RENCANA pemerintah mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) guna menanggulangi krisis listrik di seluruh Nusantara agaknya masih diselimuti pro-kontra di tingkatan masyarakat akar rumput (grass root). Kita bisa menunjuk di Semenanjung Muria sebagai bidikan pertama untuk lokasi PLTN. Semenanjung Muria, tepatnya di Desa Balong, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, merupakan kawasan hutan lindung nan subur yang semakin mengalami degradasi pascapenebangan liar beberapa tahun lalu.
Protes berkepanjangan dari warga setempat cukup masif dan sporadis. Tak tanggung-tanggung, dua kabupaten tetangga Kota Ukir ini, Pati dan Kudus, juga memberikan dukungan kepada warga Balong. Mereka menolak keras kebijakan itu. Alasannya memang tampak traumatis semata. Jika terjadi kebocoran instalasi PLTN, pasti akan merambah wilayahnya. Sudah tentu kekhawatiran ini cukup beralasan karena pernah terjadi hal serupa misalnya Tragedi Chernobyl di Ukraina.
Beberapa hari lalu penulis bersama tim kecil melakukan penelitian langsung di desa yang sedianya didirikan PLTN ini. Apa yang penulis saksikan betul-betul dramatis. Betapa tidak, ribuan warga Balong yang bisa dikatakan tertinggal ini dengan bersemangat dan antusias meneriakkan yel-yel tolak PLTN kala mengikuti dialog publik tentang nuklir di desa yang masih sejuk dan alami ini. Fenomena yang patut direspons segera oleh pemerintah pusat. Sejatinya, mereka tidak menolak rencana pendirian pembangkit listrik bertenaga nuklir. Akan tetapi, yang ditolak adalah pilihan atas lahan desanya, yang dekat dengan wilayah hutan lindung itu.
Dari perbincangan penulis dengan sebagian warga, setidaknya ada beberapa alasan krusial terkait penolakan kebijakan itu. Pertama, Desa Balong merupakan lahan subur yang produktif dan potensial. Hampir semua tanaman tumbuh menggembirakan di wilayah ini. Mulai padi, ubi-ubian, sampai sayur-mayur bisa tumbuh subur. Menurut pengakuan penduduk, tanah merekalah yang selama ini menghidupi dan memberikan kesejahteraan kepada penduduk.
Sebagai bukti empiris, hampir seluruh warga desa menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani dan peladang. Jika kemudian tanah mereka akan dibangun instalasi nuklir, otomatis radius beberapa kilometer dari tempat PLTN akan dibebaskan dari aktivitas penduduk, sudah tentu termasuk sawah dan ladang mereka pasti akan dikorbankan. Belum lagi mereka harus “banting setir”, alih profesi.
Kedua, hawa panas yang akan semakin menjajah tiap senti wilayah ini. Sekadar catatan, di Semenanjung Muria telah dibangun instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang setiap hari mengeluarkan asap hitam pekat yang berdampak meningkatnya suhu di wilayah itu. Jika PLTN dibangun di Balong, hawa panas yang diakibatkan PLTU tentu semakin membara di Bumi Kartini. Lengkap sudah penderitaan penduduk.
Ketiga, menjaga kemungkinan terburuk dari rencana itu, yakni kebocoran instalasi PLTN. Jika memang pendirian PLTN ini sudah dirancang sedemikian rupa dengan teknologi tinggi yang menjamin keamanan instalasi dari kebocoran, sedikit berandai-andai, apabila terjadi human error karena apa pun bisa terjadi, rakyat Balong mengusulkan untuk pindah lokasi yang tak padat penduduk. Alasan terakhir ini yang sekaligus menjadi usulan warga tampaknya bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengkaji ulang keputusan itu.
Pada titik ini pemerintah seyogianya mawas diri untuk tidak memaksakan kehendak mendirikan instalasi nuklir di kawasan hutan lindung ini. Toh, rakyat Balong tidak menolak pendirian PLTN secara membabi-buta. Hanya saja, tidak di wilayahnya yang notabene lahan subur, padat penduduk, dan telah didirikan pembangkit listrik bertenaga uap.
Dengan demikian, pilihan mencari lahan kosong di pulau yang tidak didiami penduduk agaknya merupakan solusi terbaik bagi rencana pendirian PLTN yang sangat berguna bagi pasokan energi dan dunia kelistrikan Indonesia di masa mendatang.
