Senin, 26 Oktober 2009

KABINET INDONESIA "BERANTAKAN" MINTA GAJI

KABINET INDONESIA "BERANTAKAN" JILID II
Fathun Ni'am*)

Menjelang pembentukan kabinet, SBY sudah menjanjikan akan membentuk “Zaken cabinet” atau kabinet profesional. Dia menjanjikan orang yang dipilih memiliki kompetensi, bersih, gigih, dan penuh dedikasi. Dan, setelah melalui proses perekrutan panjang, sekaligus proses seleksi ketat, akhirnya terbentuk Kabinet Indonesia "Berantakan"—KIB jilid II.

Namun, kabinet yang baru dilantik ini segera mendapatkan pro-kontra. Ada beberapa orang yang dianggap kurang profesional di bidangnya, belum lagi ada isu soal ada menteri yang merupakan titipan asing, AS.

Belum selesai kontroversi ini, sebuah kontroversi baru segera muncul: para menteri menuntut kenaikan gaji, yang awalnya disuarakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). Ini benar-benar menuai kontroversi, selain karena berhadapan dengan krisis ekonomi yang mendalam, juga dikarenakan kabinet ini belum bekerja sama sekali.

Moralitas Pemerintah

Dalam aturan hubungan industri, ada prinsip yang mengatakan; “no work, no pay”, sebuah prinsip yang pasti benar-benar diketahui oleh menteri-menteri profesional ini. Dengan begitu, seorang baru dianggap layak memperoleh imbalan atau gaji, bila sudah menjalankan pekerjaannya dengan baik dan benar.

Kemudian, perlu diketahui, bahwa setiap kenaikan gaji pejabat negara atau pejabat publik selalu berkolerasi dengan proporsi anggaran secara umum. Artinya, kenaikan gaji ini akan mempengaruhi pos anggaran yang lain, program sosial, misalnya.

Bila disadari bahwa aspek penting dari pekerjaan seorang pejabat publik, termasuk menteri, adalah pelayanan kepada rakyat, maka tuntutan menaikkan gaji benar-benar perilaku inkonsistensi dengan tugas jabatan mereka. Dan, tentu saja, ini sangat bertentangan pula dengan julukan kabinet ini; kaum profesional?

Bila kita menengok ke belakang, masa pemerintahan sebelum ini, kinerja kabinet benar-benar buruk. Ada beberapa nama yang mengisi kabinet sekarang ini, merupakan orang-orang yang pernah mengisi kabinet sebelumnya. Sebagai misal, di sektor perhubungan, yang dulunya pernah dinahkodai Hatta Rajasa, masih dipenuhi dengan persoalan-persoalan penting; sarana transportasi yang buruk, fasilitas jalan raya yang tidak memadai, kecelakaan yang berulang kali terjadi, dan sebagainya.

Saat ini, seorang menteri menerima gaji pokok sebesar Rp18 juta perbulan. Namun, di luar gaji pokok itu, setiap menteri sebetulnya mendapatkan dana taktis sebesar Rp.250 juta per bulan, belum lagi fasilitas-fasilitas lain, seperti rumah dinas, kendaraan pribadi, dan sebagainya.

Berdasarkan data Depkeu pada April tahun 2009, terdapat inventaris seperti 30.716 rumah dinas senilai Rp 1,99 triliun dari 34 kementerian dan lembaga. Jumlah itu terdiri atas 7.974 rumah dinas golongan satu senilai 1,20 triliun. Rumah menteri dan pejabat tinggi negara menggunakan rumah dinas golongan satu. Fasilitas lainnya adalah mobil mewah. Untuk kaninet Indonesia "Berantakan" jidil I menggunakan merek Toyota Camry 3.000 cc yang tahun 2005 senilai Rp 350 juta. Dari informasi yang beredar, saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan mobil dinas Toyota Crown yang sekelas Mercedes Benz S Class.

Dalam menjalankan tugasnya, seorang menteri di Indonesia juga mendapat begitu banyak kemudahan, diantaranya fasilitas pesawat VIP, kereta eksekutif, dan sebagainya. Dengan begitu, seharusnya seorang menteri sudah sangat terbantu dalam menjalankan aktifitasnya.

Tidak Profesional

Situasi sekarang ini, yang juga seringkali dipaparkan oleh sejumlah pejabat negara, adalah masa-masa yang sulit, berhadapan dengan krisis ekonomi, defisit anggaran, dan persoalan bencana alam yang membutuhkan dana besar untuk rehabilitasi dan perbaikannya.

Sangat berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia, ketika berhadapan dengan krisis energi dunia, justru memangkas gaji menteri dan seluruh pejabat tingginya sebesar 10%. Satu paket dengan kebijakan itu, Badawi, Perdana Menteri Malaysia, juga mengurangi fasilitas liburan ke luar negeri bagi para pejabat tinggi. Hasilnya, gerakan ini mampu menghemat anggaran negara sebesar USD613 juta (Rp5,71 triliun).

Venezuela, ketika berhadapan dengan jatuhnya harga minyak dunia, sekitar bulan Maret 2009 lalu, juga melakukan hal yang sama. Presiden Chavez mengumumkan pemotongan gaji seluruh pejabat senior sebesar 20% untuk menyeimbangkan anggaran. Pada saat itu, seluruh menteri Chaves mendukung keputusan ini, disamping dukungan mayoritas anggota parlemen.

Ini sangat aneh, memang, sebuah kabinet yang berjulukan “profesional” justru meminta imbalan diluar capaian dan kualitas kerjanya. Sehingga, dari situ, kita mempertanyakan profesionalitas seluruh menteri-menteri KIB jilid II ini.

Lebih aneh lagi, presiden SBY yang selalu berbicara profesionalisme, justru turut mengamini rencana kenaikan gaji ini, bahkan ada usulan menaikkan gaji pejabat tinggi negara lainnya, seperti presiden dan wakil presiden. Akibatnya, beberapa pihak menuding bahwa kenaikan gaji ini merupakan “kompensasi” atas transaksi politik di balik penunjukan menteri. Sebab, sekitar 70% pejabat menteri ini berasal dari partai politik.

Kalau benar begitu, berarti proses penyusunan kabinet masih berbasiskan kepada simbiosis mutualisme antara presiden dan parpol pendukung. Dan, ini tidak ada bedanya dengan kabinet-kabinet sebelumnya. Lantas, mana kabinet profesional yang dijanjikan itu?

*) Pemuda Ikatan Keluarga Kabupaten Pati-Jakarta, Aktivis KM UIN (Komunitas Mahasiswa UIN) Jakarta
Selengkapnya...

Senin, 07 September 2009

FATWA HARAM INFO-SETAN

Fatwa Haram Info-setan
Oleh Miftahul Anam



Tulisan Tjipta Lesmana berjudul “Infotainment” dan “Info-setan” Sama Merusak (SinarHarapan, 7/8/2006), menarik untuk dikaji kembali. Ia menyayangkan mengapa Nahdlatul Ulama (NU) tidak mengeluarkan fatwa yang sama terhadap tayangan yang mengekspos persoalan seputar setan dengan kemasan ajaran agama, sebagaimana fatwa haram yang dikeluarkan terhadap infotainment.

Tjipta benar. Program info-setan tak kalah merusak dibanding infotainment. Alih-alih informatif dan edukatif serta mencerminkan tanggung jawab sosial. Kedua tayangan itu justru lebih potensial merusak otak pemirsa. Semua itu hanya omong kosong yang didramatisasi belaka. Tayangan seperti itu, misalnya, dapat menimbulkan rasa takut di benak anak kecil yang ikut menonton.

Tayangan yang menyuguhkan adegan seperti mayat atau keranda terbang, mayat meledak, mayat orang tak beriman bermuka penuh belatung dan sejenisnya, sesungguhnya tak kalah berbahaya dari bergunjing (ghibah). Tayangan-tayangan semacam itu juga amat kental dengan justifikasi keagamaan.

Selain itu, pesan-pesan keagamaan yang disajikan juga cenderung memonopoli tafsir dan kurang menghargai pluralitas. Bukan mustahil, menurunnya toleransi terhadap perbedaan keyakinan, aliran, serta tafsir keagamaan masyarakat kita akhir-akhir ini salah satunya dipicu oleh tayangan-tayangan semacam ini.

Anehnya, tayangan yang kerap menampilkan adegan makhluk gaib menyeramkan itu dinikmati pemirsa bukan sebagai tayangan menakutkan, melainkan sebagai hiburan. Info-setan demikian laris ditonton bukan karena ia menakutkan, tetapi karena menghibur, meski dengan cara berbeda. Dalam hal ini, info-setan tak jauh beda dengan tayangan hiburan semacam infotainment yang sama-sama mempertontonkan kedangkalan.

Yang juga mengherankan, keduanya termasuk tayangan berating tinggi. Telah umum diketahui, bahwa dari prosentase iklan, pemasukan kedua tayangan tersebut jauh di atas tayangan edukatif sejenis berita atau dialog masalah-masalah aktual di layar kaca. Infotainment dan info-setan telah menjadi bagian penting konsumsi masyarakat kita terhadap media. Keduanya begitu ditunggu-tunggu penayangannya oleh mayoritas pemirsa kita—melebihi tayangan-tayangan lain yang lebih menghargai akal sehat.

Kiranya tak berlebihan bila sejumlah pemerhati media menyebut kedua tayangan tersebut memang terbukti merusak. Sehingga ormas keagamaan seperti NU harus berfatwa dengan mengajak masyarakat mengharamkan isi tayangan tersebut. Tetapi, bagi saya, infotainment perlu diharamkan bukan “sekadar” karena ia menggunjing privasi orang yang belum jelas kebenarannya, sebagaimana disinyalir ulama NU.

Lebih jauh, faktanya infotainment bukan sekadar perkara prasangka buruk (su’udzon) belaka. Infotainment telah megidentifikasi diri sebagai prasangka (buruk) yang terbukti benar (su’u al-yaqin). Bila dalam infotainment isu perselingkuhan pasangan artis selalu diberitakan, misalnya, pada gilirannya masyarakat akan memercayainya sebagai kebenaran.

Logika yang kerap membombardir pemirsa lewat tayangan-tayangan semacam itu sungguh merusak martabat jurnalisme dan akal sehat. Demikian halnya dengan info-setan. Namun, yang sungguh menyedihkan, di hampir seluruh stasiun televisi kita (kecuali TVRI dan Metro TV) menayangkan adegan yang menampilkan “hantu penghibur” itu.

Dengan segala macam kemasan yang mengaduk-aduk rasa penasaran, sesuatu yang gaib—yang seharusnya amat tidak patut dipertontonkan sedemikian vulgar—telah dikomodifikasi sedemikian rupa layaknya ramuan kuat pasutri atau salep penumbuh bulu dalam iklan-iklan komersial. Apakah gerangan yang menjangkiti masyarakat kita, sehingga hantu pun dipoles menjadi penghibur?

Menghibur diri sampai mati
Masyarakat kita telah terjangkiti gejala kejiwaan yang membahayakan. Dan seperti tak akan terjadi apa-apa, infotainment dan info-setan telah menjadi menu hiburan favorit di banyak keluarga. Aneh, memang. Ketika sekelompok pemerhati media di Amerika membuat daftar junk food news tentang media yang memuat liputan selebriti secara berlebihan, misalnya, pebisnis infotainment di Indonesia malah kian berjaya.

Kenyataan tersebut sungguh memprihatinkan. Dalam kelimpahruahan informasi, pemirsa digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, dan mendengar. Akan tetapi, yang ditawarkan lebih banyak kekosongan dan kehampaan. Pemirsa disuguhi oleh aneka macam bujukan, rayuan, kesenangan, kepuasan, akan tetapi apa yang diperoleh tak lebih dari rasa ketidakpuasan abadi.

Sebuah situasi yang oleh Neil Postman disebut sebagai menghibur diri sampai mati! Dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang merusak akal sehat semacam itu, pemirsa sesungguhnya telah melakukan bunuh diri, namun tanpa pernah sadar bahwa yang mereka lakukan adalah bunuh diri.

