Rabu, 27 April 2011

Mengenang Wartawan “Enam Zaman”* Oleh: Ali Rif’an**

Kamis, 14 April 2011, langit Indonesia tampak kelabu. Bangsa Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya: Rosihan Anwar. Pencatat sekaligus pelaku sejarah Indonesia itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit MMC Kuningan, pukul 08.15 WIB. Ia meninggal pada usia 89 tahun dengan meninggalkan tiga anak dan enam cucu.

Kepergian wartawan senior ini mengetuk hati banyak kalangan. Pejabat negara seperti presiden dan menteri, tokoh nasional, politisi, seniman, budayawan, wartawan, dan para aktivis mahasiswa berbondong-bondong tak ingin ketinggalan memberikan penghormatan terakhir.

Bagi masyarakat Indonesia, Rosihan Anwar patut dicacat ke dalam tinta emas sejarah Indonesia. Sumbangsih Pak Ros—panggilan akrabnya—begitu banyak untuk bangsa ini. Jika Sartono Kartodirdjo dikenal sebagai gurunya guru sejarawan Indonesia dan Habibie disebut-sebut sebagai “paus” teknologi Indonesia, maka Rosihan Anwar layak disebut “mahaguru” jurnalistik Indonesia.

Tokoh kelahiran Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat 10 Mei 1922 ini pernah mendapat gelar akademik doctor honoris causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 6 Mei 2006. Ia juga pernah mendapat penghargaan sebagai Bintang Mahaputra III dari Presiden RI, Pena Emas dari PWI Pusat, Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan, dan Life Time Achievement dari PWI pusat.

Wartawan Langka

Barangkali, untuk sekarang ini, agaknya sulit mencari wartawan/redaktur sekaliber Rosihan Anwar. Ia merupakan satu di antara wartawan langka yang pernah dimiliki Indonesia. Ia menjadi prototipe wartawan kenamaan yang memiliki daya pantau tajam, pengamatan jeli, memori kuat, kecakapan menulis mumpuni, dan pandangan kritis yang mendekati sarkastis. Selan itu, ia juga menguasahi banyak bahasa, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, dan lain sebagainya.

Tak pelak, sejarawan Taufik Abdullah menjulukinya sebagai wartawan “enam zaman” (Kompas, 15/4). Ia menggeluti dunia wartawan sejak zaman Jepang (1942-1945), zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), hingga masa Reformasi (1999-sekarang).

Dalam kariernya sebagai wartawan, Rosihan Anwar pernah menjadi pendiri Majalah Siasat (1947-1957), Redaktur Harian Merdeka, dan Pendiri/Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974) yang pernah dibredel tiga kali. Bagi seorang Rosihan Anwar, dunia jurnalistik merupakan panggilan hidup. Nafas jurnalistiknya semakin kentara ketika ia juga menyebarkan gagasan-gagasannya ke media asing, seperti Het Vriye Volk (Belanda), The Hindustan Times (India), The Melbourne Age (Australia), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia) dan Asia Week (Hongkong).

Keran itu, di mata para tokoh, Rosihan Anwar tak ubahnya sebagai saksi sejarah Indonesia. Ia adalah wartawan, pelaku dan pencatat sejarah, pejuang kemerdekaan, serta pemikir yang terus aktif menyumbangkan gagasan-gagasan kritis hingga akhir hayat. Bahkan sebelum meninggal, ia sempat menyiapkan buku berjudul Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraidah Sanawi yang rencananya akan diterbitkan Mei mendatang oleh penerbit Kompas-Gramedia.

Inspirasi Wartawan Muda

Tentu bagi para wartawan muda, sosok Rosihan Anwar sangat menginspirasi sekaligus memberikan amunisi baru bagi wajah wartawan Indonesia yang penuh idiologis dan sakrastis. “Profesi wartawan itu panggilan hidup, bukan pekerjaan atau karier,” begitu ia selalu berpesan. Rosihan Anwar telah mengajarkan banyak hal dalam dunia wartawan yang di dalamnya mencakup kejujuran, dedikasi, tangguungjawab, mencintai profesi, memperjuangkan kebenaran meskipun itu pahit.

