Jumat, 28 Mei 2010

Sulitnya Kesadaran Hidup Damai di Timur Tengah Bagikan* Oleh: Moh fairuz Ad-dailami**


Hamas adalah faksi politik terbesar di Palestina yang kuat akan doktrin perangnya, lebih-lebih menyangkut masalah ideolegis terhadap suatu kebenaran yang mereka yakini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina sedikit banyak terkait oleh faksi politik ini.

Sementara Israel juga tidak jauh beda, bahwa menganggap masyarakat Palestina tak ubahnya seperti “musuh abadi” sebagaimana mereka yakini dalam kitab suci. Cara berfikir masing-masing pihak seperti inilah yang menjadikan konflik di Timur Tengah tidak dapat dihindari.

Untuk mengetahui seberapa sering konflik di Timur Tengah itu akan terjadi, maka mau tidak mau kita harus mengenal karakter masyarakat yang bersangkutan. Itu mengapa konflik Israel dan Palestina seolah sulit untuk dicarikan solusi terangnya, bahkan jalan perang pun akan ditempuh selama menyangkut kebenaran masing-masing pihak yakini.

Kenyataannya, faksi politik Hamas yang “seradikal” itu justru mendapatkan dukungan penuh oleh masyarakat Palestina. Bahkan menurut survey, masyarakat Palestina dalam prosesi pemilunya secara mengejutkan 80 persen dari total suara yang masuk semuanya mendukung Hamas.

Aspirasi masyarakat terhadap suatu kelompok faksi politik merupakan sebuah dukungan sekaligus penggambaran karakter suatu masyarakat itu. Jadi, kelompok Hamas yang “suka perang” dan jauh dari cara-cara diplomasi itu, secara tidak langsung merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang ada. Dan semua bentuk “pertarungan” ini tidak lain demi kepentingan nasional masing-masing negara.

Kepentingan Nasional
Bagaimana menegetahui kepentingan nasional (national interest) suatu negara, dalam studi hubungan internasional sendiri ada beberapa pendekatan. Diantaranya adalah tergantung posisi pengamat untuk meletakkan cara pandangnya memilih neo-relisme atau neo-liberalsme.

Dua teori ini adalah sama-sama relevannya sampai saat ini untuk memetakan perilaku suatu negara dan juga kebijakan politik luar negerinya. Semuanya ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan nasional negara masing-masing. Itu mengapa, kedua teori ini dalam dialektikanya banyak melahirkan kritik keras satu sama lain.

Penyerangan Israel ke Palestina tanpa jalur neoisasi merupakan pendekatan militeristik yang digunakan oleh kaum neo-realisme dalam upaya memberikan perlindungan bagi masyarakat sipil Israel terkait masalah kepentinagan nasional. Hal ini tidak jauh beda dengan perilaku Pelestina itu sendiri dengan kelompok faksi Hamasnya. Jadi, pada dasarnya antara Palestina dan Israel sama-sama menggunakan cara pandang yang doktrinnya jauh dari kata “damai” dan upaya diplomasi itu.

Bagaimana mungkin negosiasi antara dua negara itu dapat terwujud untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-bangsa yang damai, jika masyarakatnya sendiri mempunyai karakter yang sulit untuk didamaikan. Belum lagi masalah ini semakin diperkeruh dengan sentimen ideologi (agama) maupun “dendam lama” yang selalu mewarnai mind-set masyarakat kedua negara yang saling bertikai itu.

Jadi, lengkaplah konflik ini akan berkelanjutan sampai salah satu di antara mereka benar-benar ada yang lumpuh, tumbang, dan kalah. Dan ini adalah harga mahal yang harus dibayar, khususnya bagi masyarakat sipil yang secara tidak langsung “dilibatkan” pada peperangan antar neraga tersebut.

PBB selaku badan dunia yang merupakan peng-ejawantahan dari Institusional Liberalism dari konsepsi neo-liberalisme sebagai penjaga keamanan dunia pun kenyataannya tidak sesuai apa yang digariskan. Tetap saja akan kesulitan mencari resolusi seperti apa bagi keduanya yang dapat diterima oleh semua pihak. Sebagus apapun rancangan resolusi yang ditawarkan, hal itu akan menjadi tidak efektif dan berfungsi guna ketika dihadapkan pada karakter masyarakat yang disebut Gus Dur (K.H Abdurrahman Wahid) adalah masyarakat “konservatif” dan realis itu.

Perang dan damai adalah dua hal yang memang benar adanya, namun seberapa besar dari salah satu mana yang akan mendominasi tergantung masyarakat dalam cara berfikirnya. Adalah bagaimna tetap mempertahankan kepentingan nasional namun dengan cara yang damai dan pendekatan yang manusiawi merupakan jalan efektif untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-negara yang damai.

Impian Umat Manusia
Tampaknya untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama dalam konteks pergaulan antar-bangsa yang aman dan damai memerlukan gelombang kesadaran yang besar oleh semua lapisan masyarakat dunia. Mereka harus sadar bahwa dalam hirarki paling tinggi terkait bagian dari masyarakat internasional, kesatuan frame dalam paradigma bahwa tiap-tiap individu merupakan hubungan persaudaran yang terikat meskipun lintas benua, agama, ras, suku, entis, dan bahasa adalah kunci mewujudkan cita-cita manusia yang berkeadaban.

Mungkin kedengarannya terlalu utopis sebagaimana kaum liberalis. Namun cara berfikir apa lagi yang mampu menciptakan tatanan kehidupan dunia yang harmonis selain pendekatan di atas? Adalah suatu kebenaran bahwa fitrah manusia merindukan suasana kehidupan surga dan bagaimana menghadirkannya ke dunia sebagai impian seluruh umat manusia sebagaimana fungsi guna tertinggi dalam kehidupan beragama (QS: Al-Hujarat, 13).





*http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10073
** Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik(FISIP) UIN Syarif Hidayatilloh Jakarta



Selengkapnya...

Selasa, 25 Mei 2010

MENAGIH IDEALISME KHITAH* Oleh: Anom Bagas Prasetyo**


Tulisan Abdul Ghaffar Rozin, Perwujudan Idealisme Khitah (SM, 8/4/2010), menarik untuk diapresiasi kembali. Rozin menyebut terpilihnya KH Sahal Mahfudh-KH Said Aqil Siradj dalam Muktamar Ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai wujud kemenangan idealisme khitah. Bagi Rozin, keduanya adalah representasi kubu khitah, yang berorientasi pada politik kerakyatan dan kebangsaan.

Dalam catatannya ia menilai bahwa muktamirin sudah capai dan emoh ditunggangi kepentingan politik praktis, meski hal itu dilakukan oleh elite Nahdlatul Ulama (NU) sendiri. Sehingga, menjadi wajar jika muktamirin cenderung memilih Sahal untuk posisi Rais Aam Syuriah, dan Said untuk posisi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Kedua figur ini dinilai sebagai sosok yang teguh membawa NU ke pangkuan Khitah 1926 (panduan dasar).

Benar bahwa Muktamar NU yang dilaksanakan pada akhir Maret lalu adalah ajang pertaruhan, apakah NU akan dipimpin figur prokhitah, atau sebaliknya, dipimpin oleh figur pro kekuasaan dan berorientasi politik praktis-pragmatis. Namun demikian, buru-buru menilai bahwa “kemenangan” Sahal-Said merupakan perwujudan idealisme khitah, adalah kesimpulan yang perlu diuji lebih lanjut.

Sekiranya benar warga nahdliyin sudah capai dengan kegiatan politik praktis para elitenya, sehingga pilihan muktamirin jatuh pada Sahal-Said, belumlah cukup untuk dijadikan bukti bahwa di masa kepengurusannya kini, NU tidak lagi “diseret-seret” ke dalam kubangan politik praktis. Butuh waktu yang tidak sebentar—sekurangnya selama periode kepengurusan mereka berlangsung—untuk dapat menilai kinerjanya.

Muktamar dan khitah
Setiap kali muktamar berlangsung, muncul wacana tentang perlunya mengembalikan NU pada khitahnya. Saat yang sama, tafsiran tentangnya juga mengemuka dalam banyak versi. Kembali ke Khitah 1926 telah menjadi bahasan pokok di forum muktamar, tak terkecuali dalam Muktamar Ke-32.

Lagi pula, di kalangan nahdliyin belakangan ini ada kekhawatiran wacana kembali ke khitah sekadar “jargon tim sukses” para kontestan dalam pemilihan pucuk pimpinan NU. Tak dapat dimungkiri, sejarah kepengurusan NU mencatat fakta yang tak selalu konsisten dengan ingar-bingar muktamar. Kekhawatiran semacam ini kiranya dapat dimengerti jika menengok sepak-terjang NU dalam sepuluh tahun terakhir.

