Selasa, 31 Agustus 2010

PUASA (Perbuatan, Ucapan, Akal, Sifat, dan Amal) oleh In'am Muhlisin*

Kita sebagai orang yang beriman diwajibkan untuk berpuasa. Adapaun pengertian puasa itu sendiri secara bahasa adalah menahan diri dari sesuatu. Sedangkan secara terminologi, puasa adalah menahan diri dari berbuka pada siang hari yaitu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan disertai niat berpuasa. Sebagaimana firman Allah swt di dalam surat Al-Baqarah ayat 187

"dan makan minumlah kalian hingga terang bagimu antara benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” maksudnya adalah setelah terbit fajar kita tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum, dan berhubungan sex.

Selain menahan diri dari makan, minum dan berhubungan sex kita juga harus menjaga dan meningkatkan 5 perkara, yaitu yang pertama adalah Perbuatan, yang kedua adalah ucapan, yang ketiga adalah Akal atau pikiran, yang keempat adalah Sifat, dan yang terakhir adalah Amal. Agar lebih mudahnya kelima perkara tersebut bisa disingkat menjadi PUASA yaitu Perbuatan, Ucapan, Akal atau pikiran, Sifat dan Amal.

Pada kesempatan yang penuh Rahmat ini kita akan mencoba menguraikan satu-persatu dari singkatan PUASA tersebut.

Huruf yang pertama adalah P yaitu Perbuatan, di dalam bulan Ramadhan yang suci ini marilah kita tingkatkan perbuatan yang baik dan tinggalkan perbuatan yang buruk Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu dapat menghapuskan keburukan tadi.”

Hadis diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi,

Hadis ini menjelaskan bahwasanya perbuatan buruk bisa dihapus dengan perbuatan baik, maka dari itu di dalam bulan yang penuh dengan rahmah dan ampunan ini marilah kita berlomba-lomba untuk berbuat baik kepada diri kita sendiri dan kepada sesama.

Huruf yang kedua adalah U yaitu Ucapan, ada pepatah mengatakan “mulutmu harimaumu” pepatah ini sudah jelas bahwa betapa bahayanya mulut / ucapan kita kalau kita tidak bisa menjaganya. Kemarin ada berita di TV, hanya gara-gara tersinggung dengan ucapan, seorang mahasiswa tega membunuh temannya sendiri, naudzubillah min dzalik. Nah oleh karena itu di dalam bulan yang penuh rahmah ini marilah kita menjaga mulut kita dari ucapan-ucapan yang negatif seperti berdusta, mencaci maki, ngrumpi dsb. Rasulullah bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yg tdk meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum” Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

Inti dari pada hadis ini adalah kalau kita tidak bisa menjaga ucapan dan perbuatan kita maka puasa kita akan sia-sia belaka.

Huruf yang ketiga adalah A yaitu akal, akal adalah kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan akal kita bisa membedakan mana yang baik dan mana buruk akan tetapi biasanya manusia sering menggunakan akal untuk berpikir yang negative atau negative thinking, misalnya ada tetangga kita yang biasa2 aja yang kerjanya hanya sebagai satpam tiba2 membeli mobil mewah, pasti kebanyakan dari kita sudah berpikir yang tidak-tidak “dapet duit dari mana dia bisa beli mobil mewah? padahal pekerjaannya Cuma satpam aja, janga-jangan...” Nah inlah yg dinamakan suudzon atau negative thinking padahal kita belum tau kebenarannya. Bapak2 dan ibu yg diberkahi Allah, di dalam bulan yang penuh kesempatan ini marilah kita rubah pikiran kita dari pikiran yang negative menjadi pikiran yang positif, yaitu selalu husnuzzon atau postif thinking karena pola pikir yang baik dapat merubah kehidupan kita menjadi lebih baik.

Huruf yang keempat adalah S yaitu sifat, setiap orang pasti mempunyai sifat baik dan sifat buruk oleh karena itu di dalam bulan yang penuh berkah ini marilah kita berusaha menghilangkan sedikit demi sedikit sifat-sifat buruk yang ada di dalam jiwa kita. Rosulullah bersabda:

"Banyak orang yang puasa mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan hanya rasa lapar dan haus saja". H.R. bukhari.

Secara tersirat Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang masih mempunyai sifat-sifat buruk seperti iri, dengki, sombong, dsb maka orang tersebut tidak akan mendapatkan pahala puasanya.

Huruf yang terakhir adalah A yaitu Amal, bulan ramadhan adalah bulan amal Ibadah dimana kaum muslimin saling berlomba dalam menggapai amal Ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan amal ibadah kepada Allah swt., seperti: menolong orang yang kesulitan, mendamaikan orang-orang yang bertengkar, tadarus Al-Qur’an, infaq, sedekah, berzikir kepada Allah, dan sebagainya.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ.

“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata: kecuali puasa, sesungguhnya ia untuk-Ku dan Aku akan membalas sendiri orang yg melaksanakannya.” Hadis Riwayat Imam Muslim

Betapa dahsyatnya bulan puasa ini, hadits di atas dgn jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah akan melipatgandakan pahala bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat namun akan dibalas sesuai dgn keinginan-Nya padahal kita tahu bahwa Allah Maha Pemurah maka Dia tentu akan membalas dgn berlipat ganda.

Demikian yang dapat saya sampaikan semoga dalam melaksanakan ibadah puasa kita juga dapat memperbaiki dan meningkatkan PUASA yaitu Perbuatan, Ucapan, Akal (pikiran), Sifat, dan Amal kita. Amin..

Kurang lebihnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, akhirul kalam wabillahi taufiq wal hidayah..

والسلام عليكم….


* Ketua Umum Silaturahmi Mahasiswa Pati(SIMPATI)Jakarta dan Sekitrnya Periode 2006-2009

Selengkapnya...

Jumat, 20 Agustus 2010

Puasa dan Spirit Kemerdekaan* Oleh Ali Rif'an**

Bagi umat Muslim Indonesia, bulan Agustus kali ini memiliki makna yang berbeda, yakni menjalankan ibadah bulan puasa sekaligus memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks Indonesia, baik bulan Ramadhan maupun 17 Agustus, keduanya menghadirkan momentum yang bertemu pada satu titik, yaitu 'kemerdekaan'. Hanya saja, konteks makna 'kemerdekaan' yang terkadung di dalamnya berbeda. Tujuhbelas Agustus bisa dibilang sebagai kemerdekaan yang berupa fisik, sementara Ramadhan lebih identik dengan kemerdekaan non-fisik.

Kemerdekaan fisik tujuhbelas Agustus tercermin dari terbebasnya rakyat Indonesia dari cengkeraman kaum kolonial. Kemerdekaan dalam konteks ini lebih diorientasikan bagaimana rakyat Indonesia tidak lagi ditindas dan dijajah oleh bangsa asing, bagaimana kekayaan alam tidak lagi dikuras oleh para penjajah, rakyat Indonesia memiliki kebebasan (mengungkapkan ekspresi, berbicara, berpendapat, dan lain-lain), mempunyai papan, sandang dan pangan yang layak, hidup sejahtera, makmur dan seterusnya.

Sedangkan kemerdekaan yang diusung dalam bulan Ramadhan adalah kemerdekaan jiwa, ruh, dan mental-spiritual. Puasa pada dasarnya merupakan kekuatan pembebas (liberating power) dari belenggu tangan penjajahan. Penjajahan dalam konteks ini menjurus kepada hal-hal yang berkategori ruhani, seperti suka berbohong, berkhianat, mencela, korupsi, maling, sombong, mau menang sendiri, bertindak sewenang-wenang, anarkis, dan lain sebagainya.

Kemerdekaan Mendesak

Pada saat ini, kemerdekaan mendesak yang harus segera diwujudkan adalah kemerdekaan Ramadhan (kemerdekaan ruhani). Spirit kemerdekaan yang terkandung dalam bulan Ramadhan selayaknya ditancapkan dalam setiap segi-dimensi kehidupan berbangsa. Sebab. kemerdekaan fisik sudah tampak dengan terbebasnya rakyat Indonesia dari belenggu, pengangkangan, dan penindasan oleh kaum penjajah bangsa asing. Sementara kemerdekaan ruhani masih mengundang 'tanda tanya besar'. Karena harus diakui, menjubelnya berbagai permasalahan yang belakangan ini menimpa bangsa Indonesia menandakan bahwa ruhani kita masih terjajah. Artinya, kekacauan diri akan berimplikasi pada kekacauan sistem dan tatanan dalam masyarakat, bangsa dan negara. Karena, sebuah masyarakat, bangsa dan negara dibangun oleh individu-individu di dalamnya, yang memiliki perbedaan latar belakang antara satu dan lainnya. Kita bisa saksikan pada level elite politik, korupsi kian merajalela.

Hasil riset Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta (Pukat Korupsi), misalnya, menyebutkan bahwa dalam Triwulan II-2010, Indonesia mendapati 124 kasus korupsi. (Kompas, 6 Agustus 2010) Ironisnya, pelaku tindak korupsi tersebut paling banyak dilakukan oleh para pejabat negara.

Begitu pula dalam gelanggang hiburan di Tanah Air. Kasus hebohnya video porno dan tayangan infotainment vurgar yang belakangan semakin merebak mengindikasikan bahwa moral anak bangsa kita masih sakit, terjajah, dan belum merdeka. Ini belum termasuk konflik vertikal dan horizontal yang hampir saban hari menghiasi persada negeri bumi Pertiwi. Seperti pertikaian para elite politik, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, kisruh antarpenduduk desa, konflik antarpartai politik, atapun merebaknya politik uang di arena pilkada (pemilihan kepala daerah) dan politisasi pendidikan yang kian merajalela dan lain-lain.

Mengapa semua itu terjadi? Karena, hati dan jiwa sebagian besar masyarakat kita masih dalam kondisi terjajah. Dengan terjajahnya hati dan runani, seseorang akan berjalan tidak stabil, kacau, dan cenderung menuruti nalar hewani. Untuk itu, puasa disyariatkan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membabat habis mental dan hati yang rusak tersebut. Tujuan puasa adalah membebaskan jiwa atau hati (qolb) dari penyakit-penyakit ruhani. Puasa mampu mendorong manusia untuk mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri dari segala sifat hewan, dan mencari hakikat kebenaran yang transendental. Puasa mendesak kita untuk bisa kembali kepada fitrah sebagai manusia seutuhnya. Eksistensi kesederhanaan dan kejujuran yang memang merupakan sifat dasar manusiawi. Islam memang keyakinan yang tidak menentang kepemilikan harta dan pemenuhan hasrat duniawi. Namun spirit ketauhidan menginterupsi hasrat kita berlaku adil dalam menciptakan kesalehan sosial.

Puasa juga menghadirkan pendidikan berupa latihan agar dalam memenuhi aneka dorongan tubuh terarah ke jalan yang benar, tidak melanggar etika sosial keagamaan, dan tidak melanggar harmoni kehidupan sosial kemasyarakatan. Melalui puasa, kita akan menemukan korelasi dan koherensi antara tujuan mulia kemanusiaan dan kenegaraan dengan jalan menjauhi kekerasan, ketidakadilan, demoralisasi, dan intoleransi.

Inti puasa adalah melahirkan manusia agar menjadi lebih baik dan sempurna. Seperti ulat ketika hendak menjadi kupu-kupu yang indah, ia harus berpuasa terlebih dahulu dengan menjadi kepompong. Karena itu, puasa dalam Islam bertujuan untuk mencapai tingkat ketakwaan setinggi-tingginya guna melahirkan kesalehan sosial. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)

Untuk itu, mari kita jadikan bulan Ramadhan kali ini tidak hanya sekadar menjadi ritual yang kaku, beku, dan mati. Hakikat puasa adalah untuk menahan hawa nafsu. Esensi Ramadhan seharusnya menjadi titik tolak kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan hakiki yang akan mampu mengentaskan bangsa ini dari segala keterpurukan.



* Terbit di Harian Suara Karya Jumat, 20 Agustus 2010

** Penulis adalah kader muda Nahdatul Ulama (NU); tinggal di Jakarta.



Selengkapnya...