Pada titik inilah, suami almarhum Siti Zuraida Sanawi itu hadir dalam pentas sejarah Indonesia dengan penuh makna. Ia telah mengajarkan kecerdasan bercerita dan mendedah kata. Banyak orang bilang, ia merupakan wartawan-penyair, yang nyaris pada tiap laporan atau esai-esainya membawa hanyut pembaca. Tulisannya tidak hanya mengandung greget keberanian, tapi juga ketulusan dan pencerahan. Ia mengakui pernah berkaca pada kakak ipar dan teman sekelasnya, Usmar Ismail--legenda perfileman nasional--tentang ketulusan dan kesunggguhan dalam bekerja.

Semasa hidup, Rosihan Anwar perhan menangis tiga kali. Yaitu pada saat almarhum Usmar Ismail meninggal dunia di tengah usia produktifnya, kehilangan Soedjatmoko sahabat karibnya, dan melihat bocah Irian yang menderita.

Kini Rosihan Anwar telah meninggalkan kita untuk selamanya. Semoga kepergiannya tetap memberikan oase di tengah-tengah profesi wartawan yang dewasa ini mulai kabur dari ruh dan etiknya. Sebab, sekarang banyak kita temukan wartawan karbitan dan amatir yang miskin dedikasi dan mudah dibeli. Padahal, sebagaimana dituturkan almarhum, wartawan bukanlah politisi, tetapi ia harus tahu politik, namun tidak bermain politik praktis.

Media punya kewajiban dekat dengan rakyat, mendidik dan mencerdaskan bangsa, serta menunjukkan ke mana negara dan bangsa ini harus bergerak. Media sebagai corong hati nurani masyarakat. Apalagi dalam iklim demokratisasi seperti sekarang, media (pers) merupakan pilar demokrasi keempat yang kehadirannya melengkapi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sudah seharusnya media mengepakkan empat fungsi utamanya, yakni penyampaikan dan penyebaran informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan penetapan agenda (agenda setting). Sementara wartawan--sebagai “kuli tinta”--haruslah terus meyuarakan kejujuran dan kebenaran.

Akhir kata, “empu” pers Indonesia memang telah pergi, tapi yakinlah bahwa nama dan dedikasinya akan selalu dikenang oleh anak bangsa dan para wartawan Indonesia dari generasi ke generasi. Selamat jalan Pak Ros…

*)Harian Suara Karya, Senin, 18 April 2011, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=276925

**) Penulis adalah Peneliti The Dewantara Institute Jakarta; Ketua Umum FLP Ciputat

Selengkapnya...

Membaca Pesan Psikologis Teror* Oleh Dedik Priyanto**

Untuk pertama kalinya, aksi teror bom bunuh diri menyasar institusi Polri. Tepatnya, aksi ini dilakukan di lingkungan masjid Mapolresta Cirebon, 15 April lalu di saat para jamaah akan melaksanakan ritual salat Jumat. Pertanyaannya, apa makna di balik serangan ini?

Jika mau sedikit menelisik, teror ini seakan menggambarkan realitas bahwa tingkat keamanan di dalam negeri begitu meresahkan. Betapa tidak, dalam sebuah institusi harusnya tingkat pengamanannya tinggi. Apalagi, yang menjadi sasaran adalah kepolisian, yang notabene adalah gudangnya pengendali keamanan. Namun, apa lacur, semua itu tidak berdaya, dikalahkan oleh teroris yang membonceng kelengahan mereka ketika salat Jumat.

Adalah Gus Dur, yang sudah lama mewanti-wanti akan datangnya prioritas penanganan terorisme. Jika hal ini terus saja dibiarkan, maka sudah pasti akan semakin menebalkan zona penyerangan-penyerangan lain yang akan diintrodusir oleh para pengacau yang tidak menginginkan adanya perdamaian di negeri ini. Begitu halnya dengan teror, tindakan tegas secara hukum harus dilakukan. Perlu kiranya untuk mendedah aktor intelektual yang menjadi dalang, serta ideolog yang menjadi generator dalam gerakan-gerakan yang mengakibatkan teror yang kian meresahkan.

Dalam esainya "Terorisme Harus Dilawan (2002)", Bapak Pluralisme ini memaparkan realitas terorisme yang merebak selepas teror Bom Bali. Bukti yang paling kentara adalah ketidaksigapan pemerintah dalam menerjang teror sebagai salah satu agenda terpenting dalam pemerintahan. Bagi Gus Dur, kita masih menganut kebijakan-kebijakan punitif dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan preventif.