Dua periode kepemimpinan KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, misalnya, menunjukkan praksis yang sepenuhnya tak dapat diterima nahdliyin sebagai manifestasi kembalinya khitah. Di bawah kepemimpinan Hasyim, peran NU dalam pemberdayaan umat tak bisa dipandang gemilang, untuk tidak mengatakan gagal. Energi NU lebih banyak terkuras untuk orientasi politik praktis-pragmatis ketimbang memperteguh visi khitah.

Dalam hal ini, perlu digarisbawahi, Khitah NU 1926 bukan hanya menerangkan ihwal tujuan berdirinya NU, gerakan-gerakan, ataupun hubungan organisasi NU dengan politik belaka. Khitah juga menerangkan hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah SWT dan soal kemasyarakatan. Menurut tokoh NU KH Muchit Muzadi, khitah meliputi dasar agamanya, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, termasuk faham kenegaraannya.

Karena itu, dapat dimengerti demikian besar ekspektasi nahdliyin terhadap Sahal-Said agar membawa NU kembali ke pangkuan khitah secara murni dan konsekuen. Keduanya diharapkan teguh mengawal khitah sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus tercermin dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi, serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Di pundak keduanya, nasib NU lima tahun ke depan akan ditentukan ke mana arahnya.

Sejarahlah yang akan mencatat, apakah kedua petinggi NU ini akan konsisten, tegak lurus menjaga idealisme khitah dalam pengertian yang hakiki—sebagaimana dicita-citakan para founding fathers-nya—dengan senantiasa menomorsatukan pemberdayaan warganya melalui advokasi, peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi warganya.

Terlalu dini mengukur perwujudan idealisme khitah pada hasil muktamar yang baru seumur jagung. Terwujudnya idealisme khitah juga tak bisa diukur dari terpilihnya “salah satu pihak” atau tidak terpilihnya “pihak lain” dalam arena muktamar. Ia juga tak bisa dilihat hanya dengan diterimanya pertanggungjawaban pimpinan demisoner dan terpilihnya pimpinan baru secara demokratis.

Idealisme khitah
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, penulis buku Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati—yang juga Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)—As’ad Said Ali mengutip sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa sejak berdiri hingga sekarang, disinyalir fungsi dakwah NU hanya berjalan di tempat. Hal itu sekurangnya tampak dari jumlah warga NU, yang selain tidak bertambah, malah cenderung berkurang.

Sebagai ormas terbesar penjaga Ahlusunnah Waljama’ah, misalnya, NU tampak begitu kedodoran merespon suburnya perkembangan organisasi-organisasi transnasional di Indonesia. Mereka telah begitu massif dan berhasil menggeser peran sosial warga NU di banyak wilayah. Demikian halnya dengan soal kemandirian dan tingkat kesejahteraan warga nahdliyin pada umumnya.

Kenyataan tersebut tak bisa dilepaskan dari peran yang dipilih pucuk pimpinan NU sendiri, yang dalam sepuluh tahun terakhir, terkesan kuat gemar main mata dengan politik praktis dengan memobilisasi warga NU ke dalam kubangan politik praktis ketimbang bekerja keras mewujudkan visi mulia khitah. Adalah fakta yang tak dapat dibantah, lebih banyak madharat ketimbang manfaat yang diperoleh NU, baik bagi warganya maupun institusinya.

Terwujudnya idealisme khitah tersebut setidaknya akan tampak pada makin berdayanya warga nahdliyin. Sebagai misal, dari meningkatnya standar kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi warga nahdliyin. Wajar saja jika warga nahdliyin akan terus menagih komitmen para petingginya: seperti apa perbaikan signifikan dari kepengurusan PBNU yang baru ini, sehingga pantas disebut segaris dengan idealisme khitah?

Ekspektasi ihwal datangnya “zaman keemasan” atau kejayaan NU pada kepengurusan kali ini adalah aspirasi semua warga nahdliyin. Kapan kejayaan NU tercapai? Amatlah sulit menjawabnya, meski kedua figur tersebut tampak begitu menjanjikan. Tetapi, rasanya penting untuk digarisbawahi, bahwa kejayaan NU adalah kejayaan puluhan juta warganya, bukan sekadar kejayaan segelintir elite atau pengurusnya.

Sebab, tak diragukan lagi, NU didirikan untuk mengabdi kepada umat. NU berdiri saat kondisi rakyat Indonesia sangat terpuruk di banyak bidang akibat kolonialisme Belanda. Karena itu, upaya penguatan bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi umat menjadi poin penting yang melatarbelakangi pendiriannya, selain untuk membendung arus wahabisme kala itu.

Harus diakui, kini muktamirin dan nahdliyin bukan hanya kian cerdas, tetapi juga kian kritis-partisipatif terhadap kinerja pengurus NU di pelbagai tingkatan. Mereka tak lagi sekadar melihat apa saja yang dikatakan, ataupun siapa yang mengatakan, tetapi apa yang nanti dikerjakan oleh duet Sahal-Said, nahkoda baru ormas Islam terbesar di Indonesia ini.
Ihwal bagaimana dan kapan idealisme khitah terwujud, hemat penulis, nahdliyin sendiri yang akan menjawabnya, bukan? Semoga kejayaan yang ditunggu-tunggu itu dapat terwujud tak lama lagi.[]



* Pengantar Diskusi "Pesantren Pasca Mukatamar Makassar" Laboratorium Ilmu Politik UNJ. 15 April 2010.

** Dewan Pembina Silaturahmi Mahasiswa Pati(SIMPATI) Jakarta Dan Sekitarnya
Selengkapnya...

Rabu, 19 Mei 2010

Pendidikan dan Kebangkitan Nasional* Oleh: Ali Rif’an**


Di bulan Mei ini, rakyat Indonesia memiliki dua hajat besar sekaligus, yakni memperingati hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) jatuh pada 2 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei. Bagi penulis, kedua momen ini penting untuk direnungkan sekaligus direfleksikan. Direnungkan karena keduanya memiliki hubungan erat, bak setali dua mata uang yang berkelindan. Direfleksikan karena saat inilah momen tepat untuk bangkit dari keterpurukan.

Coba bayangkan, hingga saat ini, pendidikan kita masih menampakkan wajahnya yang buram. UNESCO (2007), misalnya, mengeluarkan laporan education development index (EDI) yang menempatkan Indonesia berada di posisi ke-62 dari 129 negara. Padahal, Malaysia berada di urutan ke-56. Sementara The World Economic Forum Swedia (2000) juga melaporkan, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yakni hanya di posisi ke-37 dari 57 negara.

Bahkan menurut Trends in Mathematic and Science Study (2004), siswa Indonesia hanya berada di peringkat ke-35 (matematika) dan peringkat ke-37 (sains) dari 44 negara. Laporan International Association for the Evaluation of Educational Achievement menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di antara negara-negara tetangga, yakni Hong Kong 75,5; Singapura 74,0; Thailand 65,1; Malaysia 52,6; dan Indonesia 51,7.

Data di atas hanya sebagian dari gunung es ihwal buruknya kualitas pendidikan kita. Belum lagi problem-problem sosial yang sering terjadi di kalangan peserta didik seperti tawuran, seks bebas, narkoba, dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya.

Bangkit
Memasuki hitungan 102 tahun kebangkitan nasional, penting kiranya kebangkitan pendidikan menjadi agenda utama. Setidaknya, jika ditinjau dari tataran ideologis (prinsip) dan tataran teknis (praktis), akar masalah pendidikan di Indonesia dapat dirangkum dalam dua masalah, yakni soal paradigma pendidikan dan praktik pendidikan di lapangan itu sendiri. Persoalan pertama bisa dilihat disorientasi paradigma pendidikan yang tak sepi dari masalah. Sebab, wajah bopeng pendidikan kita masih tercermin dari kebijakan pemerintah yang terkesah plin-plan, masih setengah hati, penuh muatan politis, dan terjebak pada nalar euforia-gegap gempita, sehingga konsep yang digelontorkan pun masih terkesan coba-coba. Bukutinya, setiap ganti menteri ganti pula kebijakan.