Postman, guru besar ilmu komunikasi New York University, menulis sebuah buku menarik berjudul Amusing Ourselves to Death (Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi, Pustaka Sinar Harapan, 1995). Ia mengingatkan kita pada bahaya riil yang telah terjadi sekarang dan memberikan saran-saran yang mendesak. Termasuk bagaimana menghadapi malapetaka yang disajikan media massa (televisi). Ia berharap pada dunia pendidikan sebagai medium komunikasi yang secara teoritis bisa menjawab “teror” media massa.

Mengikuti anjuran Postman di atas, tampaknya dunia pendidikan kita secara umum belum setangguh yang diharapkan. Kualitas sistem pendidikan nasional Indonesia secara umum amat payah. Jika dibandingkan dengan masih jauh dari memadainya kualitas SDM dan infrastruktur pendidikan kita, keberhasilan segelintir siswa kita di ajang Olimpiade Fisika atau Kimia Internasional menjadi tidak ada artinya.

Walaupun demikian, pendidikan dari keluarga yang baik amat penting dalam membendung pengaruh tayangan televisi yang merusak. Di sinilah peran kedua orang tua menjadi tumpuan. Tak pelak, tugas mereka di setiap keluarga makin berat menyusul derasnya arus globalisasi informasi saat ini. Dengan komunikasi yang baik, saling pengertian, rendah hati, serta keteladanan moral, saya kira pengaruh buruk televisi bukan sesuatu yang mustahil dikikis.

Demikian pula peran komisi penyiaran, dewan pers, LSM-LSM pemantau media, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhamadiyah dan lainnya. Organ-organ ini berperan semakin penting di saat industri media di negeri ini menjadi begitu komersil dan kian menonjolkan sisi hiburan ketimbang sisi informasinya.

Fatwa Haram
Lembaga penyiaran yang berwenang sudah semestinya mengambil tindakan tegas, sekurang-kurangnya dengan selalu menggelorakan pentingnya tanggungjawab sosial media massa. Sehingga, media massa kita bukan sekadar pekerja kapitalisme informasi belaka, yang lebih memanjakan pemirsa dengan melulu hiburan dan kontestasi gaya hidup. Media massa mesti mengambil peran terhormat sebagai media pencerdasan melalui informasi serta hiburan yang mendidik.

Karena itu, tayangan info-setan dalam berbagai bentuknya mendesak untuk segera disikapi. Bila infotainment terbukti potensial merusak, karena itu diharamkan belum lama ini, selayaknya hal yang sama juga diberlakukan terhadap info-setan. Alih-alih bermanfaat, tayangan semacam ini lebih banyak mendatangkan madarat.

Organisasi sosial keagamaan seperti NU juga mesti bersikap adil melihat kenyataan; demikian halnya dalam mengeluarkan fatwa. Bila kedua jenis tayangan tersebut memang sama-sama merusak umat (akal sehat), kenapa fatwa itu hanya berlaku untuk infotainment? Info-setan menyimpan bom waktu yang tak kalah megerikan. Sudah saatnya info-setan diharamkan.[] Miftahul Anam, Pemerhati Media; Mantan Koordinator Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ). Dimuat Harian Sinar Harapan, Agustus 2006.
Selengkapnya...

MARI MENCINTAI BAHASA IBU!

Anom Bagas Prasetyo 05 September jam 19:30
Mari Mencintai Bahasa Ibu!
Oleh Miftahul Anam*


Tulisan P Ari Subagyo, Bahasa Jawa, Cinta, dan Takjub (Kompas, 28/4) menarik diapresiasi kembali. Pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma ini tak berlebihan saat mengajukan pentingnya cinta dan takjub sebagai spirit (roh) melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa. Dengan menjadikannya sebagai spirit, tersirat pesan penting bahwa upaya untuk melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa seyogianya dilakukan dengan cara “Jawa” pula.

Dalam melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa, dorongan cinta dan takjub bagi para penuturnya tak bisa dipandang sepele. Tanpa keduanya niscaya tak ada kebanggaan, rasa memiliki, dan kepercayaan diri terhadap akar budaya di kalangan orang Jawa. Cinta dan takjub, dalam hal ini, pada dasarnya merupakan laku ruhani, karena ia lahir dari rahim ketulusan para penuturnya.

P Ari Subagyo benar, dua spirit itu tumbuh dari dalam hati tanpa “paksaan”. “Cinta” adalah tertambatnya hati dan rasa. Sementara “takjub” adalah keheranan dan keterpesonaan tingkat tinggi hingga mencerahkan nalar, membuka kesadaran, bahkan menyentuh sisi spiritual. Tanpa dorongan keduanya, rasanya mustahil bahasa (dan budaya) Jawa bisa bertahan melintasi zaman. Dengan sentuhan yang sama pula, hendaknya bahasa dan budaya adiluhung ini dilestarikan.

Karena itu, munculnya Perda yang mengawal pelestarian bahasa (dan budaya) Jawa mesti dilihat sebagai upaya menjaga, merawat, melestarikan serta meneguhkan identitas kultural Jawa yang adiluhung. Dalam perspektif yang lebih luas, peneguhan identitas ini mesti dipahami bukan sebagai bentuk nasionalisme etnisitas yang sempit dan primordialistik. Ia lebih merupakan ikhtiar menjaga identitas salah satu pilar penting kebudayaan nasional kita.

Bagaimana bahasa (dan budaya) Jawa dipahami—demikian halnya dengan bahasa dan budaya lainnya—di tengah persentuhan beragam budaya lainnya? Dapatkah nilai-nilai ke-Jawa-an yang dipandang adiluhung dihayati serta diejawantahkan nilai-nilai filosofisnya, sehingga berdampak positif dalam kehidupan? Dalam konteks inilah Perda Bahasa Jawa mesti dipahami.

Bahasa: budaya
Bahasa Jawa begitu kuat dirasakan sebagai ungkapan utama identitas ke-Jawa-an. Bukan hanya identik, sebagai bahasa ibu orang Jawa, ia bahkan dirasakan sebagai bentuk manifestasi alam pikiran orang Jawa. Maka, bisa dimengerti jika upaya-upaya meneguhkan identitas ke-Jawa-an dilakukan dengan melestarikan bahasanya.

Sering dikatakan bahasa Jawa begitu kaya dengan kesamaan bunyi yang bermakna kias, dengan onomatope (pembentukan kata berdasarkan tiruan bunyi)-nya yang canggih. Ia bukan hanya khazanah yang kaya dengan racikan filosofis yang kental, tapi juga unik-estetis sekaligus rumit.

Kekayaan kosakatanya yang penuh perasaan menyajikan khazanah hubungan sebab-akibat yang esoteris serta pemaknaan yang lestari tentang kesinambungan tersembunyi yang mengalir menembus fenomena. Ragam ujarannya terasa menukik—sering kali puitis—ke lingkup yang paling akrab dalam kehidupan rakyat.

Antropolog Ben Anderson, dalam Language and Power, mencatat satu keunikan bahasa Jawa dengan memotret adegan seorang pesinden (backing vocal) dalam sebuah pertunjukan wayang. Manakala pesinden ingin beristirahat dan mengingatkan dalang untuk mengambil alih peran, dia pun menjalin kata ron ing mlinjo (daun melinjo) ke dalam lagunya.

Kenapa daun melinjo? Di Jawa daun ini dikenal dengan sebutan so, sedangkan beristirahat dalam bahasa Jawa adalah ngaso. Begitu keterkaitan ini dirasakan, yang tetap menjadi misteri bagi yang tidak paham, sang dalang dengan segera mengambil alih peran melantunkan suara menggantikan sinden.

Contoh di atas setidaknya mencerminkan pandangan dan sikap hidup orang Jawa, yang unik-estetis, filosofis, seakan berputar-putar sarat simbol tetapi mengisyaratkan perjalanan menuju ke satu titik, kemudian kembali lagi pada kehidupan sehari-hari.

Kekayaan khazanah yang sama dapat kita jumpai dalam ratusan bahasa ibu lain di nusantara. Dalam bahasa (dan budaya) Melayu, misalnya, kita mengenal tradisi berpantun yang berdaya seni tinggi dan sarat pesan moral. Bahkan, sejarah mencatat, dari bahasa Melayu pula bahasa Indonesia berasal.

Mencintai bahasa ibu
Terdapat 700-an bahasa Ibu (bahasa daerah) yang tersebar di seluruh pelosok daerah di Indonesia. Ini jumlah yang amat besar untuk sebuah negara. Dalam catatan UNESCO, terdapat sekitar 6.000 bahasa ibu di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 300 di antaranya terancam punah.

Di Indonesia, misalnya, ada sejumlah bahasa daerah yang telah punah. Di Papua saja, sedikitnya ada sembilan bahasa yang dianggap sudah punah, yakni bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat). Daftar serupa bisa amat panjang mengingat banyaknya bahasa daerah di nusantara yang terus berkurang penuturnya.

Sama seperti bahasa daerah lainnya, bahasa (dan budaya) Jawa kini dihadapkan pada persoalan besar keberlangsungan hidupnya. Ini tercermin dari mayoritas penutur bahasa ibu orang Jawa ini yang hanya dari kalangan berusia lanjut. Generasi muda (Jawa) kini kurang peduli terhadap bahasa ibu-nya. Bahkan, ada anggapan berbahasa daerah dianggap tidak modern dan kampungan. Padahal, bahasa akan punah jika tidak dilestarikan (tidak dipergunakan) oleh masyarakat pendukungnya, baik sebagai sarana pengungkap maupun sebagai sarana komunikasi.

Amat disayangkan, dunia pendidikan kita secara perlahan turut mengikis penggunaan bahasa ibu di sekolah-sekolah. Demikian halnya dengan tayangan di media-media massa. Tayangan televisi maupun siaran radio, misalnya, cenderung lebih menonjolkan bahasa campuran Indonesia dan Inggris, ditambah dengan bahasa gaul yang tidak kaprah.

Di sinilah Perda Bahasa Jawa menjadi penting bagi instrumen pelestarian bahasa ibu yang terancam punah ini. Namun, sebagai payung hukum dan alat penunjang (pemaksa) pemakaian bahasa daerah, hendaknya peran yang diambil lebih pada menumbuhkan kecintaan dari kalangan masyarakat sendiri. Dunia pendidikan sebagai medium pembelajaran juga amat penting bagi penggunaan, pemeliharaan, serta revitalisasi bahasa Jawa bagi masyarakatnya.

Namun demikian, upaya-upaya pelestarian bahasa (dan budaya) Jawa di luar instrumen tersebut juga perlu terus dilakukan. Kelestarian bahasa ibu menjadi tanggung jawab semua, baik individu maupun masyarakatnya. Pengenalan kepada anak-anak sejak dini amatlah penting. Sebab, keluarga dan lingkungan masyarakat daerah setempat memiliki peran besar agar bahasa Jawa tetap lestari.

Gugusan bahasa atau budaya dapat terjaga bila ada penutur yang setia menggunakan dan mewariskannya ke generasi berikutnya. Dan penutur yang setia hanya lahir dari cinta, ketakjuban, kebanggaan, serta kesadaran pada akar budayanya sendiri. Saatnya gerakan pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa tumbuh dari masyarakat sendiri.[]

*Pecinta Bahasa Jawa; Alumni Salafiyah Kajen; Anggota Dewan Eksekutif Perkumpulan Obor Nusantara.

Pengantar diskusi dalam rangka penetapan Perda Bahasa (dan budaya) Jawa oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, bertempat di Pendopo Kabupaten Boyolali.
Selengkapnya...

Rabu, 12 Agustus 2009

KISAH DARI LENTENG AGUNG

Oleh: Anom Bagas Prasetyo*

Bagaimana para mahasiswa ditarik ke dalam gerakan Negara Islam
Indonesia?

NENI ROSIDA seumur hidup tak akan melupakan peristiwa siang itu.
Seorang temannya di kampus, Esti, mengajaknya menemui seorang
pria.

Esti hanya menyebut hendak menemui seorang kawan SMA yang
sudah lama tak bersua. Hanya main saja, kata Esti.

Tak biasanya Esti berbuat demikian, pikirnya. Neni dan Esti
berkawan baik sejak semester awal. Menginjak semester empat,
keduanya aktif di organisasi intrakampus. Jadi aktivis, kata orang.
Keduanya kerap cerita terusterang, bahkan ihwal pribadi masingmasing.
“Dia bestfriend aku, kami sering jalan bareng,” kata Neni
kepada MaJEMUK, akhir Agustus silam.