Laiknya wabah ulat bulu yang cepat menyebar tanpa bisa dibendung, maka sudah selayaknya pola kebijakan preventif ini menjadi alur dalam meretas segala kekagetan, yang terjadi dalam tubuh masyarakat akibat ulah para teroris. Kerap kali proses demikian diacuhkan, dan bertindak karena adanya pemantik sebuah peristiwa yang sudah berbentuk destruktif.

Senada dengan Gus Dur, menurut Prof Franz Magnis Suseno, ada dua faktor penting yang menjadi latar budaya kekerasan dan teror yang ada di Indonesia. Pertama, transformasi di dalam masyarakat atau pengaruh globalisasi dan modernisasi. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk polarisasi modernitas dalam bentuknya yang tidak hanya diskursif. Melainkan, proses konfigurasi kekinian kala membaca dunia tidak lagi sebagai percaturan dan pertemuan ide an sich.

Kedua, akumulasi kebencian dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena pemerintah yang dianggap sebagai aparatur penegak damai mengalami disfungsi dalam bentuknya yang konkret. Yakni, ketidak-sanggupan melindungi kenyamanan dalam bernegara akibat teror ini. Padahal secara historis, bangsa ini adalah kesatuan besar yang tidak mudah diluruhkan oleh isu-isu kecil yang harusnya menjadi riak di antara buih lautan yang luas. Kekuatan dalam merapal beda sudah menjadi kenyataan sejarah yang mengakar. Buahnya adalah penerimaan secara hakiki konsep Pancasila dan negara yang mengapresiasi segenap kekayaan dan kemajemukan yang ada.

Dalam kajian psikologis, peristiwa teror bukanlah sesuatu yang irasional. Melainkan, sangat rasional. Demikian bisa ditinjau dari pandangan paradigma kekalahan, atau perjuangan yang tidak terapresiasi oleh pemangku kebijakan. Hal inilah yang menjadikan faktor lawan-kawan menjadi penting dan rasional tatkala melihat paradigma berpikir para teroris. Maka dari itu, seringkali kita melihat rintihan dan teriakan para teroris sebagai saduran dari realitas yang mereka jalani saat masa ideologisasi.

Begitu halnya yang tampak pada kasus teror-teror di Indonesia. Mereka sering menisbahkan pada renteten keagamaan sebagai instrumen fundamental dalam menera teror. Sedangkan teror sendiri bukanlah sesuatu yang terpatri dalam pribadi seseorang. Ia adalah instrumen untuk tujuan ideologis yang menjadi tapal gerakan. Seakan mencermati alur yang terjadi, ada dua hal fundamental yang menjadi pesan politis para teroris. Pertama, menyebar keresahan. Bagi para teroris, keberhasilan mereka menembus barikade pertahanan adalah sebuah capaian yang cukup menggembirakan.

Ibarat permainan sepakbola, mereka telah mampu mengobrak-abrik sistem pertahanan lawan yang terkenal dengan para bek mereka yang kuat. Tidak hanya itu, mereka mampu masuk langsung kepada sistem yang acapkali menjadi penghalang mereka saat melakukan tindakan. Sedang di sisi lainnya, para teroris ini seakan ingin memperciut peran polisi dalam penegakan hukum dan keamanan.

Bagi masyarakat umum, ini adalah pukulan telak, bahwa kini mereka tidak lagi bisa mengandalkan kepolisian. Proses penyebaran resah ini dilakukan guna memperlebar jarak antara dua entitas ini. Jika ini terjadi, maka para teroris akan semakin mudah untuk saling mengadu domba. Hingga dengan cekatan mereka mampu masuk ke dalam masyarakat, serta memaparkan pandangan yang reduksionis terhadap negara dan segala perniknya.

Pada titik ini, proses ideologisasi akan merasuk saat suasana kacau. Hingga penyerempetan ke arah paradigma 'kegagalan negara' menjadi bumbu paling empuk untuk mengadakan serangan atas penguasa. Hal ini menjadi sangat berbahaya, jika kedua elemen ini terpengaruh dengan teror psikologis untuk memecah kepercayaan yang sudah terbangun puluhan tahun pada negara. Apalagi, jika memakai terma agama sebagai landasan filosofis mereka dalam menebar landasan ideologis.