Persoalan kedua berupa masalah-masalah cabang seperti keterbatasan sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya prestasi siswa, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, serta rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Padahal, jika ditinjau dari definisi menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Artinya, jika ditilik dari proyeksi UU Sisdiknas, sistem dan praksis pendidikan di Tanah Air tentu masih jauh panggang dari api. Pendidikan kita belum berhasil dalam mencetak manusia yang saleh sekaligus mampu menjawab tantangan zaman. Pemerintah sepertinya juga kurang begitu memahami arti fungsi pendidikan itu sendiri. Padahal, pada praksis manajemen pendidikan modern, pendidikan mempunyai empat fungsi. Pertama, fungsi teknis-ekonomis. Fungsi ini merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Kedua, fungsi sosial-kemanusiaan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.

Ketiga, fungsi politis. Fungsi ini merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis.

Keempat, fungsi budaya. Fungsi ini merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya.

Melalui momen Hardiknas dan Harkitnas ini, diharapkan pendidikan nasional ke depan semakin meningkatkan lahirnya generasi yang tangguh, cerdas, serta memiliki mental kemandirian yang tinggi, sehingga mampu mewujudkan kebangkitan bagi negeri ini. Generasi seperti ini tentu hanya bisa dilahirkan dari sebuah sistem pendidikan yang tangguh pula.




*)Terbit di Koran Radar Banten.Kamis, 20 Mei 2010
**) Penulis adalah Peneliti The Dewantara Institute
Selengkapnya...

Senin, 17 Mei 2010

Moderat Ala Gus Dur Oleh: Muhammad Fahdi*



Pada suatu waktu ada sebuah pertanyaan dari seorang teman yang dituju pada penulis, “apa kamu moderat?”
Seketika itu juga penulis menjawab dengan bangga, “tentu saja.” Jawaban ini keluar didasarkan dari pengetahuan penulis tatkala itu bahwa sebuah sikap moderat adalah pilihan yang wajar dan seharusnya melekat pada diri setiap manusia, itulah sejauh yang diketahui penulis, tidak lebih.
Ternyata jawaban ini sepertinya memang sudah diprediksi oleh seorang teman tadi yang berkarakter kritis, dan dia meneruskan dengan sebuah pernyataan, “jadi kamu tidak berpijak pada suatu pilihan alias terombang-ambing tidak jelas.”
Sangat tersentak atas pernyataan tersebut. Bagaimana tidak, ketika jalan fikir dijejali akan moderatlah jalan yang baik -tidak berarti setiap tempat doktrinisasinya seperti yang diutarakan di sini, tapi ini (doktrinisasi) terjadi di tempat asal penulis- dan taklid tanpa tanya bahwa itulah yang memang baik, tentu saja pernyataan terombang-ambing benar adanya membuat terombang-ambing.
Saat itu penulis menutup wajah kebingungan dengan seakan yakin, “siapa kata tidak berpijak, tentu saja moderat itulah suatu pijakan.”
Singkat kata, percakapan itu dipaksa berakhir tanpa terselesaikan.
Setelah itu, seperti terduga, pun penulis mencari arti dari kata moderat. Pencarian yang panjang sebenarnya untuk diceritakan secara naratif kronologis. Tapi terlalu sayang untuk tidak diutarakan. Jadi akan dicoba pengutaraan yang mungkin terkesan dipaksa.
Moderat, sebuah kata yang dikenal dalam kamus bahasa Indonesia sebagai sikap selalu menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem atau berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Melihat dari kata “bekecenderungan ke jalan tengah” tentu saja sikap moderat ini sesuai dengan Islam, terlebih umat Islam. Pasalnya, merujuk pada kata wasathan dalam kalimat ummatan wasathan (QS al-Baqarah [2]: 143). Kata wasath dalam ayat tersebut berarti khiyâr (terbaik, paling sempurna) dan ‘âdil (adil). Dengan demikian, makna ungkapan ummatan wasathan berarti umat terbaik dan adil dalam koridor syariah dan tentu saja berkecendrungan ke jalan tengah.
Belum menjawab keterombang-ambingan memang, tapi sekarang apa perlu hal tersebut di jelantrahkan dengan mendalam ketika moderat sendiri tercipta sengaja tidak dengan penjelasan lebih. Dalam artian, seperti yang diungkapkan di atas, kebertengahan (moderat) lebih tertitik beratkan pada tujuan. Adil dan toleran. Tidak heran ketika bicara moderat selalu mengarah pada toleransi. Jadi seakan ada unsur kesengajaan untuk tidak begitu jelas. Untuk selalu dapat berubah. Dinamis.
Selanjutnya, perlu penghalusan kata sebenarnya dari kata “terombang-ambing” yang digunakan seorang teman sebelumnya. Selayaknya dinamis-lah kata yang pantas. Bukannya terombang-ambing dalam arti bingung memilih langkah. Lagi-lagi istilah moderat memang tidak digunakan secara tegas. Ini mencerminkan bahwa istilah moderat dimaksudkan sebagai watak yang apresiatif dan sejalan dengan lokalitas dan modernitas yang selalu berubah.
Mengarah pada Islam, karakter moderat untuk mengarah pada toleran dan simpatik itulah yang sebetulnya mengakar kuat dalam perkembangan Islam selanjutnya, terutama di Indonesia. Meski belakangan muncul karakter lain, yaitu puritan, akibat dari perjumpaan intelektual Muslim Nusantara, terutama yang berasal dari daerah Aceh dan Sumatera Barat, dengan Muslim Haramain (Mekah dan Madinah). Hal itu pun terjadi seiring dengan persaingan politik antara Turki Utsmani dengan penguasa-penguasa Eropa di abad ketujuh belas Masehi. Kesamaan identitas agama dan ketegangan dengan bangsa Eropa mendorong menguatnya konsolidasi kekuatan antarpenguasa Muslim. Selain itu, hubungan diplomatik dan perdagangan Muslim Nusantara dengan Turki Ustmani dan khalifah-khalifah di Timur Tengah berlanjut pada tradisi belajar di Haramain seiring dengan pelaksanaan ibadah Haji dan Umrah. Sebagai pusat perjuangan Nabi Muhammad Saw., Haramain memiliki tradisi keagamaan yang lebih ketat. Karakter puritan ini diperkuat ketika gerakan Wahabi muncul pada awal abad kesembilan belas. Karena itu, Islam yang puritan muncul lebih akhir dan terlokalisasi di sekitar Sumatera. Namun begitu, secara keseluruhan, watak Islam yang tersebar di Indonesia adalah moderat.
Islam Moderat, itulah kata yang sering digunakan untuk membedakan dengan Islam puritan yang berkembang, walaupun sebenarnya Islam an sich adalah moderat. Islam moderat boleh diklaim siapa saja. Tapi, tidak ada yang bisa menghindar dari nama Gus Dur sebagai ikon Islam moderat Indonesia.
Tidak berlebih pernyataan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Zacky Khairul Umam, Wakil Direktur Riset Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) di Universitas Indonesia dalam opininya di Media Indonesia, pernyataan itu diakui secara mendunia. Gus Dur adalah `wakil' muslim moderat yang sering dirujuk dan dihargai. Pada masa hidupnya, latar belakang sebagai santri par excellence berhasil meramu kemodernan dan keindonesiaan dalam wacana dan praksis keislaman merupakan prestasi yang sulit dicapai. Gus Dur bukan model sarjana seperti almarhum Cak Nur. Jika Cak Nur membangun wacana Islam moderat dari cara kerja keilmuan yang ketat dengan meneliti objektivitas Islam, Gus Dur kerap kali langsung melontarkan ide tanpa bersusah payah melacak dari mana ujung pangkalnya.
Dalam hal itu, Gus Dur lebih sering berperan sebagai `subjek'. Gus Dur adalah pencipta wacana. Ia diuntungkan karena ia mewakili basis massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sebelum resmi terjun dalam dunia politik praktis, baik selama menjadi presiden ataupun setelahnya, kedudukannya sebagai NU 1 membuatnya tak terlalu terbebani dengan wacana-wacana sekuler, seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil. Tidak seperti Cak Nur, Gus Dur tak selalu memerlukan legitimasi ayat-ayat Alquran, filsafat dan yurisprudensi ulama klasik untuk mendukung gagasan-gagasannya.
Tetapi, Gus Dur dianggap lebih `islami' apa pun gagasan yang ia lontarkan, lantaran ia memiliki kekuatan simbolis sebagai wakil santri nomor wahid yang berdarah biru dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari. Ijtihad Gus Dur adalah subjektivitas dirinya. Ibaratnya, Gus Dur adalah wacana itu sendiri. Justru orang lain yang perlu melihat, meneliti, dan menganalisis Gus Dur sebagai objek. Meskipun begitu penting dicatat bahwa hasil pemikiran dan tindakan Gus Dur tidak jatuh dari kehampaan sejarah. Formula-formula Gus Dur terbangun dari timbunan ide-ide besar yang ia gali dari keranjingan belajar autodidak, keterlibatan aktif, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang menarik selama hidupnya. Ditambah lagi, modal sosial Gus Dur sangat besar sehingga memungkinkannya luwes bergerak untuk setia dengan segala idealisme yang sulit dipahami orang.
Itulah Gus Dur, seorang besar yang penuh kontroversial karena kesetiannya terhadap idealisme moderatnya, yang selalu membela kaum minoritas sampai dianggap menganak emaskan agama maupun kelompok diluar Islam.
Dalam kenyataannya secara mayoritas kemunculan “Islam moderat” sebagai salah satu alternatif “versi” Islam kini diminati banyak kalangan. Dialog-dialog keagamaan yang mengarah pada tatanan yang damai, toleran, dan berkeadilan merupakan indikasi bahwa model berislam secara moderat sebagai pilihan. Moderatisme juga dinilai paling kondusif di masa kini.
Jadi kembali ke jawaban awal, “tentu saja, aku moderat, seorang muslim Moderat.” Tidak lagi menjadi jawaban taklid, tapi dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan sesuai dengan ala Gus Dur. Wassalam.