Rasanya ada yang ditutup-tutupi Esti, Neni penasaran. Meski tak
jauh dari kampus, tak biasa pula Esti menjemputnya ke asrama. Tak
mau karibnya kecewa, Neni mengiayakan saja ajakan karibnya yang
tomboi itu.

Di sebuah tempat di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan,
mereka bertemu. Teman SMA Esti rupanya seorang pria biasa—seperti
pria kebanyakan. Tapi Neni terkesan, ia murah senyum, ramah, dan
pandai bergaul.

Pria berkulit coklat itu rupanya juga kocak dan berwawasan luas.
Keduanya amat terkesan saat ia cerita tentang masalah kegamaan.
Sebuah tema yang memang disukai Neni sejak jadi mahasiswi.
“Kebetulan, saat itu aku sedang tertarik pada banyak hal. Aku juga lagi
butuh pegangan kokoh pada agama yang aku yakini,” tuturnya
menerawang.

Tahu bahwa Neni terkesan dengan ceritanya, pria bernama Yunus itu
kemudian bilang bahwa ia punya seorang kakak senior. Yunus
menyebut seniornya seorang mahasiswa cemerlang dalam pemikiran
keagamaan. Hal itu membawanya menjadi peserta pertukaran pelajar
di Eropa. Yunus juga menawari Neni dan Esti untuk bertemu seniornya
itu. “Gimana, kalian tertarik nggak ketemu dia?” ajak Yunus. Akhirnya,
mereka bertiga sepakat untuk bertemu lagi dua hari berikutnya.

Tanpa pikir panjang, dengan dukungan Esti, Neni tertarik oleh
ajakan pria yang baru dikenalnya itu. Neni sebelumnya memang
sempat cerita kepada Esti bahwa ia “sedang mencari.” Mungkin ini
jawaban dari Tuhan, pikir Neni.

“Wah, saat itu saya tertarik sekali. Aku pada intinya berminat,
karena waktu itu dalam diriku lagi ada pertanyaan tentang bagaimana
beragama yang benar, makanya aku tertarik sekali.”

***

TAK JAUH dari Universitas Pancasila--sekitar tiga kilometer dari Pasar Minggu--
di Jakarta selatan, ketiganya bertemu di sebuah rumah berlantai dua.
Sekitar sepuluhan mahasiwa-mahasiswi—dengan gaya mahasiswa masa
kini yang necis dan manis—tampak berdiskusi saat mereka memasuki
rumah kontrakan itu. Di sinilah Yusuf mengenalkan Neni kepada
seniornya, seorang pria tampan bersetelan kemeja warna gelap.

Seperti cerita Yusuf, pria parlente ini memang punya potongan
seorang peserta pertukaran pelajar, smart dan excelellent. Ia
memperkenalkan diri dengan sopan. “Dia seperti model gitu deh..,
cakep and manis pokoknya. Seingatku namanya Wawan. Nggak Islam
banget kok namanya,” tutur Neni bersemangat.

Wawan memang pandai menarik perhatian. Ia mulai bercerita
tentang pengalamannya di Eropa dan sesekali menyinggung forum
diskusi keagamaan yang ia bikin bersama teman-temannya di sana.

Neni terkesima. Kepada Wawan ia ceritakan semua ganjalan hatinya
tentang Islam. Wawan tak hanya menanggapi dan menjawab dengan
tangkas dan simpatik. Ia bahkan tak keberatan menawarkan sesi
diskusi rutin tentang keagamaan.

Diskusi agak serius pun akhirnya berlangsung di sebuah ruang agak
tertutup. Usai cerita lebih jauh tentang pengalamannya, Wawan mulai
membahas Pancasila dengan sesekali mengutip sejumlah ayat pendek
dari Alquran dan hadis yang ia hafal di luar kepala.

Semangat Wawan membuat Neni kian yakin bahwa ia telah temukan
apa yang dicarinya selama ini. Seperti dalam pelatihan-pelatihan,
penjelasan Wawan dilengkapi ilustrasi berupa gambar dan coretan-coretan.

Tak ketinggalan, ia juga membandingkan Alquran dan Pancasila
dalam sebuah gambar pohon faktor: Alquran pada satu sisi, dan
Pancasila di sisi yang lain. Meski penjelasannya agak rumit dan
provokatif, Wawan tetap tampak simpatik, tenang, dan tak emosional.

Ia pun mengajak Neni untuk lebih condong kepada Alquran, karena
dengan itu akan dibentuk suatu sistem negara berdasarkan syariat,
negara Islam. Sebaliknya, baginya Pancasila adalah pilihan yang salah,
tak cocok sebagai ideologi karena hanya melahirkan kebobrokan.

“Sistem yang bobrok oleh Pancasila ini mesti diubah dengan sebuah
sistem yang berdasarkan Alquran,” kata Wawan meyakinkan. Segala hal
yang Neni tanyakan, ia cari jawabannya dalam Alquran dan hadis. Neni
serasa memasuki sebuah dunia baru.

Neni juga diminta mengisi selembar formulir berikut iuran
alakadarnya. Kolom nama, alamat, nomor telepon hingga orang
tedekat, harus ia isi semua. Ini merupakan syarat awal untuk seorang
anggota baru.

Yang membuatnya penasaran, ia ditanya secara khusus tentang
keluarga dan orang-orang terdekatnya. Ditanyakan pula apakah Neni
punya saudara di militer atau kepolisian. Lhoh, ini organisasi apaan sih,
kok ditanya ginian segala?, tanya Neni dalam hati.

Dengan sedikit curiga, berikutnya Neni masih sering ke sana. Ia
turuti rasa penasarannya. “Sejak itu, aku ikutin dulu maunya mereka
apa. Aku juga pengen tahu sejauh mana mereka.”

***

RASA PENASARAN Neni belum juga terjawab hingga pada sesi
ketiga, bersama Esti, ia di ajak ke suatu tempat dengan mata ditutup.
Esti meyakinkan bahwa ini hanya untuk perjalanan sementara saja
sebelum mengikuti tes. Sebuah tes khusus. Karena sifatnya khusus,
meski tak jauh dari tempat biasa, ia tak boleh tahu di mana tempatnya.

Setibanya di sebuah rumah, keduanya dipisah. Neni dibawa ke
sebuah ruangan, dan Esti ke ruangan lainnya. Masing-masing di
pertemukan dengan seseorang yang usianya di atas mereka.

Seorang perempuan berjilbab mendekati Neni. Setelah basa-basi
sejenak, ia memperkenalkan diri sebagai orang yang bertugas
mengujinya. Ia menanyakan hal-hal yang Neni peroleh di Rancho.
Termasuk tentang pohon faktor dan lainnya. “Aku berhasil menjawab
semua pertanyaannya dan aku diluluskan,” kenang Neni.

Namun, meski terbilang lulus dengan predikat cukup memuaskan,
perasaan Neni kian tak nyaman, terutama pada sesi-sesi diskusi
berikutnya.

Pertayaan-pertanyaan yang Neni ajukan—tak jarang dikaitkan
dengan perlunya membangun sebuah negara berlandaskan agama—
selalu dijawab hanya dengan ayat-ayat yang selalu tergenggam di
tangan seniornya.

Sejak itu Neni dikenal sebagai anak baru yang keras kepala. Ia sering
membantah karena tak puas dengan jawaban-jawaban si senior.

Jawaban yang diberikan dirasa Neni tak masuk akal. Neni heran,
seakan semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan dibacakannya
teks-teks.

Neni mulai kecewa. Suasana ceria dan mencerahkan yang ia rasakan
saat pertama kali, kini berubah kaku dan dogmatik. Ia juga merasa
terbebani banyak kewajiban.

Setiap yang sudah mengisi formulir punya kewajiban mengikuti sesisesi
berikutnya, setiap kali ke “markas”, ia selalu ditanya ihwal
keyakinan dan loyalitasnya pada oraganisasi. Selain itu, setiap anggota
diwajibkan menyetor sejumlah uang untuk membiayai perjuangan
organisasi.

Ia juga mulai merasa terasing dengan teman-temannya di asrama.
Teman-teman asramanya tak ada yang tahu apa yang ia lakukan selama
ini. Demikian pula dengan keluarganya. Lagi pula, mustahil ia cerita
kepada mereka. Ini bisa jadi masalah besar. Ia merasa bersalah.

Setelah mengikuti tiga kali sesi khusus, ia memutuskan tak lagi
datang ke Lenteng Agung. Ia curiga, juga kecewa. Jawaban yang
dicarinya ternyata tak ia temukan di sana. Ah, pria parlente
berpotongan fotomodel itu hanya pancingan di tahap-tahap awal.
Cowok sialan, pikir Neni kesal.

Berkali-kali Esti meneleponnya, menayakan kenapa tak datang lagi
ke basecamp. Sedapat mungkin ia memberikan jawaban yang masuk
akal supaya tak membuat karibnya itu tersinggung. “Aku capek dan lagi
banyak kegiatan,” jawab Neni.

Dengan penuh rasa resal, Neni berusaha melupakan pengalaman
pahitnya itu. “Aku berusaha melupakannya, sekadar untuk pengalaman
saja. Pengalaman pahit yang tak boleh terulang,” tuturnya.

Namun, ia tak mau persahabatannya dengan Esti berakhir. Mereka
tetap berkawan baik, meski tak sekarib sebelumnya. Sejak itu, Esti juga
tak lagi berusaha mengajaknya kembali ke sana.

***

TAHUN 2006, dari seorang kakak kelasnya di kampus, Neni akhirnya
tahu bahwa Esti ternyata orang dalam. Esti rupanya hanya berpurapura.
Ia sudah jauh lebih dulu di organisasi itu. Hal ini Esti dilakukan
demi menarik Neni menjadi anggota baru.

“Kamu tahu nggak sih, gua pernah lama di situ. Gua sempet jadi
pengurus (koordinator) malahan,” tutur Lia, kakak kelasnya. Lia cerita
bahwa sebetulnya Esti berusaha merekrut Neni. Dan Lia yang dulu
merekrut Esti.

Dari cerita Lia pula Neni akhirnya tahu bahwa oraganisasi tersebut
adalah gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Sebuah gerakan “bawah
tanah” yang intensif melakukan rekrutmen kalangan muda untuk
dijadikan kadernya.

Dikenal dengan nama Darul Islam (DI)— yang artinya Rumah
Islam—organisasi ini merupakan gerakan politik yang didirikan oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

NII diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Syawal 1368) di di desa
Cisampah, kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong Tasikmalaya,
Jawa Barat. Sejak itu, seluruh Jawa Barat dianggap sebagai teritori
Darul Islam.

Sejak awal gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai
negara teokrasi, dengan agama Islam sebagai dasarnya. Dalam
proklamasinya ditegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Negara
Islam Indonesia adalah hukum Islam, Islam menurut penafsiran sang
imam, Kartosoewirjo.

Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan
kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang
berlandaskan syariat Islam.

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah,
di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan, dan Aceh.

Struktur NII Kartosoewirjo meliputi tujuh Komandemen Wilayah
(KW). Masing-masing: Priangan Utara (KWI), Jawa Tengah (KWII),
Jawa Timur (KWIII), Sulawesi (KWIV), Kalimantan (KWIV), Aceh
(KWVI), dan Priangan Selatan (KWVII).

Dengan kekuatan tentara yang cukup terorganisasi, selama 13 tahun
NII Kartosoewirjo melakukan pemberontakan bersenjata terhadap
pemerintah RI.

Perlawanan mereka sementara terhenti setelah sang imam
tertangkap pada 1962 oleh Pasukan Kujang II/328 Siliwangi di Gunung
Rakutak, Kecamatan Pacet Majalaya, Bandung. Melalui pengadilan
Mahadper, pemerintah Sukarno menjatuhinya hukuman mati pada 16
Agustus 1962.

Pasca Kartosuwiryo, diangkat Kahar Muzakkar hingga tahun 1965.
Pasca Kahar Muzakkar, NII vakum tanpa imam hingga Abu Daud
Beureueh diangkat sebagai imam pada tahun 1974. Namun, tahun 1975
ia tertangkap dan NII kembali vakum tanpa imam.