Seharusnya masyarakat tidak perlu resah dan takut menghadapi teror ini. Karena, inilah sebenarnya inti dari pesan teror yang dikirim. Buntutnya, adalah rangkaian teror yang akan terus berjalan jika keresahan ini terus melebar pada masyarakat. Yang perlu dirantai adalah sikap kita yang harus terus berhati-hati, dan selayaknya tidak menunjukkan sikap takut. Karena, hal ini akan menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang besar.

Kedua, eksistensi kelompok. Kematian bagi kelompok teroris adalah berkah yang akan mengantarkan mereka menuju tujuan ideologis yang dianut dan bahkan surga seperti apa yang mereka pikirkan. Pun sebagai martir untuk mewartakan bahwa 'mereka' masih ada. seakan ingin menunjukkan bahwa proses perlawanan itu masih berlangsung selama tujuan ideologis mereka masih belum tercapai.

Namun, kedua hal di atas tidak akan berlaku jika masyarakat dan negara mampu saling bersinergi, serta bahu membahu dalam menindak para teroris. Jangan takut. Jika ini terjadi maka kita seakan membiarkan para teroris tertawa. Tindakan preventif lebih penting daripada selalu kebakaran jenggot ketika ada peristiwa.

*Opini Harian Nasional Suara Karya, 27 April 2011

Selengkapnya...

Menyoal Ritual Ujian Nasional* Oleh: A Musthofa Asrori** (*)

BEBERAPA minggu terakhir, para siswa kelas XII (III SMA) harap-harap cemas menyongsong tahapan krusial dalam proses belajar mengajar di sekolah, yakni Ujian Nasional (UN). Sebuah agenda pamungkas yang mutlak diikuti seluruh siswa di seluruh penjuru Nusantara. Sebagaimana dilansir beberapa media, UN dilaksanakan 18-21 April 2011. Sementara UN untuk siswa SMP/MTs (dan sederajat) dan SD/MI (dan sederajat) akan menyusul dalam waktu dekat.

Peserta UN tahun ini sungguh fantastis: 10.409.562 siswa. Dari jumlah itu, peserta SMA/MA/SMK (dan sederajat) sebanyak 2.442.599 siswa, SMP/MTs 3.716.596 siswa, dan SD/MI 4.249.367 siswa yang tersebar di 234.342 sekolah. Agenda tahunan ini selalu menyisakan sederet persoalan dan tantangan, mulai stres pada sebagian siswa hingga hasil ujian yang tak mudah ditebak.

Betapa tidak, dari beberapa pengalaman di lapangan, siswa yang menempati rangking 10 besar kadang tak lulus ujian. Sebaliknya, murid dengan prestasi minim justru mendapatkan keberuntungan. Serangkaian acara lalu digelar untuk menyambutnya, mulai dari try out (uji coba), les privat, pengayaan materi (PM), hingga ritual istighotsah berjamaah semalam suntuk. Tujuan utama, agar para siswa tak gentar menghadapi UN.

Hal ini dilakukan karena UN sempat menjadi momok yang menghantui para siswa maupun pihak sekolah beberapa tahun terakhir ini. Ada anggapan dari sebagian orang bahwa tidak lulus UN merupakan aib. Tak ayal, segala macam cara ditempuh demi kelulusan para siswa. Terbukti, beberapa tahun terakhir ini ditemukan sejumlah kasus bocornya soal ujian di berbagai tempat.

Try Out dan Ritual Doa

Dalam menyongsong ujian, setidaknya ada dua aktivitas utama yang layak diperbincangkan. Pertama, uji coba (try out). Uji coba ini tampaknya telah mengalami pergeseran fungsi sehingga berdampak sistemik. Di sejumlah daerah, ada sekolah atau madrasah yang mengadakan try out empat hingga lima kali: (1) Try out UN mandiri yang diselenggarakan sekolah atau bekerja sama dengan lembaga bimbel; (2) Try out UN yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Kemudian, (3) khusus untuk madrasah, ada try out Pendididikan Agama Islam (PAI) dari Kelompok Kerja Madrasah (KKM) Kemenag kabupaten/kota; (4) Try out UN yang diadakan oleh KKM Kemenag kabupaten/kota; dan (5) try out UN yang dihelat oleh Kemenag Kanwil provinsi. Parade try out ini tentu membosankan sekaligus menambah beban psikologis karena terbayang ujian yang sangat berat. Kejenuhan siswa kian bertambah dengan adanya pengayaan materi di luar jam sekolah. Biasanya diadakan sepulang sekolah.

