Jumat, 27 Mei 2011

Revitalisasi Nasionalisme

Laiknya cendawan di musim hujan, aras demokratisasi telah menemukan momentumnya pasca 1998. Namun sisi lain demokratisasi membuat separatisme makin menguat, dan gerakan-gerakan kontra kebangsaan semakin berani menunjukan taringnya. Sejumlah organisasi yang merupakan gerakan transnasional, seperti NII bahkan jelas-jelas menolak Indonesia dan Pancasila.

Yang lebih ekstrem lagi, ada upaya untuk mengganti sistem republik dengan sistem lain (khilafah, syariah dll) yang jelas-jelas tidak cocok dengan pluralitas yang ada. Ini sangat kontras, mengingat prinsip demokrasi yang seharusnya mengedepankan kemaslahatan di atas segala-galanya harus tunduk pada pandangan yang justru mengerdilkan nasionalisme.

Secara historis, runtuhnya sebuah negara kerap ditimbulkan karena kekurangpercayaan terhadap institusi dan elemen bernegara, serta menghilangnya nasionalisme di dada sivitasnya. Kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia bisa dijadikan pelajaran, bahwa proyek nasionalisme harus kembali digaungkan di seantero negeri.

Di kedua negara tersebut, nasionalisme coba dibangun dengan penyamarataan kesepahaman, serta menghilangkan perbedaan. Hasilnya bisa dilihat, mereka gagal, dan hilang dari peta dunia. Karena, menghilangkan perbedaan yang memang sudah ada sejak lahir merupakan suatu pemaksaan yang melawan hak asasi manusia (HAM) hingga tidak bertahan lama.

Maka, membincang nasionalisme Indonesia, haruslah menengok rentetan sejarah panjang bahwa nasionalisme mampu menjadi tonggak kemerdekaan. Ia yang lahir secara tertulis sejak 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda itu memang lebih bersifat nasionalisme politik. Artinya, kesadaran sebagai bangsa yang diikrarkan para pemuda tanggal 28 Oktober, merupakan sebuah kesadaran, dan kesepahaman politik untuk menggalang persatuan, serta merapatkan barisan atas dasar satu tujuan bersama.]

Tidaklah salah, jika menimbang bahwa nasionalisme itu mampu meleburkan sekat dan bias etnisitas yang sering terwarta sebagai sesuatu yang tertolak. Kesadaran berpolitik inilah agaknya yang menjadi entitas penting dalam meretas kesatuan atas nama Pancasila sebagai payung yang mampu mengayomi seluruh partitur negara.

Menyitir pendapat Mohammad Yamin bahwa nasionalisme Indonesia sebelum itu, pada saat kelahiran Budi Utomo (10 Mei 1908), lebih bersifat nasionalisme kultural. Karena, jika ditilik lebih lanjut, nasionalisme kultur bangsa Indonesia sebenarnya sudah mulai terbina sejak masa lampau, dan mencapai puncak pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Pelbagai fakta itu semakin menambah pudarnya nasionalisme yang menjadi cikal Indonesia. Setidaknya, ada tiga elemen substansial yang perlu ditelaah dalam rangka revitalisasi nasionalisme.

Pertama, penguatan identitas. Secara sederhana, kesadaran akan identitas nasional bisa dipantik oleh rasa etnitisas, letak geografis, ras, dan keluarga besar bernama Indonesia. Begitu halnya pengalaman pahit yang dialami secara bersama, walaupun tidak hidup bersama dalam sebuah tempat.

Mengaca pada kasus pengalaman penjajahan yang dilakukan Belanda selama ratusan tahun, yang dilanjutkan dengan kebengisan Jepang, dua peristiwa ini haruslah menumbuhkan kesadaran akan identitas diri dan identitas nasional. Intinya, bangsa ini ingin melepaskan belenggu kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun. Termasuk hegemoni ekonomi neoliberal yang sedang mencengkeram.

Identitias diri inilah yang nanti akan mewujudkan siapa diri kita, yang tentu akan menyatu dengan identitas nasional. Meskipun, secara geografis Indonesia bukanlah negara yang dengan mudah mampu menghimpun seluruh elemen yang menyebar di antara ribuan pulau dan ratusan suku yang ada.

Fakta sejarah membuktikan bahwa perbedaan bukanlah penghalang besar mewujudkan solidaritas dan identitas nasional. Tentu, kesadaran akan identitas sebagai bangsa ini tidak lahir secara mendadak. Identitas nasional Indonesia dirumuskan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di kepulauan Nusantara, meskipun beraneka ragam latar belakang, tetapi tetaplah berpandangan satu. Yakni Indonesia.

Kedua, pemahaman kembali multikulturalisme dan pluralisme. Istilah ini agaknya bukanlah kosa kata asing kala kita mendengarnya. Ia acapkali bersanding selaras dengan pergerakan tentang kemajemukan, sesuatu yang datang seiring munculnya makna baru tentang kesadaran, dan hidup berdampingan di antara sesama.

Bagi Ben Agger (2003) dalam buku Teori Sosial Kritis, dijelaskan tentang kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, dengan menyatakan bahwa perubahan sosial tidak dapat berlangsung di pundak individu-individu. Sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme yang tidaklah mampu berdiri sendiri. Karena, akan menjadi lahan empuk bagi liberalisme.

Menimbang tesis di atas, maka multikulturalisme hendaklah berdampingan dengan pluralisme. Ini sekaligus sebagai

pemaknaan mendasar konsepsi masyarakat kita yang majemuk, degan beraneka ragam perbedaan, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentatif dan cenderung destruktif. Juga, tidak boleh dipahami sekedar kebaikan yang negatif, hanya ditinjau dari asas, dan kegunaannya untuk menyingkirkan sikap fanatisme, vandalisme dan separatisme.

Ketiga, pemaknaan ulang simbol dan pilar negara. Empat pilar penting bangsa, yakni UUD 1945, NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sudah mulai redup di mata banyak orang. Tentu, kita tidak ingin ke depan nantinya, bangsa kita ini akan hancur karena generasi penerus tidak mengetahui apa pilar bangsa ini. Agaknya revitalisasi ini menjadi penting, mengingat semakin memudarnya nasionalisme di tengah sivitas Indonesia yang plural ini.


Sumber : Opini, Harian Nasional Suara Karya, Kamis 26 April 2011


Oleh : Dedik Priyanto

Selengkapnya...

Senin, 23 Mei 2011

Inilah Kemerdekaan & Kemandirian

“Manusia di dunia ini terbagi menjadi dua : Yang pertama adalah mereka yang dating ke pasar (dunia) ini dan menjual dirinya hingga menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membela dirinya di pasar ini dan menjadikannya merdeka“ (Ali bin Abi Thalib).Anda bisa masuk kerja, lakukan pekerjaan anda, kemudian pulang dan mendapat upah. Maka anda telah menjual diri anda.

Tapi anda bisa masuk kerja, kemudian anda berinfaq dengan waktu anda, pikiran anda, seluruh potensi anda, fokus perhatian anda, kalau perlu dengan segala apa yang anda miliki, baik jiwa, raga, maupun harta, kemudian anda mendapatkan kemajuan begitu pula dengan perusahaan anda. Maka anda telah membeli diri anda.

Anda kemudian menjadi merdeka. Karena di lapangan tempat anda bekerja, anda bukan sekedar tukang beresin kerjaan, yang sehari­-harinya diperintah dan nunggu perintah. Tapi andalah pemilik pekerjaan itu. Andalah yang punya inisiatif menentukan langkah-langkah pekerjaan anda. Anda jugalah yang menjamin keberhasilan pekerjaan anda.

Karena andalah yang paling mengerti pekerjaan anda sendiri. Itulah kemerdekaan. Mandiri, sering diplesetkan menjadi mandi sendiri. Dikutip dari sebuah situs bisa jadi plesetan ini benar. Bahwa ada pekerjaan-­pekerjaan pribadi yang dapat dan harus kita lakukan sendiri. Masa mandi saja mesti dimandiin?

Mandiri berarti bertumpu pada kekuatan sendiri atau kondisi dimana seseorang tidak bergantung pada orang lain. Tindakan dan keberhasilan yang dia raih tidak harus menunggu dukungan orang lain atau tersedianya segala fasiltas dan sarana.Justru dialah yang menyediakan segala sesuatunya untuk mencapai keberhasilan. Sehingga tidaklah mudah menjadi orang yang mandiri.

Keikhlasan akan membentuk pekerja yang merdeka dan mandiri, karena dengan keikhlasan itu dia tidak akan pernah ragu untuk memberikan yang terbaik dari kemampuannya untuk ridha Allah saja.

“Janganlah kamu menjadi budak (hamba) seseorang, karena Allah telah menciptakan kamu dalam keadaan Merdeka.” (Ali bin Abi Thalib)

Pandangan visioner dari Rasulullah berkaitan kemerdekaan dan kemandirian ini membekali kita dengan do’a. Tentu saja ketika diperintahkan untuk berdo’a, maka disitu menyiratkan adanya permasalahan yang strateqis.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari pesimis dan kecewa, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat penakut dan tidak mau berkorban, dari, lilitan hutang dan dominasi manusia.

Lilitan hutang dan dominasi manusia menunjukkan bahwa kita harus mandiri dan merdeka. Artinya secara ekonomi kita bisa mengatur pemenuhan hidup kita sendiri. Tidak tergantung kepada produktifitas orang lain apalagi orang kafir.

Seorang yang merdeka bukan berarti ia bebas melakukan apa saja. Tapi ia mengerti betul apa yang harus dilakukan untuk keberhasilan hidup ini. Sehingga ia memegang kendali. Kemandirian melahirkan kemerdekaan. Dan kemerdekaan berarti kemandirian. Kedua hal ini merupakan satu kesatuan sebagai ciri seorang muslim, dan anda pekerja muslim.

Ternyata Rasullullah menunjukan bahwa itu semua bermula dari hati. Kondisi hati yang pantang mengeluh terhadap keadaan dan selalu optimis memandang gelapnya masa depan. Disinilah iman dan taqwa menjadi jawaban.

Dari kondisi hati seperti itu akan muncul pribadi yang disiplin, penuh semangat dan selalu ingin meningkatkan kemampuan. Sehingga bermunculanlah individu yang belajar, berbuat, belajar lagi berbuat lagi Sampai sempurna ilmu dan amalnya.

Pribadi semacam itu akan menghasilkan karakter individu yang pemberani dan siap berkorban. Dalamnya ilmu dan besarnya semangat tidak akan berarti apa-apa bila tidak berani melakukan dan menghadapi tantangan serta kesiapan menanggung resiko.

Karena keberanian dan pengorbanan diperlukan untuk melakukan penetrasi kepada suatu wilayah kernenangan dan perjuangan baru. Sesuatu yang gelap dimasa depan harus kita jawab dengan melakukan sesuatu sehingga kita menjadi tahu. Akhirnya lahirlah manusia yang banyak `amal sholihnya dan efektif hasilnya.

Serangkaian ikhtiar ini akan sampai kepada suatu prestasi. Kemenangan yang Allah janjikan untuk orang beriman. Keberhasilan ini diapresiasi oleh Allah dengan memilih kita sebagai penguasa wilayah tersebut. Dan segala potensi digelontorkan untuk dikelola.

Inilah kemerdekaan dan kemandirian.

Sumber


Dikutip dari catatan Adi Supriadi

Selengkapnya...