NII kemudian diwarnai munculnya faksi-faksi baru yang berujung
perpecahan dan membuatnya terpecah menjadi dua kubu pada 1978-
1979. Pertama, kubu Jamaah Fillah yang diketuai oleh Djadja Sujadi.
Kedua, Jamaah Sabilillah yang dipimpin oleh Adah Djaelani
Tirtapradja.

Keduanya petinggi militer TII, Anggota Komandemen Tertinggi
(AKT) yang diangkat langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh
ada dua Imam", Djadja Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani.

***

DI MASA kepemimpinan Adah Djaelani inilah dibentuk KWVIII
(Lampung) dan KWIX (Jakarta Raya, yang meliputi Bekasi, Jakarta,
Tangerang dan Banten).

KWIX sebagai wilayah strategis gerakan ini dipimpin oleh Abu Karim
Hasan. Pada masa kepemimpinannya, ia menciptakan doktrin baru,
Mabadi Tsalatsah. Tiga pokok yang menjadi landasan teologis NII.
Yakni hukum Islam, umat Islam, dan negara Islam.

Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992 dan kedudukannya
digantikan oleh Abu Toto alias Abu Ma’ariq alias Abu Ma’arif alias
Syamsul Alam alias Syaikh AS Panji Gumilang. Pada tahun 1996, Abu
Toto menjadi Imam NII menggantikan Adah Djaelani. International
Crisis Group (ICG) dalam sebuah laporan tahunannya mencatat, adah
Djaelani pernah memuji kepandaian Abu toto dalam menghimpun
dana. Inilah yang membuat Abu Toto banyak disegani oleh para
anggota lainnya.

Imam Shalahuddin, mantan aktivis NII-anggota KWIX, dalam
sebuah draf bukunya menyebut pada masa kepemimpinannya Abu Toto
mulai mengubah sistem keuangan serta doktrin dasar NII, Mabadi
Tsalasah. Pada masa inilah dimulai pengerukan dana besar-besaran.

Dalam al-Mabadi al-Tsalatsah KWIX, ditegaskan bahwa Alquran,
sebagai landasan syariat, pada dasarnya menjelaskan masalah negara.
Surat awal Alquran (al-Fatihah) dan surat terakhirnya (an-Nas),
selain dijadikan konsep dasar trilogi akidah, juga dijadikan landasan
global tentang berdirinya sebuah negara Islam.

Karenanya, bagi para pengikut NII, seluruh isi Alquran yang
diimplementasikan dalam laku hidup bernegara harus bisa dirujuk
pada konsep di atas.

Surat al-Fatihah ayat 2, 4, dan 5 dijadikan pokok akidah. Demikian
halnya ayat 1, 2, dan 3 surat an-Nas. Ayat-ayat ini ditafsiri sebagai
definisi al-din atau negara. Penjabarannya:
Al-Fatihah
Al-Nas
(2) Rabb al-‘alamin
(1) Rabb al-nas
(4) Malik yaum al-din
(2) Malik al-nas
(5) Iyyaka Na’bud
(3) Ilah al-nas

Ayat-ayat di atas sepadan, dan kesepadanan ini mereka indikasikan
sebagai trilogi tauhid. Kata Rabb dimaknai rububiyah, Malik berarti
mulkiyah, dan Ilah/ ibadah berarti uluhiyah.

Trilogi akidah ini ditafsiri sesuai obsesi NII tentang berdirinya
negara Islam di Indonesia. Yang dimaksud rububiyah, dengan
demikian, adalah undang-undang (hukum Islam), mulkiyah adalah
tempat berlakunya undang-undang (negara Islam), dan uluhiyah
sebagai warga negara (umat Islam warga NII).

Oleh karena itu, menurut mereka, negara adalah wadah berikut
tempat pelaksanaan ibadah secara sempurna (kaffah). Sah- tidaknya
ibadah bergantung pada sarana (tempat) dilakukannya ibadah, yakni
negara. Karena itu, pembentukan NII merupakan suatu keharusan yang
tidak boleh ditawar-tawar lagi.

***

DENGAN PELBAGAI cara, penggalian dana intensif dilakukan para
anggota KWIX. Dalam pencarian dana perjuangan ini para anggota
dihalalkan merampas (fai’) harta orang kafir.Yang disebut kafir di sini
adalah mereka yang bukan anggota NII.

Dalam doktrin NII ditegaskan bahwa negara mereka adalah
representasi masyarakat Madinah yang dibangun Muhammad SAW.
Sementara, Republik Indonesia mereka identifikasi sebagai negara
Mekkah yang penuh kemusyrikan dan kesesatan di bawah
pemerintahan kafir Quraisy.

Tak ada solusi lain bagi warga RI yang ingin selamat dunia akhirat,
kecuali bila mereka mau hijrah, pindah dari kewarganegaraan RI
menjadi warga negara NII. Nah!

Pemerintahan RI dipersepsikan sebagai pemerintahan thaghut
karena sistem pemerintahannya tak Islami dan tak didasarkan pada
hukum Islam. Sesuatu yang sejak awal tak disukai sang pendiri,
Kartosoewirjo.

Bahkan, dalam catatan materi tilawah NII, warga RI dikategorikan
orang-orang non-Muslim atau kafir. Golongan yang hartanya halal
untuk dirampas.

Untuk akumulasi dana semacam ini pula Lia mesti banting tulang
memenuhi target-target yang sudah ditentukan. Lia dan ribuan
mahasiswa lainnya di Jabotabek yang terjebak dalam gerakan ini
berjuang mati-matian memberikan sumbangan.

Awalnya Lia tak tahu kalau itu NII. Sama seperti Neni, ia ikut tertarik
pada tawaran konsep yang menurutnya mencerahkan. Konsep yang
saat itu memberinya jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaannya
seputar agama yang ia yakini.

Satu bulan dua bulan Lia merasa nyaman berada di lingkungan yang
kritis dan membebaskan itu. Ia merasa terbebaskan dari cara beragama
dogmatik yang ia terima di keluarganya. Tapi, sesudah itu, komunitas
yang dibanggakannya itu membuatnya kian terperosok dalam
dogmatisme.

Kecurigaan Lia mulai timbul. Dari pertanyaan-pertanyaaan yang ia
ajukan, ahirnya terjawab sudah ganjalan hatinya. Seorang seniornya
dengan tegas menyebut bahwa NII adalah turunan DI/ TII. Lia kaget,
tak percaya dan merasa dihianati niat tulusnya.

“Saya baru tahu ketika sudah beberapa bulan mengikuti kajian ini,
itu pun mereka tidak secara gamblang menyebutkannya, paling
menyebutkan bahwa pusat dari semua ini adalah Pesantren Alzaytun di
Indramayu, Jawa Barat.”

Begitu Lia tahu dan sadar bahwa organisasi yang diikutinya itu NII,
tak ada pilihan lain, ia telah dianggap sudah masuk dalam sebuah
sistem negara. Dan ketika masuk sebuah negara, sebagai warganya,
merupakan kewajiban baginya untuk meyumbang,” kata Lia kepada
MaJEMUK awal September silam.

Saat menyetor sumbangan pertama kali, ia setor 300.000. Uang ia
rencanakan untuk membeli kamera. Demi loyalitasnya untuk
perjuangan, Lia lebih memilih menunda membeli kamera. Selain itu, ia
juga dituntut untuk memenuhi target dana perjuangan. Ia ikhlas.

“Waktu menyetorkan uang, aku bukan karena didorong oleh balasan
surga atau takut neraka, namun karena aku didorong oleh sebuah
keyakinan akan lahirnya sesuatu yang bakal mengubah keadaan,” tutur
Lia kepada MaJEMUK.

Banyak mahasiswa-mahasiswi yang senasib dengan Lia bahkan kerap
menangguhkan uang kuliah untuk memenuhi target. Banyak pula di
antara mereka rela hutang sana-sini, selain sesekali merampas hak
milik orang, demi memenuhi taget akumulasi dana perjuangan.
“Saya sampai pontang-panting untuk memenuhi target. Tiap hari
harus ada pemasukan untuk dana perjuangan. Karena saya

koordinator, saya yang ditanya terus. Targetnya per hari Mas. Kalau
untuk pribadi, minimal harus setor 20.000 setiap hari, kalau bisa lebih.
Pola demikian masih berlaku sampai sekarang.”

Seperti dialami Neni, Lia pun memutuskan keluar karena merasa
tersiksa. Lia merasa tersiksa karena—sebagai kordinator—ia
berkewajiban memenuhi target kas organisasi. Ia malu karena kerap
ngutang sana-sini untuk memenuhi target.

Kini, bahkan pola ideologisasi mereka sudah melalui cara
pernikahan. Para anggota saling dijodohkan. “Karena orang semakin
banyak, jadi nanti rekrutmennya lewat pernikahan seperti itu. Aku tahu
perkembangan terakhir seperti itu,” kata Lia.

***

SUDAH BANYAK kasus seperti Lia dan Neni terungkap di sejumlah
tempat. Namun, para pelaku di balik praktik menyesatkan dan
merusak generasi muda ini belum pernah ditindak oleh aparat.

Kasus ini hanya menjadi desas-desus yang seakan tak pernah nyata.
Banyak fakta mengungkapkan bahwa organisasi yang menyebut dirinya
NII ini telah memakan korban tak terkira.

Belum lama ini, misalnya, ketua FUUI di Bandung Athian Ali, yang
pernah memfatwa mati Ulil Abshar-Abdalla, melaporkan gerakan ini
kepada Polda setempat.

Dalam berkas laporannya Athian menyebut NII KWIX sebagai
gerakan sesat dan meresahkan karena banyak anggota masyarakat telah
menjadi korban gerakan ini. Gerakan ini, menurut Athian, telah banyak
meyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Athian memberikan data-data yang dapat dijadikan bukti kesesatan
gerakan ini. Dari bukti-bukti yang dimiliki, ia meminta Kapolda untuk
menindak atau membubarkan NII KWIX. Namun, hingga kini, laporan
Athian berhenti tanpa alasan yang jelas. Ini hanya satu contoh dari
deretan peristiwa serupa yang dialami oleh banyak orang.

Walhasil, organisasi yang telah banyak menebar mudarat di kalangan
muda ini kian leluasa menebar jala. “Negara” dalam negara itu masih
terus menumpuk pundi-pundi. Kita pun tak dapat berbuat banyak
untuk membendungnya, hanya bisa menduga-duga, siapakah gerangan
orang-orang di balik organisasi ini.[]

*Mantan Redaktur Eksekutif MaJEMUK; selain menulis biografi sejumlah tokoh,
kini bekerja sebagai editor untuk sebuah penerbitan di Jakarta.
Tulisan ini dimuat di majalah MaJEMUK tahun 2006.
Selengkapnya...

ANATARA HAM DAN JAMINAN KESEJAHTERAAN

Oleh: Anom Bagas Prasetyo

DALAM rapat kerja Mahkamah Agung yang berlangsung di Bali, September tahun lalu, muncul rekomendasi tentang jaminan kesejahteraan bagi perempuan WNI yang dinikahi pria asing. Dalam rekomendasi itu, pria WNA yang berniat menikahi perempuan WNI harus membayar Rp 500 juta sebagai uang jaminan kesejahteraan. Jika pria yang bersangkutan tak mampu menyediakan uang jaminan tersebut, maka ia tak diperbolehkan menikahi perempuan Indonesia.

Ide uang jaminan itu dilontarkan oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama, Andi Syamsu Alam, dalam rapat kerja tersebut. Jika kebijakan tersebut diberlakukan, dengan persetujuan pemerintah dan DPR, maka pria WNA yang berniat menikahi perempuan WNI tak hanya cukup menyediakan emas kawin belaka. Seorang pria asing wajib menyimpan uang jaminan sebesar Rp 500 juta yang didepositokan di bank pemerintah.

Menurut Andi, ide itu mengadopsi dari Mesir yang telah memberlakukan peraturan tersebut sejak 30 tahun terakhir. Di Mesir, sebelum pria asing menyunting perempuan Mesir, ia diwajibkan menyimpan uang jaminan sebesar 25 ribu pound (sekitar Rp 500 juta) yang disimpan di Bank Nasser. Uang itu kelak akan diberikan kepada sang istri apabila ia diceraikan suaminya atau ditinggal sang suami dengan begitu saja.