*Devisi Lembaga Semi Otonom SIMPATI
Selengkapnya...

Kamis, 13 Mei 2010

UN Buruk, Guru Disalahkan Oleh: Ali Rif'an*

Banyak suara miring menyikapi buruknya ujian nasional (UN) tahun ini. Salah satunya dialamatkan kepada sosok guru. UN 2010 tingkat SMA dan sederajat yang diumumkan secara serempak 26 April 2010 memberikan hasil yang mengecewakan. Seolah mengingatkan kita pada prahara buruknya hasil UN tahun 2005. Betapa tidak, dari 16.467 SMA dan sederajat peserta UN tahun ini, sedikitnya 267 sekolah siswanya tidak lulus semua (Kompas, 28/4). Begitu juga pengumuman UN SMP dan sederajat nyaris serupa, 561 sekolah lulus nol persen (Kompas, 7/5).

Tentu kenyataan di atas membuat kecewa sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih para wali murid yang anaknya tidak lulus. Logika masyarakat begini. Jika dari 50 siswa yang ikut ujian, 5 di antaranya tidak lulus, itu salah muridnya. Namun, jika satu kelas tidak lulus semua, itu berarti salah gurunya.

Bagi penulis, logika di atas benar tetapi tak sepenuhnya benar. Sebab, buruknya hasil UN sekarang hampir menyeluruh di setiap daerah. Tak terjadi di satu sekolahan atau daerah saja. Artinya, jika seluruh siswa dari satu atau beberapa sekolah di negeri ini tidak lulus semua, tentu ini salah sistemnya. Dengan kata lain, konsep dan praksis pendidikan di Tanah Air juga patut disalahkan. Para pemangku pendidikan, elite pendidikan, dan stakehorders lainnya juga harus bertanggung jawab atas buruknya hasil UN tahun ini.

Sebab, jika kita mau jujur, sistem pendidikan kita sebenarnya tak pernah sepi dari masalah dan dilema, dari tahun ke tahun. Wajah bopeng pendidikan kita masih tercermin dari kebijakan pemerintah yang terkesah plin-plan, masih setengah hati, penuh muatan politis, dan terjebak pada nalar euphoria-gegap gempita, sehingga konsep yang digelontorkan pun masih terkesan coba-coba. Bukutinya, setiap ganti menteri ganti pula kebijakan.

Padak titik ini, kita sejujurnya kasihan kepada para siswa yang selalu dijadikan kelinci percobaan, berikutnya guru yang kerapkali disalahkan. Sebab, jika mau berfikir komprehensif, banyak faktor yang menyebabkaan wajah pendidikan kita masih saja menampilkan kilaunya yang buram. Dari sisi anggaran, misalnya, pendidikan kita serasa masih jauh panggang dari api.

Data tahun 2003, misalnya, menyebutkan bahwa anggaran pendidikan Singapura telah mencapai 27 persen, Thailand 21 persen, dan Malaysia 22 persen dan pada 2008 mencapai 26 persen. Sementara Indonesia baru pada 2008 menaikkan anggaran pendidikannya hingga mencapai 20 persen, itupun tidak secara langsung. Artinya, anggran di Indonesia sudah sarat beban. Beban pemerintah yang harus dibayar tahun-tahun lalu, misalnya, besarnya 2,8 kali anggaran pendidikan, 10,6 anggaran bidang kesehatan, dan 119 kali dari anggaran ketatanegaraan (Kompas, 8/5).

Di sinilah pemerintah terkesan kurang menempatkan pendidikan sebagai faktor deteminan bagi kemajuan bangsa. Pemerintah sudah lupa bahwa pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia.

Perhatian Pemerintah
Dalam pandangan penulis, pemerintah sejujurnya masih setengah hati dalam mengelola pendidikan nasional. Ini terlihat dari maraknya politisasi pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun dibiarkan saja. Padahal, anggaran pendidikan nasional sangatlah minim, tetapi masih saja dipolitisasi. Tentu perjalan pendidikan nasional menjadi tidak normal. Ibarat bayi, ia akan terus berjalan merangkak, padahal yang lain sudah mampu berjalan, bahkan berlari.

Al hasil, angka indeks pembangunan manusia selalu menampakkan nilai yang rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga. Padahal, jika mengacu amanah pembukaan UDD ’45, pendidikan nasional diproyeksikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu bukan keberhasilan beberapa gelintir anak bangsa yang meraih prestasi gemilang dalam olimpiade-olimpiade internasional, melainkan bagaimana bangsa ini secara kolektif-masif mampu menjadi bangsa yang cerdas, bukan bangsa inlander.

Melihat fenomena ini, pemerintah barangkali perlu melakukan kontemplasi tingkat tinggi. Sesekali juga menengok sekaligus mau belajar dari perjalanan sejarah peradaban bangsa-bangsa maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Negara-negara ini merupakan negara yang selalu menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan negaranya. Dalam praksisnya, negara-negara tersebut mampu memberikan perhatian yang tinggi pada sektor pendidikan, yakni dengan cara memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para warganya untuk dapat mengikuti pendidikan dari SD sampai universitas tanpa dipungut biaya.

Mereka sadar bahwa melalui pendidikan masyarakat diberi alat dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mengambil bagian dalam kemajuan dunia. Tidak hanya itu, melalui pendidikan pula sikap dan tindak tanduk manusia dibentuk. Melalui pendidikan, disiplin, pola hidup bersih, dan kejujuran manusia ditanamkan. Ini tentu sedikit kontras dengan praksis pendidikan dalam negeri.

Nasib Guru
Harus diakui, apresiasi pemerintah terhadap profesi guru masih sangat rendah. Stereotip ini kemudian membuat nilai jual guru ciut jika disandingkan dengan karier lainnya. Buktinya, lulusan-lusan terbaik SMA semakin langka yang menceburkan diri ke fakultas pendidikan ketika kuliah. Akibatnya, profesi guru jarang diminati. Ini tak lepas dari kenyataan bahwa profesi guru identik dengan profesi yang tidak menjanjikan dari segi materi. Memang, materi bukan segala-galanya. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi pada era di mana persaingan ekonomi semakin ketat seperti sekangan ini, guru juga tidak mengelak bahwa materi penting untuk menunjang perjalanan profesinya.

Kemajuan bangsa ini sesungguhnya berada di tangan para guru. Pengembangan kualitas guru sesungguhnya terletak pada kemampuan pemerintah untuk memberikan perhatian sekaligus apresiasi yang sebesar-besarnya terhadap kiprah guru. Sebab, logikanya begini. Jika kita ingin mencetak siswa yang cerdas nan berkualitas, tentu gurunya harus cesdas dan berkualitas terlebih dahulu. Pun kesejahteraannya terpenuhi.

Memang, belakangan pemerintah telah dan tengah menggelindingkan program sertifikasi guru yang diproyeksikan untuk meningkatkan kesejahteraan para guru. Namun program ini juga tak sepi dari masalah karena masih berjalan tertatih dan berwatak parsial. Program sertifikasi serasa belum mampu membendung celetukan guru yang kurang lebih bunyinya seperti ini, “Untuk makan saja pas-pasan, apalagi untuk biaya sekolah anak dan urusan rumah tangga lainnya. Yang pasti, seorang guru harus memiliki pekerjaan sampingan.”

