I. Pendahuluan.
Ekonomi Syariah, atau dibaca ekonomi dengan sistem Islam, sekarang kelihatannya lagi ngetrend. Hampir setiap kegiatan ekonomi ingin diberi label atau nama sebagai ekonomi Syariah. Sudah ada misalnya bank Syariah, asuransi Syariah (Takapul), sistem tabungan Syariah, investasi Syariah dan bahkan beberapa komoditi sudah diberi nama dengan nuansa Islam, seperti kata-kata: berokah, muslimah, dan sebagainya. Secara garis besar gerakan ini ada yang bersifat semacam mode atau fashion belaka, tetapi ada lagi yang lebih mencari kemurnian pengamalan agama Islam didalam kehidupan ekonomi.
Secara ilmu ekonomi positif (Ilmu ekonomi yang menjawab pertanyaan apa adanya) pada prinsifnya semua manusia itu sebagai mahluk ekonomi, mereka berprilaku yang sama. Misalnya sebagai konsumen, manusia itu ingin mendapat kepuasan yang sebesar-besarnya dalam mengkonsumsikan barang-barang dan jasa-jasa. Manusia lebih suka banyak daripada sedikit. Manusia itu tidak pernah puas. Kata emak saya, “kalau perlu isi dunia ini, dia telan semuanya, maka ia belum puas juga”. Sementara, jumlah barang dan jasa-jasa yang tersedia terbatas atau langka adanya. Maka terjadilah persaingan diantara sesama manusia dalam mengkonsumsikan barang-barang dan jasa itu.
Secara hukum ekonomi, misalnya, kalau anda hanya punya sedikit uang, maka jangan coba-coba untuk mengkonsumsikan barang yang mahal. Artinya jangan berperilaku besar pasak dari tiang. Awak hanya burung pipit, jangan coba-coba mau menelan jagung. Bisa-bisa nyawa melayang dibuatnya.
Akan tetapi secara ekonomi normatif, yaitu ilmu ekonomi yang ingin melaksanakan praktek ekonomi bagaimana seharusnya menurut kaedah tertentu, maka boleh saja ada sistem ekonomi Pancasila seperti yang diidamkan oleh Mubyarto, atau sistem ekonomi Syariah yang sekarang sedang giat-giatnya diperjuangkan oleh tokoh-tokoh intelektual islam. Pada dasarnya teori ekonominya sama, cuma didalam assumsinya dimasukkan unsur-unsur normatif. Misalnya, seorang konsumen tidak boleh menurut hawa nafsu serakahnya, agar dia tahu membatasi dirinya sendiri. Kalau anda lagi kekenyangan ingatlah masih banyak orang lain yang lagi kelaparan. Tetapi hasil akhir dari penerapan secara normatif, praktek ekonomi haruslah manghasilkan harga yang sama. Jika tidak, berarti telah pemborosan (waste) dari sistem tersebut.
Contoh, kalau harga bakso permangkok di pasar Jakarta adalah Rp. 7.000,- maka jika memakai sistem ekonomi pasar Liberal atau sistem ekonomi Syariah, maka harga bakso itu haruslah tetap Rp. 7.000,- permangkok. Apabila dengan penerapan sistem ekonomi Syariah harga bakso menjadi Rp. 8.000,- permangkok, maka berarti dalam pengadaan bakso itu telah terjadi pemborosan. Dan itu harus diderita oleh konsumen. Namun sebaliknya apabila harga bakso permangkok, konsumen cuma sanggup membayar Rp. 6.000,- maka berarti produsenlah yang menderita akibatnya, yaitu beberapa pedagang bakso terpaksa gulung tikar.
II. Sistem Ekonomi Syariah
Dari bacaan-bacaan yang saya peroleh, sebenarnya sistem ekonomi Syariah secara Qur’ani, artinya berdasarkan pemahaman-pemahaman yang tertera di dalam Qur’an, sistem ekonomi Syariah itu berdasarkan kepada 2 prisip, yaitu prinsip sistem yang kuat (strength) dan sistem yang amanah (trust). Kenapa demikian? Karena menurut ajarannya, sistem yang kuat adalah sistem yang didalam perencanaannya dan pelaksanaannya berdasarkan pengalaman yang kuat, penelitian dan pengembangan yang kuat, dan juga berdasarkan test-test yang kuat. Kemudian di dalam pelaksanaannya selalu amanah artinya: tidak curang, tidak bersekongkol, tidak melanggar apa-apa yang dipesankan, dan tidak memakan atau menikmati yang bukan merupakan hak-haknya.