Sabtu, 21 Mei 2011

Sepak Bola Indonesia berada di Lumpur Kapitalisme

Gegap gempita piala AFF sudah berakhir, pasukan Merah Putih hanya mampu finisih di tempat kedua. Kutukan untuk timnas belum juga berakhir, harapan rakyat Indonesia untuk bisa menggelar pesta kemenangan tak bersambut. Setelah tampil gagah di putaran penyisahan, anak asuhan Alfred Riedl keok oleh tim Malaysia, padahal pada putaran penyisahan timnas bisa menumbangkan anak asuh Radja Gopal dengan skor meyakinkan 5 – 1.

Setelah pagelaran bergengsi di kawasan Asia Tenggara telah berakhir, kehebohan public pecinta sepak bola akan euforia sepak bola ternyata belum berakhir. Permasalahan sepak bola kini menjadi salah satu permasalahan yang menjadi focus pemberitaan beberapa media. terutama pasca batalnya kongres PSSI di Pekanbaru, Riau beberapa pekan lalu. Permasalahan mengenai Statuta PSSI dan FIFA pun mendapat sorotan, disinyalir pihak Nurdin cs, melakukan berbagai uapaya manipulasi untuk terus menjabat di PSSI. Masalah ini kemudian merembet kepada konflik antara pihak Menegpora dengan ketua PSSI. Di salah satu media malam ini, Menegpora, Andi Malarangeng bahkan sudah menyatakan tidak mengakui kepengurasan Nurdin cs di PSSI, aset PSSI akan diambil alih, dana untuk PSSI melalui APBN pun akan di hentikan, sementara pelatnas untuk SEA Games akan diambil oleh KONI dan KOI.

PSSI sebagai wadahnya sepak bola di negeri ini menjadi sorotan masyarakat, kinerja PSSI dianggap setali tiga uang dengan kinerja pemerintahan SBY – Boediono jilid ke 2. Tidak perubahan yang berarti untuk kemajuan sepak bola serta masih mempertahankan pola-pola lama untuk menghindar dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan permasalahan yang lebih penting adalah membawa sepak bola ke system Kapitalisme. Dibawah kepemimpinan mantan seorang narapidana kasus korupsi, Nurdin Halid, PSSI menjadi sebuah lembaga olah raga anti bodi yang tidak menerima kritikan dari anggotanya.

Setelah prestasi yang tidak memuaskan di piala AFF yang lalu, badai kritikan terhadap kepemimpinan di PSSI semakin keras, bahkan 3 klub peserta ISL (Indonesia super league) (PSM Makasar, Persibo Bojonegoro, dan Persema Malang) yang notabene juga anggota PSSI menyebrang ke liga “tandingan” yang disponsori oleh beberapa pengusaha Indonesia, Liga Premier Indonesia (LPI).

Ini merupakan buntut kekecewaan para pelaku sepak bola Indonesia terhadap PSSI. Namun kemudian timbul pertanyaan baru, sama-sama dikelola oleh para pengusaha apakah negeri ini benar-benar mau dibawa ke system Kapitalisme di semua sendi kehidupan, termasuk sepak bola ?

Tidak bisa dipungkiri bahwa system penindas Kapitalisme telah menjajah seluruh lapisan kehidupan negeri ini, termasuk sepak bola. Melihat perkembangan sepak bola dunia sekarang pun tak jauh berbeda, kini sepak bola dunia menuju industri yang menggiurkan bagi para pengusaha. Padahal jika kita melihat perkembangan sejarah sepak bola baik dunia maupun negeri ini, sepak bola merupakan permainan rakyat. Sepak bola lahir dari daratan Cina yaitu berawal dari permainan masyarakat Cina abad ke-2 sampai dengan ke-3 SM. Olah raga ini saat itu dikenal dengan sebutan “tsu chu “. Itu versi sejarah sepak bola yang diakui oleh FIFA sebagai organisasi sepak bola dunia. Walaupun begitu masih banyak versi lain dari sejarah sepak bola, beberapa Negara mempunyai versi lainnya, seperti Mesir, Jepang, bahkan Inggris mengaku sebagai peletak pertama sejarah sepak bola modern. Sepak bola saat ini sudah menjadi lahan bisnis baru untuk para pengusaha dan penguasa. Sepak bola dibawa menuju ke industiralisasi dimana uang yang berkuasa. Itu pula yang harus ditakutkan oleh para pecinta sepak bola dengan hadirnya LPI.

Dibawah pengelolaan PSSI di liga Indonesia, sepak bola negeri ini pun sudah dibawa ke arah industrialisasi sepak bola dimana uang menjadi pengendali utamanya. Hadirnya LPI setali tiga uang dengan liga yang dikelola oleh PSSI. LPI bukanlah jawaban dari bobroknya pengelolaan liga sepak bola di negeri ini oleh PSSI, justru dengan hadirnya LPI akan membawa liga sepak bola negeri ini menjadi lahan bisnis baru untuk para pengusaha bermental kapitalis untuk menginvestasikan uangnya. Sejatinya setelah berdirinya LPI, banyak pengusaha-pengusaha di daerah-daerah yang berlomba-lomba menguncurkan uangnya untuk mendirikan klub sepak bola, menciptakan prestasi dengan cara yang instant.

Kemunculan liga tandingan yang disponsori oleh seorang pengusaha bernama Arifin Panigoro menjadi babak baru perkembangan sepak bola negeri ini ke arah system kapitalisme. Hal ini bisa dilihat dari munculnya klub-klub “ajing mumpung” yang hadir semenjak digulirkannya liga primer Indonesia, diberbagai pelosok kota di negeri ini bermunculan klub-klub liga sepak bola yang mengusung corak budaya kapitalisme, sebut saja nama-nama klub yang meniru nama-nama klub liga besar dunia, macam Real Mataram, Tanggerang Wolves, Manado United, Ksatria XI Solo FC, dll. Klub-klub ini dibiayai oleh para pengusaha. Artinya keuntungan menjadi harga mutlak bagi para pengusaha ketika ia mengelola sebuah klub. Sementara di luar negeri sana, banyak fans yang mengecam masuknya para pengusaha mengelola klub sepak bola, tapi di negeri ini malah mendukungnya. Kita lihat bagaimana fans Mancester United menentang Malcom Glezer sebagai presiden klub, begitu pula dengan fans Liverpool yang menganggap kepemimpinan Hicks bersaudara membawa klub ini ke ajang komersialisasi semata tapi tidak membawa prestasi lebih baik. Membawa liga sepak bola negeri ini ke arah system kapitalisme bukanlah menjadi solusi terbaik dari carut marutnya PSSI menangani sepak bola negeri ini.

Mengutip tulisan dari seorang pengamat sepak bola, Andi Bachtiar Yusuf dalam salah satu artikelnya berjudul Garuda di Dada ku, “sebuah sistem yang keparat seyogyanya dibalas dengan sebuah revolusi nyata yang dilakukan dengan cara yang benar. Seperti saat Ernesto Guevara dan Fidel Castro menerobos masuk Havana dengan pasukannya dan merobohkan rezim Fulgentio Batista yang menguasa. Saat Ayatullah Rahullah Khomeini memimpin rakyat Iran untukmenjatuhkan rezim Shah yang sangat barat!” dan system tersebut memang tak bisa diharapkan dengan datangnya LPI yang digagas oleh para pengusaha yang memiliki reputasi tidak baik tersebut. Kita mencerca saat timnas kemarin dibawa-bawa bak seorang selebritis oleh keluarga Bakrie, tapi apakah kita juga akan mencerca saat pemain sepak bola di perjual belikan laykanya komoditi dagang oleh para pengusaha pemilik klub di LPI ?

Permasalahan mendasar yang belum disadari sebagian pecinta sepak bola tanah air adalah makin kuatnya jeratan system kapitalisme di bidang sepak bola. Saat ini, sebagian besar pecinta sepak bola merasa bersyukur dengan hadirnya LPI sebagai jawaban dari semarawutnya liga Indonesia yang dikelola PSSI, namun kita tidak pernah mau melihat latar belakang berdirinya LPI ? masuknya beberapa investor asing ke LPI tidak kita lihat sebagai bentuk penjajahan baru para pemegang modal ke segala sendi kehidupan negeri ini. Hadirnya LPI tidak akan merubah angka pengangguran di negeri ini, LPI pun tidak akan memperbaiki mutu sepak bola negeri ini, justru dengan hadirnya LPI akan menguntungkan industri penyiaran, akan memberikan keuntungan bagi produk-produk inverstor yang mensupport LPI. Keuntungan yang didapat dari hadirnya LPI hanya akan menyentuh pada lapisan atas pemegang modal dari terbentuknya LPI.

System pembinaan sepak bola yang harusnya diperbaiki. Bukan justru makin menyumburkan system lama yang sudah terbukti bobroknya bagi kemajuan sepak bola negeri ini. reformasi bukanlah kata yang tepat untuk PSSI namun revolusi adalah kata yang tepat untuk diarahkan kepada sepak bola negeri ini. tarikannya bukan lagi PSSI sebagai sasaran tembak namun juga kepada seluruh lapisan di negeri ini yang akan membawa sepak bola ke system kapitalisme. Mengapa kita tidak bisa mencoba meniru pola pembinaan Korea Utara ? Negara komunis yang dianggap miskin dan terbelakang ini, bisa menembus putaran final piala dunia 2010, terlepas dari hasil buruk yang mereka dapatkan di ajang 4 tahunan tersebut tapi kita melihat bahwa system kapitalisme tidak selamanya bisa membuat prestasi yang baik untuk kemajuan sepak bola.

Kita menyadari betul bahwa PSSI dipenuhi oleh orang-orang bermental mafia. Kita tentu muak ketika banyak indikasi korupsi yang dilakukan PSSI. Pemerintah harusnya segera mengaudit keuangan PSSI, dana operasional yang diterima PSSI pada tahun 2010 mencapai Rp. 20 miliar, sedangkan untuk tahun ini saja RAPBN menyebutkan bahwa dana untuk PSSI mencapai Rp.80 miliar, pertanyaannya mengalir kemana saja dana rakyat tersebut ? dan apa hasilnya ? selama ini kita terfokus dengan banyaknya mafia di lingkungan badan hukum negeri ini, tapi kita lupa bahwa mafia tersebut juga ada di lembaga olah raga, utamanya sepak bola. Dan jelas pemerintah abai terhadap hal ini. Pengabaian pemerintah terlihat jelas dari sikap kementrian pemuda dan olah raga yang bersikap setali 3 uang dengan Presiden, ragu-ragu dan tidak mempunyai sikap tegas. Ini pun diperparah dengan sebagian anggota DPRD yang justru malah mendorong klub sepak bola untuk bergabung ke LPI.

Alasan dana APBD yang menjadi sumber pemasukan untuk klub-klub sepak bola menjadi alasan klise yang diberikan untuk mendorong klub bergabung dengan LPI. Sebagian klub sepak bola di negeri ini memang didanai oleh dana APBD. Persela Lamongan mendapat dana kucuran APBD Rp. 14 miliar untuk tahun 2010, Persisam Samarinda mendapat Rp. 15 miliar, Persipasi Bekasi memperoleh Rp. 10 miliar, klub ibu kota Persija Jakarta mendapat gelontoran dana yang paling besar yaitu Rp. 25 miliar. Tentu kita pun mengkritik hal tersebut, uang rakyat digunakan untuk sesuatu yang tidak bisa dibanggakan, peralihan sikap dari sebagain kalangan DPRD tentu kita lihat sebagai posisi cari aman. Tak bisa dipungkiri banyak pejabat public baik dari kalangan pemerintahan maupun DPRD yang masih mempunyai peran strategis di klub tersebut, tentu saja besarnya dana APBD sangat menggiurkan bagi mereka. Besarnya dana APBD yang digelontorkan ke klub-klub tersebut tidak terlepas dari peran mereka untuk mensahkan peraturan tersebut.