Celetukan di atas bukan celetukan biasa. Lahir dari hati yang terdalam. Ini yang penulis dengar sendiri dari beberapa rekan guru. Pada titik ini, tidak menuntut kemungkinan guru dalam mengajar banyak yang tidak fokus dan serius karena ia juga harus membagi pikiran, waktu, dan tenaganya ke bidang lain untuk mencari bisaroh tambahan. Pertanyaannya, jika UN hasilnya buruk, apakah guru saja yang harus disalahkan?
*Peneliti The Dewantara Instutute
Selengkapnya...

Jumat, 07 Mei 2010

SUARA MAHASISWA, Solusi Terbaik untuk PLTN* oleh:A Musthofa Asrori**

RENCANA pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) guna menanggulangi krisis listrik di seluruh Nusantara agaknya masih diselimuti pro-kontra di tingkatan masyarakat akar rumput (grass root). Kita bisa menunjuk di Semenanjung Muria sebagai bidikan pertama untuk lokasi PLTN. Semenanjung Muria, tepatnya di Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, merupakan kawasan hutan lindung nan subur yang semakin mengalami degradasi pascapenebangan liar beberapa tahun lalu.

Protes berkepanjangan dari warga setempat cukup masif dan sporadis. Tak tanggung-tanggung, dua kabupaten tetangga Kota Ukir ini, Pati dan Kudus, juga memberikan dukungan kepada warga Balong. Mereka menolak keras kebijakan itu. Alasannya memang tampak traumatis semata. Jika terjadi kebocoran instalasi PLTN, pasti akan merambah wilayahnya. Sudah tentu kekhawatiran ini cukup beralasan karena pernah terjadi hal serupa misalnya Tragedi Chernobyl di Ukraina.

Beberapa hari lalu penulis bersama tim kecil melakukan penelitian langsung di desa yang sedianya didirikan PLTN ini. Apa yang penulis saksikan betul-betul dramatis. Betapa tidak, ribuan warga Balong yang bisa dikatakan tertinggal ini dengan bersemangat dan antusias meneriakkan yel-yel tolak PLTN kala mengikuti dialog publik tentang nuklir di desa yang masih sejuk dan alami ini. Fenomena yang patut direspons segera oleh pemerintah pusat. Sejatinya, mereka tidak menolak rencana pendirian pembangkit listrik bertenaga nuklir. Akan tetapi, yang ditolak adalah pilihan atas lahan desanya, yang dekat dengan wilayah hutan lindung itu.

Dari perbincangan penulis dengan sebagian warga, setidaknya ada beberapa alasan krusial terkait penolakan kebijakan itu. Pertama, Desa Balong merupakan lahan subur yang produktif dan potensial. Hampir semua tanaman tumbuh menggembirakan di wilayah ini. Mulai padi, ubi-ubian, sampai sayur-mayur bisa tumbuh subur. Menurut pengakuan penduduk, tanah merekalah yang selama ini menghidupi dan memberikan kesejahteraan kepada penduduk.

Sebagai bukti empiris, hampir seluruh warga desa menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani dan peladang. Jika kemudian tanah mereka akan dibangun instalasi nuklir, otomatis radius beberapa kilometer dari tempat PLTN akan dibebaskan dari aktivitas penduduk, sudah tentu termasuk sawah dan ladang mereka pasti akan dikorbankan. Belum lagi mereka harus “banting setir”, alih profesi.

Kedua, hawa panas yang akan semakin menjajah tiap senti wilayah ini. Sekadar catatan, di Semenanjung Muria telah dibangun instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang setiap hari mengeluarkan asap hitam pekat yang berdampak meningkatnya suhu di wilayah itu. Jika PLTN dibangun di Balong, hawa panas yang diakibatkan PLTU tentu semakin membara di Bumi Kartini. Lengkap sudah penderitaan penduduk.

Ketiga, menjaga kemungkinan terburuk dari rencana itu, yakni kebocoran instalasi PLTN. Jika memang pendirian PLTN ini sudah dirancang sedemikian rupa dengan teknologi tinggi yang menjamin keamanan instalasi dari kebocoran, sedikit berandai-andai, apabila terjadi human error karena apa pun bisa terjadi, rakyat Balong mengusulkan untuk pindah lokasi yang tak padat penduduk. Alasan terakhir ini yang sekaligus menjadi usulan warga tampaknya bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengkaji ulang keputusan itu.

Pada titik ini pemerintah seyogianya mawas diri untuk tidak memaksakan kehendak mendirikan instalasi nuklir di kawasan hutan lindung ini. Toh, rakyat Balong tidak menolak pendirian PLTN secara membabi-buta. Hanya saja, tidak di wilayahnya yang notabene lahan subur, padat penduduk, dan telah didirikan pembangkit listrik bertenaga uap.

Dengan demikian, pilihan mencari lahan kosong di pulau yang tidak didiami penduduk agaknya merupakan solusi terbaik bagi rencana pendirian PLTN yang sangat berguna bagi pasokan energi dan dunia kelistrikan Indonesia di masa mendatang.



*Terbit di harian SINDO (Jum'at, 16 April 2010) www.seputar-indonesia.com/opini
**Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta,
Peneliti di Ciganjur Centre.
Selengkapnya...

PENGEMBANGAN BISNES PERSYARATAN UNTUK BISA KAYA* Oleh : Marzuki Usman**

• Anda Punya Tanah
Di Indonesia hak milik atas tanah tidak sepenuhnya diakui dan dilindungi oleh negara. Penyerobot tanah diakui haknya? Bumi dan air dan segala sesuatu dibawahnya dikuasai oleh negara……….. Sistem yang dianut tidak sunanun
• Anda Punya Keterampilan (Skill)
Di Indonesia, ketrampilan tidak digalakkan. BLK-BLK tidak sepenuhnya dimanfaatkan. Enam bulan pertama, tunggu uang. Enam bulan terakhir, menghabiskan uang
• Anda Punya Kepandaian (Expertise)
Pendidikan masih sistem kolonial dan tidak serius

PENGEMBANGAN BISNES
BACK TO BASIC, APA YANG DIMILIKI

• Sekolah-sekolah dari TK, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi
Lembaga pendidikan ini harus dirubah menjadi Profit Center ! Dan pengelolaanya harus bisnis like
• Rumah sakit, harus juga dirubah menjadi profit center dan pengelolaannya harus bisnis like
• Panti asuhan, harus juga dirubah menjadi profit center dan dikelola secara bisnis like
• Rumah jompo, harus juga dirubah menjadi profit center dan dikelola secara bisnis like. Di Jepang ada Home Nursing Company
• Mesjid dan mushola-mushola, harus dirubah menjadi bisnis like

PENGEMBANGAN BISNES
PERSYARATAN UNTUK SUKSES BERBISNESS

• Anda tahu betul bagaimana membuat produknya (Product Development)
• Anda tahu bagaimana menjualnya (Product Marketing)
3. Anda tahu membuat untung (Product Accounting)

PENGEMBANGAN BISNES
ARAH PENGEMBANGAN EKONOMI INDONESIA
2020 DAN SETERUSNYA

• Globalisasi, Sekaligus Peluang dan Ancaman
Mulai tahun 2020, dunia sudah globalisasi total.
 Dagang barang, bebas, tarif nol-nol
 Dagang jasa, bebas, melalui 4 modaliti: 1). Cross border, 2). Consumption abroad, 3). Commercial presence, and
4). Presence of natural person
 Pasar dibuka seluas-luasnya dan berlaku prinsip perlakuan nasional

• Indonesia fokus ke sektor kehutanan dan pariwisata
 Kenapa hutan, kayu pasti akan mahal harganya. Indonesia dikaruniai alam yang bersahabat
 Kenapa pariwisata, sudah tersedia

• Mengambil faedah sebesar-besarnya dari (1) dan (2)

PENGEMBANGAN BISNES
BEBERAPA IDEA-IDEA BISNES
• Sektor Kehutanan dan Pariwisata
1. Wana tani, bambu, sungkai dan meranti, cukup mulai dengan 3 ha, diluar Jawa
2. Pariwisata Pondok Wisata, Home Stay, Ecolodge, Wisata Ziarah seperti Candi Borobudur, Kuburan China, dsb.

2. Sektor kesehatan dan makanan
1. Home Nursing Company
2. Klinik-klinik spesialis
3. Rumah-rumah untuk penyembuhan
4. Warung obat-obatan generik di mesjid-mesjid
5. Warteg halal dan bersih di mesjid
6. Pabrik-pabrik roti, dan sebagainya
7. Rumah duka, rumah penantian

3. Penyewaan space / ruangan dari sekolah dan masjid-masjid untuk rapat, perhelatan dsb

4. Kuburan yang islami, perumahan yang Islami dsb

5. Pasar / super market Nyai Dahlan, dsb

PENGEMBANGAN BISNES
BAGAIMANA MENGERAHKAN DANA
• Terapkan Hukum Uang Kecil dan Hukum Bilangan Besar
 Setiap mesjid supaya dibuat data base dari jemaah mesjid
 Jalankan tabungan harian misal Rp. 5.000,- per hari per jemaah mesjid, atau per pedagang pasar, atau per anggota majelis taklim
 Jumlah tabungan apabila sudah besar, ditetapkan oleh komite investasi, untuk diinvestasikan kemana secara professional. Badan hukumnya boleh BMT atau koperasi

• Disetiap sekolah diadakan sistem dana pensiun guru-guru dan karyawan sekolah. Demikian juga untuk rumah sakit.