Senin, 28 Juni 2010

POSISI CINTA DUNIA oleh Habib Asfiya Jauhari*

LETAK

Dimana waktu akan berlari
Sampai nanti mereka mati
Dimana waktu akan berlari
Saat mereka mulai menghampa diri
Dimana waktu membelakangi bumi
Berharap dia masih berlari
Dimana waktu membelakangi bumi
Menjadi terkapar disini sendiri



BAGAIMANA EFISIEN

Gerakan-gerakan monoton masih bergerak
Pergeseran-pergeseran hanya titik... dan titik
Dan bergesek tanpa terburuk-buruk
Titik monoton sampai berbunga
Cepat, dan cepat, dan trade off
Pembebasan dalam jalan kelipatan
Kerugian tidak ada yang mau
Padahal antara langit dan bijak
Terasa aneh bagi subsidi
Pengurangan efisiensi
Tidak ada efek-efek
Membagaimanakan bantuan




PERTUKARAN

Manfaat sama dengan untung
Pada daun yang karena angin puntung
Untung dari tukar special?
Pikirkanlah eksternalitas!!!
Ada keinginan masuk
Ada keinginan keluar
Bagaimanapun terjadi kerja
Perlu ditingkat itu tanah-tanah
Kalau masuk,
Tekanan pada akar tercabut



PUISI TIDAK JADI

Ketika engkau berjalan
Bagaimana anda bersajak?
Sajak dalam jalan-jalan?
Bagaimana ada jalan-jalan dalam sajak?
Sajak tak jadi puisi
Dari jalan-jalan yang kau puitisasi
Tidak ada puisi yang disajakisasi
Sehingga puisi tidak lagi jadi puisi





DEMI KESEIMBANGAN

Demi keseimbangan
Aku debitkan
Aku kreditkan
Demi keseimbangan
Dua jalur berguncang-guncang
Aku pegangi dari gelombang birahi
Sampai tenang
Demi keseimbangan
Kututup mata, tengadahkan tangan
Demi keseimbangan
Maaf, engkau menjadi korban





HAWA DI DEKATKU

Hari ini hawa makin panas
Berkelit dari tangkapan airku
Sejak pagi tadi
Hari ini hawa sendiri
Tapi panasnya membebaniku
Sejak pagi tadi
Hari ini hawa tertunduk
Mungkin merasa terlalu panas
Atau menjadi pemanas
Hari ini hawa sendiri lagi
Menunggu adam di dekatku
Tetapi aku adalah adam yang lain
Hawa diam didekatku






DINDING PINTU

Aku berjalan dari belakang
Menghadap ke depan menatap sesenggukan
Terkurung dari ruang nista kehidupan
Aku akan keluar
Memegang sebuah senyum kelakar
Berharap orang di luar sana gembira
Biarkan aku terbaring menunggu pintu
Padahal aku menghadap dinding
Ada kunci dan palu
Menemaniku mungkin dari dulu
Aku hancurkan dinding
Kemudian aku tendang pintu
Mendapati kedatanganku
Berharap orang di luar sana gembira


* Aktifis SIMPATI dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Akutansi Negara(STAN) jakarta
Selengkapnya...

Selasa, 08 Juni 2010

Asal Usul Tasawuf Dan Irfan Dalam Sejarah Oleh : Mohammad Anwar*


Islam sebagai sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bagi para arif atau sufi menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Untuk mencapai hal itu, perlu dilakukan usaha-usaha spiritual yang berat dan panjang melalui media yang disebut ilmu Tasawuf. kebanyakan orang menyamakannya dengan Irfan.
Sebelum lebih jauh, mengenai dua term di atas (tasawuf dan irfan), dalam literatur-literatur ilmu tasawuf dan berbagai tulisan mengenai tasawuf maupun irfan terdapat adanya persamaan (sinonim) antara keduanya. Lebih dari itu, di sisi lain sebenarnya juga masih ada yang membedakan istilah tersebut. Sehingga menurut penulis, penting sekali untuk mencari kejelasan terkait dua istilah itu. Perbedaan ini terletak pada masalah objeks kajian atau ruang lingkup pembahasannya. Dari sini, akan ditelusuri perbedaan-perbedaan tersebut dan bagaimana memahami keduanya dalam sebuah kajian.
Pemaparan mengenai perbedaan istilah di atas, akan menjadi hal penting dalam memahami segala pembahasan mengenai tasawuf dan irfan. Walaupun tidak berpengaruh signifikan ketika masuk dalam sejarahnya, lebih-lebih pada tataran esoterik atau secara subtansi. Selanjutnya, tasawuf dan irfan tidak muncul begitu saja dalam dunia keilmuan Islam. Tentu ada sejarah bagaimana ia muncul dan apa yang menyebabkannya muncul menjadi tradisi yang kental dalam Islam. Selain itu, tokoh-tokoh Islam, dalam hal ini sufi atau arif, juga menjadi bagian penting dari sejarah awal mula tasawuf dan irfan.
Untuk memenuhi dan menjawab pembahasan tentang “asal usul tasawuf dan irfan dalam sejarah”, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengekplor lebih dalam lagi. Sehingga diharapkan akan tercipta pemahaman yang utuh tentang tasawuf dan irfan itu sendiri.

Pengertian Tasawuf dan Irfan
Istilah Tasawuf dalam sejarahnya, baik dalam pengertian etimologi maupun istilah, para ahli saling berbeda pendapat. Dari pengertian etimologi, pengertian tasawuf terdiri dari beberapa macam. Tapi yang paling populer atau yang banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf adalah yang mengatakan tasawuf berasal dari dari kata shuf, yang berarti “bulu domba” atau”wol”.
Diantara mereka yang cenderung mengakui makna ini antara lain Al-Kalabadzi, Asy-Syukhrawardi, Al-Qusyairi, dan lainnya walaupun dalam kenyataannya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol. Ia menegaskan bahwa tasawuf dapat berkonotasi makna dengan tashawwafa ar-rajulu, artinya “seorang laki-laki telah men-tasawuf”. Maksudnya, laki-laki itu telah berpindah dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi. Sebab, para sufi ketika memasuki dunia tasawuf, mereka mempunyai simbol-simbol tersendiri. Seperti pakaian dari bulu, tentunya bukan wol, tetapi hampr menyamai goni dalam kesederhanaannya.
Beberapa makna lain dari Tasawuf antara lain, tasawuf dikonotasikan dengan istilah ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang pada masa rasul yang sering berdiam diri di masjid. Ada juga yang menisbatkannya dengan kata saufi (yunani), disamakan dengan “hikmah” yang berarti kebijaksanaan. Istilah lainnya seperti, shafa’, orang yang mensucikan diri. Shaf, orang yang ketika shalat selalu berada di shaf paling depan.
Pengertian secara istilah, tasawuf dapat dijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari usaha-usah membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antar manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dalam mencapai keridhaannya.
Sekarang beranjak pada pengertian irfan. Irfan jika dilihat dari segi pengertian etimologinya, sama dengan ma’rifat (pengetahuan) atau dalam istilah Barat lebih dikenal dengan gnosis. Yaitu perolehan pengetahuan yang dicapai lewat hati nurani, penghayatan dan pengalaman jiwa. Sedangkan arti terminologinya yaitu sifat atau keadaan orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan membenarkan dengan melaksanakan ajaran-ajaran-Nya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa irfan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempunyai dasar ilmu huduri, dimana dalam perjalanan spiritualnya, hamba Allah meniscayakan adanya pengetahuan hakiki daripada pengetahuan tashawwur (konsepsi) dan tashdiq (afirmasi). Adapun orang yang telah mencapai irfan atau ma’rifat disebut ‘arif. Arif ini adalah orang yang sudah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubarinya melihat Tuhan.

Adanya Perbedaan Pengertian
Dalam sejarahnya, istlah irfan dikenal sebelum lahirnya sufi besar Islam yang bernama Dzun Nun al-Mishri (156-245 H). Dialah yang memperkenalkan irfan pertama kali. Ia menambahkan pengertian diatas dengan “kemudian mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat yang terpaku lama di pintu ruhani, yang senantiasa I’tikaf dalam hatinya, kemudian dia menikmati keindahan dekat hadirat-Nya.
Mungkin sulit bagi kita untuk mengetahui kapan istilah irfan mulai digunakan di kalangan ulama Islam, tetapi dengan memperhatikan pendapat Junaid Baghdadi (wafat thn. 298 Hijriah) yang menyatakan bahwa kata irfan pernah digunakan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kata irfan mulai digunakan pada abad ketiga hijriah.
Pada mulanya, pemahaman tentang irfan, ibadah dan zuhud belum mengalami perbedaan makna. Namun secara perlahan-lahan, terjadi perbedaan makna antara ketiga kata ini. Setiap kata arif, abid dan zahid memiliki makna khusus dan tersendiri. Berkaitan dengan perbedaan antara ketiga kata ini, dalam kitabnya Isyarat, Syaikh Ra’is Abu Ali Sina berkata: “Zahid adalah istilah khusus bagi orang yang menghindari dunia dan kelezatan-kelezatannya. Orang yang menjaga dan selalu mawas diri dalam menekuni amal shaleh seperti shalat, puasa dan lainnya disebut abid.
Sedangkan orang yang berusaha keras dan mengerahkan segala kemampuan dan pikirannya untuk menyucikan diri dan selalu berlindung pada kebenaran disebut arif. Namun ketiga istilah ini terkadang dapat saling menyatu.” Dengan demikian, makna irfan telah berubah seiring dengan perjalanan waktu. Terkadang irfan memiliki makna tersendiri dan terkadang semakna dengan tasawuf.
Harus diperhatikan bahwa tasawuf merupakan salah satu mishdaq dan cabang dari irfan, bukan keseluruhan irfan. Irfan dengan makna umumnya mempunyai kesesuaian makna dengan seluruh makna agama dan mazhab yang ada di dunia, baik kecil maupun besar, yang memiliki bentuk beraneka ragam. Artinya irfan sebagai makna subtansi atau pola beribadah memiliki dimensi yang lebih luas. Bahkan para penyembah Totem misalnya, memiliki rahasia dalam kepercayaannya yang untuk meraihnya mereka harus menempuh jalan rohani. Mereka yakin bahwa alam memiliki hubungan dengan Totem sehingga mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengannya. Dalam tafakkur mereka, dapat dilihat asas-asas irfan di dalamnya.
Demikian juga dalam agama-agama kuno India dan Iran, dalam agama Kristen dan Islam, dapat disaksikan hakikat irfan di dalamnya. Dalam kepercayaan agama hindu, diyakini yang namanya Manvantara. Sebuah sistem waktu atau siklus spiritual manusia. Dimana manusia mempunyai daya spiritual untuk membersihkan hidupnya yang kotor. Bahkan dalam agama Yahudi sekalipun yang memiliki akidah paling berbeda tentang Tuhan dan memiliki dendam kesumat terhadap manusia tidak kosong dari hakikat irfani. Hal ini dapat dilihat dalam kitab suci mereka “Mazamir Daud”, “Ghazal Sulaiman” serta ungkapan–ungkapan indah mereka yang berasal dari syuhud batin dan jiwa manusia dalam mencari dan mencintai Tuhan.
Masih dalam perbandingan makna antara keduanya. Dari sisi pendekatan, Ustad Syahid Muthahhari ra. setiap kali ahli irfan ditinjau secara akademis maka hal tersebut dialamatkan pada ‘urafa, tetapi setiap kali ditinjau secara sosial dan kemasrakatan maka hal ini dialamatkan pada mutasawwifah. Berbeda lagi dengan imam Khomeni Qs, beliau berpendapat irfan yakni berhubungan dengan makrifat irfani, tetapi tasawuf berhubungan dengan aspek sair suluk atau perjalanan spiritual (riyâdhâ) seorang sufi.
Penulis lebih sepaham dengan Muthahhari, yang selanjutnya ia mengatakan irfan lebih dinamis dari pada tasawwuf, karena tasawwuf lebih menekankan pada pembahasan jiwa internal manusia untuk bertahalli (menghias diri) dan ber tajalli (manivestasi) dengan asma’-asma’ Allah. Tapi irfan, menurutnya, tidak hanya membahas tentang jiwa internal manusia, tapi juga mengajak manusia berjalan untuk keluar dari alamnya menuju alam Tuhan . Perjalanan itu disebut dengan safar. Artinya disini, jika membahas esoterisme Islam dalam tataran amalinya lebih tepat dikatan tasawwuf. Sebaliknya, jika masuk lebih dalam membahas tema-tema dalam proses pengenalan Tuhan, maka tepat disebut irfan.
Seperti yang penulis katakana sebelumnya, dari berbagai penjelasan tentang adanya perbedaan antara tasawuf dan Irfan, penulis cenderung paham dan setuju dengan apa yang dikatakan oleh Muthahhari. Karena apa yang disebut sufi, lebih menunjukkan kefakirannya atau zuhud hidup di dunia. Artinya hal ini cenderung pada wilayah praktis. Kalaupun tasawwuf sudah menjadi ilmu pengetahuan, dia hanya berbicara tentang tarekat-tarekat dan ajaran-ajarannya. Lebih dalam berbicara tentang jiwa manusia sebagai media untuk menangkap cahaya illahi. Dan menyebutkan tingkatan-tingkatan untuk sampai pada sang Khaliq.
Berbeda dengan irfan, yang muncul cenderung sebagai ilmu dan dibicarakan para arif untuk kepentingan intelektual dan lebih dalam cakupannya. Hal ini terbukti dengan adanya dua aspek dalam irfan yaitu irfan teoritis dan praktis. Tapi yang juga perlu diketahui adalah keduanya tidak selalu berpisah dan benar-benar tidak bisa ditemukan. Keduanya bisa ditemukan dalam setiap madzhab dan sekte Islam. Dan juga ditemukan dalam kelompok yang berbeda di wilayah sosial. Artinya keduanya tetap memiliki perbedaan, tapi keduanya juga (tasawwuf dan Irfan) dapat menjelma sekaligus dalam diri seseorang atau sebuah kelompok.
Untuk lebih memudahkan pemahaman untuk pembahasan selanjutnya, maka akan saya sebutkan makna yang sama dari kedua term di atas (irfan dan tasawuf). Sebagaimana dipahami pada umumnya.
Tasawuf dan Irfan Dalam Sejarah
Sebenarnya esensi dari tasawuf (Irfan) dalam praktek adalah mengingat nama Allah (dzikir) . Hal ini sebenarnya sudah ditetapkan sejak permulaan munculnya agama, bahkan sebelum ritual-ritual yang diajarkan pada nabi, berupa shalat sebagai jalan eksoteriknya. Metodenya sudah dipraktekkan Nabi pada masa-masa awal kerasulan di Mekkah, salah satunya adalah penyendirian spiritual (I’tikaf atau khalwah). Hal ini juga telah ada pada Ibrahim, yang ajaran esoterisme agamanya masih berkesinambungan sampai pada esoterisme awal Islam. Bahkan nabi Adam pun telah mempraktekannya.
Seiring berjalannya zaman kenabian Muhammad dan telah berhijrah dari Mekkah ke Madinah, kelompok esoterik yang menjadi generasi pertama sufi dan sangat dekat dengan Nabi, menjadi minoritas di Madinah. Mereka melakukan ibadah-ibadah sunnah yang dapat dikatakan sebagai ibadah esoterisme , dimana ketika diamalkan oleh mayoritas menjadi eksoterisme. Tapi ketika diamalkan kelompok minoritas spiritual, ibadah-ibadah sunnah itu diesoteriskan kembali.
Kenapa demikian, karena kaum sufi memang bergerak dalam wilayah-wilayah esoteris atau batiniah. Sebagaimana yang dijelaskan di awal, bahwa mereka (sufi) adalah orang-orang yang beribadah dan dekat dengan Allah melalui segala pengetahuan hudurinya.