Sebagai referensi daripada sistem Syariah adalah kisah Nabi Allah Musa ketika beliau terdampar di Madyan. Beliau menolong dua orang anak gadis Nabi Allah Syuib untuk mengangkat tutup sumur. Tutup beliau angkat sendiri saja. Pada hal diperlukan 40 orang Badui untuk mengangkatnya. Jadi Nabi Allah Musa itu kuat (strength). Ketika beliau diundang kerumah Nabi Allah Syuib dan ditunda oleh anak gadis Nabi Allah Syuib, ketika angin bertiup sehingga aurat anak gadis Nabi Allah Syuib kelihatan, Nabi Allah Musa tahu bahwa itu bukan merupakan haknya. Ia minta anak gadis Nabi Allah Syuib berjalan dibelakang dan menunjuk jalan dengan melempar batu. Maka Nabi Allah Musa sudah amanah (trust). Inilah pesan Ilahi untuk sistem Syariah, yaitu sistem yang kuat dan amanah, artinya tidak jahil dan tidak dholim. Kenapa? Karena Allah sendiri tidak jahil dan tidak pernah mendholimi hamba-hambanya.
Ketika sistem Syariah ini diterapkan dikalangan industri perbankan, maka riba itu haram, karena telah terjadi praktek ketidak adilan. Artinya ketika suku bunga tabungan ditetapkan terlalu rendah, maka hal itu sudah mendholimi para penabung. Akan tetapi jika suku bunga ditetapkan terlalu tinggi, maka hal itu berarti mendholimi para peminjam (debitur). Disamping itu didalam pelaksanaan simpan pinjam bukan atas dasar kesepakatan bersama, yakni suka sama suka (adil), tetapi kebanyakan sepihak, yaitu kondisi-kondisinya ditetapkan oleh bank itu sendiri. Misalnya ketika sipenabung menitip uangnya di bank, itu bukan untuk investasi, maka secara Syariah bank belum mendapat mandat baik secara lisan ataupun tertulis untuk menggunakan uang itu sebagai pembiayaan kredit.
Didalam sistem Syariah diperbankan, misalnya saya memiliki uang Rp. 10 juta dan mau ikut program investasi di bank syariah. Maka saya akan bernegosiasi dengan bank yang bersangkutan berapa porsi hasil investasi yang disepakati, misalnya 60 persen untuk saya dan 40 persen untuk bank. Demikian juga dengan resiko macet ditanggung secara proportional. Kemudian ada si Ali yang minta pembiayaan investasi sebesar Rp. 5 juta. Ali setuju keuntungan dibagi sama besarnya, yakni masing-masing 50 persen, diantara bank Syariah, dan si Ali. Demikian juga dengan resiko ditanggung secara sama rata dan sama rasa. Didalam pelaksanaannya, Si Ali untung Rp. 2 juta, maka bank memperoleh Rp. 1 juta, yang kemudian dibagi ke saya sebesar Rp. 600.000,- dan bank menerima Rp. 400.000,-. Apabila Si Ali pada putaran berikunya, uang hasil keuntungannya digunakan untuk menambah modal usaha, maka ia berhak untuk mendapat bagian hasil usaha yang lebih banyak. Jadi misalnya Ali akan menerima 60 persen dan bank Syariah turun ke 40 persen. Jika tidak demikian halnya maka telah terjadi praktek ketidak adilan dan itu tidak lagi Syariah. Dalam hal seperti ini bank telah mendholimi si Ali.
III. Kesimpulan.
Tulisan ini mencoba untuk mengulas setitik kecil dari sistem ekonomi Syariah. Kita ambil contoh dari praktek simpan pinjam di perbankan. Pada prinsipnya sistem ekonomi Syariah itu adalah sistem yang menjamin pelaksanaan kegiatan ekonomi dengan sistem yang kuat (strengh) dan amanah (trust). Apabila salah satu atau kedua prinsip itu dilanggar, maka secara normatif sistem itu bukan lagi sistem ekonomi Syariah. Sudah barang tentu dengan dilaksanakan sistem ekonomi yang kuat dan amanah, maka akan dapat terhindar praktek-praktek pemborosan, pemubaziran, kecurangan dan pendholiman. Hasil akhirnya akan membuat semua pelaku ekonomi berbahagia, yaitu rakyat, pengusaha dan pemerintah. Semogalah menjadi kenyataan!.
Jakarta, 30 Maret 2008
Marzuki Usman
*Disampaikan pada: Dialog Publik ”REVITALISASI PERAN INDUSTRI DAN UKM DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL” SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati Jakarta) Rabu, 02 April 2008 Pendopo Kabupaten Pati Jawa Tengah.