Kebijakan tersebut diberlakukan karena dulu banyak wanita Mesir yang ditelantarkan setelah dinikahi pria asing yang kebanyakan berasal dari Kuwait, Irak, atau Iran. Aturan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi perempuan Mesir dari laki-laki asing yang tak bertanggung jawab. Selain itu, aturan tersebut merupakan cermin pembelaan martabat kaum hawa yang sering menjadi korban ketidakadilan relasi suami-istri.

Memang, di antara alasan munculnya gagasan di atas adalah bahwa selama ini tidak ada jaminan ekonomi apa pun bagi perempuan WNI yang dinikahi pria WNA. Apalagi, yang status pernikahannya kontrak, siri, atau mut'ah. Para pria WNA yang bekerja pada suatu proyek, misalnya, menikahi perempuan WNI sepanjang ia bekerja di proyek itu. Begitu proyek itu berakhir, pria WNA tersebut kembali ke negerinya. Sehingga, sebagai istri yang berhak atas nafkah suaminya, perempuan Indonesia banyak dirugikan dan diabaikan hak-haknya.

Faktor Ekonomi

Harus diakui, masalah ekonomi merupakan kesulitan paling nyata yang sering dialami para perempuan yang bernasib seperti itu. Seperti kita tahu, di Indonesia fenomena nikah campur makin marak belakangan ini.

Dari situ, tak sedikit perempuan WNI telah menjadi korban. Kebanyakan suaminya tak lagi memberi nafkah setelah kembali ke luar negeri. Hal ini tentu makin memperparah permasalahan sosial, di tengah tingginya angka pengangguran dan rendahnya daya beli masyarakat Indo- nesia.

Fakta yang tak bisa dimungkiri lagi, bahwa mereka yang sering menjadi korban adalah perempuan kalangan menengah ke bawah. Meski demikian, banyak pula kalangan perempuan mapan yang menjadi korban.

Dalam hal pernikahan campur yang terjadi pada kalangan selebritis kita, barangkali tak terlalu menjadi masalah. Sebab, jika mereka ditinggal suami tanpa diberi nafkah, mereka sudah cukup mandiri secara ekonomi. Lagi pula, untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari pun, mereka sudah berkecukupan, lebih dari orang Indonesia pada umumnya. Namun, keduanya tetaplah korban yang berhak memperoleh perlindungan dan pembelaan dari negara.

Belum adanya kebijakan pemerintah yang memberikan jaminan ekonomi kepada perempuan WNI yang dinikahi pria WNA, membuat gagasan ini mengundang simpati banyak pihak. Gagasan ini dinilai melindungi kepentingan perempuan. Namun, tak urung, gagasan tersebut juga menuai pro dan kontra.

Di satu pihak, sebagian masyarakat menyebut bahwa gagasan itu merupakan bentuk tanggung jawab negara melindungi warganya. Banyaknya perempuan Indonesia yang menjadi korban pernikahan campur adalah indikasi kuat adanya pelecehan terhadap perempuan maupun institusi perkawinan di Indonesia oleh para pria asing.

Bila gagasan ini pada akhirnya berhasil dijadikan sebuah kebijakan, maka warga asing yang ingin menikah dengan perempuan Indonesia berpikir seratus kali jika dia ingin bermain-main dalam ikatan perkawinan.

Di lain pihak, banyak yang berpendapat, gagasan ini justru potensial melanggar HAM. Direktur LBH APIK, Ratna Batara Munti, berpendapat bahwa gagasan kewajiban menyimpan deposito Rp 500 juta itu berangkat dari logika yang salah. Lagi pula, tak semua orang asing mampu menyediakan uang jaminan sebesar itu.

Kalau ini diterapkan, kata Ratna, bakal menghambat mereka yang ingin menikah. Bahkan, ada yang menilai ide semacam itu sama halnya menjual perempuan.

Hal senada disampaikan Ketua Solidaritas Perempuan, Salma Safitri. Menurut dia, ada dua masalah yang dihadapi perempuan Indonesia dalam masalah kawin campur.

Pertama, tentang hak kewarganegaraan anaknya. Kedua, perlunya kemudahan untuk mensponsori suaminya jika ingin tinggal di Indonesia. Soal kewarganegaraan anak, misalnya, menurut Salma, selama ini selalu ikut kepada sang bapak. Seharusnya, kata dia, anak bisa diberi peluang untuk memiliki kewarganegaraan ganda sampai umur 18 tahun, sebelum akhirnya dia bisa memutuskan kewarganegaraannya.

Pihak yang kontra, juga menolak jika gagasan itu disebut-sebut untuk melindungi perempuan. Menurut mereka, penelantaran semacam ini tak hanya terjadi dalam kasus nikah campur. Penelantaran semacam ini juga dialami dalam perkawinan sesama orang Indonesia. Persoalannya, bagi mereka, selama ini pengadilan agama kurang mengimplementasikan secara maksimal hukum yang mewajibkan suami memberikan pesangon hidup istri yang diceraikan.

Kesepakatan

Hingga kini, pro-kontra tersebut masih terus berlanjut. Hal ini, saya kira, terutama mengenai jumlah uang jaminan yang dinilai masih terlampau besar untuk ukuran Indonesia. Sehingga, akan menghalangi pria asing yang berniat menikahi perempuan Indonesia. Mengapa harus Rp 500 juta, persis seperti yang berlaku di Mesir?

Akan lebih baik bila jumlah jaminan itu ditentukan oleh kesepakatan kedua pihak yang berniat untuk melangsungkan pernikahan karena dilandasi cinta dan kasih sayang. Karena, tidak semua pria asing memiliki kemampuan finansial sebesar itu.

Lagi pula, kalau alasannya untuk melindungi perempuan, bukankah ketentuan dalam undang-undang perkawinan sudah cukup? Persoalannya, bagaimana implementasi undang-undang tersebut di lapangan.

Harus diakui, banyak sekali materi hukum dalam undang-undang perdata kita yang menunjukkan pemihakan dan perlindungan pada warga negara. Namun, karena lemah pada tingkat implementasi, sehingga sering muncul kesan undang-undang kita kurang melindungi warga negara, dan seterusnya.

Sementara itu, kekhawatiran akan timbulnya korban nikah campur berikutnya, saya kira, tak perlu dibesar-besarkan. Penelantaran istri tak hanya dilakukan pria asing. Pernikahan sesama orang Indonesia juga banyak diwarnai kejadian semacam ini. Untuk itu, dalam undang-undang perkawinan kita, perlu dimasukkan ketentuan-ketentuan baru mengenai jaminan kesejahteraan bagi perempuan.

Selain itu, RUU Kewarganegaraan seharusnya memberikan kemudahan bagi keluarga pernikahan campur, yang karena negara asingnya tidak memperbolehkan kewarganegaraan ganda, untuk dapat tetap tinggal di Indonesia dengan menjadi penduduk tetap sehingga memungkinkan mereka dapat hidup di Indonesia dengan wajar.

Karena itu, sudah seharusnya pihak pemerintah, Mahkamah Agung, dan DPR segera menuntaskan masalah ini sebelum berlarut-larut. Kalau pun gagasan di atas nanti jadi diundangkan, hendaknya aspek maslahat bagi semua pihak menjadi pertimbangan utamanya. Artinya, hukum benar-benar dibuat untuk mencapai keadilan, memenuhi hak-hak asasi manusia, dan demi mencapai kesejahteraan umat manusia. *

Penulis adalah Peneliti Lembaga Pengkajian Islam dan Sosial (LPIS) Jakarta
Sumber: Tempo Interactive, 15 Februari 2006
Selengkapnya...

KELABU; MILIK SIAPAKAH?

Oleh : Ahmad Maalij Jamilun
Sering kita mendapati diri kita dalam suasana kelabu
kelabu yang dimaknai sebagai suasana buram, gelap, dan tak menyenangkan
saat mengalaminya kita sering berucap;
"Wah sore yang kelabu..."
"Ih....sebbel!! hari yang kelabu menimpaku!"
"kenapa hari ini begitu kelabu buatku..."
Tapi pernahkah kita minta izin terlebih dahulu sebelum memakai nama-nama waktu?
pernahkan kita bertanya;
"Hai sore hari, bolehkah aku pakai namamu? aku lagi marah nih!"
"Hai pagi, siang dan malam hari, bolehkah aku sebut namamu?aku lagi jutek nih!"
Pernahkah kita mendengar jawaban apalagi izin dari waktu?
barangkali kita belum pernah mendengarnya
Kenapa?
karena kita belum cukup pandai untuk mendengarkan Sang Waktu berbicara dan berbisik kepada kita, juga karena kita lebih banyak "berbicaranya" daripada "mendengarkan"
Kita lebih pandai kalau "berbicara" dan meminta, meminta, dan selalu meminta
Tapi..., untuk "mendengarkan"...? sberapa sering..?
Mungkin kalau kita bisa mendengar apa yang dibicarakan waktu;
"Hei..,enak sekali kamu libatkan diriku dalam kegundahan dan kegelisahanmu!"
"Memang aku terlihat netral sih...bisa kamu gelari dengan sesuatu yang baik atau sesuatu yang tidak baik, tapi kamu tahu artinya penggelaran itu kepadaku?"
"Artinya adalah dirimu sudah bersikap tidak fair dan munafik!"
"Bukankah dirimu yang sedang gundah, sedih dan kelabu...?"
"Lalu kenapa kamu menimpakan hal itu kepadaku?"
"jangan biasakan menafikan masalahmu! jangan berusaha mencari kambing hitam! dan jangan lari dari masalahmu!"
"Kapan kamu bisa mengenali dirimu jika seperti itu...?"

Wah... ternyata seharusnya diri kita yang perlu mendapat gelar "kelabu", bukannya waktu.
Lalu siapakah sejatinya waktu? Iakah Sang Waktu itu? Iakah Sang Maha Hidup? Iakah Sang Maha Tunggal?
Ohh..subhanallah...!
Apa yang sudah kuperbuat terhadap Sang Waktu?
Kenapa aku selalu culas bahkan terhadap Sang Pemberi hidup?
Maafkan makhlukMu ini...
segala gundah gelana dan kelabu adalah dari kami
dan segala yang datang dariMu dan berkenaan denganMu adalah kebaikan.
Selengkapnya...

Kamis, 06 Agustus 2009

KECERDASAN QALBIAH

Kecerdasan Qalbiah
Oleh: Ali Rif'an

''Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila iabaik, seluruh tubuh menjadi baik. Tapi, bila rusak, semua tubuh
menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu.'' (HR Al-Bukhari
dari Nu'man ibn Basyir).

Kalbu merupakan materi organik (al'adhuw ai'mady) yang memiliki sistem
kognisi (jibaz idraky ma'ripiy) dan mengandung emosi (al-syu'ur).
Al-Ghazali mendefinisikan kalbu menjadi dua.
Pertama, kalbu jasmani, yaitu daging sanubari yang terletak di dada
sebelah kiri atau disebut jantung (heart). Kedua, kalbu rohani, yaitu
sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ryhani.

Kalbu jasmani berfungsi mengatur peredaran darah serta segala
perangkat tubuh manusia. Sementara, kalbu rohani berperan sebagai
pemandu dan pengendali struktur jiwa (nafs). Bila kedua kalbu ini
berfungsi normal dan baik, kehidupan manusia akan baik dan berjalan
sesuai fitrahnya.

Lantas, bagaimana kecerdasan qalbiah itu bisa hadir? Kecerdasan
qalbiah akan hadir tatkala seseorang berperilaku qalbiah, yaitu
senantiasa merasakan kehadiran Allah SWT dalam setiap tindakan, kapan
pun dan di mana pun. Perilaku qalbiah akan timbul manakala kita selalu
mengingat Allah (zikrullah).
''Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.'' (QS Al-Ahzab [33]: 41).

Seseorang yang selalu mengingat-Nya, hatinya akan merasa tenang dan
tenteram meski diimpit segala macam persoalan. ''(Yaitu) orang-orang
yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.''
(QS Arra'd [13]: 28).