Orisinalitas Ajaran Irfan (Tasawuf) Islam
Menyangkut masalah orisinalitas, dalam hal ini ajaran tasawuf, perlu dibuktikan bahwa ia memang bersumber pada Islam, sekalipun Islam belum turun sebagai agama. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait dengan hal ini adalah apakah ilmu Islam ini seperti halnya ilmu filsafat, kedokteran, matematika yang terpengaruh dari peradaban selanjutnya? Atau seperti ilmu fiqh yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip metode yang didasarkan pada nash? Atau ada kemungkinan pertanyaan lain?
Semua pertanyaan tersebut tidak begitu perlu penulis jawab dan jelaskan panjang lebar dalam tulisan ini. Tapi akan dijelaskan secara umum terkait pertanyaan tersebut. Dan perlu digaris bawahi bahwa kaum Arif, lebih cenderung pada alternatif yang kedua. Akan tetapi para orientalis tetap bersi keras bahwa ajaran irfan Islam terpengaruh atau mengadopsi ajaran-ajaran dari luar Islam.
Beberapa anggapan mereka (orientalis), seperti asal usul gagasan irfan berasal dari “Kristen”. Dengan alasan adanya kontak awal antara orang-orang Arab dengan Kristen pra-Islam. Juga ada yang menyatakan produk filsafat neo-Platonis dibawah pengaruh phytagoras. Yang meyakini bahwa ruh itu bersifat kekal dan tubuh ini merupakan penjara bagi ruh. anggapan lain, bahwa adanya kemiripan istilah-istilah irfan dengan ajaran agama Persia. Dan masih banyak lagi. Tapi juga tidak lantas menafikan adanya sedikit pengaruh dari luar Islam.
Seperti yang dijelaskan Muthahhari dalam bukunya,Mengenal Irfan, bahwa dasar ajaran Islam cukup dengan memahami sistem doktrinal Islam, yaitu monoteisme atau tauhid. Yang berarti bahwa hanya ada satu wujud tunggal atau sejati yaitu Allah swt. Dan ia melanjutkannya secara singkat bahwa ajaran-ajaran dasar Islam sangatlah mampu untuk menginspirasikan berbagai gagasan spiritual yang sangat mendalam, baik teoritis maupun praktis. Meskipun juga ia menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan bagi kaum arif. Seperti dalam surat al-Baqarah: 115, QS. Qaf:16 dan QS. Al-Syams: 7-8.

Masa Generasi Pertama
Menelusuri kembali tokoh-tokoh pertama dalam irfan, setelah irfan atau tasawwuf ini menjadi sebuah istilah dan fenomena keagamaan, tidak cukup memerlukan penelitian yang berat. Mengingat banyak literatur yang berbicara tentang itu. oleh karenanya, untuk tujuan menelusuri sejarah awal munculnya, tampaknya lebih tepat diawali pada tahun hijrah pertama. Sudah jelas bahwa pada awal hijriyah belum ada sekolompok orang yang disebut sufi atau urafa’. Istilah tersebut muncul pertama kali pada abad ke-2 hujriyah/8 Masehi.
Orang pertama yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim al Kufi. Dia adalah orang pertama yang membangun rumah musyafir di Ramlah, Palestina, sebagai tempat ibadah para zuhud muslim. Tapi mengenai wafatnya, belum diketahui kapan. Ia mempunyai murid yang bernama Abu Qasim Qusyairi, juga terkenal sebagai sufi besar. Terkait masalah orang pertama dan kemunculan kelompok sufi, ia mengutarakan bahwa istilah sufi telah muncul sebelum tahun 200 H/815 M. Ini jelas disebutkan dalam Kitab al Ma’isyah jilid V dari Al Kafi bahwa ada sebuah kelompok, Sufyan Sauri dan kelompok sufi lain yang telah disebut dengan istilah ini. Tapi yang jelas, istilah ini mulai populer dan digunakan pada abad ke-3 H.
Tapi, yang jelas penulis tidak akan menguraikan panjang lebar terkait masalah ini. Karena memang bahasannya hanya sebatas sejarah awal mula kemunculannya. Oleh karena itu, dalam pembahasan penutup, penting kiranya menyebutkan nama-nama penting dalam generasi pertama. Seperti Hasan Basri, ia lahir pada tahun 22 H/ 642 M da \n hidup selama 88 tahun. Dikelompokkan sebagai sufi karena melihat karya-karyanya seperti Ri’ayah li Huquq Allah. Dimana isinya membahas tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Kitab ini dikatakan sebagai kitab pertama tentang sufisme.
Tokoh lainnya antara lain Malik bin Dinar (w.130H/747M), seorang yang menjalani asketisme dan menahan diri dari kesenangan duniawi. Ibrahim bin Adham (w.161H/777M), Rabiah Adawiyah (w.135H/752M), Abu Hasyim as Sufi dari Kufah, nama terakhir ini adalah orang pertama yang disebut sufi sebagaimana yang dikatakan oleh muridnya, Sufyan Sauri. Nama-nama lainnya adalah, Syaqiq Balkhi (w.194H/810M), Ma’ruf Karkhi dan Fudail bin Iyad. Beberapa tokoh di atas tidak semuanya mengenal istilah sufi, tapi mereka sudah mempraktekan akhlaq sufi dan beberapa membahas segi esoterisme Islam.

Kesimpulan

Dari semua pemaparan terkait masalah asal mula Tasawwuf dan Irfan, dalam bab penutup ini, penulis cenderung akan mengambil poin penting dari semua penjelasan di atas. Karena kesimpulan lebih tepatnya dapat ditemukan diakhir bab. Dimana setiap bab memiliki bahasan yang berbeda, walaupun tetap mempunyai keterkaitan.
Pertama, mengenai term Tasawwuf dan irfan ternyata ada perbedaan pengertian dan cakupan.sebagamana diungkapkan para tokoh. Yaitu tergantung dari sudut mana kita melihatnya dan seberapa jauh cakupan yang dibahas keduanya. Kedua, berbicara sejarah munculnya, secara hakikat, irfan dan tasawwuf telah muncul sejak adanya kehidupan yaitu bermula dari Adam as. Karena konsep irfan berdasarkan tauhid Islam. Dimana disadari adanya wujud hakiki sebagai sebab wujudnya alam semesta ini. Dan menyadari bahwa manusia dan alam ini adalah ciptaanNya. Oleh karena itu, hidup ini adalah untuk mengenal dan mengabdi pada yang memberi hidup. Dan semua yang berasal dari-Nya akan kembali pada-Nya.
Maka dapat diartikan bahwa benih-benih atau pun irfan sebagai hakikat sudah muncul sebelum turunnya Islam sebagai agama. Yang selanjutnya, irfan dan Tasawwuf menjadi sebuah fenomena keagamaan dalam masyarakat, sebuah kelompok, bahkan disiplin ilmu. Konsep irfan atau tasawwuf islam jelas disebutkan dalam al-Qur’an, dan hal itu mempunyai argumentasi yang kuat untuk membuktikan bahwa konsep spiritual Islam, irfan dan tasawwuf tidak berasal dan terpengaruh dari faham-faham diluar Islam.

Jakarta, 29 Mei 2010






Referensi

Nasr, Seyyed H (editor). Ensiklopedi Tematis Spiritualiatas Islam (buku pertama). (Bandung : mizan 2002).
Syams, ruhullah.Irfan Dan Tasawuf Islam. diakses dari http://telagahikmah.org/id/index. com tgl. 10 april 2010.
Simuh.Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam.(Jakarta: Rajawali pers.1996).
Deden hms.Irfan Sebagai Metode Mencapai Pencerahan Spiritual.(skripsi).
Solihin, Rosihon Anwar. ilmu tasawuf. Bandung: Pustaka Setia 2008.
Sekha Alidrus.Hijab Dalam Pandangan Irfan (tasawuf). Diakses dari www.al-shia.com tgl. 11 April 2010.
Muthahhari.M.Mengenal Irfan, meniti maqam-maqam kearifan. Jakarta : Penerbit IMAM & Penerbit HIKMAH 2002.





* Mahasiswa Program Islamic Studies di The Islamic College Jakarta dan Sekarang Menjabat Di Devisi Lembaga Semi Otonom SIMPATI

Selengkapnya...