**Ketua Dewan Penasehat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)
Ekonomi Syariah, atau dibaca ekonomi dengan sistem Islam, sekarang kelihatannya lagi ngetrend. Hampir setiap kegiatan ekonomi ingin diberi label atau nama sebagai ekonomi Syariah. Sudah ada misalnya bank Syariah, asuransi Syariah (Takapul), sistem tabungan Syariah, investasi Syariah dan bahkan beberapa komoditi sudah diberi nama dengan nuansa Islam, seperti kata-kata: berokah, muslimah, dan sebagainya. Secara garis besar gerakan ini ada yang bersifat semacam mode atau fashion belaka, tetapi ada lagi yang lebih mencari kemurnian pengamalan agama Islam didalam kehidupan ekonomi.
Secara ilmu ekonomi positif (Ilmu ekonomi yang menjawab pertanyaan apa adanya) pada prinsifnya semua manusia itu sebagai mahluk ekonomi, mereka berprilaku yang sama. Misalnya sebagai konsumen, manusia itu ingin mendapat kepuasan yang sebesar-besarnya dalam mengkonsumsikan barang-barang dan jasa-jasa. Manusia lebih suka banyak daripada sedikit. Manusia itu tidak pernah puas. Kata emak saya, “kalau perlu isi dunia ini, dia telan semuanya, maka ia belum puas juga”. Sementara, jumlah barang dan jasa-jasa yang tersedia terbatas atau langka adanya. Maka terjadilah persaingan diantara sesama manusia dalam mengkonsumsikan barang-barang dan jasa itu.
Secara hukum ekonomi, misalnya, kalau anda hanya punya sedikit uang, maka jangan coba-coba untuk mengkonsumsikan barang yang mahal. Artinya jangan berperilaku besar pasak dari tiang. Awak hanya burung pipit, jangan coba-coba mau menelan jagung. Bisa-bisa nyawa melayang dibuatnya.
Akan tetapi secara ekonomi normatif, yaitu ilmu ekonomi yang ingin melaksanakan praktek ekonomi bagaimana seharusnya menurut kaedah tertentu, maka boleh saja ada sistem ekonomi Pancasila seperti yang diidamkan oleh Mubyarto, atau sistem ekonomi Syariah yang sekarang sedang giat-giatnya diperjuangkan oleh tokoh-tokoh intelektual islam. Pada dasarnya teori ekonominya sama, cuma didalam assumsinya dimasukkan unsur-unsur normatif. Misalnya, seorang konsumen tidak boleh menurut hawa nafsu serakahnya, agar dia tahu membatasi dirinya sendiri. Kalau anda lagi kekenyangan ingatlah masih banyak orang lain yang lagi kelaparan. Tetapi hasil akhir dari penerapan secara normatif, praktek ekonomi haruslah manghasilkan harga yang sama. Jika tidak, berarti telah pemborosan (waste) dari sistem tersebut.
Contoh, kalau harga bakso permangkok di pasar Jakarta adalah Rp. 7.000,- maka jika memakai sistem ekonomi pasar Liberal atau sistem ekonomi Syariah, maka harga bakso itu haruslah tetap Rp. 7.000,- permangkok. Apabila dengan penerapan sistem ekonomi Syariah harga bakso menjadi Rp. 8.000,- permangkok, maka berarti dalam pengadaan bakso itu telah terjadi pemborosan. Dan itu harus diderita oleh konsumen. Namun sebaliknya apabila harga bakso permangkok, konsumen cuma sanggup membayar Rp. 6.000,- maka berarti produsenlah yang menderita akibatnya, yaitu beberapa pedagang bakso terpaksa gulung tikar.
II. Sistem Ekonomi Syariah
Dari bacaan-bacaan yang saya peroleh, sebenarnya sistem ekonomi Syariah secara Qur’ani, artinya berdasarkan pemahaman-pemahaman yang tertera di dalam Qur’an, sistem ekonomi Syariah itu berdasarkan kepada 2 prisip, yaitu prinsip sistem yang kuat (strength) dan sistem yang amanah (trust). Kenapa demikian? Karena menurut ajarannya, sistem yang kuat adalah sistem yang didalam perencanaannya dan pelaksanaannya berdasarkan pengalaman yang kuat, penelitian dan pengembangan yang kuat, dan juga berdasarkan test-test yang kuat. Kemudian di dalam pelaksanaannya selalu amanah artinya: tidak curang, tidak bersekongkol, tidak melanggar apa-apa yang dipesankan, dan tidak memakan atau menikmati yang bukan merupakan hak-haknya.