Orang yang senantiasa berzikir juga akan selalu diingat Allah SWT.
''Ingatlah kalian kepada-Ku, maka Aku akan mengingat kalian.'' (QS
Albaqarah [2]: 150).

Bila seseorang telah diingat Allah SWT, hatinya akan bersih dan selalu
dijaga dari perbuatan keji dan mungkar. Di sinilah, pengelolaan dan
pemeliharaan kalbu dan perilaku qalbiah yang termanifestasi dalam
bentuk zikir, akan membawa manusia pada kecerdasan qalbiah. Sehingga,
dengan mudah menyerap segala bentuk kebenaran yang datang dari Allah
SWT.

Kecerdasan qalbiah ini akan pula menjadi pengendali dan pemegang
komando terhadap setiap perilaku manusia yang terdiri atas empat
sifat. Seperti, sifat bahimiah (syahwat), sabu'iyyah (amarah),
syaitiniyah (hasud, dengki, dan iri hati), dan rabbaniyah (unsur sifat
Ilahi).

(Tulisan ini telah dimuat di kolom hikmah Republika, Selasa 09 Juni 2009
Selengkapnya...

Minggu, 02 Agustus 2009

BENARKAH ORANG BAIK BELUM TENTU MASUK SURGA

Oleh: Ahmad Fahruri

Apakah Bunda Theresa yang sepanjang usianya dibaktikan untuk umat miskin India harus masuk neraka? Apakah Paus Paulus II yang pernah menjamu calon pembunuhnya dengan baik hingga si calon pembunuhpun membatalkan rencana pembunuhan tersebut juga tak pantas masuk surga? Apakah Mahatma Gandi yang secara lembut, sabar dan selalu menggunakan jalan damai untuk membela kemerdekaan rakyat India juga harus masuk neraka? Bagaimana juga dengan sebagian dari milyaran umat manusia non Islam yang baik hati, apakah mereka harus masuk neraka dibanding sebagian dari milyaran umat Islam tapi buruk perilakunya?

Apakah Akhlak Menentukan Seseorang Masuk Surga atau Tidak? Ada satu jawaban yang singkat, jelas dan tegas untuk pertanyaan tersebut yaitu, “kalau memang akhlak dijadikan patokan oleh Tuhan untuk menentukan pantas tidaknya seseorang masuk surga, maka agama tidak diperlukan lagi di muka bumi ini”

Kalau memang akhlak kriteria utama menentukan masuk surga atau tidaknya seseorang, maka untuk apa lagi agama, karena tanpa agama saja orang bisa berbuat baik. Di negeri atheis seperti di Rusia, China, atau di negeri sekuler seperti Eropa dan Amerika, ditemukan banyak orang yang tak beragama tapi memiliki akhlak yang luar biasa baiknya.

Tidak usah jauh-jauh, pasti kita sering menemukan diantara teman atau tetangga kita akhlaknya sangat baik, ia mengaku punya agama tapi tak pernah sholat atau ke gereja, tapi nyatanya akhlaknya lebih baik dari umat Islam yang rajin beribadah.

Sifat baik adalah fitrah yang diberikan Allah sejak kita didalam kandungan. Fitrah (sifat-sifat baik) adalah kecenderungan manusia untuk berbuat kebaikan, seperti halnya binatang buas diberi Allah kecenderungan untuk bersifat buas, mereka akan tetap buas walaupun manusia berusaha menjinakkannya. Hawa nafsu dan pilihan manusia sendiri yang membuat seorang manusia menjadi jahat dan berperilaku buruk.

Dalam sebuah hadits qudsi Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba- Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya. Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan yang menyebabkan mereka tersesat dari agama mereka” (HR Muslim).

Allah menganugerahi manusia kesempatan untuk memilih yang baik atau yang buruk sesuai firman Allah: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS, Al-Balad 90 : 10).

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada
pula yang kafir.” (QS, Al-Insaan 76 : 3).

Kemudian setan berusaha mengaburkan jalan yang benar sehingga jalan yang baik oleh manusia dikira sesat, dan jalan yang sesat dikira benar. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat Al Baqarah 2 : 216): “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Namun tujuan tulisan ini sama sekali bukan untuk menyatakan bahwa akhlak yang baik tidak penting, atau menjadi muslim yang berperilaku buruk lebih baik daripada non-Islam yang baik hati. Tujuan tulian ini agar kita menyadari bahwa Tuhan tidak menuntut dari manusia sekedar akhlak yang baik, tapi juga ada hal lain yang lebih utama dibanding akhlak.

Bahkan Akhlak Seorang Muslim Yang Baik Sekalipun Tidak Cukup Untuk Membuatnya Masuk Surga.

Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu: "Kenapa pundakmu itu?" Jawab anak muda itu : "Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya".

Lalu anak muda itu bertanya: "Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua?"

Nabi SAW sangat terharu mendengarnya, sambil memeluk anak muda itu ia berkata : "Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan oleh pengorbanan dan kebaikanmu".

Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita terhadap anaknya. Kita merasa sudah cukup, tapi dalam perhitungan Allah nilai jasa kedua orang tua pada anaknya jauh lebih besar nilainya dari yang dibayangkan manusia. Pasti ada sesuatu perbuatan lain yang harus kita lakukan untuk memperbanyak balas budi kita pada kedua orang tua kita. Diantaranya dengan cara menjadi anak yang sholeh dan selalu mendoakan kedua orangtua kita.

Untuk membalas budi kedua orang tua saja kita tidak akan pernah sanggup, apalagi membalas kebaikan Tuhan yang mengkaruniakan kita fitrah kasih sayang pada kedua orang tua kita, yang mengkaruniakan kita mata yang mampu melihat, telinga yang mampu mendengar, lidah yang mampu merasakan kelezatan makanan, yang telah mengkaruniakan kita udara secara gratis.

Ada perspektif yang sama antara hadits tersebut barusan dengan hadits berikut ini. Rasulullah SAW pernah berkata, “Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”.

Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh sayapun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?” . Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”. Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah.

Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah. Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.

Apa makna dari kedua hadits tersebut diatas ? Yaitu bahwa perbuatan baik (akhlak) dan ibadah kita ternyata tidak mampu untuk mendapatkan tiket ke surga. Hanya karena rahmat-Nya lah kita bisa ke surga. Akhlak dan amal ibadah juga tidak cukup menjamin kita terbebas dari api neraka, hanya ampunan-Nya lah yang bisa membuat kita terbebas dari api neraka. Karena itu kita diminta banyak memohon rahmat dan ampunan Allah.

Pertanyaan berikutnya (dikaitkan dengan judul tulisan ini) adalah apa syaratnya agar doa kita untuk memohon rahmat dan memohon ampunan Allah bisa diterima?
Tidak semua orang diberi rahmat surga, dan tidak semua orang diberi ampunan dari ancaman neraka. Karena itu Allah menentukan syarat utamanya adalah beriman kepada-Nya dan rasul-Nya (melalui syahadat). Ia harus memiliki aqidah yang benar, memahami siapa Tuhan yang disembahnya dengan benar, apa yang dimaui-Nya, bagaimana cara mencintai-Nya. Inilah syarat utama agar permohonan rahmat dan ampunan kita bisa diterima.

Apakah Benar Anggapan Bahwa Sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang Akan Membuat Allah Tidak Mungkin (Tega) Menghukum Orang Yang Baik Hati ?

Di akhirat kelak orang yang tidak beriman kepada Allah akan membawa amal kebaikannya ke hadapan Allah, tapi kemudian Allah tidak menerimanya, seperti tersebut dalam Al Qur’an surat Al Furqan ayat 23, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”.

Ibarat seorang pembantu yang bekerja keras pada majikannya, setiap hari ia bangun pagi membersihkan rumah, mencuci pakaian, menyapu halaman, menjaga keselamatan anak majikan selama majikan bekerja diluar. Namun sang pembantu yang rajin ini ternyata tidak sopan dalam kata dan perilaku, Sang pembantu tidak mau berusaha memperbaiki sikapnya ini pada atasannya, karena ia mempunyai pendapat sendiri tak mungkin majikan akan memecatnya karena ia sudah bekerja sangat keras dan merawat anak-anak majikannya dengan baik. Ia tidak juga berusaha mencari tahu apa yang diinginkan sang majikan.

Padahal jelas sang majikan sudah menulis tatatertib dan uraian kerja pembantu rumah tangga, diantaranya disebutkan bahwa kesopanan adalah syarat terpenting bekerja di rumah majikan tersebut. Bahkan terkadang ia sombong dan keras hati serta menyimpulkan sendiri bahwa sebagai orang yang berintelektual tinggi seharusnya majikannya bisa menerima kekurangan sang pembantu.

Iapun kaget ketika di akhir bulan, sang majikan memecatnya dengan alasan tidak sopan. Ia protes tapi majikannya punya hak.

Analogi sederhana ini, menyiratkan bahwa agar doa, ampunan, amal dan ibadah kita bisa diterima Allah hendaknya kita mengenal Allah secara baik, melalui perenungan dan makrifatullah. Kitapun sebagai hamba Allah perlu mencari tahu apa sebenarnya syarat utama yang diinginkan Allah agar segala amal ibadah dan akhlak baik kita diterima Allah. Tidak susah mengenal Allah karena karya-Nya ada disekeliling kita, yaitu alam semesta ini, bahkan Ia telah memperkenalkan diri-Nya pada manusia melalui kitab-kitab suci dan ajaran nabi-Nya.

Dengan mengenal allah secara baik kita akan tahu bahwa Allah sangatlah penyayang, demikian sabar dengan kelemahan manusia, terlalu banyak kesalahan kita yang dimaafkan-Nya, bahkan kita akan tahu bahwa terlalu berlebihan kalau keimanan, amal ibadah dan kebaikan kita dibalas dengan surga yang luar biasa nikmatnya.

Dengan hati yang bersih dan ilmu yang cukup juga akan memudahkan kita memahami mengapa Allah mengancam orang-orang tidak beriman dan yang buruk akhlaknya dengan neraka.

Memahami Allah dengan menggunakan kemampuan akal manusia adalah sia-sia, karena hakikat sifat-sifat Allah tidak dicerna oleh akal manusia, tapi oleh hati manusia. Hati manusia akan membantu kita memahami Allah, karena didalam hati bersemayam fitrah manusia yang salah satunya memiliki sifat-sifat cinta kepada Allah. Hatipun perlu dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran (sifat sombong, dengki, kikir, dsbnya) agar fitrah manusia bisa diaktifkan untuk memahami sifat-sifat Allah dengan baik.

Tanpa Mengenal Sifat Allah Dengan Baik Maka Sia-sialah Akhlak Baik, Amal dan Ibadah Kita Melalui pengenalan yang baik terhadap Allah melalui cara-cara yang diatur dalam Qur’an dan hadits, akan kita temukan bahwa Allah mensyaratkan aqidah Islam yang benar sebelum segala amal ibadahnya diterima.

Aqidah adalah hal yang pokok yang membedakan Islam dengan agama lainnya. Aqidah adalah fondasi bangunan seorang umat Muslim, sedang ibadah (syariah) adalah dinding bangunan seorang Muslim, lalu akhlak adalah atapnya. Tanpa fondasi maka ia pun tidak bisa mendirikan bangunan diri seorang Muslim, tanpa aqidah yang benar dan lurus iapun tidak pantas disebut seorang Muslim. Tanpa ibadah yang sesuai syariah Islam, iapun belum sempurna untuk dikatakan sebagai sebuah bangunan yang bernama Muslim. Demikian pula, tanpa Atap yang bernama akhlak, bangunan yang bernama Muslim ini belum utuh dan akan mudah rusak oleh hujan dan panas.

Muslim yang baik wajib memiliki ketiga syarat ini (aqidah, ibadah dan akhlak) secara lengkap, tidak kurang satupun, dan harus sempurna. Bila aqidahnya salah, maka kekal lah ia di neraka, bila ibadah dan akhlak buruk maka ia ‘mungkin’ masih berpeluang masuk surga setelah di’cuci’ dulu di neraka. Semoga kita tidak termasuk sebagai orang yang di’cuci’ dulu, apalagi kekal, di neraka.