Kesemerawutan sepak bola di negeri ini harus dibenahi dengan sungguh, bukan menciptakan liga tandingan yang hanya mengarah kepada “aji mumpung” dari para pengusaha untuk mengeruk uang dari bobroknya kepengurusan liga Indonesia, bukan juga mengerahkan TNI untuk menintervensi jalannya Kongres PSSI, dan bukan juga membuat PSSI tandingan yang akan berdampak kepada sanksi yang diberikan FIFA kepada Timnas kita yang akan berlaga di perhelatan internasional, serta bukan juga menarik pemerintah untuk campur tangan kedalam permasalahan ini. namun solusi yang paling tepat adalah mengumpulkan seluruh para pelaku sepak bola negeri ini untuk melepaskan sepak bola dari jeratan liberalisasi serta kepentingan politik sesaat. Kembalikan PSSI di bawah kepengurusan para mantan pemain sepak bola negeri ini, yang sekarang banyak tidak terpantau lagi. Karena hanya merekalah yang paham bagaimana mengurus sepak bola, bukan orang-orang yang bertitel pengusaha yang akan membawa sepak bola negeri ini ke arah lumpur kapitalisme.


Dikutip dari catatan Pras Che

Selengkapnya...

Jumat, 20 Mei 2011

Pentingnya Organisasi Kedaerahan

Organisasi primordial (kedaerahan) yang ada disetiap kampus diharapkan bisa menangkal gelombang arus budaya dari luar yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai kedaerahan. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam Diskusi Publik di Aula Student Center, Kampus UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, (17/05)

Seminar yang menjadi pembuka dalam acara Mahasiswa seribu desa (17-19 mei 2011) ini, membahas panjang lebar tentang bagaimana pentingnya menghidupkan nilai-nilai moral budaya daerah ditengah pengarah budaya global.

Seperti diungkapkan Hendri Yetus Siswono dari Sanggar Altar sebagai Salah satu pembicara, bahwa ditahun 2011 ini bangsa Indonesia tengah mengalami pasang surut perkembangan dengan segala dinamikanya mulai dari pembangunan ekonomi, politik, budaya, hukum dan perkembangan bahasa.

“Bebasnya informasi di negara ini telah menyebabkan kemerosotan moral, banyaknya masyarakat yang lebih meniru gaya barat dibanding mempertahankan budaya asli. Tentunya komunikasi antar organisasi primordial di kampus perlu diintensifkan untuk menggalang persatuan antar kedaerahan dikampus-kampus,” paparnya.

Pembicara lain dalam Diskusi Publik yang digelar dalam rangka 3 tahun Komunitas Lesehan Keboedajaan UIN Syarif Hidayatullah Ciputat (Kolekan), Anas Shafwan Khalid dari Komunitas Saung menjelaskan saat ini mahasiswa lebih tertarik dengan nilai-nilai pemersatu lainnya dibanding dengan budaya, seperti ajaran agama, ideologi politik, doktrin filsafat atau juga kemajuan tekhnologi yang justru melahirkan pemikiran yang tidak historis sesuai dengan budayanya.

“Budaya Bhineka Tunggal Ika yang ada saat ini juga sudah mulai luntur, sehingga kesadaran terhadap budaya lokal juga sudah mulai hilang. Padahal kesadaran ini sangat penting untuk menangkal serangan-serangan kebudayaan barat yang bisa merusak moral bangsa,” ungkap Anas.

Mahasiswa Seribu Desa

Acara dengan tema “mahasiswa seribu desa” yang diselenggarakan selama 3 hari ini, dinilai sangat penting untuk menghidupkan kembali nilai-nilai lokal yang lebih arif. Dan menguatkan rasa cinta serta kepedulian terhadap daerah masing-masing.

Salah satu panitia dan pendiri Kolekan, Fais menjelaskan di kampus UIN Syarif Hidayatullah sendiri ada sekitar 30 organisasi kedaerahan atau primordial. Beberapa organisasi yang turut serta dalam tampilan budaya pada acara “mahasiswa seribu desa” ini, antara lain seperti SIMPATI (Silaturrahmi Mahasiswa Pati), IMAPA (Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta), IMC ( ikatan mahasiswa cilegon) dan banyak organisasi lain dari Tasikmalaya, demak, Madura.

Budaya lokal yang ditampilkan seperti tari saman dari Aceh, kedoger dan soto kauman dari Pati dan masih banyak lagi yang lain menunjukkan betapa kayanya budaya Indonesia. Sebagaimana dikatakan Ketua SIMPATI, Syaiful Ulum, bahwa “Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumberdaya alam dan juga suku budaya, tapi sepertinya pemerintah pusat maupun daerah tidak maksimal memanfaatkan dan memeliharanya. Sehingga tidak heran jika budaya lokal Indonesia semakin tergerus, terpinggirkan dan bahkan terlupakan”.

“Fenomena tersebut tampaknya tidak hanya diakibatkan dari internal, tapi juga dari luar yang berupaka semakin membabi butanya serangan budaya Barat yang cenderung sekularis dan hedonis”, tambah Ulum.

Mengenai organisasi Promordial yang ada di UIN Syahid Jakarta, Organisasi Daerah yang mempunyai jargon “Pati Bumi Mina Tani” ini, mengatakan “Semua organisasi primordial yang ada di UIN ini, kalau mau bekerja sama dan membuat acara semisal ini (mahasiswa seaibu Desa) dan lebih besar lagi pasti akan menarik dan saya rasa dapat menarik perhatian pemerintah”.

“tapi sayangnya, masing-masing organisasi memiliki kesibukan sendiri, begitu juga para mahasiswanya yang mungkin banyak kesibukan dari tugas kampus” lanjut mahasiswa fakultas Syari’ah dan hukum ini.

Hal ini senada dengan Fais yang mengatakan begitu ampuhnya organisasi primordial dalam menangkal serangan-serangan budaya barat maupun organisasi seperti NII. Alhasil, acara ini patut mendapat apresiasi dan sangat perlu didukung berbagai pihak termasuk Universitas setempat.


Oleh : Anwar Muhammad

Selengkapnya...

Kamis, 19 Mei 2011

Hari Kebangkitan Nasional

Setiap tanggal 20 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Kebamgkitan Nasional (Harkitnas), hari yang menjadi momentum perjuangan seluruh rakyat di kepulauan Nusantara, yang ditandai dengan kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908.

Bukan hendak membandingkan masa lalu khususnya pada era Orde Baru dengan masa sekarang yang dikenal sebagai era reformasi. Tulisan ini tak lebih dari sekadar upaya perenungan sekaligus untuk menggugah ingatan kita semua, dalam memaknai Kebangkitan Nasional, terkait relevansinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang dan di masa mendatang.

Harkitnas sejatinya menjadi sumber inspirasi dan motivasi bangsa Indonesia dalam berkiprah di berbagai lapangan pengabdian. Kebangkitan nasional, memotivasi abdi negara, penegak hukum, anggota legislatif, kalangan dunia usaha, pelajar dan mahasiswa, para pekerja dan seluruh rakyat, mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Di bidang politik, semangat kebangkitan nasional memicu peran aktif seluruh komponen bangsa dalam berperanserta menyukseskan kegiatan pembangunan yang didasari oleh keinginan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Sementara di bidang ekonomi, kemampuan untuk menghasilkan berbagai produk bermutu yang bisa disejajarkan dengan berbagai macam produk impor, jelas akan semakin memperkuat kemandirian bangsa sekaligus mampu berbicara dalam percaturan dunia.

Di bidang sosial budaya, semangat kebangkitan nasional akan terus memperkokoh pilar ketahanan budaya yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, yang senantiasa mengedepankan persatuan dan kesatuan, kebersamaan dan gotong royong.

Tak mengherankan apabila di masa lalu atau di era Orde Baru, semangat Harkitnas selalu direfleksikan dalam berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat yang pada prinsipnya merupakan wujud nyata sikap nasionalisme bangsa Indonesia. Setiap Harkitnas digelar beraneka acara seperti, Lomba Karya Tulis, Seminar, Pameran Pembangunan, Bazar Produksi Dalam Negeri, dan berbagai kegiatan yang dilaksanakan di tingkat nasional maupun di seluruh daerah dan pelosok tanah air.

Pertanyaannya, mengapa di era reformasi sekarang ini kegiatan yang berhubungan atau setidaknya agenda dalam rangka memperingati Harkitnas seolah pudar oleh hingar bingar permasalahan yang justru mengingkari semangat nasionalisme dan kebangsaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia?. Bukankah reformasi sejatinya merupakan tuntutan yang didasari oleh keinginan supaya bangsa Indonesia kembali pada rel perjuangan, sebagaimana yang diamanatkan oleh kebangkitan nasional 20 Mei 1908 dan cita-cita perjuangan kemerdekaan RI 17 Agustu 1945?.

Justru di saat akan memperingati 103 tahun kebangkitan nasional hari ini, bangsa Indonesia terpaksa harus menyaksikan tindakan penghianatan atas rasa kebersamaan, persatuan dan kesatuan serta sikap gotong royong yang selama ini menjadi ciri khasnya. Tindak kekerasan, aksi premanisme, korupsi dan berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh orang-orang yang justru mengemban amanat rakyat di posisi yang terhormat, krisis kepercayaan terhadap lembaga peradilan, tindakan kriminal, perkelahian antarpelajar dan antarmahasiswa, seakan menjadi akrab dengan kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia dan merata di seluruh tanah air.

Mengapa itu semua terjadi?, siapakah yang patut disalahkan. pemerintah, kalangan pendidik, penegak hukum, pemuka agama ataukah memang sudah terjadi perubahan dalam pola sikap hidup masyarakat kita?. Tentu tidak adil kalau hanya menyalahkan salah satu pihak saja. Diperlukan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat untuk duduk bersama mendiskusikan persoalan ini, sehingga bisa dihasilkan suatu rumusan yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta ini, yang disemangati oleh nilai-nilai kebangkitan nasional 20 Mei 1908, sumpah pemuda 28 Oktober 1928, proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 serta semangat reformasi 1998.

Semoga ke depan bangsa Indonesia bisa menata kehidupan yang lebih baik sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan tentu saja amanat reformasi tahun 1998. Selamat memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2011.

Dikutip dari catatan Syarifuddin Sultan


Selengkapnya...

Layaknya Sinetron

Keanehan dari negeri yang serba aneh ini kembali terjadi. Pasalnya, akhir-akhir ini Orang Indonesia dari segala penjuru menjadi suka menonton berita.

Mungkin hal ini bukanlah suatu keanehan jika terjadi di negeri lain. Tapi ketika ini terjadi di Indonesia, sepantasnya untuk dianggap suatu hal yang ganjil terjadi.

Tidak perlu munafik terhadap bangsa ini, bukti empiris menunjukkan orang indonesia (sebelumnya) bukanlah suatu warga negara yang rela waktunya terbuang hanya untuk digunakan melihat berita. Terutama ketika menghidupkan televisi masing-masing.