Tentang Pesantren dan ZamanBagikan Oleh Muhamad Fahdi*


Susah untuk dimulai, susah untuk dideskripsikan secara sederhana, susah untuk mencari jalan keluar yang manis. Selalu demikian pembahasan akan pesantren saat ditentangkan dengan perubahan zaman.
Mencoba untuk sederhana, hal yang selalu disebarluaskan adalah dinamisme Pesantren, keluwesannya, inovasinya dalam penyesuaian. Yang intinya untuk masalah ini, pesantren selalu bisa mengikuti perubahan zaman.
Tapi ternyata memulai dengan penyederhanaan tersebut menjadi sangat naif. Pasalnya kembali pada subkultur yang tersemat pada pesantren yang mulai dipopulerkan oleh Gus Dur. Dan secara kalangan umumpun menganggukkan kepala untuk hal ini.
Subkultur yang berarti suatu bagian (sub) yang unik dari budaya (kultur) besar sebuah bangsa. Keunikan subkultur ini memiliki tiga poin penting dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan nilai yang diikuti, serta hirarki kekuassaan yang interen tersendiri yang diikuti sepenuhnya. Maka sudah maklum pesantren masuk dalam kategori subkultur.
Karena, (1) Pesantren memiliki cara hidup unik; cara kehidupan santri. Mulai dari jadwal kegiatan yang berbeda dari pengertian rutinitas masyarakat sekitar, tidak adanya ukuran waktu tertentu pada masa belajar di pesantren, sistematika pengajaran yang seakan tak berkesudahan dan berulang-ulang dari jenjang ke jenjang dengan menggunakan kitab kuning, lalu kehidupan keseharian yang merupakan aplikasi dari pelajaran yang diterima.
(2) Pandangan hidup dan nilai yang khas, muncul sebagai akibat dari cara hidup unik di atas. Yaitu visi keikhlasan yang berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan ketaatan (tawadlu’) yang bersumber dari nilai barakah (grace); kepercayaan bahwa pengawasan kiai-ulama pada santri akan mempermudah penguasaan ilmu-ilmu agama yang benar (right religious sciences).
(3) Hirarki kekuasaan yang mutlak di tangan kiai dan para pembantunya, ditegakkan di atas kewibawaan moral sang kiai sebagai juru selamat para santri dari melangkah ke arah kesesatan. Kekuasaan atau kepemimpinan ini dibangun berdasarkan kepercayaan, bukan berdasarkan patron-klien sebagaimana masyarakat pada umumnya. Dus, inipun menjadi unik.
Dengan adanya ketiga hal di atas maka itulah pesantren sebagai subkultural, yang berarti pesantren sebagai unit dari budaya yang berdiri terpisah dan pada waktu bersamaan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Tapi pernyataan inilah sebenarnya yang menjadikan sebuah kebingungan ketika dihadapkan pada tujuan pesantren, untuk memiliki daya tarik keluar yang berarti agar masyarakat tertransformasi kultrul pesantren yang dianggap pilihan ideal bagi pola kehidupan umum. Yang berarti mengancam keberpisahan tersebut dan selanjutnya mengancam ke-subkulturannya.
Tujuan tersebut berdampak pada sikap pesantren yang harus selalu mampu menjawab kebutuhan sosial untuk mengembangkan framework kemasyarakatan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Dengan bahasa lain framework sosial yang dikembangkan pesantren harus selaras dengan perkembangan masyarakat lain secara umum. Menjadi lembaga yang tidak ekslusif dan mudah diterima oleh masyarakat. Karena keberubahan yang konstan dari sebuah zaman yang tentunya mempengaruhi masyarakat. Dan pada waktunya (seakan-akan) pesantrenpun harus terpengaruh juga. Maka, perlu untuk dipertanyakan kembali tentang ke-subkulturan pesantren tersebut, keunikan sebuah pesantren dari masyarakat.
Sebelum adanya jawaban untuk hal tersebut, menjadi menarik untuk dijawab terlebih dahulu sebuah pertanyaan awal ini, “Apakah tujuan dari tersematnya ikon subkultural pada pesantren?” Yang berkembang ke pertanyaan, “Subkultural pesantren apakah sebuah keharusan? Dalam arti apakah harus dijaga?”
Sebenarnya memang pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang Gus Dur, karena Beliau yang menyebarluaskan hal ini. Tapi jawaban Beliau hanya bisa diperkirakan, kurang lebih agar pesantren lebih dikenal oleh masyarakat, dengan kata lain ini sebuah promosi pesantren. Jika memang demikian, keharusan untuk menjaga subkultural tersebut bisa menjadi hilang ketika pesantren memang sedang melebur dengan masyarakat dan masyarakatlah yang menginginkan hal tersebut. Istilahnya, pesantren menyediakan penawaran yang disesuaikan dengan permintaan masyarakat. Namun, apa memang demikian jawaban tersebut? Bukankah ini hal yang menarik untuk dikaji?
Ada sebuah jawaban tentang perubahan yang diikuti pesantren, yakni asal nilai minimal dari pesantren tidak ikut berubah dan nilai inilah yang diharapkan bertransformasi dan diterima secara umum masyarakat, nilai asetisme.
Tapi ini bukanlah jawaban dari subkultur pesantren. Nilai hanyalah satu dari tiga poin utama sebuah subkultur, dan masih ada nilai yang lainnya selain asetisme seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk jangka panjang, proses penyesuaian pesantren yang berlangsung terus-menerus ini, pasti akan semakin menggerus dua poin utama lainnya, walaupun nilai asetisme itu bisa dijaga. Tapi tidak berarti nilai lainnya masih bisa ajeg.
Sebagai contoh yang paling konkrit adalah semakin tergerusnya otoritarisme seorang kiai pada pesantrennya, ketika sistem yayasan dari masyarakat mulai dianut oleh pesantren, sebagai wujud dari penyesuaian itu. Searah hal ini, nilai tawadlu’ dari seorang santri terhadap kiai juga semakin berkurang, entah sebagai akibat pengaruh dari luar atau dari sosok kiai itu sendiri yang dianggap tidak mampu memberi nilai barakah.
Berhubungan dengan sistem pendidikan yang ikut berubah, hal ini ikut merubah cara kehidupan santri yang unik, dan tentunya perubahan nilai tidak bisa dicegah. Seperti dewasa ini, pesantren di pesisir utara Jawa Tengah cenderung dalam mendirikan institusi pendidikan SMK (kejuruan), karena memang sistem SMK ini menjadi pilihan yang paling diminati masyarakat. Tapi ternyata hal ini malah mendorong masuknya nilai-nilai luar pesantren lebih gencar merasuk pada para santri, tentunya nilai-nilai ini cenderung merusak, termasuk nilai dari remaja luar pesantren yang selalu membangkang dan ingin kebebasan yang sebebas-bebasnya. Dan ini riil terjadi, menurut pengamatan penulis.
Jadi, disini jika di kalkulasikan proses transformasi yang riil terjadi adalah lebih banyak dari masyarakat ke pesantren dari pada sebaliknya. Apa hal ini tidak menjadi masalah ketika memang yang ditumpukan untuk bertransformasi ke masyarakat adalah nilai minimal yang telah disebutkan di atas? Yang berarti subkultur tidak menjadi hal yang perlu dijaga?
Mungkin hanya Gus Dur, Zaman dan Allah yang mengetahui dan bisa menjawab ini. Wassalam.



*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Selengkapnya...

Jumat, 28 Mei 2010

Sulitnya Kesadaran Hidup Damai di Timur Tengah Bagikan* Oleh: Moh fairuz Ad-dailami**


Hamas adalah faksi politik terbesar di Palestina yang kuat akan doktrin perangnya, lebih-lebih menyangkut masalah ideolegis terhadap suatu kebenaran yang mereka yakini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina sedikit banyak terkait oleh faksi politik ini.

Sementara Israel juga tidak jauh beda, bahwa menganggap masyarakat Palestina tak ubahnya seperti “musuh abadi” sebagaimana mereka yakini dalam kitab suci. Cara berfikir masing-masing pihak seperti inilah yang menjadikan konflik di Timur Tengah tidak dapat dihindari.

Untuk mengetahui seberapa sering konflik di Timur Tengah itu akan terjadi, maka mau tidak mau kita harus mengenal karakter masyarakat yang bersangkutan. Itu mengapa konflik Israel dan Palestina seolah sulit untuk dicarikan solusi terangnya, bahkan jalan perang pun akan ditempuh selama menyangkut kebenaran masing-masing pihak yakini.

Kenyataannya, faksi politik Hamas yang “seradikal” itu justru mendapatkan dukungan penuh oleh masyarakat Palestina. Bahkan menurut survey, masyarakat Palestina dalam prosesi pemilunya secara mengejutkan 80 persen dari total suara yang masuk semuanya mendukung Hamas.

Aspirasi masyarakat terhadap suatu kelompok faksi politik merupakan sebuah dukungan sekaligus penggambaran karakter suatu masyarakat itu. Jadi, kelompok Hamas yang “suka perang” dan jauh dari cara-cara diplomasi itu, secara tidak langsung merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang ada. Dan semua bentuk “pertarungan” ini tidak lain demi kepentingan nasional masing-masing negara.

Kepentingan Nasional
Bagaimana menegetahui kepentingan nasional (national interest) suatu negara, dalam studi hubungan internasional sendiri ada beberapa pendekatan. Diantaranya adalah tergantung posisi pengamat untuk meletakkan cara pandangnya memilih neo-relisme atau neo-liberalsme.

Dua teori ini adalah sama-sama relevannya sampai saat ini untuk memetakan perilaku suatu negara dan juga kebijakan politik luar negerinya. Semuanya ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan nasional negara masing-masing. Itu mengapa, kedua teori ini dalam dialektikanya banyak melahirkan kritik keras satu sama lain.

Penyerangan Israel ke Palestina tanpa jalur neoisasi merupakan pendekatan militeristik yang digunakan oleh kaum neo-realisme dalam upaya memberikan perlindungan bagi masyarakat sipil Israel terkait masalah kepentinagan nasional. Hal ini tidak jauh beda dengan perilaku Pelestina itu sendiri dengan kelompok faksi Hamasnya. Jadi, pada dasarnya antara Palestina dan Israel sama-sama menggunakan cara pandang yang doktrinnya jauh dari kata “damai” dan upaya diplomasi itu.

Bagaimana mungkin negosiasi antara dua negara itu dapat terwujud untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-bangsa yang damai, jika masyarakatnya sendiri mempunyai karakter yang sulit untuk didamaikan. Belum lagi masalah ini semakin diperkeruh dengan sentimen ideologi (agama) maupun “dendam lama” yang selalu mewarnai mind-set masyarakat kedua negara yang saling bertikai itu.

Jadi, lengkaplah konflik ini akan berkelanjutan sampai salah satu di antara mereka benar-benar ada yang lumpuh, tumbang, dan kalah. Dan ini adalah harga mahal yang harus dibayar, khususnya bagi masyarakat sipil yang secara tidak langsung “dilibatkan” pada peperangan antar neraga tersebut.

PBB selaku badan dunia yang merupakan peng-ejawantahan dari Institusional Liberalism dari konsepsi neo-liberalisme sebagai penjaga keamanan dunia pun kenyataannya tidak sesuai apa yang digariskan. Tetap saja akan kesulitan mencari resolusi seperti apa bagi keduanya yang dapat diterima oleh semua pihak. Sebagus apapun rancangan resolusi yang ditawarkan, hal itu akan menjadi tidak efektif dan berfungsi guna ketika dihadapkan pada karakter masyarakat yang disebut Gus Dur (K.H Abdurrahman Wahid) adalah masyarakat “konservatif” dan realis itu.

Perang dan damai adalah dua hal yang memang benar adanya, namun seberapa besar dari salah satu mana yang akan mendominasi tergantung masyarakat dalam cara berfikirnya. Adalah bagaimna tetap mempertahankan kepentingan nasional namun dengan cara yang damai dan pendekatan yang manusiawi merupakan jalan efektif untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-negara yang damai.