• Manfaatkan pembiayaan dana perbankan dan lembaga keuangan lainnya, termasuk dari luar negeri.



*Disampaikan pada: Dialog Publik ”REVITALISASI PERAN INDUSTRI DAN UKM DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL” SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati Jakarta) Rabu, 02 April 2008 Pendopo Kabupaten Pati Jawa Tengah
**Ketua Dewan Penasehat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)


Selengkapnya...

KEMANDIRIAN EKONOMI UNTUK MENEGAKKAN KEDAULATAN BANGSA * oleh : Marzuki usman **

KEMANDIRIAN EKONOMI UNTUK MENEGAKKAN
KEDAULATAN BANGSA
Oleh: Marzuki Usman


I. LATAR BELAKANG
Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang dianggap dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa sedunia. Bangsa ini dihargai karena negaranya kuat, kaya dan rakyatnya kaya dan pandai. Biasanya urut-urutannya dimulai dari rakyat yang kaya, mereka menjadi pandai, dan kuat, sehingga akhirnya melahirkan bangsa yang kaya, pandai dan kuat.

Dari sudut pandangan ekonomi, bangsa dan negara yang berdaulat itu sektor riilnya (supply side of the economy) adalah solid dan kuat. Ibaratnya kue ulang tahun, kuenya itu tebal. Karena sektor riilnya kuat (kuenya tebal) dan sektor permintaannya (demand side of the economy) yaitu meliputi sektor fiskal, moneter dan perdagangan internasional juga solid dan kuat.

Negara seperti ini jika dilanda krisis ekonomi, dengan cepat akan pulih kembali. Kenapa ? Karena rakyat sudah kaya, pandai dan kuat, sehingga meskipun sektor demand nya ludas (ornamentnya hancur), dalam waktu cepat bisa pulih kembali.

Inilah yang terjadi di Korea Selatan, Taiwan dan Thailand. Karena sektor riilnya kuat, mereka dengan cepat bisa pulih kembali. Sementera itu Indonesia, karena sektor riilnya lemah, kuenya tipis, ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia, maka memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali, bahkan berkembang menjadi krisis total.

Negara yang kuat dan berdaulat itu, memiliki kemandirian ekonomi dalam arti mereka hidup dari sektor-sektor yang memiliki keuntungan absolut (absolute advantage), keuntungan comperative (comparative advatage), dan keuntungan competitive (competitive advantage)! Negara-negara seperti ini memiliki ciri khusus dari kekuatan ekonominya. Mereka tidak hidup diluar batas kemampuan (They are not living beyond their own means). Boleh berhutang, tetapi harus sanggup membayar kembali. Boleh mengimpor, asal sanggup membayar devisanya. Mereka menciptakan iklim sedemikian rupa sehingga membuat investor sedunia tertarik untuk berinvestasi kesitu.

Makalah singkat ini ingin memberi jawaban terhadap pertanyaan, kemandirian ekonomi yang seperti apa yang ingin dicapai untuk dapat menegakkan kedaulatan bangsa Indonesia di arena dunia. Kemandirian ekonomi tidak boleh dibaca dengan menutup diri terhadap dunia luar (rumah tangga tertutup = autarky). Kemandirian yang seperti ini malah menyebabkan ekonomi yang semakin mengkrut dan menghasilkan tingkat kemakmuran yang semakin memburuk. Kemandirian ekonomi itu, berarti ekonomi Indonesia bertumpu kepada kekuatan yang khas Indonesia sehingga menjadi negara yang kaya dan kuat. Dengan demikian meskipun nanti ditahun 2020 Indonesia memasuki era globalisasi, bangsa Indonesia akan mengisi dunia dan bukan sebaliknya dunia mengisi Indonesia.

II. Sektor–Sektor Apa Yang Dapat Menopang Kemandirian Ekonomi Indonesia
Untuk mencari sektor-sektor mana yang dapat diandalkan untuk menopang kemandirian ekonomi Indonesia maka ukuran yang dipakai ialah keuntungan absolut (absolut advantage), keuntungan comparative (comparative advantage) dan keuntungan competitive (competitive advantage). Indonesia oleh Allah dikaruniai sumber daya alam yang melimpah ruah, bersifat asli, lokal, dan unik. Dalam beberapa hal tertentu beberapa spesi tertentu hanya terdapat di tempat tertentu di Indonesia. Sektor-sektor berikut ini akan dapat merangsang ekonomi Indonesia menuju kepada penegakan Kedaulatan Bangsa. Sektor-sektor itu adalah sebagai berikut :
1. Sektor I, meliputi sektor pertanian, perkebunan, perternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan. Saya menaruh reserve terhadap pertambangan terutama yang bersifat open-pit seperti pada tambang batu bara yang sifatnya membahayakan alam dan lingkungan.
2. Sektor II, industri yang merupakan pengolahan lebih jauh hasil-hasil dari produk sektor l.
3. Sektor III, pariwisata, seni dan budaya
4. Sektor IV, Bioteknologi

Di keempat sektor ini diperlukan investasi yang relatif kecil sehingga berlaku hukum 20 – 80. Artinya bekerja 20 menikmati hasil 80, dan bukan sebaliknya.

Ironinya selama hampir empat dekade yang lalu, keempat sektor ini terabaikan. Akibatnya, semestinya rakyat bisa kaya tetapi kenyataannya rakyat miskin bertambah banyak. Dibeberapa daerah, di desa seperti di Cilegon, tidak jauh dari proyek-proyek bernilai trilyunan rupiah (Krakatau Steel, Chandra Asri) masih ada petani dan nelayan yang hidup seperti di zaman Saija’ dan Adinda. Di dalam kota, seperti di Jakarta banyak sekali saudara – saudara kita yang miskin yang tinggal di kawasan KUMIS (kumuh dan miskin). Di kawasan ini untuk satu RT, 900 jiwa, WC cuma dua, kamar mandi dengan sumur timba cuma dua, kondisi rumah atap ketemu atap, dan ada gang senggol. Karena saking sempitnya sering senggol-senggolan dan menghasilkan banyak anak senggol-senggolan, (di Jakarta ada sekitar 500.000 jiwa). Pertanyaannya kenapa banyak sekali orang miskin?

Saya pribadi setelah merenung secara mendalam dan ketemu jawabannya bahwa :
1. Sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita, selama ini penuh dengan kesyirikan. Kita men – Ilahkan yang lain dari Allah. Kalau kita percaya ada hal-hal yang sakti itu memikili roh maka secara bodoh kita telah mempraktekkan kesyirikan. Marilah kita bertaubat dan minta ampun kepada Allah SWT.

2. Kita lebih mengutamakan konsep kesejahteraan dan bukan konsep kekayaan. Sejahtera konsep yang tidak jelas. Kaya, setiap rakyat mengerti.

3. Sistim kita dholim dan kufur nikmat. Hak milik pribadi di gagahi dan kita ingkar nikmat. Apakah adil seseorang menggali di tanahnya sendiri, ketika menemukan berlian, itu diambil oleh negara dan yang bersangkutan diusir dan hanya diberi ganti rugi senilai NJOP tanah yang bersangkutan.

4. Negara/pemerintah tidak pernah memberi tanah kepada petani, kecuali transmigran yang relatif tidak membuat kaya. Di negara – negara yang kaya, petani / rakyat di beri modal tanah sehingga bisa menjadi kaya. Lihatlah praktek yang terjadi di Amerika Serikat, Kanada, Taiwan, Korea Selatan dan sekarang RRC, petani diberi tanah meskipun masih hak guna usaha.

5. Praktek in efficiency dan mubazir meraja lela. Candi Borobudur yang semestinya dapat menghasilkan devisa, tetapi karena ummat Budha tidak boleh beribadat di candi itu, maka hal ini menghilangkan hasrat mereka untuk berziarah. Padahal di dunia ini ada 2 milyar ummat Budha.