*Terbit di harian SINDO (Jum'at, 16 April 2010) www.seputar-indonesia.com/opini
**Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta,
Peneliti di Ciganjur Centre.
Protes berkepanjangan dari warga setempat cukup masif dan sporadis. Tak tanggung-tanggung, dua kabupaten tetangga Kota Ukir ini, Pati dan Kudus, juga memberikan dukungan kepada warga Balong. Mereka menolak keras kebijakan itu. Alasannya memang tampak traumatis semata. Jika terjadi kebocoran instalasi PLTN, pasti akan merambah wilayahnya. Sudah tentu kekhawatiran ini cukup beralasan karena pernah terjadi hal serupa misalnya Tragedi Chernobyl di Ukraina.
Beberapa hari lalu penulis bersama tim kecil melakukan penelitian langsung di desa yang sedianya didirikan PLTN ini. Apa yang penulis saksikan betul-betul dramatis. Betapa tidak, ribuan warga Balong yang bisa dikatakan tertinggal ini dengan bersemangat dan antusias meneriakkan yel-yel tolak PLTN kala mengikuti dialog publik tentang nuklir di desa yang masih sejuk dan alami ini. Fenomena yang patut direspons segera oleh pemerintah pusat. Sejatinya, mereka tidak menolak rencana pendirian pembangkit listrik bertenaga nuklir. Akan tetapi, yang ditolak adalah pilihan atas lahan desanya, yang dekat dengan wilayah hutan lindung itu.
Dari perbincangan penulis dengan sebagian warga, setidaknya ada beberapa alasan krusial terkait penolakan kebijakan itu. Pertama, Desa Balong merupakan lahan subur yang produktif dan potensial. Hampir semua tanaman tumbuh menggembirakan di wilayah ini. Mulai padi, ubi-ubian, sampai sayur-mayur bisa tumbuh subur. Menurut pengakuan penduduk, tanah merekalah yang selama ini menghidupi dan memberikan kesejahteraan kepada penduduk.
Sebagai bukti empiris, hampir seluruh warga desa menggantungkan mata pencahariannya sebagai petani dan peladang. Jika kemudian tanah mereka akan dibangun instalasi nuklir, otomatis radius beberapa kilometer dari tempat PLTN akan dibebaskan dari aktivitas penduduk, sudah tentu termasuk sawah dan ladang mereka pasti akan dikorbankan. Belum lagi mereka harus “banting setir”, alih profesi.
Kedua, hawa panas yang akan semakin menjajah tiap senti wilayah ini. Sekadar catatan, di Semenanjung Muria telah dibangun instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang setiap hari mengeluarkan asap hitam pekat yang berdampak meningkatnya suhu di wilayah itu. Jika PLTN dibangun di Balong, hawa panas yang diakibatkan PLTU tentu semakin membara di Bumi Kartini. Lengkap sudah penderitaan penduduk.
Ketiga, menjaga kemungkinan terburuk dari rencana itu, yakni kebocoran instalasi PLTN. Jika memang pendirian PLTN ini sudah dirancang sedemikian rupa dengan teknologi tinggi yang menjamin keamanan instalasi dari kebocoran, sedikit berandai-andai, apabila terjadi human error karena apa pun bisa terjadi, rakyat Balong mengusulkan untuk pindah lokasi yang tak padat penduduk. Alasan terakhir ini yang sekaligus menjadi usulan warga tampaknya bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk mengkaji ulang keputusan itu.
Pada titik ini pemerintah seyogianya mawas diri untuk tidak memaksakan kehendak mendirikan instalasi nuklir di kawasan hutan lindung ini. Toh, rakyat Balong tidak menolak pendirian PLTN secara membabi-buta. Hanya saja, tidak di wilayahnya yang notabene lahan subur, padat penduduk, dan telah didirikan pembangkit listrik bertenaga uap.
Dengan demikian, pilihan mencari lahan kosong di pulau yang tidak didiami penduduk agaknya merupakan solusi terbaik bagi rencana pendirian PLTN yang sangat berguna bagi pasokan energi dan dunia kelistrikan Indonesia di masa mendatang.
*Terbit di harian SINDO (Jum'at, 16 April 2010) www.seputar-indonesia.com/opini
**Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta,
Peneliti di Ciganjur Centre.
0 komentar:
Posting Komentar