Impian Umat Manusia
Tampaknya untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama dalam konteks pergaulan antar-bangsa yang aman dan damai memerlukan gelombang kesadaran yang besar oleh semua lapisan masyarakat dunia. Mereka harus sadar bahwa dalam hirarki paling tinggi terkait bagian dari masyarakat internasional, kesatuan frame dalam paradigma bahwa tiap-tiap individu merupakan hubungan persaudaran yang terikat meskipun lintas benua, agama, ras, suku, entis, dan bahasa adalah kunci mewujudkan cita-cita manusia yang berkeadaban.

Mungkin kedengarannya terlalu utopis sebagaimana kaum liberalis. Namun cara berfikir apa lagi yang mampu menciptakan tatanan kehidupan dunia yang harmonis selain pendekatan di atas? Adalah suatu kebenaran bahwa fitrah manusia merindukan suasana kehidupan surga dan bagaimana menghadirkannya ke dunia sebagai impian seluruh umat manusia sebagaimana fungsi guna tertinggi dalam kehidupan beragama (QS: Al-Hujarat, 13).





*http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10073
** Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik(FISIP) UIN Syarif Hidayatilloh Jakarta



Selengkapnya...

Selasa, 25 Mei 2010

MENAGIH IDEALISME KHITAH* Oleh: Anom Bagas Prasetyo**


Tulisan Abdul Ghaffar Rozin, Perwujudan Idealisme Khitah (SM, 8/4/2010), menarik untuk diapresiasi kembali. Rozin menyebut terpilihnya KH Sahal Mahfudh-KH Said Aqil Siradj dalam Muktamar Ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai wujud kemenangan idealisme khitah. Bagi Rozin, keduanya adalah representasi kubu khitah, yang berorientasi pada politik kerakyatan dan kebangsaan.

Dalam catatannya ia menilai bahwa muktamirin sudah capai dan emoh ditunggangi kepentingan politik praktis, meski hal itu dilakukan oleh elite Nahdlatul Ulama (NU) sendiri. Sehingga, menjadi wajar jika muktamirin cenderung memilih Sahal untuk posisi Rais Aam Syuriah, dan Said untuk posisi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Kedua figur ini dinilai sebagai sosok yang teguh membawa NU ke pangkuan Khitah 1926 (panduan dasar).

Benar bahwa Muktamar NU yang dilaksanakan pada akhir Maret lalu adalah ajang pertaruhan, apakah NU akan dipimpin figur prokhitah, atau sebaliknya, dipimpin oleh figur pro kekuasaan dan berorientasi politik praktis-pragmatis. Namun demikian, buru-buru menilai bahwa “kemenangan” Sahal-Said merupakan perwujudan idealisme khitah, adalah kesimpulan yang perlu diuji lebih lanjut.

Sekiranya benar warga nahdliyin sudah capai dengan kegiatan politik praktis para elitenya, sehingga pilihan muktamirin jatuh pada Sahal-Said, belumlah cukup untuk dijadikan bukti bahwa di masa kepengurusannya kini, NU tidak lagi “diseret-seret” ke dalam kubangan politik praktis. Butuh waktu yang tidak sebentar—sekurangnya selama periode kepengurusan mereka berlangsung—untuk dapat menilai kinerjanya.

Muktamar dan khitah
Setiap kali muktamar berlangsung, muncul wacana tentang perlunya mengembalikan NU pada khitahnya. Saat yang sama, tafsiran tentangnya juga mengemuka dalam banyak versi. Kembali ke Khitah 1926 telah menjadi bahasan pokok di forum muktamar, tak terkecuali dalam Muktamar Ke-32.

Lagi pula, di kalangan nahdliyin belakangan ini ada kekhawatiran wacana kembali ke khitah sekadar “jargon tim sukses” para kontestan dalam pemilihan pucuk pimpinan NU. Tak dapat dimungkiri, sejarah kepengurusan NU mencatat fakta yang tak selalu konsisten dengan ingar-bingar muktamar. Kekhawatiran semacam ini kiranya dapat dimengerti jika menengok sepak-terjang NU dalam sepuluh tahun terakhir.

Dua periode kepemimpinan KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, misalnya, menunjukkan praksis yang sepenuhnya tak dapat diterima nahdliyin sebagai manifestasi kembalinya khitah. Di bawah kepemimpinan Hasyim, peran NU dalam pemberdayaan umat tak bisa dipandang gemilang, untuk tidak mengatakan gagal. Energi NU lebih banyak terkuras untuk orientasi politik praktis-pragmatis ketimbang memperteguh visi khitah.

Dalam hal ini, perlu digarisbawahi, Khitah NU 1926 bukan hanya menerangkan ihwal tujuan berdirinya NU, gerakan-gerakan, ataupun hubungan organisasi NU dengan politik belaka. Khitah juga menerangkan hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah SWT dan soal kemasyarakatan. Menurut tokoh NU KH Muchit Muzadi, khitah meliputi dasar agamanya, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, termasuk faham kenegaraannya.

Karena itu, dapat dimengerti demikian besar ekspektasi nahdliyin terhadap Sahal-Said agar membawa NU kembali ke pangkuan khitah secara murni dan konsekuen. Keduanya diharapkan teguh mengawal khitah sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus tercermin dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi, serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Di pundak keduanya, nasib NU lima tahun ke depan akan ditentukan ke mana arahnya.

Sejarahlah yang akan mencatat, apakah kedua petinggi NU ini akan konsisten, tegak lurus menjaga idealisme khitah dalam pengertian yang hakiki—sebagaimana dicita-citakan para founding fathers-nya—dengan senantiasa menomorsatukan pemberdayaan warganya melalui advokasi, peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi warganya.

Terlalu dini mengukur perwujudan idealisme khitah pada hasil muktamar yang baru seumur jagung. Terwujudnya idealisme khitah juga tak bisa diukur dari terpilihnya “salah satu pihak” atau tidak terpilihnya “pihak lain” dalam arena muktamar. Ia juga tak bisa dilihat hanya dengan diterimanya pertanggungjawaban pimpinan demisoner dan terpilihnya pimpinan baru secara demokratis.

Idealisme khitah
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, penulis buku Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati—yang juga Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)—As’ad Said Ali mengutip sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa sejak berdiri hingga sekarang, disinyalir fungsi dakwah NU hanya berjalan di tempat. Hal itu sekurangnya tampak dari jumlah warga NU, yang selain tidak bertambah, malah cenderung berkurang.

Sebagai ormas terbesar penjaga Ahlusunnah Waljama’ah, misalnya, NU tampak begitu kedodoran merespon suburnya perkembangan organisasi-organisasi transnasional di Indonesia. Mereka telah begitu massif dan berhasil menggeser peran sosial warga NU di banyak wilayah. Demikian halnya dengan soal kemandirian dan tingkat kesejahteraan warga nahdliyin pada umumnya.

Kenyataan tersebut tak bisa dilepaskan dari peran yang dipilih pucuk pimpinan NU sendiri, yang dalam sepuluh tahun terakhir, terkesan kuat gemar main mata dengan politik praktis dengan memobilisasi warga NU ke dalam kubangan politik praktis ketimbang bekerja keras mewujudkan visi mulia khitah. Adalah fakta yang tak dapat dibantah, lebih banyak madharat ketimbang manfaat yang diperoleh NU, baik bagi warganya maupun institusinya.

Terwujudnya idealisme khitah tersebut setidaknya akan tampak pada makin berdayanya warga nahdliyin. Sebagai misal, dari meningkatnya standar kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi warga nahdliyin. Wajar saja jika warga nahdliyin akan terus menagih komitmen para petingginya: seperti apa perbaikan signifikan dari kepengurusan PBNU yang baru ini, sehingga pantas disebut segaris dengan idealisme khitah?

Ekspektasi ihwal datangnya “zaman keemasan” atau kejayaan NU pada kepengurusan kali ini adalah aspirasi semua warga nahdliyin. Kapan kejayaan NU tercapai? Amatlah sulit menjawabnya, meski kedua figur tersebut tampak begitu menjanjikan. Tetapi, rasanya penting untuk digarisbawahi, bahwa kejayaan NU adalah kejayaan puluhan juta warganya, bukan sekadar kejayaan segelintir elite atau pengurusnya.

Sebab, tak diragukan lagi, NU didirikan untuk mengabdi kepada umat. NU berdiri saat kondisi rakyat Indonesia sangat terpuruk di banyak bidang akibat kolonialisme Belanda. Karena itu, upaya penguatan bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi umat menjadi poin penting yang melatarbelakangi pendiriannya, selain untuk membendung arus wahabisme kala itu.

Harus diakui, kini muktamirin dan nahdliyin bukan hanya kian cerdas, tetapi juga kian kritis-partisipatif terhadap kinerja pengurus NU di pelbagai tingkatan. Mereka tak lagi sekadar melihat apa saja yang dikatakan, ataupun siapa yang mengatakan, tetapi apa yang nanti dikerjakan oleh duet Sahal-Said, nahkoda baru ormas Islam terbesar di Indonesia ini.
Ihwal bagaimana dan kapan idealisme khitah terwujud, hemat penulis, nahdliyin sendiri yang akan menjawabnya, bukan? Semoga kejayaan yang ditunggu-tunggu itu dapat terwujud tak lama lagi.[]



* Pengantar Diskusi "Pesantren Pasca Mukatamar Makassar" Laboratorium Ilmu Politik UNJ. 15 April 2010.

** Dewan Pembina Silaturahmi Mahasiswa Pati(SIMPATI) Jakarta Dan Sekitarnya
Selengkapnya...

Rabu, 19 Mei 2010

Pendidikan dan Kebangkitan Nasional* Oleh: Ali Rif’an**


Di bulan Mei ini, rakyat Indonesia memiliki dua hajat besar sekaligus, yakni memperingati hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) jatuh pada 2 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei. Bagi penulis, kedua momen ini penting untuk direnungkan sekaligus direfleksikan. Direnungkan karena keduanya memiliki hubungan erat, bak setali dua mata uang yang berkelindan. Direfleksikan karena saat inilah momen tepat untuk bangkit dari keterpurukan.

Coba bayangkan, hingga saat ini, pendidikan kita masih menampakkan wajahnya yang buram. UNESCO (2007), misalnya, mengeluarkan laporan education development index (EDI) yang menempatkan Indonesia berada di posisi ke-62 dari 129 negara. Padahal, Malaysia berada di urutan ke-56. Sementara The World Economic Forum Swedia (2000) juga melaporkan, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yakni hanya di posisi ke-37 dari 57 negara.

Bahkan menurut Trends in Mathematic and Science Study (2004), siswa Indonesia hanya berada di peringkat ke-35 (matematika) dan peringkat ke-37 (sains) dari 44 negara. Laporan International Association for the Evaluation of Educational Achievement menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di antara negara-negara tetangga, yakni Hong Kong 75,5; Singapura 74,0; Thailand 65,1; Malaysia 52,6; dan Indonesia 51,7.

Data di atas hanya sebagian dari gunung es ihwal buruknya kualitas pendidikan kita. Belum lagi problem-problem sosial yang sering terjadi di kalangan peserta didik seperti tawuran, seks bebas, narkoba, dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya.

Bangkit
Memasuki hitungan 102 tahun kebangkitan nasional, penting kiranya kebangkitan pendidikan menjadi agenda utama. Setidaknya, jika ditinjau dari tataran ideologis (prinsip) dan tataran teknis (praktis), akar masalah pendidikan di Indonesia dapat dirangkum dalam dua masalah, yakni soal paradigma pendidikan dan praktik pendidikan di lapangan itu sendiri. Persoalan pertama bisa dilihat disorientasi paradigma pendidikan yang tak sepi dari masalah. Sebab, wajah bopeng pendidikan kita masih tercermin dari kebijakan pemerintah yang terkesah plin-plan, masih setengah hati, penuh muatan politis, dan terjebak pada nalar euforia-gegap gempita, sehingga konsep yang digelontorkan pun masih terkesan coba-coba. Bukutinya, setiap ganti menteri ganti pula kebijakan.