III. HIJRAH (CHANGE)

Dalam usaha untuk memandirikan ekonomi Indonesia, maka dalam sidang MPR 2004 kita perlu hijrah (change) yaitu :
1. Hijrah dari konsep sejahtera menjadi konsep kaya. Tujuan kemerdekaan adalah untuk mengkayakan rakyat dan bukan untuk mensejahterakan rakyat.

2. Hijrah dari hak milik pribadi di gagahi (pasal 33 ayat 3, UUD 1945), menjadi hak milik pribadi sepenuhnya di lindungi oleh negara

3. Undang-undang agraria di amendir sehingga pemilikan tanah diluar Jawa boleh lebih dari 5 Ha, dan tanah-tanah di luar Jawa di bagi habis. Penduduk asli dapat duluan, dan lebihnya di alokasikan ke penduduk Jawa.

4. Undang-undang tentang candi Borobudur, di amendir sehingga ummat Budha boleh beribadat di Candi.

5. Dikeluarkan undang-undang perlindungan saksi, sehingga mereka yang bersaksi di lindungi oleh Undang-undang.

6. Sistem peradilan dirubah menjadi sistem juri dan keputusan peradilan berlaku menjadi undang-undang.

Adanya perubahan mendasar ini akan berakibat ekonomi Indonesia akan mandiri dan terpadu. Hijrah kehidupan berbangsa dan bernegara dari :
• Miskin menjadi kaya
• Bodoh menjadi pandai
• Dholim menjadi adil
• Letoy menjadi bangkit

Pada gilirannya bangsa dan rakyat yang kaya, pandai, adil, dan bangkit akan menjadi bangsa yang berdaulat dan dipandang oleh bangsa-bangsa lain di dunia.


Jakarta, 30 Maret 2008

* Disampaikan pada: Dialog Publik ”REVITALISASI PERAN INDUSTRI DAN UKM DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL” SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati Jakarta) Rabu, 02 April 2008 Pendopo Kabupaten Pati Jawa Tengah
** Ketua Dewan Penasehat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)


Selengkapnya...

Catatan Kecil Bahwa, Untuk Kesekian Kalinya Usaha Kecil Menengah (UKM)[1] Oleh : Marzuki Usman[2]


I. Latar Belakang
Kepedulian pemerintah terhadap usaha untuk mengangkat Usaha Kecil Menengah (UKM), rupanya tidak pernak kapok, atau jinjo kata orang-orang di Jawa. Semenjak Pemerintahan Soekarno, diterusi lagi oleh Pemerintahan Soeharto, tidak pula ketinggalan juga oleh Pemerintahan Habibie, dan demikian pula dengan pemerintahan Abdurrahman Wahid, Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, dan sekarang tidak mau ketinggalan pula oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, program mengangkat martabat UKM dengan segalam macam bentuk dan cara tetap menjadi acuan dari setiap rezim pemerintah. Ironisnya, para UKM boleh berharap dan tidak pernah putus berharap, namun dalam kenyataannya baru sebatas janji-janji saja. Ambillah contoh program Kredit Investasi Kecil (KIK) pada Pemerintahan Soeharto, indah tujuannya, namun dalam praktek selalu berlaku hukum, “Bahwa orang bodoh adalah makanannya orang pandai“. KIK yang semula didesain untuk membiayai, memulai usaha investasi sebesar Rp 25 Juta dalam praktek dimanfaatkan oleh investor kaya. Si investor kaya ini meminjam 10 nama-nama dari UKM dan menyediakan jaminannya berupa Sertifikat Hak Milik tanah dan lalu mengorganisasi pinjaman UKM ke Bank milik Pemerintah, masing-masing Rp 25 Juta. Hasil akhirnya si investor kaya mengantongi kredit KIK sebesar Rp 250 Juta dengan bunga murah yakni 12% per tahun, (waktu itu bunga kredit bank sebesar 20% pertahun), sementara si UKM atau si pribumi yang dipakai namanya sudah cukup puas dengan uang minum kopi Rp 100.000 saja.

Secara teori ekonomi selalu diingatkan bahwa setiap program subsidi akan elalu berakhir dengan salah kaprah, yaitu yang menikmati bukanlah end-user tetapi selalu oleh mereka-mereka yang tidak memerlukan bantuan. Adalah merupakan sifat umum dari manusia yaitu: 1). Jika bisa tidak membayar, kenapa harus membayar, atau 2). Jika bisa mendapat lebih murah, kenapa harus membayar mahal, lalu apa yang semestinya harus dikerjakan?

Catatan kecil ini berusaha untuk sekedar mencari solusi yang masuk akal untuk mengangkat derajat dari para UKM. Yang penting bukanlah membuat setiap UKM menjadi pengusaha menengah dan besar karena kalau ini yang diinginkan, maka nanti kasihan kepada orang-orang kecil, mereka makan di restoran belum mampu sementara Warung Tegal (Warteg), sudah pada berubah menjadi restoran besar. Yang utama adalah membuat pengusaha UKM itu menjadi solid dan likuid. Kata Schumaker, “Small is Beautifull”


II. Siklus Berusaha

Belajar kepada pengalaman orang-orang yang sukses berusaha seperti Mochtar Riyadi, Ibu Moeryati Soedibyo, Ibu Umi (Ayam Goreng Mbok Berek), Soedarpo, dsb, bahwa untuk berusaha yang sukses haruslah memiliki pengetahuan dan atau keterampilan dalam tiga siklus yaitu :
1. Tahu bagaimana membuat produk (Product Development). Ini kunci untuk membuat produk yang berkwalitas dan mampu bersaing. Disini faktor effisiensi dan effektivitas dipraktekkan dalam perilaku bisnis .
2. Tahu dan pandai menjual (Product Marketing). Bisa membuat tapi, tidak bisa menjual, maka kebangkrutan sudah diambang pintu. Ingat peristiwa pesawat terbang ditukar dengan beras ketan.
3. Tahu bagaimana menghitung untung (Product Accounting). Akhirnya, ujung-ujung duit, kata orang Padang beli ampek (4) dijual limo (5).
Pengalaman saya mengasuh acara Pesantren Ekonomi di TVRI beberapa waktu yang lalu, pengusaha yang sukses selalu berkata bahwa faktor uang, baca, kredit itu ada pada urutan kesepuluh . Jadi, “berikan saya uang/kredit murah, pasti saya bisa”, ternyata belum merupakan jaminan untuk sukses berusaha,

Saya menyarankan kepada Pemerintah supaya persyaratan untuk sukses berbisnis dibantu untuk dapat dilaksanakan oleh pengusaha UKM. Mari memberdayakan Balai Latihan Kerja (BLK) yang sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal untuk melatih dan mendidik, UKM, mahir dalam mempraktekkan ketiga siklus dari berbisnis. Untuk itu perlu dimulai untuk memberikan sertifikat keterampilan dan atau sertifikat keahlian oleh assosiasi keterampilan/keahlian dari masing-masing bidang. Misalnya, sertifikat ahli meng-las oleh Asosiasi Tukang Las (Welder), sertifikat supir umum oleh Asosiasi Supir Umum, dst, dan jangan sertifikat oleh pejabat pemeritah.

Setelah itu supaya pemerintah secara serius dan dengan tanpa biaya membantu penerbitan sertifikat atas tanah dan bangunan kepunyaan para UKM. Sebab, adalah percuma ada program kredit murah bagi UKM melalui perbankan karena ketika mereka datang ke bank, ketika banknya minta jaminan, mereka tidak bisa menyediakannya. Akibatnya dana yang disediakan untuk kredit UKM ini akan menganggur di bank yang bersangkutan. Dalam hal ini banknya diuntungkan karena dana itu dapat diinvest ke pasar uang.

Lebih jauh, kalau memang hati pemerintah sudah di rakyat, mari dimulai program memberikan tanah misalnya 2 ha per kk, kepada rakyat yang belum memiliki tanah, dan langsung bersertifikat. Ini baru namanya Pemerintah serius, ingin mengkayakan rakyat, dan semogalah.





Jakarta, Akhir Maret 2008


Marzuki Usman



Selengkapnya...

Sekedar Catatan Kecil Untuk Ekonomi Syariah* Oleh : Marzuki Usman**

I. Pendahuluan.
Ekonomi Syariah, atau dibaca ekonomi dengan sistem Islam, sekarang kelihatannya lagi ngetrend. Hampir setiap kegiatan ekonomi ingin diberi label atau nama sebagai ekonomi Syariah. Sudah ada misalnya bank Syariah, asuransi Syariah (Takapul), sistem tabungan Syariah, investasi Syariah dan bahkan beberapa komoditi sudah diberi nama dengan nuansa Islam, seperti kata-kata: berokah, muslimah, dan sebagainya. Secara garis besar gerakan ini ada yang bersifat semacam mode atau fashion belaka, tetapi ada lagi yang lebih mencari kemurnian pengamalan agama Islam didalam kehidupan ekonomi.