Bukti ini memang tidak menjadi vonis dengan memukul rata semua orang Indonesia. Tapi paling tidak, bisa jadi, mewakili mayoritas dari keseluruhan. Dan itu cukup menjadi sebuah penilaian, bahwa ketika bangsa lain sudah mampu mengambil fungsi elektronik dengan hampir tidak terbatas, terutama menjadi media informasi. Orang Indonesia cukup senang dengan memosisikan fungsi elektronik menjadi penghibur di tengah-tengah kesibukan tiada akhir dan tiada terbaiki. Sinetron dan reality show yang ada benar-benar berhasil menarik orang Indonesia melupakan dunianya.

Itulah bukti empiris yang menjadi penilaian dulu, lain dengan sekarang.

Layaknya kita anggap titik balik ini sebagai prestasi tersendiri bagi bangsa. Tapi jikapun dianggap prestasi serasa terlalu melebih-lebihkan. Karena perlu juga diketahui, ada apa sebenarnya dibalik semua ini.

Usut punya usut. Kemungkinan hal ini merupakan langkah taktis dari para produsen berita di balik layar sana. Tidak lain, untuk mencapai rating penonton lebih banyak, berita yang selama ini tersisihkan dari orang Indonesia, mulai merubah strategi. Dengan mengambil titik tolak apa yang dapat membuat orang indonesia tertarik dengan sinetron dan reality show, maka dari titik itu pula berita akan memulai.

Watak orang Indonesia suka nuansa dramatis dan peminimalan dalam penggunaan akal. Dramatisasi yang beralur naratif. Dari sinilah titik tolak itu. Dan ini pula yang sudah mulai di sadari oleh yang dibalik layar berita.

Dramatisasi. Orang Indonesia, dari anak-anak sampai yang tua renta, dapat dipastikan menyukai satu hal ini. Alasan logisnya, bagi yang berusia produktif menjadi senang karena ternyata ada yang lebih sengsara dari dirinya, dari rasa senang yang tak disadari lalu lupa diri akan dunianya, kemudian terhanyut. Untuk anak-anak, karena melihat orang tuanya, merekapun ikut terhanyut. Untuk orang tua, karena sudah tidak ada lagi yang dikerjakan dan terbawa suasana masa mudanya, merekapun tak bisa terlepas. Ini hanyalah, analisis logis dari satu variabel. Tentu tidak menutup kemungkinan adanya alasan yang lain. Yang jelas, sesuai dengan kenyataan yang ada, hal ini tidaklah lalu menjadi salah secara mutlak.

Naratif. Dari segi jurnalistik, penyampaian yang paling mudah dicerna akal adalah alur ini. alur penceritaan, sebagaimana orang mendongeng. Jadi tidak salah, ketika melihat orang Indonesia yang lebih suka di-cerita-i dari pada diberi penjelasan analisis argumentatif, ataupun model lainnya. Lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Indonesia tidak suka memeras otak terlalu dalam. Bukan menghina, benar adanya orang-orang Indonesia yang cerdas, bahkan tidak terhitung. Tapi jika membandingkan dengan yang tidak termasuk orang-orang tersebut. Tentu itu sebuah jawaban.

Jadi, dari titik inilah semua perubahan itu dimulai. Dari yang berawal berisi dan mencerdaskan, sesuai dengan standar ilmiah. Menjadi seakan dibuat-buat, naratif, tidak mengajak berfikir. Dan yang paling disayangkan ketika ke-objektif-an menjadi hilang, hanya karena permintaan pasar, dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu.

Lalu apa bedanya dengan sinetron? Kiranya pantas jika dikatakan berita saat ini “Layaknya Sinetron


Dikutip dari catatan Moham Fahdi
Selengkapnya...

Selasa, 17 Mei 2011

Keep Dreaming Keep Action

Einstein mengatakan bahwa: “Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“.

Sekarang ini banyak selogan yang dikeluarkan oleh banyak orang yang topiknya seolah membius kita: “Stop Dreaming Start Action“. Saya mengatakan bahwa slogan itu sepenuhnya tidak benar.

Mengapa? Coba kita bayangkan, segala sesuatu yang Anda jalani saat ini adalah tidak lepas dari ‘dream’ atau mimpi Anda entah beberapa tahun yang lalu kan?

Sejarah pesawat terbang yang menjadi angkutan favorit saat ini berawal dari sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Thomas Alfa Edison juga menemukan bolam lampu dari mimpi besar dia untuk menerangi dunia.

Jadi totally kita semua harus tetap memupuk mimpi-mimpi besar kita untuk membuat perubahan yang membantu terwujudnya dunia yang lebih maju dan bermanfaat bagi orang banyak.

Jadi dua cara untuk untuk menjalani kehidupan ini dan keduanya benar.

1. Dengan penuh keajaiban karena kita menyerahkan totally kepada Kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan

2. Dengan biasa-biasa saja, karena yaaa… memang beginilah kehidupan ini.

Dan semua orang jika ditanya, mereka justru akan memilih nomor 1, karena secara fitrah (suci) kita semua adalah ciptaan-ciptaan Tuhan Yang Maha Esa untuk selalu dekat denngan-Nya.

Jadi, mari kita jalani kehidupan ini dengan penuh ajaib, dengan selalu bersyukur setiap apa yang kita dapatkan.


Di kutip dari catatan Syaifuddin Akhyas

Selengkapnya...

Minggu, 15 Mei 2011

Open Mind & Ijtihad

Sederhana saja.

Sekedar membuka pikiran secara utuh, terima penuh segalanya tanpa memilah, ambil semua tanpa menolak. Tidak perlu takut, tidak perlu menutup mata-telinga terhadap wacana-wacana yang selalu bermunculan. Tidak perlu mengingkari fitrah manusia yang selalu ingin tahu (Want to know) searah dengan keinginan untuk terkuaknya kebenaran (Wan to truth).

Tak terlalu ekstrim sebenarnya, maksud dari "OPEN MIND" ini. Membuka pikiran terhadap segala wacana yang mungkin, tidak lantas berarti menyetujui bukan? Membuka pikiran terhadap segala sebagai khazanah ilmiah, sebagai pendewasaan dan kematangan diri dengan memperkaya diri akan keilmuan, entah darimanapun berasal tidak menjadi masalah. Bahkan penting untuk mengetahui banyak hal yang saling berbeda dan kontroversial, sebagai penghindaran dari bertambahnya manusia ekstrimis di muka bumi karena menurut pendapat Said Aqil Siradj, sikap ekstrim itu muncul dari kurangnya akan wawasan, bacaan yang luas dan kajian ilmu yang mendalam. Karena dengan hal-hal itu memunculkan keterbiasaan terhadap perbedaan pendapat dan terbiasa dengan dialog rasional.

Tapi masalahnya adalah ketika wacana mulai dipraktekkan, tentu harus memiliki prinsip sebagai pertimbangan yang mendalam. Prinsip itu yang nantinya dapat menyaring segala input wacana-wacana dan pemikiran. Menghasilkan praktek sikap setuju dan tidak setuju.
Fitrah manusia yang selalu ingin tahu demi terkuaknya kebenaran seharusnya tersalurkan. Entah kebenaran bahwa suatu hal itu benar maupun kebenaran bahwa suatu hal itu salah. Kebenaran yang relatif.

Kebenaran tunggal yang pasti, kebenaran Tuhan. Tidak ada kontroversi terhadap hal ini. Tapi kebenaran yang membumi di kalangan manusia, di sinilah letak perbedaan. Kebenaran ini bersifat parsial, terbagi-bagi pada banyak hal. Kebenaran ini tidak menjadi monopoli pada satu hal saja. Karena itu tidak mungkin, mengingat kembali adanya kebenaran tunggal hanya milik Tuhan yang tidak akan diketahui oleh siapapun juga secara pasti, selagi dia masih sesosok makhluk. “Jika aku benar, tidak menutup kemungkinan untuk salah. Jika kalian salah, tidak menutup kemungkinan untuk benar,” satiran dari ucapan Imam Syafi’i.

Lalu upaya pemprosesan dari segala wacana yang masuk melalui proses awal open mind yang diuraikan di atas, untuk mencapai suatu kebenaran (bagi akal yang memproses), itulah ijtihad –dalam arti luas-. Dan frekuensi dari adanya Ijtihad inilah yang mengikat cepat-lambat dan maju-mundurnya perubahan dan pembaharuan, tentunya dua hal ini yang selalu diimpikan seluruh manusia yang menginginkan kebaikan menyeluruh.

Mengingat watak dasar masyarakat manusia yang berwatak dinamis dan tidak berkarakter statis, maka ijtihad adalah upaya mengantisipasi tantangan-tantangan baru yang terus menerus dimunculkan oleh sifat evolusioner kehidupan. Bahkan muhammad Iqbal menambahkan, “dengan demikian satu persatu energi potensional manusia terurai dan pada gilirannya, menghasilkan peningkatan kualitas hidup, menuju pencapaian maksud pencipataan.”

Lantas, Bagaimana menurut anda?


Dikutip dari catatan Moham Fahdi
Selengkapnya...

Sabtu, 14 Mei 2011

Post-Gerakan Mahasiswa

REFORMASI 1998 yang digulirkan oleh gerakan mahasiswa secara serentak telah menorehkan tinta emas sejarah demokrasi di Indonesia. Gegap gempita keberhasilan gerakan mahasiswa disambut riuh dengan tumbuhnya demokrasi dan tumbangnya rezim orde baru. Lalu bagaimana dengan gerakan mahasiswa sekarang?

Pascareformasi 1998, banyak kalangan menilai telah hilang arah gerakan dan perjuangan mahasiswa. Ada beberapa hal yang menyebabkan hilangnya perjuangan mahasiswa. Pertama, hilangnya daya kritis mahasiswa, karena mahasiswa kini disibukkan dengan pesta demokrasi prosedural kampus dan diperparah dengan konflik antar gerakan mahasiswa yang tak kunjung reda. Kedua, kuatnya budaya patronase serta afiliasi gerakan mahasiswa terhadap senior-senior mereka yang berada di pemerintahan, parpol, maupun LSM.

Meskipun demikian sepatutnya masyarakat tidak bersikap pesimis terhadap gerakan mahasiswa saat ini. Pasalnya, beberapa mahasiswa menyadari akan permasalahan krisis gerakan mahasiswa ini. Dan untuk keluar dari permasalahan ini mereka memilih pada jalur post-gerakan mahasiswa.

Term Post-gerakan mahasiswa merupakan analogisasi dari post-modernisme yang berarti tidak ada kaitan dan tanggung jawab terhadap modernisme tetapi kondisi melampaui modern. Begitu juga dengan Post-gerakan mahasiswa yang merevitalisasi arah perjuangan gerakan mahasiswa tanpa ada kungkungan senioritas serta purifikasi gerakan mahasiswa dengan basis intellektual kritis. Berbeda dengan neo-modernisme Post-gerakan mahasiswa merupakan gagasan pembaharuan terhadap gerakan mahasiswa engan mengkombinasikan beberapa ide.

Pertama, konsep intelektual organik Gramsci sebagai basis gerakan. Maksud intellektual organik adalah seorang aktifis yang bermanfaat terhadap masyarakat disekitarnya. Kedua, ideology kritis sebagai ideology gerakan. Serta militansi kuat terhadap intellektualitas dan kebenaran.

Peluang post-gerakan mahasiswa memang berat jika dihadapkan dengan gerakan mahasiswa mainstream. Tetapi, dengan munculnya komunitas-komunitas post-gerakan mahasiswa ini paling tidak mencoba untuk membangun pondasi awal demokrasi dari wilayah intellektual.