Persoalan kemudian, efektivitas try out maraton ini justru dipertanyakan relevansinya lantaran diadakan hingga beberapa kali. Padahal, uji coba ini idealnya cukup diadakan sekali atau dua kali demi efisiensi. Kita pun mafhum bila para siswa mengalami kejenuhan yang tiada terkira. Belum lagi biaya try out yang dibebankan kepada siswa. Alhasil, wali murid mesti merogoh kocek dalam-dalam.

Kedua, ritual doa bersama. Upaya mempersiapkan mental memang penting. Antara lain melalui doa bersama yang kadang sampai sepanjang malam. Tak ayal, kegiatan tersebut menuai polemik. Pro dan kontra tak terhindarkan. Sementara kalangan menilai, kegiatan semacam itu tak perlu, sebab menyita waktu belajar siswa. Kita melihat bahwa acara-acara yang digelar tersebut justru kontraproduktif. Alih-alih menenangkan, justru kegiatan itu malah menjadi beban tersendiri bagi anak didik. Mengapa? Jawabnya sederhana: lagi-lagi, efisiensi waktu.

Para siswa pada minggu-minggu menjelang UN justru memasuki “minggu tenang" untuk memantapkan diri menghadapi ujian. Aktivitas yang menyita waktu dan stamina sedapat mungkin dikurangi, termasuk kegiatan doa semalam suntuk yang justru berdampak buruk bagi kondisi fisik mereka lantaran kurang istirahat. Mereka harus menyiapkan fisik yang kuat dan stamina yang prima untuk menghadapi UN. Faktor fisik prima dan pikiran tenang sangat menentukan para siswa dalam menyelesaikan soal-soal UN.

Pada titik ini, ritual zikir atau doa bersama yang mengarah pada penggalian nilai spiritualitas dan religiusitas seyogyanya tak hanya dilakukan menjelang UN. Saya mengatakan demikian bukan berarti antidoa dan antiritual. Justru, berdoa merupakan hal yang mutlak setelah belajar. Nah, yang lebih penting lagi adalah menanamkan nilai spiritualitas pada anak didik sejak dini. Cara itu diyakini menjadikan anak terbiasa berdoa dan berzikir sejak belia. Efeknya adalah terjalinnya komunikasi sakral antara anak (manusia) dengan Tuhan.

Bukan Penentu Kelulusan

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) telah menyatakan bahwa nilai UN bukan penentu utama kelulusan. Namun, hingga hari ini ujian tersebut tetap menjadi hantu bagi sebagian besar siswa. Karenanya, sering dijumpai pelajar kelas VI (SD), kelas IX (SMP), dan kelas XII (SMA) mengalami tekanan psikologis lantaran khawatir tak lulus. Tindakan nekat pun acap mereka tempuh.

Kita tentu sependapat dengan Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh yang menegaskan bahwa UN merupakan bagian dari kehidupan yang mesti dihadapi. Tekanan psikis yang menimpa sebagian siswa tentu tak ada kaitannya dengan UN. Stres bukan hanya diakibatkan oleh UN. Dalam menghadapi hidup, kita juga sering mengalami stres. UN tak bisa dijadikan “kambing hitam" yang mengakibatkan peserta didik terganggu psikologinya.

Ke depan, pemerintah--dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional--harus selalu mengevaluasi kebijakan terkait UN, sehingga tercipta rumusan inovatif bagi generasi penerus bangsa. Tugas negara adalah menyediakan fasilitas dan melapangkan jalan bagi anak supaya dapat bertumbuh dan berkembang menjadi generasi bangsa yang luar biasa untuk masa depannya. Wali murid juga termotivasi memberikan perhatian kepada anak dengan mendorongnya lebih rajin belajar dan berdoa demi memperoleh ilmu yang bermanfaat. Harapan kita, doa bersama menjelang UN tak hanya berhenti sebatas ritual. Selamat menempuh Ujian Nasional.

*Terbit Harian Umum Jurnal Nasional, http://nasional.jurnas.com/halaman/6/2011-04-23%2F167262, Sabtu, 23 April 2011

**Peneliti Sosial, Politik dan Budaya, Ciganjur Centre, Jakarta

Selengkapnya...