Mumpung kita masih hidup di dunia ini, semoga kita diberi ilmu oleh Allah SWT mengenai kedahsyatan akhirat dan neraka, supaya kita tidak menggampangkan diri untuk menganggap bahwa di’cuci’ di neraka adalah bukan masalah besar. Tidak untuk sedetikpun ! Naudzu billah min dzalik.

Aqidah adalah apa yang diyakini seseorang, bebas dari keraguan. Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya. Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Aqidah Islam merupakan syarat pokok menjadi seorang mukmin, dan merupakan syarat sahnya semua amal kita. Untuk memperoleh aqidah yang lurus kita perlu mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah dan apa-apa yang disukai dan dibenci Allah. Tanpa aqidah yang lurus maka amal ibadah kita tidak diterima-Nya. Salah satu hal yang paling dibenci Allah SWT adalah syirik, yaitu mensejajarkan diri-Nya dengan makhluk atau benda ciptaan-Nya.

Allah berfirman, “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang yang merugi” (QS, Az-Zumar: 65).

Aqidah adalah tauqifiyah, artinya tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, dan tidak ada medan ijtihad atau berpendapat didalamnya.

Sumbernya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab tidak ada yang lebih mengetahui tentang sifat-sifat Allah selain Allah sendiri. Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah SWT dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan ta’at kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-Malaikat- Nya, Rasul-Rasul- Nya, Kitab-Kitab- Nya, hari akhir, taqdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang sudah shahih tentang Prinsip-Prinsip Agama (Ushuluddin) , perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut al-Qur-an dan as-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.

Begitu pentingnya aqidah dalam Islam, sehingga pelurusan aqidah adalah dakwah yang pertama-tama dilakukan para rasul Allah, setelah itu baru mereka mengajarkan perintah agama (syariat) yang lain.

Didalam Al Qur’an, surat Al-A’raf ayat 59, 65, 73 dan 85, tertulis beberapa kali ajakan para nabi, “Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan selain-Nya”. Dengan demikian ilmu Tauhid sebagai ilmu yang menjelaskan aqidah yang lurus, merupakan ilmu pokok yang harus dipahami sebaik mungkin oleh setiap umat Islam yang ingin memperdalam ilmu agamanya. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan terbenam dalam keraguan dan berbagai prasangka, yang lama kelamaan akan menutup pandangannya dan menjauhkannya dari jalan hidup kebahagiaan. Tanpa aqidah yang lurus seseorang akan mudah dipengaruhi dan dibuat ragu oleh berbagai informasi yang menyesatkan keimanan kita.
Selengkapnya...

Rabu, 15 Juli 2009

GOOGLE, FACEBOOK, DAN ANCAMAN TERHADAP GURU

Google, Facebook, dan
Ancaman terhadap Guru
Oleh Ali Rif'an


Pada era teknologi informasi (TI) seperti sekarang ini, ilmu pengetahuan yang menjadi pilar utama bagi penyempurnaan hidup manusia di muka bumi akan cenderung mengalami perkembangan. Hal ini ditandai dengan maraknya revolusi teknologi, ekonomi, gaya hidup, pola pikir, dan sistem rujukan masyarakat yang ada, sehingga kontrol pada materi, ruang, dan waktu pun mengalami pergeseran. Pada titik inilah guru sebagai motor penggerak bagi siswa akan menghadapi tantangan sekaligus ancaman.

Guru, sebagaimana kerap disebut sebagai penentu kemajuan bangsa, pahlawan tanpa tanda jasa, dan pejuang yang tak pernah lelah, kini mulai menuai tantangan. Peran guru akan mulai tergeser seiring maraknya teknologi canggih seperti Google, Yahoo-Messenger, Friendster, Plurk, Tagget, Multiply, E-learning, ataupun jaringan sosial seperti Facebook.

Mesin pencari Google, misalnya, mampu memfasilitasi pencarian ilmu dengan sangat cepat dan praktis. Google yang diciptakan oleh Larry Page dan Sergey Brin pada tahun 1995 mampu membalikkan sekat keterbatasan informasi. Para siswa dapat menggali informasi apa saja dari seluruh belahan dunia tanpa harus bercapek-capek ria. Cukup duduk manis, klik, dalam hitungan detik akan muncul sesuatu yang diinginkan.

Begitu juga Facebook. Jaringan sosial yang sedang marak digandrungi masyarakat ini cukup memiliki pengaruh besar dalam menggeser peran guru sebagai seorang pendidik. Untuk sekarang ini, menurut beberapa survei, Facebook merupakan jaringan sosial online nomor satu di internet yang paling sering dikunjungi. Bahkan beberapa stasiun televisi seperti MetroTV, SCTV, dan RCTI memanfaatkan Facebook sebagai feedback (tanggapan, saran, dan kritik) dari pemirsa setianya.

Tak hanya itu, para artis, pejabat, anggota DPR, pelajar, mahasiswa, dosen, praktisi, dan capres-cawapres pun aktif menggunakan jaringan sosial ini. Artinya, seorang siswa ketika menggunakan layanan ini akan mendapatkan banyak pengetahuan dari luar. Siswa pun akan dengan mudah bergaul, berkonsultasi, dan menggali relasi kepada siapa saja lewat layanan catting yang tersedia.

Itulah sebabnya, di sini, jika guru tidak memiliki daya peka dan tanggap terhadap perubahan sosial dan teknologi yang ada, lama-lama ia akan ditinggalkan muridnya.

Sejauh ini, aksi guru jika diamati masih banyak terjebak pada otoritas struktural-birokratis. Daya kreasi dan inovasi seorang guru masih terkesan "terkurung dan terkandangi", sehingga yang terjadi adalah guru cenderung melakukan sebuah aksi pendidikan jika mendapat stimulus dari atasan saja. Kenyatan ini tentu bisa dilihat dari banyaknya sistem pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih sering berkutat pada apa-apa yang tengah dicetuskan oleh pemerintah, di mana ketika guru mengajar hanya terpaku pada target kurikulum yang kaku dan mekanistis. Selain itu, juga masih banyak didapati guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidangnya serta gagap teknologi (gaptek) dalam mengoperasikan media informasi dan teknologi.

Inilah sebabnya Rhenald Khasali (2007) kemudian mengungkapkan bahwa di lembaga pendidikan kita tengah jamak ditemukan tipe-tipe guru kurikulum (stagnasi). Maksudnya, tolok ukur keberhasilan pendidikan hanya berpusat pada angka kuantitatif yang diperoleh dalam evaluasi.

Padahal, maraknya layanan informasi seperti Google dan Facebook yang sebenarnya tidak terdapat pada kurikulum juga harus menjadi perhatian tersendiri oleh seorang guru. Keadaan guru pada era TI berbeda sekali dengan pada era kultural. Jika pada era kultural guru merupakan satu-satunya tempat untuk "digugu dan ditiru", dimuliakan, dihormati, dan seterusnya, maka pada era informasi sekarang ini guru bukan satu-satunya agen informasi (agent of information).

Fenomena di atas memberikan pengertian bahwa peran dan fungsi guru dari satu sisi akan mengalami ancaman, karena guru akan kehilangan pekerjaan dan ditinggalkan muridnya. Namun, di sisi lain, guru justru banyak sekali mendapat peluang apabila ia dapat meningkatkan profesionalitasnya. Sebab, penghormatan guru pada masa sekarang bukan didasarkan pada senioritasnya atau doanya yang makbul semata-mata, melainkan lebih pada peran fungsional dalam mengantarkan anak didik ke tujuannya sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman.

Guru pada era informasi harus dapat menjadikan dirinya sebagai motivator, yang menggerakkan anak didik pada sumber belajar yang dapat diakses. Sebagai dinamisator, guru dapat memantau anak didik agar mengembangkan kreativitas dan imajinasinya. Dan, sebagai evaluator dan justifikator, yaitu dapat menilai dan memberi catatan, tambahan, pembendaharaan, dan sebagainya terhadap temuan siswa.

Setidaknya ada beberapa hal mendasar yang harus dilakukan oleh seorang guru pada era sekarang ini. Pertama, seorang guru harus memiliki sikap adaptif. Sebagaimana diungkapkan Charles Darwin (Kompas, 16/2/09), jika manusia tidak ingin mengalami kepunahan, mereka harus memiliki sikap adaptif terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, setiap orang harus menjalankan proses adaptasi secara efektif dalam merespons perubahan sosio-kultural yang ada.

Kedua, guru hendaknya mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Setidaknya selalu ada materi yang dapat diterapkan dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual.

Ketiga, seorang guru hendaknya juga jangan sampai hanya terjebak pada target pencapaian kurikulum an sich. Artinya, dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya melakukan alih pengetahuan, tetapi juga harus mentransformasi baik kesadaran eksternal (lingkungan) maupun internal (diri sendiri) peserta didik tersebut. Dengan demikian, dapat memberdayakan dan mengubah jalan hidup siswa ke arah yang lebih baik (N Muhammad, 2009).

Dengan strategi ini, diharapkan pendidikan kita akan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman.***
Penulis adalah pemerhati guru dan peneliti pada
The Dewantara Institute Jakarta

- http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=230939
- http://simpati-jkts.blogspot.com
Selengkapnya...

Senin, 25 Mei 2009

PENDIDIKAN ORANG MISKIN DAN AGAMA SISTEMIS

Sistem pendidikan nasional telah kehilangan roh nasionalnya akibat kebijakannya yang bertumpu pada basis material dan formalisasi agama. Kuatnya basis material itu dipicu dorongan dari luar, sedangkan kuatnya formalisasi agama merupakan dorongan dari dalam pascareformasi politik 1998.

Kuatnya peran kapital dalam pendidikan itu ditandai oleh munculnya berbagai kebijakan yang lebih bersifat padat modal, misalnya pendidikan berbasis IT, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sertifikasi ISO, world class university, double degree, memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara, hingga memprivatisasi semua lembaga pendidikan melalui pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Semua kebijakan itu lalu membentuk watak pendidikan menjadi korporasi, menutup akses orang miskin untuk mendapat layanan pendidikan, praksis pendidikan pun menjadi monoton, kering, tidak berpijak pada budaya masyarakat. Fungsi pendidikan sebagai proses integrasi bangsa terabaikan.

Dampak kuatnya peran kapital itu secara institusional, cara menilai kinerja Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun hanya dari satu sisi, yaitu daya serap anggaran, tidak dilihat bagaimana implikasi penggunaan anggaran terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan secara gagasan, Depdiknas menempatkan perolehan sertifikasi ISO sebagai simbol keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan. Padahal, selain sertifikat ISO tidak gratis (padat modal), juga standardisasi proses pendidikan akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor.

Memerdekakan manusia

Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa sekaligus salah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional, menyatakan, maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Dalam pendidikan harus diingat, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).

Implikasi konsep Ki Hadjar adalah pendidikan harus mampu menumbuhkan makhluk sosial agar dapat menjadi bagian integral masyarakat-bangsa. Karena itu, dalam praksis, proses pendidikan tidak dibangun berdasarkan prinsip persaingan, tetapi kerja sama. Karena itu, model-model pendidikan melalui permainan itu penting karena permainan selalu mengajarkan kerja sama antartim.

Konsep Ki Hadjar itu diturunkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Ini berbeda dari tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang lebih membentuk manusia sebagai makhluk individu. Konsekuensinya, kebijakan turunannya diarahkan untuk membentuk manusia sebagai makhluk individu yang harus bersaing dengan sesama. Kebijakan pendidikan seperti ini menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan basis ekonomi (mampu dan tidak mampu). Padahal, Ki Hadjar mengingatkan, sekolah itu bukan toko, tetapi perguruan (tempat guru tinggal atau dapat diartikan tempat studi). Sebagai tempat studi, siapa saja bisa datang untuk menimba ilmu. Kalau toko, hanya mereka yang punya uang yang dapat mengakses, yang tidak punya uang hanya menonton.

Formalisasi agama

Faktor internal yang turut menghilangkan ciri nasional sistem pendidikan kita adalah kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih agamis dan itu terakomodasi dalam UUD 1945 hasil amandemen. Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 yang asli mengatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional; yang diatur dengan undang-undang”. Tetapi Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 diamandemen menyatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Implikasi kedua pasal itu jelas berbeda terhadap turunannya (Sisdiknas) dan kebijakan lain.