Seperti komunitas-komunitas diskusi dan kajian mahasiswa yang bermunculan di Ciputat. Beberapa komunitas post-gerakan mahasiswa tersebut misalnya: Piramida Circle, Formaci, eRSOUS, LS-ADI, Makar Institute, Senjakala, Forum KOPI, dll.


Dikutip dari catatan Muhammad Mukhlisin
Selengkapnya...

Indonesia Dalam Peradaban Perut

"Rasa lapar mulai menyiksaku. Aku lemah, aku muntah beberapa kali. Suatu perasaan amat pusing menyambarku; aku berjalan terus dan tak mau memerhatikannya, tetapi perasaan itu makin lama makin kuat,” tulis Knut Hamsun, sastrawan Norwegia, dalam novel Hunger (Sult/Lapar), yang melambungkan namanya. Ia meraih Nobel Sastra 1920.

Hunger dianggap kritikus sastra dunia menawarkan cara pandang, penyajian bahasa, serta model penulisan yang detail dan khas. Tokoh novel ini, sang Aku, berusaha hidup sekuat tenaga, hingga menggadaikan seluruh barang yang dipunyai. Bahkan, menggadaikan selimut milik teman demi membeli makanan. Tokoh Aku, merupakan penulis yang sedang berproses menggapai kematangan.

Knut Hamsun kecil hidup dengan perut lapar dan bekerja membantu pamannya. Ia tak boleh pulang karena harus bekerja keras. Demi mengunjungi keluarga, Knut memotong salah satu jari kakinya agar pamannya iba. Jejak kepedihan terekam utuh di setiap episode hidupnya.

Lapar yang diderita tak hanya dirasa dengan perut kosong dan haus. Knut merasa terbenam lumpur pekat kemiskinan. ”Aku sendiri merasa bagaikan suatu serangga kecil yang sedang sekarat, di dalam cengkeraman kebinasaan dalam dunia yang sudah sesat ini,” ungkapnya.

Kritik pada modernisme

Dibaca dalam konteks kini, kisah Knut Hamsun menampar manusia modern yang hidup dan ambisinya melulu mengejar kebutuhan biologis. Sekadar urusan perut. Satu naluri purba yang membesar dan mendominasi, membentuk semacam adab yang tak hanya menenggelamkan masyarakat pada hasrat dan nafsu badaniah saja, tetapi juga —dalam kasus di negeri ini —menghadirkan elite yang sibuk dengan pragmatismenya.

Elite seperti itu tak sempat memikirkan hal lain—yang bersifat visioner atau holistik—kecuali sekadar proyek, politikus meng-”obyek”-kan dana negara, pengusaha lupa tanggung jawab sosialnya, akademisi rebutan kuasa, atau agamawan hanya silat lidah. Rakyat kebanyakan? Hanya untuk hiruk pikuk kebutuhan seputar perut: mengonsumsi semua hasil kebudayaan yang hanya memuaskan hasrat-hasrat purbanya yang badaniah.

TautanPerut sebagai energi

Tanpa proses produksi seimbang, ekonomi kapitalistik hanya akan menghadirkan masyarakat konsumer. Jean Baudrillard (2005) menyebutnya masyarakat kapitalis mutakhir. Theodor Adorno menyebut sebagai ”masyarakat komoditas” (commodity society). Bagi negeri ini, dua terma itu tampaknya kontradiktif. Di satu pihak benar, kita tenggelam dalam hidup yang difalsifikasi ke dalam komoditas. Di lain pihak, kita sama sekali belum mencapai yang disebut Baudrillard sebagai the late capitalism.

Mungkin inilah ironi adab mutakhir kita. Sebagai masyarakat atau bangsa, kita menerima adab itu sebagai akibat. Namun, kita tak pernah mengetahui atau mengalaminya sebagai sebab.

Tak mengherankan bila masyarakat juga elitenya, seperti tak mengerti yang sedang terjadi, yang mereka lakukan sendiri. Ia kehilangan orientasi.

Itu terjadi dalam seluruh tingkat dan dimensi kehidupan. Pada pendalaman spiritual, misalnya, manusia Indonesia kesulitan memahami dan ”mengalami” agama sebagai jalan meneguhkan eksistensinya secara utuh. Ia berhenti pada slogan dan jargon skriptural. Makna substansial dari agama tersingkir di sudut-sudut perpustakaan, terpencil, teralienasi.

Perut, mungkin hanya simbol. Tak hanya untuk manusia, tetapi kehidupan itu sendiri. Walau posisinya desisif sebagai penggerak hidup atau kebudayaan, ia bisa menjadi ancaman bahkan bencana, ketika kita membiarkannya menjadi makhluk liar. Menjadi monster yang siap melahap (hidup) kita sendiri.

Sumber

Dikutip dari catatan Munawir Aziz


Selengkapnya...

Jumat, 13 Mei 2011

Keep Dreaming Keep Action

Einstein mengatakan bahwa: “Ada dua cara menjalani hidup, yaitu menjalaninya dengan keajaiban-keajaiban atau menjalaninya dengan biasa-biasa saja“.

Sekarang ini banyak selogan yang dikeluarkan oleh banyak orang yang topiknya seolah membius kita: “Stop Dreaming Start Action“. Saya mengatakan bahwa slogan itu sepenuhnya tidak benar.

Mengapa? Coba kita bayangkan, segala sesuatu yang Anda jalani saat ini adalah tidak lepas dari ‘dream’ atau mimpi Anda entah beberapa tahun yang lalu kan?

Sejarah pesawat terbang yang menjadi angkutan favorit saat ini berawal dari sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Thomas Alfa Edison juga menemukan bolam lampu dari mimpi besar dia untuk menerangi dunia.

Jadi totally kita semua harus tetap memupuk mimpi-mimpi besar kita untuk membuat perubahan yang membantu terwujudnya dunia yang lebih maju dan bermanfaat bagi orang banyak.

Jadi dua cara untuk untuk menjalani kehidupan ini dan keduanya benar.

1. Dengan penuh keajaiban karena kita menyerahkan totally kepada Kuasa Tuhan Yang Maha Kuasa, dan

2. Dengan biasa-biasa saja, karena yaaa… memang beginilah kehidupan ini.

Dan semua orang jika ditanya, mereka justru akan memilih nomor 1, karena secara fitrah (suci) kita semua adalah ciptaan-ciptaan Tuhan Yang Maha Esa untuk selalu dekat denngan-Nya.

Jadi, mari kita jalani kehidupan ini dengan penuh ajaib, dengan selalu bersyukur setiap apa yang kita dapatkan.


Dikutip dari catatan Syaifudin Akhyas

Selengkapnya...

Pahlawan dan Tukang Sapu

Sekolah Tinggi Penghitungan Uang Negeri (STIPUN) tidak perlu dipertanyakan lagi keterkenalannya di banyak kalangan, apalagi bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, tempat ini bagaikan surga yang diidam-idamkan. Daya tariknya begitu memikat, dengan penawarannya akan ‘murah’ dan ‘terjamin’. Tawaran macam apalagi yang mampu menyaingi dua hal itu.

Nilai prestise tersemat bagi yang mampu memasuki STIPUN, karena tentu saja perlu perjuangan yang lebih untuk itu. Begitu juga dengan Gambun adanya.

Tapi ada yang sedikit berbeda dengan Gambun, dia terlebih cerdas dari lainnya. Jalan pikirnya lebih maju dari lainnya. Dan sulit diprediksi apa maksud sebenarnya ha-hal yang dilakukan.

Gambun adalah alumni dari STIPUN saat ini. Bahkan namanya terlebih terkenal dari STIPUN. Segala media massa memberitakan tentang dirinya. Segala kenalannya dari STIPUN mulai dari teman seangkatan, beda angkatan, dosen, semua pada terbeliak mendengar tentang dirinya. Begitu juga dengan tukang sapu STIPUN.

Tukang sapu ini merasa dirinya sudah merasa mengenal Gambun luar-dalam. Betapa tidak, kos-an Gambun masa mahasiswa sebelahan dengan rumah si tukang sapu, dan gambun orang yang mudah bergaul. Sering kali Tukang Sapu dan Gambun ngobrol tentang segalanya dan melakukan banyak hal bersama, dan dari situ tukang sapu dapat mendiskripsikan Gambun sebagai orang yang pintar-bahkan sangat pintar, sebagai orang yang religius-sering jama’ah bersama; ngaji bersama, dan sebagai orang yang nasionalis (peduli dengan negara)-mengutuk korupsi dalam negeri yang merajalela; mengutuk suap; mengutuk penipuan uang negara.

Jadi tingkat keterbeliakan tukang sapu ini lebih dari lain-lainnya. Pemberitaan-pemberitaan itu meruntuhkan segala imaji tukang sapu terhadap gambun. Pemberitaan yang sangat beterbalikan dengan sosok Gambun di pandangan tukang sapu, bahwa Gambun seorang penipu, bahwa Gambun koruptor, bahwa Gambun menerima banyak suap sana-sini. Hampir-hampir tukang sapu yang sudah lanjut usia ini semaput dibuatnya. Tapi menjadi tukang sapu selama hampir 40 tahun itu tidak lain karena daya tahan tubuhnya yang kuat dan selalu tampak sehat wal-afiat. Jadi yang seharusnya semaputpun tidak jadi.

Selama 40 tahun berkumpul dengan mahasiswa, walau sebagai tukang sapu, membuat dia juga selalu berfikir kritis akan segalanya, begitu juga saat ini.

“Ada yang salah, tidak mungkin itu Gambun yang aku kenal, kalaupun iya pasti ini fitnah,” pikir tukang sapu ketika melihat pemberitaan Gambun di TV.

Naluri tukang sapu yang tidak hanya sebatas berfikir, sepeti ketika dia melihat hal-hal kotor dan tidak pada tempatnya di kampus pasti akan secepatnya dibersihkan dan dikembalikan pada tempat yang wajar. Maka paginya, secepatnya tukang sapu berusaha mencari tempat penahanan Gambun.

Di LP ini tukang sapu mendapat ijin bertemu dengan Gambun. Dia melihat gambun, duduk di depannya dengan baju tahanan, sangat berbeda dengan Gambun yang selama ini berputar-putar dalam pikirannya. “Apa orangnya pun sudah berubah sebagaimana penampilannya?” pikir tukang sapu.

“Lho, Bapak yang jenguk?” tanya gambun, setelah salaman dengan tukang sapu.

“Iya, Bun. Tidak kamu sangka bukan?” Tukang sapu menimpali, dan bertanya balik.

“Hehehe, iya Pak. Ada apa, pak?”

“Langsung aja, Bun. Apa kamu masih Gambun yang bapak kenal?” tanya tukang sapu.

“Maksud Bapak? Saya selalu seperti ini, Pak. Gambun dulu dan Gambun sekarang tidak pernah berbeda,” jawab Gambun.

“Lantas bagaimana dengan tentang pemberitaan itu? Sampai-sampai kamu masuk di sini. Jelas sekali, kalau itu semua bukan Gambun yang bapak kenal,” kata tukang sapu

Gambun terdiam, menundukkan wajah dengan mimik muka berfikir serius. Tukang sapu-pun menunggu jawaban Gambun, sambil menatap wajah Gambun seakan ingin melihat perubahan-perubahan mimik wajahnya.

“Oh itu. Itu semua benar adanya, Pak,” jawab Gambun lirih, sambil menegakkan kembali kepalanya dan menatap mata tukang sapu.

