Rabu, 19 Mei 2010

Pendidikan dan Kebangkitan Nasional* Oleh: Ali Rif’an**


Di bulan Mei ini, rakyat Indonesia memiliki dua hajat besar sekaligus, yakni memperingati hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) jatuh pada 2 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) pada 20 Mei. Bagi penulis, kedua momen ini penting untuk direnungkan sekaligus direfleksikan. Direnungkan karena keduanya memiliki hubungan erat, bak setali dua mata uang yang berkelindan. Direfleksikan karena saat inilah momen tepat untuk bangkit dari keterpurukan.

Coba bayangkan, hingga saat ini, pendidikan kita masih menampakkan wajahnya yang buram. UNESCO (2007), misalnya, mengeluarkan laporan education development index (EDI) yang menempatkan Indonesia berada di posisi ke-62 dari 129 negara. Padahal, Malaysia berada di urutan ke-56. Sementara The World Economic Forum Swedia (2000) juga melaporkan, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yakni hanya di posisi ke-37 dari 57 negara.

Bahkan menurut Trends in Mathematic and Science Study (2004), siswa Indonesia hanya berada di peringkat ke-35 (matematika) dan peringkat ke-37 (sains) dari 44 negara. Laporan International Association for the Evaluation of Educational Achievement menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD di Indonesia berada pada peringkat terendah di antara negara-negara tetangga, yakni Hong Kong 75,5; Singapura 74,0; Thailand 65,1; Malaysia 52,6; dan Indonesia 51,7.

Data di atas hanya sebagian dari gunung es ihwal buruknya kualitas pendidikan kita. Belum lagi problem-problem sosial yang sering terjadi di kalangan peserta didik seperti tawuran, seks bebas, narkoba, dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya.

Bangkit
Memasuki hitungan 102 tahun kebangkitan nasional, penting kiranya kebangkitan pendidikan menjadi agenda utama. Setidaknya, jika ditinjau dari tataran ideologis (prinsip) dan tataran teknis (praktis), akar masalah pendidikan di Indonesia dapat dirangkum dalam dua masalah, yakni soal paradigma pendidikan dan praktik pendidikan di lapangan itu sendiri. Persoalan pertama bisa dilihat disorientasi paradigma pendidikan yang tak sepi dari masalah. Sebab, wajah bopeng pendidikan kita masih tercermin dari kebijakan pemerintah yang terkesah plin-plan, masih setengah hati, penuh muatan politis, dan terjebak pada nalar euforia-gegap gempita, sehingga konsep yang digelontorkan pun masih terkesan coba-coba. Bukutinya, setiap ganti menteri ganti pula kebijakan.

Persoalan kedua berupa masalah-masalah cabang seperti keterbatasan sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya prestasi siswa, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, mahalnya biaya pendidikan, serta rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Padahal, jika ditinjau dari definisi menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Artinya, jika ditilik dari proyeksi UU Sisdiknas, sistem dan praksis pendidikan di Tanah Air tentu masih jauh panggang dari api. Pendidikan kita belum berhasil dalam mencetak manusia yang saleh sekaligus mampu menjawab tantangan zaman. Pemerintah sepertinya juga kurang begitu memahami arti fungsi pendidikan itu sendiri. Padahal, pada praksis manajemen pendidikan modern, pendidikan mempunyai empat fungsi. Pertama, fungsi teknis-ekonomis. Fungsi ini merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Kedua, fungsi sosial-kemanusiaan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin.

Ketiga, fungsi politis. Fungsi ini merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis.

Keempat, fungsi budaya. Fungsi ini merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya.

Melalui momen Hardiknas dan Harkitnas ini, diharapkan pendidikan nasional ke depan semakin meningkatkan lahirnya generasi yang tangguh, cerdas, serta memiliki mental kemandirian yang tinggi, sehingga mampu mewujudkan kebangkitan bagi negeri ini. Generasi seperti ini tentu hanya bisa dilahirkan dari sebuah sistem pendidikan yang tangguh pula.




*)Terbit di Koran Radar Banten.Kamis, 20 Mei 2010
**) Penulis adalah Peneliti The Dewantara Institute


0 komentar:

Posting Komentar