Persoalan kedua berupa masalah-masalah cabang seperti keterbatasan sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya prestasi siswa, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, serta rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Padahal, jika ditinjau dari definisi menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Artinya, jika ditilik dari proyeksi UU Sisdiknas, sistem dan praksis pendidikan di Tanah Air tentu masih jauh panggang dari api. Pendidikan kita belum berhasil dalam mencetak manusia yang saleh sekaligus mampu menjawab tantangan zaman. Pemerintah sepertinya juga kurang begitu memahami arti fungsi pendidikan itu sendiri. Padahal, pada praksis manajemen pendidikan modern, pendidikan mempunyai empat fungsi. Pertama, fungsi teknis-ekonomis. Fungsi ini merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Kedua, fungsi sosial-kemanusiaan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.

Ketiga, fungsi politis. Fungsi ini merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis.

Keempat, fungsi budaya. Fungsi ini merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya.

Melalui momen Hardiknas dan Harkitnas ini, diharapkan pendidikan nasional ke depan semakin meningkatkan lahirnya generasi yang tangguh, cerdas, serta memiliki mental kemandirian yang tinggi, sehingga mampu mewujudkan kebangkitan bagi negeri ini. Generasi seperti ini tentu hanya bisa dilahirkan dari sebuah sistem pendidikan yang tangguh pula.




*)Terbit di Koran Radar Banten.Kamis, 20 Mei 2010
**) Penulis adalah Peneliti The Dewantara Institute
Selengkapnya...

Senin, 17 Mei 2010

Moderat Ala Gus Dur Oleh: Muhammad Fahdi*



Pada suatu waktu ada sebuah pertanyaan dari seorang teman yang dituju pada penulis, “apa kamu moderat?”
Seketika itu juga penulis menjawab dengan bangga, “tentu saja.” Jawaban ini keluar didasarkan dari pengetahuan penulis tatkala itu bahwa sebuah sikap moderat adalah pilihan yang wajar dan seharusnya melekat pada diri setiap manusia, itulah sejauh yang diketahui penulis, tidak lebih.
Ternyata jawaban ini sepertinya memang sudah diprediksi oleh seorang teman tadi yang berkarakter kritis, dan dia meneruskan dengan sebuah pernyataan, “jadi kamu tidak berpijak pada suatu pilihan alias terombang-ambing tidak jelas.”
Sangat tersentak atas pernyataan tersebut. Bagaimana tidak, ketika jalan fikir dijejali akan moderatlah jalan yang baik -tidak berarti setiap tempat doktrinisasinya seperti yang diutarakan di sini, tapi ini (doktrinisasi) terjadi di tempat asal penulis- dan taklid tanpa tanya bahwa itulah yang memang baik, tentu saja pernyataan terombang-ambing benar adanya membuat terombang-ambing.
Saat itu penulis menutup wajah kebingungan dengan seakan yakin, “siapa kata tidak berpijak, tentu saja moderat itulah suatu pijakan.”
Singkat kata, percakapan itu dipaksa berakhir tanpa terselesaikan.
Setelah itu, seperti terduga, pun penulis mencari arti dari kata moderat. Pencarian yang panjang sebenarnya untuk diceritakan secara naratif kronologis. Tapi terlalu sayang untuk tidak diutarakan. Jadi akan dicoba pengutaraan yang mungkin terkesan dipaksa.
Moderat, sebuah kata yang dikenal dalam kamus bahasa Indonesia sebagai sikap selalu menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem atau berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Melihat dari kata “bekecenderungan ke jalan tengah” tentu saja sikap moderat ini sesuai dengan Islam, terlebih umat Islam. Pasalnya, merujuk pada kata wasathan dalam kalimat ummatan wasathan (QS al-Baqarah [2]: 143). Kata wasath dalam ayat tersebut berarti khiyâr (terbaik, paling sempurna) dan ‘âdil (adil). Dengan demikian, makna ungkapan ummatan wasathan berarti umat terbaik dan adil dalam koridor syariah dan tentu saja berkecendrungan ke jalan tengah.
Belum menjawab keterombang-ambingan memang, tapi sekarang apa perlu hal tersebut di jelantrahkan dengan mendalam ketika moderat sendiri tercipta sengaja tidak dengan penjelasan lebih. Dalam artian, seperti yang diungkapkan di atas, kebertengahan (moderat) lebih tertitik beratkan pada tujuan. Adil dan toleran. Tidak heran ketika bicara moderat selalu mengarah pada toleransi. Jadi seakan ada unsur kesengajaan untuk tidak begitu jelas. Untuk selalu dapat berubah. Dinamis.
Selanjutnya, perlu penghalusan kata sebenarnya dari kata “terombang-ambing” yang digunakan seorang teman sebelumnya. Selayaknya dinamis-lah kata yang pantas. Bukannya terombang-ambing dalam arti bingung memilih langkah. Lagi-lagi istilah moderat memang tidak digunakan secara tegas. Ini mencerminkan bahwa istilah moderat dimaksudkan sebagai watak yang apresiatif dan sejalan dengan lokalitas dan modernitas yang selalu berubah.
Mengarah pada Islam, karakter moderat untuk mengarah pada toleran dan simpatik itulah yang sebetulnya mengakar kuat dalam perkembangan Islam selanjutnya, terutama di Indonesia. Meski belakangan muncul karakter lain, yaitu puritan, akibat dari perjumpaan intelektual Muslim Nusantara, terutama yang berasal dari daerah Aceh dan Sumatera Barat, dengan Muslim Haramain (Mekah dan Madinah). Hal itu pun terjadi seiring dengan persaingan politik antara Turki Utsmani dengan penguasa-penguasa Eropa di abad ketujuh belas Masehi. Kesamaan identitas agama dan ketegangan dengan bangsa Eropa mendorong menguatnya konsolidasi kekuatan antarpenguasa Muslim. Selain itu, hubungan diplomatik dan perdagangan Muslim Nusantara dengan Turki Ustmani dan khalifah-khalifah di Timur Tengah berlanjut pada tradisi belajar di Haramain seiring dengan pelaksanaan ibadah Haji dan Umrah. Sebagai pusat perjuangan Nabi Muhammad Saw., Haramain memiliki tradisi keagamaan yang lebih ketat. Karakter puritan ini diperkuat ketika gerakan Wahabi muncul pada awal abad kesembilan belas. Karena itu, Islam yang puritan muncul lebih akhir dan terlokalisasi di sekitar Sumatera. Namun begitu, secara keseluruhan, watak Islam yang tersebar di Indonesia adalah moderat.
Islam Moderat, itulah kata yang sering digunakan untuk membedakan dengan Islam puritan yang berkembang, walaupun sebenarnya Islam an sich adalah moderat. Islam moderat boleh diklaim siapa saja. Tapi, tidak ada yang bisa menghindar dari nama Gus Dur sebagai ikon Islam moderat Indonesia.
Tidak berlebih pernyataan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Zacky Khairul Umam, Wakil Direktur Riset Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) di Universitas Indonesia dalam opininya di Media Indonesia, pernyataan itu diakui secara mendunia. Gus Dur adalah `wakil' muslim moderat yang sering dirujuk dan dihargai. Pada masa hidupnya, latar belakang sebagai santri par excellence berhasil meramu kemodernan dan keindonesiaan dalam wacana dan praksis keislaman merupakan prestasi yang sulit dicapai. Gus Dur bukan model sarjana seperti almarhum Cak Nur. Jika Cak Nur membangun wacana Islam moderat dari cara kerja keilmuan yang ketat dengan meneliti objektivitas Islam, Gus Dur kerap kali langsung melontarkan ide tanpa bersusah payah melacak dari mana ujung pangkalnya.
Dalam hal itu, Gus Dur lebih sering berperan sebagai `subjek'. Gus Dur adalah pencipta wacana. Ia diuntungkan karena ia mewakili basis massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sebelum resmi terjun dalam dunia politik praktis, baik selama menjadi presiden ataupun setelahnya, kedudukannya sebagai NU 1 membuatnya tak terlalu terbebani dengan wacana-wacana sekuler, seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil. Tidak seperti Cak Nur, Gus Dur tak selalu memerlukan legitimasi ayat-ayat Alquran, filsafat dan yurisprudensi ulama klasik untuk mendukung gagasan-gagasannya.
Tetapi, Gus Dur dianggap lebih `islami' apa pun gagasan yang ia lontarkan, lantaran ia memiliki kekuatan simbolis sebagai wakil santri nomor wahid yang berdarah biru dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari. Ijtihad Gus Dur adalah subjektivitas dirinya. Ibaratnya, Gus Dur adalah wacana itu sendiri. Justru orang lain yang perlu melihat, meneliti, dan menganalisis Gus Dur sebagai objek. Meskipun begitu penting dicatat bahwa hasil pemikiran dan tindakan Gus Dur tidak jatuh dari kehampaan sejarah. Formula-formula Gus Dur terbangun dari timbunan ide-ide besar yang ia gali dari keranjingan belajar autodidak, keterlibatan aktif, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang menarik selama hidupnya. Ditambah lagi, modal sosial Gus Dur sangat besar sehingga memungkinkannya luwes bergerak untuk setia dengan segala idealisme yang sulit dipahami orang.
Itulah Gus Dur, seorang besar yang penuh kontroversial karena kesetiannya terhadap idealisme moderatnya, yang selalu membela kaum minoritas sampai dianggap menganak emaskan agama maupun kelompok diluar Islam.
Dalam kenyataannya secara mayoritas kemunculan “Islam moderat” sebagai salah satu alternatif “versi” Islam kini diminati banyak kalangan. Dialog-dialog keagamaan yang mengarah pada tatanan yang damai, toleran, dan berkeadilan merupakan indikasi bahwa model berislam secara moderat sebagai pilihan. Moderatisme juga dinilai paling kondusif di masa kini.
Jadi kembali ke jawaban awal, “tentu saja, aku moderat, seorang muslim Moderat.” Tidak lagi menjadi jawaban taklid, tapi dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan sesuai dengan ala Gus Dur. Wassalam.




*Devisi Lembaga Semi Otonom SIMPATI
Selengkapnya...

Kamis, 13 Mei 2010

UN Buruk, Guru Disalahkan Oleh: Ali Rif'an*

Banyak suara miring menyikapi buruknya ujian nasional (UN) tahun ini. Salah satunya dialamatkan kepada sosok guru. UN 2010 tingkat SMA dan sederajat yang diumumkan secara serempak 26 April 2010 memberikan hasil yang mengecewakan. Seolah mengingatkan kita pada prahara buruknya hasil UN tahun 2005. Betapa tidak, dari 16.467 SMA dan sederajat peserta UN tahun ini, sedikitnya 267 sekolah siswanya tidak lulus semua (Kompas, 28/4). Begitu juga pengumuman UN SMP dan sederajat nyaris serupa, 561 sekolah lulus nol persen (Kompas, 7/5).

Tentu kenyataan di atas membuat kecewa sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih para wali murid yang anaknya tidak lulus. Logika masyarakat begini. Jika dari 50 siswa yang ikut ujian, 5 di antaranya tidak lulus, itu salah muridnya. Namun, jika satu kelas tidak lulus semua, itu berarti salah gurunya.

Bagi penulis, logika di atas benar tetapi tak sepenuhnya benar. Sebab, buruknya hasil UN sekarang hampir menyeluruh di setiap daerah. Tak terjadi di satu sekolahan atau daerah saja. Artinya, jika seluruh siswa dari satu atau beberapa sekolah di negeri ini tidak lulus semua, tentu ini salah sistemnya. Dengan kata lain, konsep dan praksis pendidikan di Tanah Air juga patut disalahkan. Para pemangku pendidikan, elite pendidikan, dan stakehorders lainnya juga harus bertanggung jawab atas buruknya hasil UN tahun ini.

Sebab, jika kita mau jujur, sistem pendidikan kita sebenarnya tak pernah sepi dari masalah dan dilema, dari tahun ke tahun. Wajah bopeng pendidikan kita masih tercermin dari kebijakan pemerintah yang terkesah plin-plan, masih setengah hati, penuh muatan politis, dan terjebak pada nalar euphoria-gegap gempita, sehingga konsep yang digelontorkan pun masih terkesan coba-coba. Bukutinya, setiap ganti menteri ganti pula kebijakan.