Secara ilmu ekonomi positif (Ilmu ekonomi yang menjawab pertanyaan apa adanya) pada prinsifnya semua manusia itu sebagai mahluk ekonomi, mereka berprilaku yang sama. Misalnya sebagai konsumen, manusia itu ingin mendapat kepuasan yang sebesar-besarnya dalam mengkonsumsikan barang-barang dan jasa-jasa. Manusia lebih suka banyak daripada sedikit. Manusia itu tidak pernah puas. Kata emak saya, “kalau perlu isi dunia ini, dia telan semuanya, maka ia belum puas juga”. Sementara, jumlah barang dan jasa-jasa yang tersedia terbatas atau langka adanya. Maka terjadilah persaingan diantara sesama manusia dalam mengkonsumsikan barang-barang dan jasa itu.

Secara hukum ekonomi, misalnya, kalau anda hanya punya sedikit uang, maka jangan coba-coba untuk mengkonsumsikan barang yang mahal. Artinya jangan berperilaku besar pasak dari tiang. Awak hanya burung pipit, jangan coba-coba mau menelan jagung. Bisa-bisa nyawa melayang dibuatnya.

Akan tetapi secara ekonomi normatif, yaitu ilmu ekonomi yang ingin melaksanakan praktek ekonomi bagaimana seharusnya menurut kaedah tertentu, maka boleh saja ada sistem ekonomi Pancasila seperti yang diidamkan oleh Mubyarto, atau sistem ekonomi Syariah yang sekarang sedang giat-giatnya diperjuangkan oleh tokoh-tokoh intelektual islam. Pada dasarnya teori ekonominya sama, cuma didalam assumsinya dimasukkan unsur-unsur normatif. Misalnya, seorang konsumen tidak boleh menurut hawa nafsu serakahnya, agar dia tahu membatasi dirinya sendiri. Kalau anda lagi kekenyangan ingatlah masih banyak orang lain yang lagi kelaparan. Tetapi hasil akhir dari penerapan secara normatif, praktek ekonomi haruslah manghasilkan harga yang sama. Jika tidak, berarti telah pemborosan (waste) dari sistem tersebut.

Contoh, kalau harga bakso permangkok di pasar Jakarta adalah Rp. 7.000,- maka jika memakai sistem ekonomi pasar Liberal atau sistem ekonomi Syariah, maka harga bakso itu haruslah tetap Rp. 7.000,- permangkok. Apabila dengan penerapan sistem ekonomi Syariah harga bakso menjadi Rp. 8.000,- permangkok, maka berarti dalam pengadaan bakso itu telah terjadi pemborosan. Dan itu harus diderita oleh konsumen. Namun sebaliknya apabila harga bakso permangkok, konsumen cuma sanggup membayar Rp. 6.000,- maka berarti produsenlah yang menderita akibatnya, yaitu beberapa pedagang bakso terpaksa gulung tikar.

II. Sistem Ekonomi Syariah
Dari bacaan-bacaan yang saya peroleh, sebenarnya sistem ekonomi Syariah secara Qur’ani, artinya berdasarkan pemahaman-pemahaman yang tertera di dalam Qur’an, sistem ekonomi Syariah itu berdasarkan kepada 2 prisip, yaitu prinsip sistem yang kuat (strength) dan sistem yang amanah (trust). Kenapa demikian? Karena menurut ajarannya, sistem yang kuat adalah sistem yang didalam perencanaannya dan pelaksanaannya berdasarkan pengalaman yang kuat, penelitian dan pengembangan yang kuat, dan juga berdasarkan test-test yang kuat. Kemudian di dalam pelaksanaannya selalu amanah artinya: tidak curang, tidak bersekongkol, tidak melanggar apa-apa yang dipesankan, dan tidak memakan atau menikmati yang bukan merupakan hak-haknya.

Sebagai referensi daripada sistem Syariah adalah kisah Nabi Allah Musa ketika beliau terdampar di Madyan. Beliau menolong dua orang anak gadis Nabi Allah Syuib untuk mengangkat tutup sumur. Tutup beliau angkat sendiri saja. Pada hal diperlukan 40 orang Badui untuk mengangkatnya. Jadi Nabi Allah Musa itu kuat (strength). Ketika beliau diundang kerumah Nabi Allah Syuib dan ditunda oleh anak gadis Nabi Allah Syuib, ketika angin bertiup sehingga aurat anak gadis Nabi Allah Syuib kelihatan, Nabi Allah Musa tahu bahwa itu bukan merupakan haknya. Ia minta anak gadis Nabi Allah Syuib berjalan dibelakang dan menunjuk jalan dengan melempar batu. Maka Nabi Allah Musa sudah amanah (trust). Inilah pesan Ilahi untuk sistem Syariah, yaitu sistem yang kuat dan amanah, artinya tidak jahil dan tidak dholim. Kenapa? Karena Allah sendiri tidak jahil dan tidak pernah mendholimi hamba-hambanya.

Ketika sistem Syariah ini diterapkan dikalangan industri perbankan, maka riba itu haram, karena telah terjadi praktek ketidak adilan. Artinya ketika suku bunga tabungan ditetapkan terlalu rendah, maka hal itu sudah mendholimi para penabung. Akan tetapi jika suku bunga ditetapkan terlalu tinggi, maka hal itu berarti mendholimi para peminjam (debitur). Disamping itu didalam pelaksanaan simpan pinjam bukan atas dasar kesepakatan bersama, yakni suka sama suka (adil), tetapi kebanyakan sepihak, yaitu kondisi-kondisinya ditetapkan oleh bank itu sendiri. Misalnya ketika sipenabung menitip uangnya di bank, itu bukan untuk investasi, maka secara Syariah bank belum mendapat mandat baik secara lisan ataupun tertulis untuk menggunakan uang itu sebagai pembiayaan kredit.

Didalam sistem Syariah diperbankan, misalnya saya memiliki uang Rp. 10 juta dan mau ikut program investasi di bank syariah. Maka saya akan bernegosiasi dengan bank yang bersangkutan berapa porsi hasil investasi yang disepakati, misalnya 60 persen untuk saya dan 40 persen untuk bank. Demikian juga dengan resiko macet ditanggung secara proportional. Kemudian ada si Ali yang minta pembiayaan investasi sebesar Rp. 5 juta. Ali setuju keuntungan dibagi sama besarnya, yakni masing-masing 50 persen, diantara bank Syariah, dan si Ali. Demikian juga dengan resiko ditanggung secara sama rata dan sama rasa. Didalam pelaksanaannya, Si Ali untung Rp. 2 juta, maka bank memperoleh Rp. 1 juta, yang kemudian dibagi ke saya sebesar Rp. 600.000,- dan bank menerima Rp. 400.000,-. Apabila Si Ali pada putaran berikunya, uang hasil keuntungannya digunakan untuk menambah modal usaha, maka ia berhak untuk mendapat bagian hasil usaha yang lebih banyak. Jadi misalnya Ali akan menerima 60 persen dan bank Syariah turun ke 40 persen. Jika tidak demikian halnya maka telah terjadi praktek ketidak adilan dan itu tidak lagi Syariah. Dalam hal seperti ini bank telah mendholimi si Ali.

III. Kesimpulan.
Tulisan ini mencoba untuk mengulas setitik kecil dari sistem ekonomi Syariah. Kita ambil contoh dari praktek simpan pinjam di perbankan. Pada prinsipnya sistem ekonomi Syariah itu adalah sistem yang menjamin pelaksanaan kegiatan ekonomi dengan sistem yang kuat (strengh) dan amanah (trust). Apabila salah satu atau kedua prinsip itu dilanggar, maka secara normatif sistem itu bukan lagi sistem ekonomi Syariah. Sudah barang tentu dengan dilaksanakan sistem ekonomi yang kuat dan amanah, maka akan dapat terhindar praktek-praktek pemborosan, pemubaziran, kecurangan dan pendholiman. Hasil akhirnya akan membuat semua pelaku ekonomi berbahagia, yaitu rakyat, pengusaha dan pemerintah. Semogalah menjadi kenyataan!.

Jakarta, 30 Maret 2008
Marzuki Usman


*Disampaikan pada: Dialog Publik ”REVITALISASI PERAN INDUSTRI DAN UKM DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL” SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati Jakarta) Rabu, 02 April 2008 Pendopo Kabupaten Pati Jawa Tengah.
**Ketua Dewan Penasehat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)

Selengkapnya...