Jumat, 22 April 2011

"WANITA BUKAN TIANG NEGARA"

Mendekati Hari Kartini tanggal 21 April nanti, saya jadi teringat sebuah kalimat, yaitu wanita adalah tiang negara. kemudian saya googling aja tentang kalimat ini yang konon adalah hadits nabi. Hasilnya sebagai berikut.

Pernah dengar hadits “Wanita adalah tiang negara? Jika baik wanita dinegara itu, maka tegaklah negara tersebut. Dan jika buruk wanita-wanita disuatu negara, maka hancurlah negara tersebut”. Saya yakin anda pasti pernah mendengar atau membacanya. Tapi tahukah dulur bahwa itu adalah HADITS PALSU?

PROF. DR KH, ALI MUSTAFA YAQUB, MBA meneliti hadits ini selama 5 tahun dari banyak kitab diantaranya: al-Muqosid Al- Hasanah karya al-Sakhawi (w 906 H), al-Dhuraral- Muntatsirah kary al –Suyuti (911 H), al Ghammaz al Lammaz karya al Samhudi (w 911H), Tamyiz al Tayyibkarya ibn Daiba (w944), Asna alMathalib karya Muhammad Darwisy al Hut(w.76H), Kasyf al Khafa wa Munzil al Libas karya al Ajluni (w 1162 H) dan lain-lain. Ternyata hadits tersebut tidak ditemukan. Demikian pula dalam kitab-kitab hadits yang lain seperti al kutub al Sittah (Kitab-kitab hadits yang enam), yaitu Shohih al Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan Al tirmidzi, Sunan al Nasai, dan Sunan Ibn Majah. Bahkan beliau pernah bertanya kepada al Mukarom Bapk KH. Muchtar Nasir dipertemuan Ulama Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura (MABIMS) pada tahun 1995 di Jakarta, yang kebetulan salah seorang pemakalah menyebutkan hadist ini. Beliau bertanya .” Kami sudah lebih dari lima tahun mencari hadits tentang wanita tiang negara yang ditulis dalam makalah ini, tetapi kami belum menemukannya. Apakah Kyai tahu siapa yang meriwayatkan Hadits tersebut, dan didalam kitab apa?” . “Ya Akhi” begitu ia menjawab nya “Saya justru sudah dari sepuluh tahun mencari hadits seperti itu, dan belum menemukannya”. (http://www.kabarmuslim.com/2010/12/wanita-tiang-negara/)

Rupanya, “Wanita tiang negara” adalah kata-kata mutiara yang diucapkan oleh salah seorang da’I yang kemudian disitir oleh banyak da’i dan kemudian “plesetkan” menjadi hadits. Kalimat mutiara ini memang mengandung kebenaran dan hikmah, akan tetapi kita harus paham bahwa memalsukan hadits sama saja dengan mendustakan Rasulullah SAW, yang konsekuensinya adalah neraka.

Jadi kesimpulannya adalah wanita bukan tiang negara tetapi wanita adalah tiang estri (bhs Jawa).

(sumber: TerongGosong.com)

Wallahu A’lam

Selengkapnya...

Be Thankful in Life

Heavy rains remind us of challenges in life. Never ask for a lighter rain. Just pray for a better umbrella. That is attitude.

When flood comes, fish eat ants & when flood recedes, ants eat fish. Only time matters.
Just hold on, God gives opportunity to everyone !

Life is not about finding the right person, but creating the right relationship, it’s not how we care in the beginning, but how much we care till ending.

Some people always throw stones in your path. It depends on you what you make with them. Wall or Bridge ? Remember you are the architect of your life.

Every problem has ( n+1) solutions, where n is the number of solutions that you have tried and 1 is that you have not tried. That’s life.

Search a beautiful heart, but don’t search a beautiful face, because beautiful things are not always good, but good things are always beautiful.

It’s not important to hold all the good cards in life, but it's important how well you play with the cards which you hold.

Often when we lose all hope & think this is the end, God smiles from above and says, “Relax dear, its just a bend, not the end.” Have Faith and have a successful life.

When you feel sad, to cheer up just go to the mirror and say, “Damn I am really so cute” and you will overcome your sadness.

One of the basic differences between God and human is, God gives, gives and forgives. But human gets, gets, gets and forgets. Be thankful in life. [ulum]
Selengkapnya...