“Tapi, saya masih Gambun yang Bapak kenal,” lanjut Gambun.

“Maksudnya?” tanya tukang sapu, dengan kebingungan akan apa dibalik ini semua.

“Pak, aku masih tidak berubah, bahkan tambah kuat pendirianku yang dulu itu. Aku sekarang tidak hanya mengutuk, bahkan ingin memangkas habis segala macam penipuan uang negara,” kata Gambun dengan mata berbinar-binar, seperti beberapa tahun lalu ketika membicarakan tentang pendirian.

“Tapi yang kamu lakukan itu tidak menceminkan semuanya, Bun?” tanya tukang sapu masih bingung akan apa maksud dari Gambun.

“Itulah, Pak. Apa Bapak tahu cara untuk menyapu bersih itu semua?” tanya Gambun.

Tukang sapu hanya menggeleng-gelengkan kepala, walaupun tukang sapu, tapi untuk menyapu bersih penipuan uang negara tentu saja dia tidak tahu.

“Bapak tahukan dari pemberitaan, kalau aku disuap sana-sini, untuk melakukan hal ini-itu yang merugikan negara. Dari situ aku tahu siapa mereka, bagaimana mereka bertindak dan akhirnya aku akan bongkar mereka di pengadilan yang sebenarnya mengadiliku.”

“Jadi itu semua hanya akting untuk menipu mereka? Dan menjebloskan mereka ke penjara seperti kamu?”

“Tentu saja, Pak.”

Dan kembali, tukang sapu terbeliak hampir semaput, tapi tidak jadi.

Beberapa hari kemudian sebelum pengadilan, STIPUN mulai dikenal kembali dengan nama olok-olok Sekolah Tipu Negri, yakni sekolah yang mengajarkan tipu-menipu terutama menipu uang negara, dan dihubungkan dengan adanya Gambun. Untuk membuktikan hal tersebut, maka ada seorang wartawan berkunjung ke STIPUN. Untuk mewawancarai tokoh-tokoh di STIPUN mengenai hal tersebut.

Hasil wawancara tokoh-tokoh besar di STIPUN pada menolak dengan keras hal itu dan menyatakan kasus Gambun tidak ada hubungan sama sekali dengan STIPUN, bahkan ada yang menyatakan Gambun adalah produk gagal dari STIPUN.

Tapi sebelum si wartawan memutuskan keluar kampus, dilihatnya ada seorang tukang sapu yang begitu giat dan sambil tersenyum membersihkan halaman depan. Terbersit di hati wartawan untuk sekedar bertanya pada tukang sapu itu.

“Salam, Pak”

“Salam, ada apa mas?”

“ehm, saya mau tanya-tanya ke Bapak boleh?”

“Silahkan saja” kata tukang sapu.

“Bapak kenal sama Gambun, yang sering di berita itu?” tanya wartawan.

“Wah tentu saja, orang-orang di sini pasti kenal sama dia,” jawab tukang sapu sambil tersenyum.

“Lantas menurut Bapak, dia orang yang bagaimana?” wartawan bertanya kembali.

Tiba-tiba sorot mata tukang sapu berubah serius dan berkata sambil melihat ke langit, seakan-akan ada sosok Gambun di atas sana.

“Gambun, dia itu sosok yang hebat. Belum pernah bapak bertemu orang sehebat dia, berani berkorban demi kemakmuran negara ini, dia seorang yang sangat baik, seperti Gambun yang bapak kenal waktu mahasiswa,” kata tukang sapu.

Kemudian tukang sapu menatap kembali pada wartawan, dan melanjutkan, “bagi saya, Gambun adalah sesosok pahlawan negara ini.”

Wartawan-pun terbeliak, dan karena wartawan bukanlah tukang sapu, diapun semaput di tempat. (Ciputat, 02-03-2011)


Dikutip dari catatan Moham Fahdi

Selengkapnya...

Membunuh Tak Mematikan

TERBUNUHNYA Osama bin Laden 1 Mei lalu merupakan pencapaian besar bagi rakyat Amerika. Terlebih dialah orang yang paling dianggap bertanggung jawab atas peristiwa 11 September 2001 silam. Kini muncul pertanyaan, apakah dengan terbunuhnya pemimpin Al- Qaeda, berakhir pula terorisme global dunia? Mungkinkah ketenteraman akan terwujud?

Tidak. Tak ada jaminan sekali pun itu datang dari negara seadidaya Amerika. Seorang Osama mungkin bisa mati (secara lahiriyah) seiring dengan jasad yang dikubur di tengah lautan. Namun ajaran dan ideologi terorisme yang diusung akan tetap dan senantiasa hidup, terlebih bagi para penganutnya. Bahkan menginspirasi mereka dalam melakukan segala perlawanan.

Senada dengan yang pernah disampaikan KH. As’ad Said Ali, Wakil Kepala BIN, beliau menegaskan bahwa selama ada kehidupan, maka selama itu pula ada ideologi manusia. Karena itu, ideologi seseorang tidak akan pernah mati dan akan mempengaruhi tatanan kehidupan politik maupun ekonomi.

Adapun ketenteraman dan perdamaian dunia kini, masih jauh panggang dari api. Bukti bahwa negara seperti Amerika serta sekutunya kian khawatir dan berjaga-jaga atas segala kemungkinan akan datangnya balasan dari para militan Al Qaeda, buntut balas dendam pascaterbunuhnya pimpinan mereka.

Jika selama ini kekuatan militer dan senjata dijadikan ujung tombak penyelesaian terorisme, agaknya dunia mesti berpikir ulang ke depan. Bahwa ideologi yang berlatar belakang kekerasan akan senantiasa ada selama praktik ketidakadilan masih saja dilanggengkan dan sikap arogansi juga semena-mena merajalela.

Setiap tindak kekerasan (atas nama perdamaian) hanya akan melahirkan praktik kekerasan baru, dan bisa jadi lebih berbahaya. Perlu adanya kesadaran bersama untuk mengupayakan terwujudnya kedamaian dunia, karena membunuh bukan berarti mematikan.

Sumber

Abdullah Nuri
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta(//rfa)
Selengkapnya...

Kamis, 12 Mei 2011

Pahlawan dan Tukang Sapu

Sekolah Tinggi Penghitungan Uang Negeri (STIPUN) tidak perlu dipertanyakan lagi keterkenalannya di banyak kalangan, apalagi bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, tempat ini bagaikan surga yang diidam-idamkan. Daya tariknya begitu memikat, dengan penawarannya akan ‘murah’ dan ‘terjamin’. Tawaran macam apalagi yang mampu menyaingi dua hal itu.

Nilai prestise tersemat bagi yang mampu memasuki STIPUN, karena tentu saja perlu perjuangan yang lebih untuk itu. Begitu juga dengan Gambun adanya.

Tapi ada yang sedikit berbeda dengan Gambun, dia terlebih cerdas dari lainnya. Jalan pikirnya lebih maju dari lainnya. Dan sulit diprediksi apa maksud sebenarnya ha-hal yang dilakukan.

Gambun adalah alumni dari STIPUN saat ini. Bahkan namanya terlebih terkenal dari STIPUN. Segala media massa memberitakan tentang dirinya. Segala kenalannya dari STIPUN mulai dari teman seangkatan, beda angkatan, dosen, semua pada terbeliak mendengar tentang dirinya. Begitu juga dengan tukang sapu STIPUN.

Tukang sapu ini merasa dirinya sudah merasa mengenal Gambun luar-dalam. Betapa tidak, kos-an Gambun masa mahasiswa sebelahan dengan rumah si tukang sapu, dan gambun orang yang mudah bergaul. Sering kali Tukang Sapu dan Gambun ngobrol tentang segalanya dan melakukan banyak hal bersama, dan dari situ tukang sapu dapat mendiskripsikan Gambun sebagai orang yang pintar-bahkan sangat pintar, sebagai orang yang religius-sering jama’ah bersama; ngaji bersama, dan sebagai orang yang nasionalis (peduli dengan negara)-mengutuk korupsi dalam negeri yang merajalela; mengutuk suap; mengutuk penipuan uang negara.

Jadi tingkat keterbeliakan tukang sapu ini lebih dari lain-lainnya. Pemberitaan-pemberitaan itu meruntuhkan segala imaji tukang sapu terhadap gambun. Pemberitaan yang sangat beterbalikan dengan sosok Gambun di pandangan tukang sapu, bahwa Gambun seorang penipu, bahwa Gambun koruptor, bahwa Gambun menerima banyak suap sana-sini. Hampir-hampir tukang sapu yang sudah lanjut usia ini semaput dibuatnya. Tapi menjadi tukang sapu selama hampir 40 tahun itu tidak lain karena daya tahan tubuhnya yang kuat dan selalu tampak sehat wal-afiat. Jadi yang seharusnya semaputpun tidak jadi.

Selama 40 tahun berkumpul dengan mahasiswa, walau sebagai tukang sapu, membuat dia juga selalu berfikir kritis akan segalanya, begitu juga saat ini.

“Ada yang salah, tidak mungkin itu Gambun yang aku kenal, kalaupun iya pasti ini fitnah,” pikir tukang sapu ketika melihat pemberitaan Gambun di TV.

Naluri tukang sapu yang tidak hanya sebatas berfikir, sepeti ketika dia melihat hal-hal kotor dan tidak pada tempatnya di kampus pasti akan secepatnya dibersihkan dan dikembalikan pada tempat yang wajar. Maka paginya, secepatnya tukang sapu berusaha mencari tempat penahanan Gambun.

Di LP ini tukang sapu mendapat ijin bertemu dengan Gambun. Dia melihat gambun, duduk di depannya dengan baju tahanan, sangat berbeda dengan Gambun yang selama ini berputar-putar dalam pikirannya. “Apa orangnya pun sudah berubah sebagaimana penampilannya?” pikir tukang sapu.

“Lho, Bapak yang jenguk?” tanya gambun, setelah salaman dengan tukang sapu.

“Iya, Bun. Tidak kamu sangka bukan?” Tukang sapu menimpali, dan bertanya balik.

“Hehehe, iya Pak. Ada apa, pak?”

“Langsung aja, Bun. Apa kamu masih Gambun yang bapak kenal?” tanya tukang sapu.

“Maksud Bapak? Saya selalu seperti ini, Pak. Gambun dulu dan Gambun sekarang tidak pernah berbeda,” jawab Gambun.

“Lantas bagaimana dengan tentang pemberitaan itu? Sampai-sampai kamu masuk di sini. Jelas sekali, kalau itu semua bukan Gambun yang bapak kenal,” kata tukang sapu

Gambun terdiam, menundukkan wajah dengan mimik muka berfikir serius. Tukang sapu-pun menunggu jawaban Gambun, sambil menatap wajah Gambun seakan ingin melihat perubahan-perubahan mimik wajahnya.

“Oh itu. Itu semua benar adanya, Pak,” jawab Gambun lirih, sambil menegakkan kembali kepalanya dan menatap mata tukang sapu.

“Tapi, saya masih Gambun yang Bapak kenal,” lanjut Gambun.

“Maksudnya?” tanya tukang sapu, dengan kebingungan akan apa dibalik ini semua.

“Pak, aku masih tidak berubah, bahkan tambah kuat pendirianku yang dulu itu. Aku sekarang tidak hanya mengutuk, bahkan ingin memangkas habis segala macam penipuan uang negara,” kata Gambun dengan mata berbinar-binar, seperti beberapa tahun lalu ketika membicarakan tentang pendirian.