Sebagai referensi daripada sistem Syariah adalah kisah Nabi Allah Musa ketika beliau terdampar di Madyan. Beliau menolong dua orang anak gadis Nabi Allah Syuib untuk mengangkat tutup sumur. Tutup beliau angkat sendiri saja. Pada hal diperlukan 40 orang Badui untuk mengangkatnya. Jadi Nabi Allah Musa itu kuat (strength). Ketika beliau diundang kerumah Nabi Allah Syuib dan ditunda oleh anak gadis Nabi Allah Syuib, ketika angin bertiup sehingga aurat anak gadis Nabi Allah Syuib kelihatan, Nabi Allah Musa tahu bahwa itu bukan merupakan haknya. Ia minta anak gadis Nabi Allah Syuib berjalan dibelakang dan menunjuk jalan dengan melempar batu. Maka Nabi Allah Musa sudah amanah (trust). Inilah pesan Ilahi untuk sistem Syariah, yaitu sistem yang kuat dan amanah, artinya tidak jahil dan tidak dholim. Kenapa? Karena Allah sendiri tidak jahil dan tidak pernah mendholimi hamba-hambanya.
Ketika sistem Syariah ini diterapkan dikalangan industri perbankan, maka riba itu haram, karena telah terjadi praktek ketidak adilan. Artinya ketika suku bunga tabungan ditetapkan terlalu rendah, maka hal itu sudah mendholimi para penabung. Akan tetapi jika suku bunga ditetapkan terlalu tinggi, maka hal itu berarti mendholimi para peminjam (debitur). Disamping itu didalam pelaksanaan simpan pinjam bukan atas dasar kesepakatan bersama, yakni suka sama suka (adil), tetapi kebanyakan sepihak, yaitu kondisi-kondisinya ditetapkan oleh bank itu sendiri. Misalnya ketika sipenabung menitip uangnya di bank, itu bukan untuk investasi, maka secara Syariah bank belum mendapat mandat baik secara lisan ataupun tertulis untuk menggunakan uang itu sebagai pembiayaan kredit.
Didalam sistem Syariah diperbankan, misalnya saya memiliki uang Rp. 10 juta dan mau ikut program investasi di bank syariah. Maka saya akan bernegosiasi dengan bank yang bersangkutan berapa porsi hasil investasi yang disepakati, misalnya 60 persen untuk saya dan 40 persen untuk bank. Demikian juga dengan resiko macet ditanggung secara proportional. Kemudian ada si Ali yang minta pembiayaan investasi sebesar Rp. 5 juta. Ali setuju keuntungan dibagi sama besarnya, yakni masing-masing 50 persen, diantara bank Syariah, dan si Ali. Demikian juga dengan resiko ditanggung secara sama rata dan sama rasa. Didalam pelaksanaannya, Si Ali untung Rp. 2 juta, maka bank memperoleh Rp. 1 juta, yang kemudian dibagi ke saya sebesar Rp. 600.000,- dan bank menerima Rp. 400.000,-. Apabila Si Ali pada putaran berikunya, uang hasil keuntungannya digunakan untuk menambah modal usaha, maka ia berhak untuk mendapat bagian hasil usaha yang lebih banyak. Jadi misalnya Ali akan menerima 60 persen dan bank Syariah turun ke 40 persen. Jika tidak demikian halnya maka telah terjadi praktek ketidak adilan dan itu tidak lagi Syariah. Dalam hal seperti ini bank telah mendholimi si Ali.
III. Kesimpulan.
Tulisan ini mencoba untuk mengulas setitik kecil dari sistem ekonomi Syariah. Kita ambil contoh dari praktek simpan pinjam di perbankan. Pada prinsipnya sistem ekonomi Syariah itu adalah sistem yang menjamin pelaksanaan kegiatan ekonomi dengan sistem yang kuat (strengh) dan amanah (trust). Apabila salah satu atau kedua prinsip itu dilanggar, maka secara normatif sistem itu bukan lagi sistem ekonomi Syariah. Sudah barang tentu dengan dilaksanakan sistem ekonomi yang kuat dan amanah, maka akan dapat terhindar praktek-praktek pemborosan, pemubaziran, kecurangan dan pendholiman. Hasil akhirnya akan membuat semua pelaku ekonomi berbahagia, yaitu rakyat, pengusaha dan pemerintah. Semogalah menjadi kenyataan!.
Jakarta, 30 Maret 2008
Marzuki Usman
*Disampaikan pada: Dialog Publik ”REVITALISASI PERAN INDUSTRI DAN UKM DALAM PEREKONOMIAN NASIONAL” SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati Jakarta) Rabu, 02 April 2008 Pendopo Kabupaten Pati Jawa Tengah.
**Ketua Dewan Penasehat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia)
0 komentar:
Posting Komentar