu dicabut, Indonesia pun limbung.

Maksud hati, Soeharto mau memeluk gunung untuk menghemat devisa, tapi yang terjadi, justru celaka. Ekonomi Indonesia kacau. Indonesia urung tinggal landas dan kembali digiring ke titik nol dalam pelukan IMF (hal 69). Soeharto yang sejak 1967 menopang pembangunan dari dana pinjaman IMF, seperti tak bisa mengelak. Dengan iming-iming umpan US$ 43 miliar, IMF lantas memaksa Soeharto menandatangani kesepakatan -terdiri 50 paragraf yang kemudian dikenal sebagai 50 point Letter of Intent (LoI)- dan ironisnya, kini jadi bumerang bagi siapa pun yang memimpin negeri ini.

Meski sejak tahun 1967-1998, Indonesia telah menelan resep-resep yang ditawarkan IMF dan terbukti “gagal tinggal landas”, anehnya arsitek (ekonomi) dibalik Soharto meminta lagi obat IMF. Padahal tak ada satu negara berkembang (seperti di Amerika Latin dan Ekuador) berhasil meningkatkan kesejahteraannya setelah mengikuti “model Washington Konsensus”. Sebaliknya negara-negara yang menyimpang (seperti Jepang, Taiwan, Malaysia dan China), justru bisa berhasil memperbesar kekuatan ekonomi.

Tak pelak lantaran resep IMF itu tak manjur, ujungnya Soeharto jatuh. Tapuk pimpinan beralih ke pundak Habibie, yang ironisnya mewarisi negeri yang bangrut, utang di ambang batas US$ 100 miliar karena menjelang Soeharto jatuh negeri ini menanggung utang -Maret 1998- sekitar 137,424 miliar US$. Habibie, jadi korban pertama. Setiap tahun setelah itu, terpaksa harus “menganggarkan” seratus triliun lebih untuk cicilan utang dalam dan luar luar negeri ditambah bunganya.


Untuk menjaga stabilitas nasional atau lebih tepatnya memastikan semua di bawah kendali Soeharto, Presiden ke 2 RI itu melakukan tindakan represif terhadap musuh politiknya, Komnas HAM menyatakan paling tidak ada 5 pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto Lima perkara yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah kasus Pulau Buru; Penembakan Misterius (Petrus); Peristiwa Tanjung Priok; Kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua; serta Kasus 27 Juli. Selain itu Soeharto tidak memberikan kebebasan pers, berserikat, berkumpul, berpendapat. Semua harus tunduk pada pemerintahan pusat.


Setelah reformasi Indonesia mestinya memperkuat sistem, tidak lagi memperkuat penokohan kepemimpinan politik. Kelahiran Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan langkah tepat memunculkan ceck and balances. Agar setiap yang berkuasa tidak bisa ’seenaknya’ tanpa pengawasan. Walaupun saat ini Pemerintah SBY tetap menunjukkan ke’aku’annya

Di bidang ekonomi, reformasi mengamanahkan kemandirian bangsa dalam membangun. Keberpihakan pada kepentingan nasional atau apa yang disebut oleh Nurcholis Majid sebagai ”Diskriminasi Positif” harus dilakukan. Walaupun pada kenyataannya pemerintah saat ini tetap saja menerima resep-resep asing yang merugikan. Seperti CAFTA yang membuat 40% produksi dalam negeri menurut akibat serbuat barang dari Cina

Di Bidang Polhukam, demokrasi harus memberikan rasa aman, kebebasan berpendapat, berserikat. Tetapi bebas bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Kepentingan nasional harus tetap diutamakan, misalnya dalam pembentukan partai politik, ide awal pasca reformasi adalah dengan banyaknya partai politik akan banyak mewakili pandangan politik, ideologi masyarakt kita. Tetapi hal ini justru berakibat sebaliknya. Partai politik tidak punya frame perjuangan yang jelas, banyaknya partai politik hanya membuat banyak kepentingan, dan justru mengakibatkan pemerintahan tidak berjalan efektif. Banyaknya kasus-kasus yang terungkap belakangan ini sebetulnya menunjukkan bahwa hukum mulai berjalan, walaupun masih terkesan tebang pilih tetapi keterbukaan informasi dan komunikasi pada akhirnya akan mempersempit praktik KKN. Walaupun pada tingkat daerah hal ini masih sulit dilakukan.

Mudah-mudahan Transisi Demokrasi ini dapat berjalan dengan selamat mengantarkan Indonesia selamat berdemokrasi yang hakiki, guna terciptanya kesejahteraan nasional.

Sumber


Dikutip dari catatan Najib Yusuf

Selengkapnya...