“Tapi yang kamu lakukan itu tidak menceminkan semuanya, Bun?” tanya tukang sapu masih bingung akan apa maksud dari Gambun.

“Itulah, Pak. Apa Bapak tahu cara untuk menyapu bersih itu semua?” tanya Gambun.

Tukang sapu hanya menggeleng-gelengkan kepala, walaupun tukang sapu, tapi untuk menyapu bersih penipuan uang negara tentu saja dia tidak tahu.

“Bapak tahukan dari pemberitaan, kalau aku disuap sana-sini, untuk melakukan hal ini-itu yang merugikan negara. Dari situ aku tahu siapa mereka, bagaimana mereka bertindak dan akhirnya aku akan bongkar mereka di pengadilan yang sebenarnya mengadiliku.”

“Jadi itu semua hanya akting untuk menipu mereka? Dan menjebloskan mereka ke penjara seperti kamu?”

“Tentu saja, Pak.”

Dan kembali, tukang sapu terbeliak hampir semaput, tapi tidak jadi.

Beberapa hari kemudian sebelum pengadilan, STIPUN mulai dikenal kembali dengan nama olok-olok Sekolah Tipu Negri, yakni sekolah yang mengajarkan tipu-menipu terutama menipu uang negara, dan dihubungkan dengan adanya Gambun. Untuk membuktikan hal tersebut, maka ada seorang wartawan berkunjung ke STIPUN. Untuk mewawancarai tokoh-tokoh di STIPUN mengenai hal tersebut.

Hasil wawancara tokoh-tokoh besar di STIPUN pada menolak dengan keras hal itu dan menyatakan kasus Gambun tidak ada hubungan sama sekali dengan STIPUN, bahkan ada yang menyatakan Gambun adalah produk gagal dari STIPUN.

Tapi sebelum si wartawan memutuskan keluar kampus, dilihatnya ada seorang tukang sapu yang begitu giat dan sambil tersenyum membersihkan halaman depan. Terbersit di hati wartawan untuk sekedar bertanya pada tukang sapu itu.

“Salam, Pak”

“Salam, ada apa mas?”

“ehm, saya mau tanya-tanya ke Bapak boleh?”

“Silahkan saja” kata tukang sapu.

“Bapak kenal sama Gambun, yang sering di berita itu?” tanya wartawan.

“Wah tentu saja, orang-orang di sini pasti kenal sama dia,” jawab tukang sapu sambil tersenyum.

“Lantas menurut Bapak, dia orang yang bagaimana?” wartawan bertanya kembali.

Tiba-tiba sorot mata tukang sapu berubah serius dan berkata sambil melihat ke langit, seakan-akan ada sosok Gambun di atas sana.

“Gambun, dia itu sosok yang hebat. Belum pernah bapak bertemu orang sehebat dia, berani berkorban demi kemakmuran negara ini, dia seorang yang sangat baik, seperti Gambun yang bapak kenal waktu mahasiswa,” kata tukang sapu.

Kemudian tukang sapu menatap kembali pada wartawan, dan melanjutkan, “bagi saya, Gambun adalah sesosok pahlawan negara ini.”

Wartawan-pun terbeliak, dan karena wartawan bukanlah tukang sapu, diapun semaput di tempat.


Dikutip dari catatan Moham Fahdi

Selengkapnya...

Senin, 09 Mei 2011

Mahasiswa AKar Pembangunan Karakter Bangsa

Apakah karakter itu? Karakter ada yang mengartikan sebagai suatu sifat atau kepribadian yang dimiliki seseorang. Karater juga diartikan sebagai kekuatan dan respon terhadap sesuatu. Karakter juga menggambarkan suatu watak dan kebiasaan seseorang.

Kembali pada karakter, ada beberapa ilmuwan yang menjelaskan berbagai definisi karakter yang dihubungkan dengan moralitas seperti menurut Lawrence Kohlberg dalam bukunya The Psychology of Moral Development (1927) menyimpulkan hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang, penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.

Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian.

Kemudian Sigmund Freud memiliki pendapat tentang potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Berdasarkan teorinya tersebut, Freud menyimpulkan bahwa moralitas merupakan sebuah proses penyesuaian antara id, ego, dan superego.

Di dalam Islam, Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt). Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan. Karena itu, Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir tetapi juga kebersihan ruhani.

Dari beberapa definisi para ahli tentang apa itu karakter, maka dapat disimpulkan karakter manusia meliputi dua hal baik dan buruk. Dan setiap tokoh memiliki karakter yang bisa dijadikan penutan.

Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:

Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.”

Dari uraian tersebut artinya kita sebagai mahasiswa tidak cukup hanya menyelesaikan semua tugas-tugas kampus, dengan title mahasiswa, menjalani hari-hari dan lulus dengan menyandang gelar sarjana… cukupkah? Inilah yang harus kita rubah, bahwa kita perlu merombak orientasi kita. Kita sebagai penerus bangsa. Tidak ada salahnya berfikir besar, karena kita sebagai cendekiawan harus mampu menhasilkan karya yang bisa berguna di masyarakat. Di Kampus dapat kita ikuti program PKM sebagai wujud andil kita sebagai mahasiswa yang cendikiawan.

Mandiri sering juga disebut dengan tidak bergantung, menjadi mandiri adalah sebuah proses. Kita yang sangat bergantung dari bantuan orang tua, maka mulai dari sekarang kita harus mulai belajar menjadi mandiri. Apakah hanya secara financial? Tidak… kita harus bisa mandiri secara utuh, artinya kita mampu menyelesaikan masalah yang kita hadapi baik masalah pribadi, maupun masalah-masalah umum.

Berhati nurani, kita sadar tiap manusia memiliki hati (perasaan), namun dalam pembentukan karakter masih ditambahkan dengan kata nurani, nurani berasal dari bahasa Arab, yaitu “nĂ»ran” atau “nur’aini” yang artinya cahaya, atau cahaya mata. Dua kata ini umumnya digabung yang berarti hati yang bercahaya atau cahaya mata hati. Di dalam bahasa Indonesia juga dapat berarti lubuk hati yang paling dalam atau di sebut juga sebagai kata hati.

Imam Ghazali mengibaratkan hati nurani sebagai kaca cermin. Bagi orang yang tidak pernah berbuat salah, maka nuraninya bagaikan cermin yang bening. Sehingga sekecil apapun noda di wajah, segera akan tampak di cerminnya. Adapun orang yang kerap melakukan kesalahan-kesalahan kecil, maka nuraninya bagaikan cermin yang terkena debu. Wajahnya masih tampak, namun noda-noda kecil sudah tidak tampak karena kotornya sang cermin. Sedangkan pelaku kejahatan besar maka nuraninya akan gelap, seperti cermin tersiram cat hitam. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari cerminnya yang bisa digunakan untuk bercermin. Karenanya seorang penjahat atau pembohong kerap tidak merasa dirinya bersalah, karena cermin hatinya sudah tidak bisa menampakkan gambar apa-apa.

Coba kita ingat jika kita menggunakan uang ibuk kita tanpa izin maka ada perasaan kurang enak, atau kalau kita berbohong keluar malam untuk sesuatu hal yang tidak penting, coba ingat pula ketika kita berjanji namun kemudian kita mengingkari, ingat pula ketika kita melihat orang tua renta yang mengigil kedinginan karena kehujanan sementara kita membawa paying,jika kita merasa kurang nyaman itulah hati nurani yang berbicara.

Nurani dalam diri manusia berfungsi sebagai kotak hitam (black box) untuk merekam segala cerita dan kejadian hidup. Dimensi waktunya mencakup waktu dulu dan yang sedang terjadi sekarang. Selain itu nurani berfungsi sebagai ‘radar’ untuk mendeteksi pengaruh baik dan buruk yang datang dari dalam maupun luar diri manusia, yang kemudian disesuaikan dengan mengikuti fitrahnya, yaitu menerima kebenaran. Inilah perlunya kita mengasah hati nurani. Semoga kita menjadi mahasiswa yang cendikiawan, mandiri dan berhati nurani. Amin

Di kutip dari catatan "Arum Yunita Murwaningsih"


Selengkapnya...

Jumat, 06 Mei 2011

KISAH TRAGIS DIBALIK "LAGU HYMNE GURU" oleh Epri Tsaqib

Siapa yang tak kenal lagu ini lirik himne guru berjudul Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, ini sangat sering terdengar di telinga kita. Masih terngiang betapa di era 1980-an, lagu ini sangat sering dinyanyikan di sekolah-sekolah. Sebab setiap upacara bendera pada hari Senin, lagu ini selalu dinyanyikan.

Istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” bahkan kemudian menjadi ikon yang disematkan kepada para guru. Siapa sangka bila “sang pahlawan” yang tanpa tanda jasa itu sejatinya dialami si pencipta lagu tersebut. Ya, Sartono, pencipta lagu yang juga guru itu di masa senjanya hidup dalam kesederhanaan. Laki- laki asal Madiun yang genap berusia 72 tahun, 29 Mei ini, tinggal rumah sederhana di Jalan Halmahera 98, Madiun.

Sejak ia mengajar musik di SMP Purna Karya Bhakti Madiun pada 1978, hingga “pensiun” pada 2002 lalu, Sartono tetap menyandang guru honorer. Ia tak punya gaji pensiunan, karena statusnya bukan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kawan-kawan sesama guru sempat membantu mengajukan dia menjadi PNS. “Katanya sih sering diajukan nama saya, tetapi sampai saya pensiun dari tugas sebagai guru, PNS untuk saya kok tidak datang juga,” kata Sartono.

Sartono memang minder dengan latar belakang pendidikannya yang tak tamat SMA. Ia mengajar di SMP Purna Karya Bhakti, yang belakangan lebih dikenal sebagai SMP Kristen Santo Bernadus, berbekal bakatnya di bidang musik. Sartono yang beragama Islam itu melamar di Santo Bernadus berbekal sertifikat pengalaman kerja di Lokananta, perusahan pembuat piringan hitam di Solo, Jawa Tengah.

Hidup serba dalam kesempitan, tak membuat Sartono meratapi nasib. Ia merasa terhibur, dengan kebersamaan dengan Damiyati, BA, 59 tahun, isterinya yang guru PNS. Damiyati dinikahi Sartono pada 1971. Dari pernikahan mereka belum jua dikaruniai anak. Sehingga mereka mengasuh dua orang keponakan. Damiyati yang juga guru, juga seniman biasa manggung bersama Ketoprak Siswo Budoyo Tulungagung, di masa mudanya.Kehidupan sehari-harinya kini hanya dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan. “Gaji saya sangat rendah, bahkan mungkin paling rendah diantara guru-guru lainnya,” katanya mengenang masa lalunya.

Kala masih kuat, Sartono menambal periuk dapurnya dengan mengajar musik. Sepekan sekali, Sartono yang pandai bermain piano, gitar, dan saksofon, ini rutin mengajar kulintang di Perhutani Nganjuk, sekira 60 kilometer dari rumahnya di Madiun.

BERMULA DARI LOKANANTA

Jalan menjadi guru berawal dari kegemarannya bermain musik. Putra sulung dari lima bersaudara ini sebenarnya lahir dari keluarga cukup berada. Maklum, ayahnya R. Soepadi adalah Camat Lorog, Pacitan. Sartono kecil memang suka bermain musik secara otodidak. Namun, hidup nyaman tak bisa dirasakan berlama-lama. Ketika ia berusia 7 tahun, Jepang menduduki Indonesia. Ayahnya pun tak lagi menjabat camat.