Padak titik ini, kita sejujurnya kasihan kepada para siswa yang selalu dijadikan kelinci percobaan, berikutnya guru yang kerapkali disalahkan. Sebab, jika mau berfikir komprehensif, banyak faktor yang menyebabkaan wajah pendidikan kita masih saja menampilkan kilaunya yang buram. Dari sisi anggaran, misalnya, pendidikan kita serasa masih jauh panggang dari api.

Data tahun 2003, misalnya, menyebutkan bahwa anggaran pendidikan Singapura telah mencapai 27 persen, Thailand 21 persen, dan Malaysia 22 persen dan pada 2008 mencapai 26 persen. Sementara Indonesia baru pada 2008 menaikkan anggaran pendidikannya hingga mencapai 20 persen, itupun tidak secara langsung. Artinya, anggran di Indonesia sudah sarat beban. Beban pemerintah yang harus dibayar tahun-tahun lalu, misalnya, besarnya 2,8 kali anggaran pendidikan, 10,6 anggaran bidang kesehatan, dan 119 kali dari anggaran ketatanegaraan (Kompas, 8/5).

Di sinilah pemerintah terkesan kurang menempatkan pendidikan sebagai faktor deteminan bagi kemajuan bangsa. Pemerintah sudah lupa bahwa pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia.

Perhatian Pemerintah
Dalam pandangan penulis, pemerintah sejujurnya masih setengah hati dalam mengelola pendidikan nasional. Ini terlihat dari maraknya politisasi pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun dibiarkan saja. Padahal, anggaran pendidikan nasional sangatlah minim, tetapi masih saja dipolitisasi. Tentu perjalan pendidikan nasional menjadi tidak normal. Ibarat bayi, ia akan terus berjalan merangkak, padahal yang lain sudah mampu berjalan, bahkan berlari.

Al hasil, angka indeks pembangunan manusia selalu menampakkan nilai yang rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga. Padahal, jika mengacu amanah pembukaan UDD ’45, pendidikan nasional diproyeksikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu bukan keberhasilan beberapa gelintir anak bangsa yang meraih prestasi gemilang dalam olimpiade-olimpiade internasional, melainkan bagaimana bangsa ini secara kolektif-masif mampu menjadi bangsa yang cerdas, bukan bangsa inlander.

Melihat fenomena ini, pemerintah barangkali perlu melakukan kontemplasi tingkat tinggi. Sesekali juga menengok sekaligus mau belajar dari perjalanan sejarah peradaban bangsa-bangsa maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Negara-negara ini merupakan negara yang selalu menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan negaranya. Dalam praksisnya, negara-negara tersebut mampu memberikan perhatian yang tinggi pada sektor pendidikan, yakni dengan cara memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para warganya untuk dapat mengikuti pendidikan dari SD sampai universitas tanpa dipungut biaya.

Mereka sadar bahwa melalui pendidikan masyarakat diberi alat dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mengambil bagian dalam kemajuan dunia. Tidak hanya itu, melalui pendidikan pula sikap dan tindak tanduk manusia dibentuk. Melalui pendidikan, disiplin, pola hidup bersih, dan kejujuran manusia ditanamkan. Ini tentu sedikit kontras dengan praksis pendidikan dalam negeri.

Nasib Guru
Harus diakui, apresiasi pemerintah terhadap profesi guru masih sangat rendah. Stereotip ini kemudian membuat nilai jual guru ciut jika disandingkan dengan karier lainnya. Buktinya, lulusan-lusan terbaik SMA semakin langka yang menceburkan diri ke fakultas pendidikan ketika kuliah. Akibatnya, profesi guru jarang diminati. Ini tak lepas dari kenyataan bahwa profesi guru identik dengan profesi yang tidak menjanjikan dari segi materi. Memang, materi bukan segala-galanya. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi pada era di mana persaingan ekonomi semakin ketat seperti sekangan ini, guru juga tidak mengelak bahwa materi penting untuk menunjang perjalanan profesinya.

Kemajuan bangsa ini sesungguhnya berada di tangan para guru. Pengembangan kualitas guru sesungguhnya terletak pada kemampuan pemerintah untuk memberikan perhatian sekaligus apresiasi yang sebesar-besarnya terhadap kiprah guru. Sebab, logikanya begini. Jika kita ingin mencetak siswa yang cerdas nan berkualitas, tentu gurunya harus cesdas dan berkualitas terlebih dahulu. Pun kesejahteraannya terpenuhi.

Memang, belakangan pemerintah telah dan tengah menggelindingkan program sertifikasi guru yang diproyeksikan untuk meningkatkan kesejahteraan para guru. Namun program ini juga tak sepi dari masalah karena masih berjalan tertatih dan berwatak parsial. Program sertifikasi serasa belum mampu membendung celetukan guru yang kurang lebih bunyinya seperti ini, “Untuk makan saja pas-pasan, apalagi untuk biaya sekolah anak dan urusan rumah tangga lainnya. Yang pasti, seorang guru harus memiliki pekerjaan sampingan.”

Celetukan di atas bukan celetukan biasa. Lahir dari hati yang terdalam. Ini yang penulis dengar sendiri dari beberapa rekan guru. Pada titik ini, tidak menuntut kemungkinan guru dalam mengajar banyak yang tidak fokus dan serius karena ia juga harus membagi pikiran, waktu, dan tenaganya ke bidang lain untuk mencari bisaroh tambahan. Pertanyaannya, jika UN hasilnya buruk, apakah guru saja yang harus disalahkan?
*Peneliti The Dewantara Instutute
Selengkapnya...

Jumat, 07 Mei 2010

SUARA MAHASISWA, Solusi Terbaik untuk PLTN* oleh:A Musthofa Asrori**

RENCANA pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) guna menanggulangi krisis listrik di seluruh Nusantara agaknya masih diselimuti pro-kontra di tingkatan masyarakat akar rumput (grass root). Kita bisa menunjuk di Semenanjung Muria sebagai bidikan pertama untuk lokasi PLTN. Semenanjung Muria, tepatnya di Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, merupakan kawasan hutan lindung nan subur yang semakin mengalami degradasi pascapenebangan liar beberapa tahun lalu.

Protes berkepanjangan dari warga setempat cukup masif dan sporadis. Tak tanggung-tanggung, dua kabupaten tetangga Kota Ukir ini, Pati dan Kudus, juga memberikan dukungan kepada warga Balong. Mereka menolak keras kebijakan itu. Alasannya memang tampak traumatis semata. Jika terjadi kebocoran instalasi PLTN, pasti akan merambah wilayahnya. Sudah tentu kekhawatiran ini cukup beralasan karena pernah terjadi hal serupa misalnya Tragedi Chernobyl di Ukraina.

Beberapa hari lalu penulis bersama tim kecil melakukan penelitian langsung di desa yang sedianya didirikan PLTN ini. Apa yang penulis saksikan betul-betul dramatis. Betapa tidak, ribuan warga Balong yang bisa dikatakan tertinggal ini dengan bersemangat dan antusias meneriakkan yel-yel tolak PLTN kala mengikuti dialog publik tentang nuklir di desa yang masih sejuk dan alami ini. Fenomena yang patut direspons segera oleh pemerintah pusat. Sejatinya, mereka tidak menolak rencana pendirian pembangkit listrik bertenaga nuklir. Akan tetapi, yang ditolak adalah pilihan atas lahan desanya, yang dekat dengan wilayah hutan lindung itu.

Dari perbincangan penulis dengan sebagian warga, setidaknya ada beberapa alasan krusial terkait penolakan kebijakan itu. Pertama, Desa Balong merupakan lahan subur yang produktif dan potensial. Hampir semua tanaman tumbuh menggembirakan di wilayah ini. Mulai padi, ubi-ubian, sampai sayur-mayur bisa tumbuh subur. Menurut pengakuan penduduk, tanah merekalah yang selama ini menghidupi dan memberikan kesejahteraan kepada penduduk.

Sebagai bukti empiris, hampir seluruh warga desa menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani dan peladang. Jika kemudian tanah mereka akan dibangun instalasi nuklir, otomatis radius beberapa kilometer dari tempat PLTN akan dibebaskan dari aktivitas penduduk, sudah tentu termasuk sawah dan ladang mereka pasti akan dikorbankan. Belum lagi mereka harus “banting setir”, alih profesi.

Kedua, hawa panas yang akan semakin menjajah tiap senti wilayah ini. Sekadar catatan, di Semenanjung Muria telah dibangun instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang setiap hari mengeluarkan asap hitam pekat yang berdampak meningkatnya suhu di wilayah itu. Jika PLTN dibangun di Balong, hawa panas yang diakibatkan PLTU tentu semakin membara di Bumi Kartini. Lengkap sudah penderitaan penduduk.

Ketiga, menjaga kemungkinan terburuk dari rencana itu, yakni kebocoran instalasi PLTN. Jika memang pendirian PLTN ini sudah dirancang sedemikian rupa dengan teknologi tinggi yang menjamin keamanan instalasi dari kebocoran, sedikit berandai-andai, apabila terjadi human error karena apa pun bisa terjadi, rakyat Balong mengusulkan untuk pindah lokasi yang tak padat penduduk. Alasan terakhir ini yang sekaligus menjadi usulan warga tampaknya bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengkaji ulang keputusan itu.

Pada titik ini pemerintah seyogianya mawas diri untuk tidak memaksakan kehendak mendirikan instalasi nuklir di kawasan hutan lindung ini. Toh, rakyat Balong tidak menolak pendirian PLTN secara membabi-buta. Hanya saja, tidak di wilayahnya yang notabene lahan subur, padat penduduk, dan telah didirikan pembangkit listrik bertenaga uap.

Dengan demikian, pilihan mencari lahan kosong di pulau yang tidak didiami penduduk agaknya merupakan solusi terbaik bagi rencana pendirian PLTN yang sangat berguna bagi pasokan energi dan dunia kelistrikan Indonesia di masa mendatang.



*Terbit di harian SINDO (Jum'at, 16 April 2010) www.seputar-indonesia.com/opini
**Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta,
Peneliti di Ciganjur Centre.
Selengkapnya...

PENGEMBANGAN BISNES PERSYARATAN UNTUK BISA KAYA* Oleh : Marzuki Usman**

• Anda Punya Tanah
Di Indonesia hak milik atas tanah tidak sepenuhnya diakui dan dilindungi oleh negara. Penyerobot tanah diakui haknya? Bumi dan air dan segala sesuatu dibawahnya dikuasai oleh negara……….. Sistem yang dianut tidak sunanun
• Anda Punya Keterampilan (Skill)
Di Indonesia, ketrampilan tidak digalakkan. BLK-BLK tidak sepenuhnya dimanfaatkan. Enam bulan pertama, tunggu uang. Enam bulan terakhir, menghabiskan uang
• Anda Punya Kepandaian (Expertise)
Pendidikan masih sistem kolonial dan tidak serius

PENGEMBANGAN BISNES
BACK TO BASIC, APA YANG DIMILIKI

• Sekolah-sekolah dari TK, SD, SMP, SMU dan Perguruan Tinggi
Lembaga pendidikan ini harus dirubah menjadi Profit Center ! Dan pengelolaanya harus bisnis like
• Rumah sakit, harus juga dirubah menjadi profit center dan pengelolaannya harus bisnis like
• Panti asuhan, harus juga dirubah menjadi profit center dan dikelola secara bisnis like
• Rumah jompo, harus juga dirubah menjadi profit center dan dikelola secara bisnis like. Di Jepang ada Home Nursing Company
• Mesjid dan mushola-mushola, harus dirubah menjadi bisnis like

PENGEMBANGAN BISNES
PERSYARATAN UNTUK SUKSES BERBISNESS

• Anda tahu betul bagaimana membuat produknya (Product Development)
• Anda tahu bagaimana menjualnya (Product Marketing)
3. Anda tahu membuat untung (Product Accounting)

PENGEMBANGAN BISNES
ARAH PENGEMBANGAN EKONOMI INDONESIA
2020 DAN SETERUSNYA

• Globalisasi, Sekaligus Peluang dan Ancaman
Mulai tahun 2020, dunia sudah globalisasi total.
 Dagang barang, bebas, tarif nol-nol
 Dagang jasa, bebas, melalui 4 modaliti: 1). Cross border, 2). Consumption abroad, 3). Commercial presence, and
4). Presence of natural person
 Pasar dibuka seluas-luasnya dan berlaku prinsip perlakuan nasional

• Indonesia fokus ke sektor kehutanan dan pariwisata
 Kenapa hutan, kayu pasti akan mahal harganya. Indonesia dikaruniai alam yang bersahabat
 Kenapa pariwisata, sudah tersedia

• Mengambil faedah sebesar-besarnya dari (1) dan (2)

PENGEMBANGAN BISNES
BEBERAPA IDEA-IDEA BISNES
• Sektor Kehutanan dan Pariwisata
1. Wana tani, bambu, sungkai dan meranti, cukup mulai dengan 3 ha, diluar Jawa
2. Pariwisata Pondok Wisata, Home Stay, Ecolodge, Wisata Ziarah seperti Candi Borobudur, Kuburan China, dsb.