Pada tingkat praksis kita melihat, dari soal seragam (bagi siswi, pakaian bawah harus sampai menutup tumit), salam pembuka/penutup di kelas, pilihan jenis kegiatan di sekolah, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas kini banyak didasarkan pada pandangan agama. Ironisnya, praksis pendidikan semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya lebih universal dan netral sehingga dapat menjadi pilihan pertama bagi orangtua yang bermacam latar belakang agama, suku, maupun budaya untuk menyekolahkan anaknya tanpa ada sekat apa pun. Mereka yang ingin menyekolahkan anaknya dengan tujuan sekaligus memperkuat keimanan dapat memilih sekolah swasta berbasis agama.

Perkembangan sekolah saat ini membuat minoritas (di daerahnya) memilih sekolah swasta yang sesuai dengan agamanya. Akibatnya, tanpa disadari, orang ditarik ke kelompok masing-masing. Padahal, sekolah negeri seharusnya menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk membangun interaksi sosial dan integrasi bangsa tanpa mengalami sekat agama, suku, agama, maupun ekonomi. Kebijakan pendidikan yang menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama jelas kurang menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kebangsaan perlu mendapat perhatian serius di sekolah negeri agar lulusannya memiliki jiwa kebangsaan yang luas dan tidak makin kerdil.

Kini diperlukan menteri pendidikan yang punya visi tentang bangsa dan negara sehingga menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi bangsa. Pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan ekonominya). Kita juga memerlukan presiden yang peduli pendidikan.

Alimudatsir Aktivis Pendidikan
Selengkapnya...

Pendidikan Orang Miskin dan Agama Sistemis

Sistem pendidikan nasional telah kehilangan roh nasionalnya akibat kebijakannya yang bertumpu pada basis material dan formalisasi agama. Kuatnya basis material itu dipicu dorongan dari luar, sedangkan kuatnya formalisasi agama merupakan dorongan dari dalam pascareformasi politik 1998.


Kuatnya peran kapital dalam pendidikan itu ditandai oleh munculnya berbagai kebijakan yang lebih bersifat padat modal, misalnya pendidikan berbasis IT, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sertifikasi ISO, world class university, double degree, memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara, hingga memprivatisasi semua lembaga pendidikan melalui pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Semua kebijakan itu lalu membentuk watak pendidikan menjadi korporasi, menutup akses orang miskin untuk mendapat layanan pendidikan, praksis pendidikan pun menjadi monoton, kering, tidak berpijak pada budaya masyarakat. Fungsi pendidikan sebagai proses integrasi bangsa terabaikan.

Dampak kuatnya peran kapital itu secara institusional, cara menilai kinerja Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun hanya dari satu sisi, yaitu daya serap anggaran, tidak dilihat bagaimana implikasi penggunaan anggaran terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan secara gagasan, Depdiknas menempatkan perolehan sertifikasi ISO sebagai simbol keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan. Padahal, selain sertifikat ISO tidak gratis (padat modal), juga standardisasi proses pendidikan akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor.

Memerdekakan manusia

Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa sekaligus salah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional, menyatakan, maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Dalam pendidikan harus diingat, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).

Implikasi konsep Ki Hadjar adalah pendidikan harus mampu menumbuhkan makhluk sosial agar dapat menjadi bagian integral masyarakat-bangsa. Karena itu, dalam praksis, proses pendidikan tidak dibangun berdasarkan prinsip persaingan, tetapi kerja sama. Karena itu, model-model pendidikan melalui permainan itu penting karena permainan selalu mengajarkan kerja sama antartim.

Konsep Ki Hadjar itu diturunkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Ini berbeda dari tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang lebih membentuk manusia sebagai makhluk individu. Konsekuensinya, kebijakan turunannya diarahkan untuk membentuk manusia sebagai makhluk individu yang harus bersaing dengan sesama. Kebijakan pendidikan seperti ini menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan basis ekonomi (mampu dan tidak mampu). Padahal, Ki Hadjar mengingatkan, sekolah itu bukan toko, tetapi perguruan (tempat guru tinggal atau dapat diartikan tempat studi). Sebagai tempat studi, siapa saja bisa datang untuk menimba ilmu. Kalau toko, hanya mereka yang punya uang yang dapat mengakses, yang tidak punya uang hanya menonton.

Formalisasi agama

Faktor internal yang turut menghilangkan ciri nasional sistem pendidikan kita adalah kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih agamis dan itu terakomodasi dalam UUD 1945 hasil amandemen. Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 yang asli mengatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional; yang diatur dengan undang-undang”. Tetapi Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 diamandemen menyatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Implikasi kedua pasal itu jelas berbeda terhadap turunannya (Sisdiknas) dan kebijakan lain.

Pada tingkat praksis kita melihat, dari soal seragam (bagi siswi, pakaian bawah harus sampai menutup tumit), salam pembuka/penutup di kelas, pilihan jenis kegiatan di sekolah, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas kini banyak didasarkan pada pandangan agama. Ironisnya, praksis pendidikan semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya lebih universal dan netral sehingga dapat menjadi pilihan pertama bagi orangtua yang bermacam latar belakang agama, suku, maupun budaya untuk menyekolahkan anaknya tanpa ada sekat apa pun. Mereka yang ingin menyekolahkan anaknya dengan tujuan sekaligus memperkuat keimanan dapat memilih sekolah swasta berbasis agama.

Perkembangan sekolah saat ini membuat minoritas (di daerahnya) memilih sekolah swasta yang sesuai dengan agamanya. Akibatnya, tanpa disadari, orang ditarik ke kelompok masing-masing. Padahal, sekolah negeri seharusnya menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk membangun interaksi sosial dan integrasi bangsa tanpa mengalami sekat agama, suku, agama, maupun ekonomi. Kebijakan pendidikan yang menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama jelas kurang menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kebangsaan perlu mendapat perhatian serius di sekolah negeri agar lulusannya memiliki jiwa kebangsaan yang luas dan tidak makin kerdil.

Kini diperlukan menteri pendidikan yang punya visi tentang bangsa dan negara sehingga menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi bangsa. Pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan ekonominya). Kita juga memerlukan presiden yang peduli pendidikan.

Alimudatsir, Aktivis Pendidikan
Selengkapnya...

Jumat, 15 Mei 2009

INDUSTRIALISASI KONSERVASI

Ada pertanyaan yang mengganggu, mengapa suara masyarakat sipil tidak diberi ruang dalam forum internasional sebesar Konferensi Kelautan Dunia (>World Ocean Conference/WOC), dan ketika masyarakat sipil membuat forum "tandingan", mereka dihadapkan pada tindakan represif Negara dengan alasan mengganggu ketertiban umum dan lain-lain, bahkan dituding akan menggagalkan pertemuan WOC.
Jika melihat temanya, yakni "Climate Change Impacts to Ocean and the Role of Ocean to Climate Change", WOC merupakan forum penting dan strategis serta memberikan manfaat bagi Negara, dan rakyat khususnya dapat berkontribusi bagi pengurangan dampak perubahan iklim. Namun, benarkah tujuan yang akan dicapai melalui Deklarasi Manado ini akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang dapat menjawab krisis iklim dan krisis rakyat?
Dalam pandangan yang paling sederhana saja, jika konferensi dunia ini tidak menyediakan ruang bagi nelayan dan masyarakat sipil untuk menyuarakan krisis yang dialaminya, sangat jauh kemungkinannya forum ini menghasilkan kesepakatan yang berpihak kepada nelayan atau lebih jauh negara. Terlebih, konferensi ini diselenggarakan dengan berbagai tindakan represif dengan membungkam suara kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil dengan penangkapan aktivis dan lain-lain. Padahal kita semua tahu bahwa krisis iklim tidak bisa ditangani dengan cara melakukan tindakan represif.
Hal lebih jauh untuk mengatakan bahwa WOC ini jauh dari krisis rakyat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir di negara-negara kelautan, adalah dengan melihat agenda penting yang dibahas dalam WOC, yakni Coral Triangle Initiative (CTI) yang merupakan inisiatif untuk laut dan perubahan iklim di wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle initiative). CTI merupakan desain wilayah konservasi yang melintasi teritori enam negara, yakni Malaysia, Indonesia, Kepulauan Solomon, Timor Leste, Papua Nugini, dan Filipina, dengan luas keseluruhan mencapai 75 ribu kilometer persegi dan menyimpan 3.000 atau 53 persen jenis terumbu karang dunia dan 6.000 jenis ikan karang.
Di sinilah hal penting yang disikapi kritis oleh masyarakat sipil yang terdiri atas berbagai organisasi lingkungan dan nelayan bahwa CTI tidak lebih sebagai sebuah inisiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan negara kepulauan seperti Indonesia dan negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC-CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi. Terakhir, terbukti dari perluasan konservasi Laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektare, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerja sama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu paus secara tradisional sejak April 2009. Ini menjadi indikator untuk menjelaskan bahwa nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka. Bahwa CTI berpotensi besar mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Dalam media publikasi Sisi Gelap dan Bahaya CTI yang dikeluarkan oleh masyarakat sipil yang kritis terhadap WOC-CTI, ada prinsip dasar yang diabaikan dalam CTI, antara lain keselamatan warga, utang ekologis, hak atas kelola dan kedaulatan pangan, serta abai dalam penyelesaian-penyelesaian persoalan mendasar kelautan, antara lain pencemaran yang berasal dari buangan limbah industri tambang (TNC/MNC).
RezimLalu siapa yang diuntungkan dari pertanyaan ini? Jika melihat ulasan di atas, jelas bahwa yang diuntungkan dari seluruh cerita penyelenggaraan WOC adalah rezim industri konservasi yang menempatkan wilayah kelola konservasi dengan menggunakan pendekatan atau paham ekofasis, di mana kawasan ini dikelola dengan menganggap konservasi lingkungan jauh lebih penting dari persoalan manusia. Sehingga, di mana kawasan konservasi itu ditetapkan, di sanalah ruang hidup rakyat digusur, karena dianggap manusia akan merusak lingkungan.
Jika kembali kepada agenda CTI sebagaimana yang dijelaskan di atas, rezim konservasi tersebut berwujud organisasi konservasi internasional yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan ADB. Merekalah yang membiayai industri tambak modern yang menghancurkan mangrove. Negara-negara industri dan industri migas seperti Shell, Rio Tinto, dan Anglo, yang selama ini menguasai jalur migas, seperti Amerika dan Australia, tengah memainkan ruang pasar bebas konservasi atau bisa juga disebut dengan industrialisasi wilayah konservasi atau taman nasional, yang dapat dilihat dari pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Program. Program ini menjadi permakluman pembongkaran konservasi menjadi kawasan pengerukan sumber daya alam melalui skema kompensasi keanekaragaman hayati (biodiversity offset).
CTI tidak lebih merupakan langkah awal dari peta jalan menuju eksploitasi tambang migas dengan mengintegrasikan data, mekanisme, dan hukum kesepakatan-kesepakatan negara-negara yang memiliki kekayaan tambang dan keanekaragaman. Negara maju dan industri tambang yang memiliki daya rusak tinggi itu boleh beroperasi asalkan membayar kompensasi biodiversitas.
Hal lain yang mesti dilihat dalam tema besar WOC itu terkait dengan peran laut dalam mengatasi dampak perubahan iklim, yang ternyata malah semakin melanggengkan rezim karbon. WOC tidak membahas akar persoalan perubahan iklim, bahwa masalah iklim disebabkan oleh rezim karbon yang dipimpin oleh negara-negara maju dengan emisi karbonnya. Seharusnya WOC membicarakan kewajiban bagi negara maju untuk menurunkan emisi karbonnya, bukan dengan melalui skema perdagangan karbon.
Dari sinilah tampak jelas argumentasi penolakan organisasi lingkungan yang mengusung ideologi ecological justice terhadap agenda WOC, bahwa skema biodiversity offset menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya dan mengancam keselamatan rakyat, khususnya nelayan tradisional. Penyelamatan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan krisis iklim, seharusnya tidak menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya.
Oleh:
Khalisah Khalid
DEWAN NASIONAL WALHI 2008-2012; BIRO POLITIK DAN EKONOMI SAREKAT HIJAU INDONESIA
Sumber: http://www.korantempo.com
Selengkapnya...