Sartono, bersama empat adiknya, Sartini, Sartinah, Sarwono dan Sarsanti, tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Ia sendiri putus sekolah kala kelas dua di SMA Negeri 3 Surabaya.

Ia kemudian bekerja di Lokananta, perusahaan rekaman dan produsen piringan hitam. “Saya Lupa tahun berapa itu, tapi saya hanya bekerja selama dua tahun saja,” kata Sartono, yang mengaku sudah susah mengingat tahun.

Selepas kerja di Lokananta, Sartono bergabung dengan grup musik keroncong milik TNI AU di Madiun. Ia bersama kelompok musik tentara itu pernah penghibur tentara di Irian. “Di sana selama tiga bulan,” jelasnya.

DARI SECARIK KORAN

Ihwal penciptaan lagu himne guru itu boleh dibilang tak sengaja. Ketika itu, tahun 1980, Sartono tengah naik bis menuju Perhutani Nganjuk, untuk mengajar kulintang. Di perjalanan, secara tidak sengaja ia membaca di secarik koran, mengenai sayembara penciptaan lagu himne guru yang diselenggarakan Depdiknas. Hadiahnya besar untuk saat itu, Rp 750.000. Waktu yang tersisa dua pekan, untuk merampungkan lagu.

Sartono yang tak bisa membaca not balok ini, mulai tenggelam dalam kerja keras mengarang lagu saban harinya. “Saya mencermati betul seperti apa sebenarnya guru itu,” jelas Sartono sambil memulai membuat lagu itu.

Waktu sudah mepet, lagu belum juga jadi. Sartono pusing bukan kepalang. Syairnya masih amburadul. Pada hari pertama Hari Raya Idul Fitri, Sartono tidak keluar rumah. Ia bahkan tak turut beranjang sana mengantar istri dan dua keponakannya silaturrahmi ke orangtua dan sanak famili. “Saat itu kesempatan bagi saya untuk membuat lagu dan syair secara serius,” katanya. “Waktu itu saya merasa begitu lancar membuat lagu dan menulis syairnya.”

Awalnya, lirik yang ia ciptakan kepanjangan. Padahal, durasi lagu tak lebih dari empat menit. Sartono pun berkali- kali mengkajinya untuk mengetahui mana yang harus dibuang. “Karena panjang sekali, maka saya harus membuang beberapa syairnya,” jelas Sartono. Hingga muncullah istilah “pahlawan tanpa tanda jasa.”

“Guru itu juga pahlawan. Tetapi selepas mereka berbakti tak satu pun ada tanda jasa menempel pada mereka, seperti yang ada pada polisi atau tentara,” katanya.

Persoalan tak begitu saja beres. Lagu ada, Sartono kebingungan mengirimnya ke panitia lomba di Jakarta. Sebab ia tidak punya uang untuk biaya pengiriman via pos. “Akhirnya saya menjual jas untuk biaya pos,” katanya.

Sartono menang. “Hadiahnya berupa cek. Sesampainya di Madiun saya tukarkan dengan sepeda motor di salah satu dealer,” kata Sartono.

PENGHARGAAN MINIM

Lagunya melambung, Sartono tidak. Sang pencipta tetap saja menggeluti dunia mengajar sebagai guru honorer hingga “pensiun.” Kalaulah ada penghargaan selain hadiah mencipta lagu, “cuma” beberapa lembar piagam ucapan terimakasih. Nampak piagam berpigura dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo yang diberikan pada 2005. Pak Gubernur juga memberikan bantuan Rp 600.000, plus sebuah keyboard.

Piagam lainnya diberikan Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin pada 2000. Kemudian piagam dari Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo pada 2005, plus bantuan uang. “Isinya enam ratus ribu rupiah,” kata Sartono.

Tahun 2006 lalu, giliran Walikota Madiun yang dalam sepanjang sejarah baru kali ini memberikan perhatian kepadanya. “Pak Walikota menghadiahi saya sepeda motor Garuda,” kata Sartono seraya menunjuk sepeda motor pemberian Walikota Madiun.Meski minim perhatian, Sartono tetaplah bangga, lagunya menjadi himne para guru. Pekerjaan yang dilakoninya selama 24 tahun. Pengabdian yang tak pendek bagi seorang pahlawan tanpa tanda jasa.

----------------------

BANGSA YANG BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI PARA PAHLAWANNYA..!!!

Dikutip dari catatan Epri Tsaqib

Selengkapnya...

Rabu, 04 Mei 2011

Osama versus Obama oleh Ali Rif'an

Kematian pendiri sekaligus pemimpin jaringan teroris global Al Qaeda, Osama bin Laden, Minggu (1/5), mengundang perhatian besar masyarakat dunia. Osama tewas tertembak di bagian kepala dalam sebuah operasi militer rahasia yang digelar pasukan khusus AS di Kota Abbottabad, Pakistan. Seperti diberitakan media AS, New York Times dan televisi CNN, Osama langsung dikubur di laut.

Tak ada yang menyangka, Osama justru ditemukan dalam persembunyian di perumahan mewah di Abbottabad, bukan di sebuah goa di perbatasan Afganistan-Pakistan, seperti diduga selama ini. Bagi pasukan AS, mencari pesembunyian Osama tidaklah mudah. Militer dan intelijen AS telah mendeteksi keberadaan Osama sejak empat tahun lalu, dan baru April 2011 mereka menemukannya.

Osama bin Laden lahir pada 10 Maret 1957 di Riyadh, Arab Saudi. Dia adalah putra kontraktor dan pebisnis properti kaya raya bernama Mohamed bin Laden. Putra ke-17 dari 52 bersaudara ini meraih gelar sarjana ekonomi dari Universitas King Abdul Aziz, Jeddah yang kemudian dipercaya sebagai manajer di perusahaan bapaknya. Osama kecil tumbuh dari keluarga Islam fundamen. Dari bapaknya, ia mendapat warisan 250 juta dolar AS. Dari warisan itulah, Osama kemudian sukses mengembangkan perusahaan-perusahaan besar yang didirikan di berbagai negara. Terhitung sekitar 70-80 perusahaan milik Osama tersebar di mancanegara dengan nama samaran (Kompas, 3/5).

Tahun 1984, Osama mendirikan lembaga dakwah dan kamp militer yang dinamai Kamp Farouk. Kamp ini merupakan cikal bakal tempat latihan militer bagi sukarelawan Afganistan dan mancanegara. Osama kemudian merekrut banyak sukarelawan untuk digembleng mental, idiologi, serta militer. Tak pelak, mundurnya Uni Soviet dari Afganistan pada 1989 disebut-sebut sebagai jasa Osama. Pada 1998, Osama bersama Ayman Zawahiri melalui jaringan Al Qaeda memulai perlawanan terhadap negara-negara adidaya yang dianggap sering mengintimidasi negara-negara Islam. AS kemudian menjadi target utama.

Serangan-serangan yang kerap disebut-sebut dilakukan oleh jaringan Al Qaeda, antara lain: pengeboman Kedubes AS (7 Agustus 1998), serangan menara kembar WTC dan Pentagon AS (11 September 2001), bom Bali (12 Oktober 2002), pengeboman kereta api Madrid (11 Maret 2004), pengeboman angkutan London (7 Juli 2005), pengeboman Aljazair (12 Desember 2007), rencana bom pesawat kargo (29 Oktober 2010).

Kemenangan Obama

Tentu tewasnya Osama tak hanya menjadi kemenangan AS dalam perang melawan terorisme global, namun juga menjadi kemenangan besar bagi Presiden Barack Obama di pentas politik dalam negeri AS. Seperti dilansir The Washington Post, hanya dalam waktu sepekan, Obama berhasil mencetak tiga kemenangan berturut-turut terhadap lawan-lawan politiknya.

Kemenangan pertama saat ia berhasil membalik tuduhan bahwa dirinya tak lahir di wilayah AS dan tidak sah menjadi presiden AS. Obama berhasil mempermalukan telak tuduhan dari Donald Trump dan para simpatisan gerakan birther.Kemenangan kedua ialah saat ia dengan cepat merespon bencana tornado yang menewaskan lebih dari 350 orang di tujuh negara bagian AS, pekan lalu. Bagi Obama, kesalahan pendahulunya, Presiden George W Bush—yang lambat menangani bencana Topan Katrina (2005)—menjadi pelajaran berharga baginya. Obama kemudian mengunjungi lokasi terparah yang terkena bencana hanya dua hari setelah 137 tornado mengamuk Negara Bagian Alabama dan sekitarnya.

Dan, tentu saja kemenangan terbesar Obama ketiga adalah tewasnya Osama. Meskipun upaya membumihanguskan pemimpin jaringan Al Qaida ini dimulai pada era Presiden Bush, akan tetapi publik dunia tetap menaruh bangga terhadap prestasi signifikan kepemimpinan Obama dalam menggulingkan Osama. Karena itu, masyarakat internasional, seperti PBB hingga mantan Presiden Bush dan bakal calon presiden dari Partai Republik AS untuk pemilu 2012 memberikan apresiasi besar terhadap Obama.

Kegagalan Obama dalam mengatasi pengangguran, kenaikan harga bahan bakar minyak, dan perpecahan sengit politik dalam negeri AS belakangan seolah bisa diredam sejenak dengan terbunuhnya musuh bebuyutan AS, Osama bin Laden.

Dalam konteks Indonesia, kabar tewasnya Osama juga memberikan oase bagi sebagian besar masyarakat, khusnya bagi gerakan Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Ada dua alasan. Pertama, apa yang dilakukan Osama selama ini telah mencoreng nama Islam. Betapa tidak. Islam adalah agama yang sarat dengan nilai-nilai toleransi sekaligus menjadi rahmat bagi seru sekalian alam (rahmatan lil alamin), namun di tangan Osama, Islam tampak garang dan pekat dengan aroma kebencian. Islam identik dengan perang dan terorisme. Sebagai dampaknya, umat Islam yang hidup di negara mayoritas non-muslim selalu mendapat cibiran, hinaan, serta dimarjinalkan. Dus, Islam kemudian dianggap agama yang berbahaya dan harus dijauhi.

Kedua, secara historis, Osama adalah anak kesayangan yang pernah dibesarkan AS ketika mempersenjatai rakyat Afganistan menentang pendudukan Uni Soviet. Artinya, ada hubungan kausal yang kuat antara negara Obama dan Osama. Bisa jadi, serangan balik Osama terhadap AS tidak karena idiologi semata, tapi lebih kepada dendam Osama kepada Amerika karena merasa dicampakkan setelah Uni Soviet berhasil diusir dari bumi Afganistan.

Oleh karenanya, kematian gembong teroris Al-Qaida selayaknya kita jadikan sebagai babak penting bagi terbentuknya masyarakat Islam Indonesia yang santun dan toleran. Indonesia yang notabene negara mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia harus memberikan contoh ihwal wajah Islam yang penuh kehangatan, persaudaraan, dan cinta damai.

Gerakan-gerakan radikalisme seperti Negara Islam Indonesia (NII) dan lain-lain, jika konsep dakwah yang dipakai adalah kekerasan dan terorisme, mau tidak mau, harus segera dibumihanguskan dari bumi Pertiwi. Pemerintah harus cepat dan sigap dalam membaca gejala ini. “Osama Vs Obama” akan lebih menarik jika segera diganti dengan “NII versus SBY”.




Selengkapnya...