2. Sektor kesehatan dan makanan
1. Home Nursing Company
2. Klinik-klinik spesialis
3. Rumah-rumah untuk penyembuhan
4. Warung obat-obatan generik di mesjid-mesjid
5. Warteg halal dan bersih di mesjid
6. Pabrik-pabrik roti, dan sebagainya
7. Rumah duka, rumah penantian

3. Penyewaan space / ruangan dari sekolah dan masjid-masjid untuk rapat, perhelatan dsb

4. Kuburan yang islami, perumahan yang Islami dsb

5. Pasar / super market Nyai Dahlan, dsb

PENGEMBANGAN BISNES
BAGAIMANA MENGERAHKAN DANA
• Terapkan Hukum Uang Kecil dan Hukum Bilangan Besar
 Setiap mesjid supaya dibuat data base dari jemaah mesjid
 Jalankan tabungan harian misal Rp. 5.000,- per hari per jemaah mesjid, atau per pedagang pasar, atau per anggota majelis taklim
 Jumlah tabungan apabila sudah besar, ditetapkan oleh komite investasi, untuk diinvestasikan kemana secara professional. Badan hukumnya boleh BMT atau koperasi

• Disetiap sekolah diadakan sistem dana pensiun guru-guru dan karyawan sekolah. Demikian juga untuk rumah sakit.

• Manfaatkan pembiayaan dana perbankan dan lembaga keuangan lainnya, termasuk dari luar negeri.



*Disampaikan pada: Dialog Publik ”REVITALISASI PERAN INDUSTRI DAN UKM DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL” SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati Jakarta) Rabu, 02 April 2008 Pendopo Kabupaten Pati Jawa Tengah
**Ketua Dewan Penasehat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)


Selengkapnya...

KEMANDIRIAN EKONOMI UNTUK MENEGAKKAN KEDAULATAN BANGSA * oleh : Marzuki usman **

KEMANDIRIAN EKONOMI UNTUK MENEGAKKAN
KEDAULATAN BANGSA
Oleh: Marzuki Usman


I. LATAR BELAKANG
Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang dianggap dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa sedunia. Bangsa ini dihargai karena negaranya kuat, kaya dan rakyatnya kaya dan pandai. Biasanya urut-urutannya dimulai dari rakyat yang kaya, mereka menjadi pandai, dan kuat, sehingga akhirnya melahirkan bangsa yang kaya, pandai dan kuat.

Dari sudut pandangan ekonomi, bangsa dan negara yang berdaulat itu sektor riilnya (supply side of the economy) adalah solid dan kuat. Ibaratnya kue ulang tahun, kuenya itu tebal. Karena sektor riilnya kuat (kuenya tebal) dan sektor permintaannya (demand side of the economy) yaitu meliputi sektor fiskal, moneter dan perdagangan internasional juga solid dan kuat.

Negara seperti ini jika dilanda krisis ekonomi, dengan cepat akan pulih kembali. Kenapa ? Karena rakyat sudah kaya, pandai dan kuat, sehingga meskipun sektor demand nya ludas (ornamentnya hancur), dalam waktu cepat bisa pulih kembali.

Inilah yang terjadi di Korea Selatan, Taiwan dan Thailand. Karena sektor riilnya kuat, mereka dengan cepat bisa pulih kembali. Sementera itu Indonesia, karena sektor riilnya lemah, kuenya tipis, ketika krisis ekonomi menerpa Indonesia, maka memerlukan waktu yang lama untuk pulih kembali, bahkan berkembang menjadi krisis total.

Negara yang kuat dan berdaulat itu, memiliki kemandirian ekonomi dalam arti mereka hidup dari sektor-sektor yang memiliki keuntungan absolut (absolute advantage), keuntungan comperative (comparative advatage), dan keuntungan competitive (competitive advantage)! Negara-negara seperti ini memiliki ciri khusus dari kekuatan ekonominya. Mereka tidak hidup diluar batas kemampuan (They are not living beyond their own means). Boleh berhutang, tetapi harus sanggup membayar kembali. Boleh mengimpor, asal sanggup membayar devisanya. Mereka menciptakan iklim sedemikian rupa sehingga membuat investor sedunia tertarik untuk berinvestasi kesitu.

Makalah singkat ini ingin memberi jawaban terhadap pertanyaan, kemandirian ekonomi yang seperti apa yang ingin dicapai untuk dapat menegakkan kedaulatan bangsa Indonesia di arena dunia. Kemandirian ekonomi tidak boleh dibaca dengan menutup diri terhadap dunia luar (rumah tangga tertutup = autarky). Kemandirian yang seperti ini malah menyebabkan ekonomi yang semakin mengkrut dan menghasilkan tingkat kemakmuran yang semakin memburuk. Kemandirian ekonomi itu, berarti ekonomi Indonesia bertumpu kepada kekuatan yang khas Indonesia sehingga menjadi negara yang kaya dan kuat. Dengan demikian meskipun nanti ditahun 2020 Indonesia memasuki era globalisasi, bangsa Indonesia akan mengisi dunia dan bukan sebaliknya dunia mengisi Indonesia.

II. Sektor–Sektor Apa Yang Dapat Menopang Kemandirian Ekonomi Indonesia
Untuk mencari sektor-sektor mana yang dapat diandalkan untuk menopang kemandirian ekonomi Indonesia maka ukuran yang dipakai ialah keuntungan absolut (absolut advantage), keuntungan comparative (comparative advantage) dan keuntungan competitive (competitive advantage). Indonesia oleh Allah dikaruniai sumber daya alam yang melimpah ruah, bersifat asli, lokal, dan unik. Dalam beberapa hal tertentu beberapa spesi tertentu hanya terdapat di tempat tertentu di Indonesia. Sektor-sektor berikut ini akan dapat merangsang ekonomi Indonesia menuju kepada penegakan Kedaulatan Bangsa. Sektor-sektor itu adalah sebagai berikut :
1. Sektor I, meliputi sektor pertanian, perkebunan, perternakan, kehutanan, perikanan dan kelautan. Saya menaruh reserve terhadap pertambangan terutama yang bersifat open-pit seperti pada tambang batu bara yang sifatnya membahayakan alam dan lingkungan.
2. Sektor II, industri yang merupakan pengolahan lebih jauh hasil-hasil dari produk sektor l.
3. Sektor III, pariwisata, seni dan budaya
4. Sektor IV, Bioteknologi

Di keempat sektor ini diperlukan investasi yang relatif kecil sehingga berlaku hukum 20 – 80. Artinya bekerja 20 menikmati hasil 80, dan bukan sebaliknya.

Ironinya selama hampir empat dekade yang lalu, keempat sektor ini terabaikan. Akibatnya, semestinya rakyat bisa kaya tetapi kenyataannya rakyat miskin bertambah banyak. Dibeberapa daerah, di desa seperti di Cilegon, tidak jauh dari proyek-proyek bernilai trilyunan rupiah (Krakatau Steel, Chandra Asri) masih ada petani dan nelayan yang hidup seperti di zaman Saija’ dan Adinda. Di dalam kota, seperti di Jakarta banyak sekali saudara – saudara kita yang miskin yang tinggal di kawasan KUMIS (kumuh dan miskin). Di kawasan ini untuk satu RT, 900 jiwa, WC cuma dua, kamar mandi dengan sumur timba cuma dua, kondisi rumah atap ketemu atap, dan ada gang senggol. Karena saking sempitnya sering senggol-senggolan dan menghasilkan banyak anak senggol-senggolan, (di Jakarta ada sekitar 500.000 jiwa). Pertanyaannya kenapa banyak sekali orang miskin?

Saya pribadi setelah merenung secara mendalam dan ketemu jawabannya bahwa :
1. Sistem kehidupan berbangsa dan bernegara kita, selama ini penuh dengan kesyirikan. Kita men – Ilahkan yang lain dari Allah. Kalau kita percaya ada hal-hal yang sakti itu memikili roh maka secara bodoh kita telah mempraktekkan kesyirikan. Marilah kita bertaubat dan minta ampun kepada Allah SWT.

2. Kita lebih mengutamakan konsep kesejahteraan dan bukan konsep kekayaan. Sejahtera konsep yang tidak jelas. Kaya, setiap rakyat mengerti.

3. Sistim kita dholim dan kufur nikmat. Hak milik pribadi di gagahi dan kita ingkar nikmat. Apakah adil seseorang menggali di tanahnya sendiri, ketika menemukan berlian, itu diambil oleh negara dan yang bersangkutan diusir dan hanya diberi ganti rugi senilai NJOP tanah yang bersangkutan.

4. Negara/pemerintah tidak pernah memberi tanah kepada petani, kecuali transmigran yang relatif tidak membuat kaya. Di negara – negara yang kaya, petani / rakyat di beri modal tanah sehingga bisa menjadi kaya. Lihatlah praktek yang terjadi di Amerika Serikat, Kanada, Taiwan, Korea Selatan dan sekarang RRC, petani diberi tanah meskipun masih hak guna usaha.

5. Praktek in efficiency dan mubazir meraja lela. Candi Borobudur yang semestinya dapat menghasilkan devisa, tetapi karena ummat Budha tidak boleh beribadat di candi itu, maka hal ini menghilangkan hasrat mereka untuk berziarah. Padahal di dunia ini ada 2 milyar ummat Budha.

III. HIJRAH (CHANGE)

Dalam usaha untuk memandirikan ekonomi Indonesia, maka dalam sidang MPR 2004 kita perlu hijrah (change) yaitu :
1. Hijrah dari konsep sejahtera menjadi konsep kaya. Tujuan kemerdekaan adalah untuk mengkayakan rakyat dan bukan untuk mensejahterakan rakyat.

2. Hijrah dari hak milik pribadi di gagahi (pasal 33 ayat 3, UUD 1945), menjadi hak milik pribadi sepenuhnya di lindungi oleh negara

3. Undang-undang agraria di amendir sehingga pemilikan tanah diluar Jawa boleh lebih dari 5 Ha, dan tanah-tanah di luar Jawa di bagi habis. Penduduk asli dapat duluan, dan lebihnya di alokasikan ke penduduk Jawa.

4. Undang-undang tentang candi Borobudur, di amendir sehingga ummat Budha boleh beribadat di Candi.

5. Dikeluarkan undang-undang perlindungan saksi, sehingga mereka yang bersaksi di lindungi oleh Undang-undang.

6. Sistem peradilan dirubah menjadi sistem juri dan keputusan peradilan berlaku menjadi undang-undang.

Adanya perubahan mendasar ini akan berakibat ekonomi Indonesia akan mandiri dan terpadu. Hijrah kehidupan berbangsa dan bernegara dari :
• Miskin menjadi kaya
• Bodoh menjadi pandai
• Dholim menjadi adil
• Letoy menjadi bangkit

Pada gilirannya bangsa dan rakyat yang kaya, pandai, adil, dan bangkit akan menjadi bangsa yang berdaulat dan dipandang oleh bangsa-bangsa lain di dunia.


Jakarta, 30 Maret 2008

* Disampaikan pada: Dialog Publik ”REVITALISASI PERAN INDUSTRI DAN UKM DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL” SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati Jakarta) Rabu, 02 April 2008 Pendopo Kabupaten Pati Jawa Tengah
** Ketua Dewan Penasehat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)


Selengkapnya...