Banyak suara miring menyikapi buruknya ujian nasional (UN) tahun ini. Salah satunya dialamatkan kepada sosok guru. UN 2010 tingkat SMA dan sederajat yang diumumkan secara serempak 26 April 2010 memberikan hasil yang mengecewakan. Seolah mengingatkan kita pada prahara buruknya hasil UN tahun 2005. Betapa tidak, dari 16.467 SMA dan sederajat peserta UN tahun ini, sedikitnya 267 sekolah siswanya tidak lulus semua (Kompas, 28/4). Begitu juga pengumuman UN SMP dan sederajat nyaris serupa, 561 sekolah lulus nol persen (Kompas, 7/5).
Tentu kenyataan di atas membuat kecewa sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih para wali murid yang anaknya tidak lulus. Logika masyarakat begini. Jika dari 50 siswa yang ikut ujian, 5 di antaranya tidak lulus, itu salah muridnya. Namun, jika satu kelas tidak lulus semua, itu berarti salah gurunya.
Bagi penulis, logika di atas benar tetapi tak sepenuhnya benar. Sebab, buruknya hasil UN sekarang hampir menyeluruh di setiap daerah. Tak terjadi di satu sekolahan atau daerah saja. Artinya, jika seluruh siswa dari satu atau beberapa sekolah di negeri ini tidak lulus semua, tentu ini salah sistemnya. Dengan kata lain, konsep dan praksis pendidikan di Tanah Air juga patut disalahkan. Para pemangku pendidikan, elite pendidikan, dan stakehorders lainnya juga harus bertanggung jawab atas buruknya hasil UN tahun ini.
Sebab, jika kita mau jujur, sistem pendidikan kita sebenarnya tak pernah sepi dari masalah dan dilema, dari tahun ke tahun. Wajah bopeng pendidikan kita masih tercermin dari kebijakan pemerintah yang terkesah plin-plan, masih setengah hati, penuh muatan politis, dan terjebak pada nalar euphoria-gegap gempita, sehingga konsep yang digelontorkan pun masih terkesan coba-coba. Bukutinya, setiap ganti menteri ganti pula kebijakan.
Padak titik ini, kita sejujurnya kasihan kepada para siswa yang selalu dijadikan kelinci percobaan, berikutnya guru yang kerapkali disalahkan. Sebab, jika mau berfikir komprehensif, banyak faktor yang menyebabkaan wajah pendidikan kita masih saja menampilkan kilaunya yang buram. Dari sisi anggaran, misalnya, pendidikan kita serasa masih jauh panggang dari api.
Data tahun 2003, misalnya, menyebutkan bahwa anggaran pendidikan Singapura telah mencapai 27 persen, Thailand 21 persen, dan Malaysia 22 persen dan pada 2008 mencapai 26 persen. Sementara Indonesia baru pada 2008 menaikkan anggaran pendidikannya hingga mencapai 20 persen, itupun tidak secara langsung. Artinya, anggran di Indonesia sudah sarat beban. Beban pemerintah yang harus dibayar tahun-tahun lalu, misalnya, besarnya 2,8 kali anggaran pendidikan, 10,6 anggaran bidang kesehatan, dan 119 kali dari anggaran ketatanegaraan (Kompas, 8/5).
Di sinilah pemerintah terkesan kurang menempatkan pendidikan sebagai faktor deteminan bagi kemajuan bangsa. Pemerintah sudah lupa bahwa pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia.
Perhatian Pemerintah
Dalam pandangan penulis, pemerintah sejujurnya masih setengah hati dalam mengelola pendidikan nasional. Ini terlihat dari maraknya politisasi pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun dibiarkan saja. Padahal, anggaran pendidikan nasional sangatlah minim, tetapi masih saja dipolitisasi. Tentu perjalan pendidikan nasional menjadi tidak normal. Ibarat bayi, ia akan terus berjalan merangkak, padahal yang lain sudah mampu berjalan, bahkan berlari.
Al hasil, angka indeks pembangunan manusia selalu menampakkan nilai yang rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga. Padahal, jika mengacu amanah pembukaan UDD ’45, pendidikan nasional diproyeksikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu bukan keberhasilan beberapa gelintir anak bangsa yang meraih prestasi gemilang dalam olimpiade-olimpiade internasional, melainkan bagaimana bangsa ini secara kolektif-masif mampu menjadi bangsa yang cerdas, bukan bangsa inlander.
Melihat fenomena ini, pemerintah barangkali perlu melakukan kontemplasi tingkat tinggi. Sesekali juga menengok sekaligus mau belajar dari perjalanan sejarah peradaban bangsa-bangsa maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Negara-negara ini merupakan negara yang selalu menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan negaranya. Dalam praksisnya, negara-negara tersebut mampu memberikan perhatian yang tinggi pada sektor pendidikan, yakni dengan cara memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para warganya untuk dapat mengikuti pendidikan dari SD sampai universitas tanpa dipungut biaya.
Mereka sadar bahwa melalui pendidikan masyarakat diberi alat dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mengambil bagian dalam kemajuan dunia. Tidak hanya itu, melalui pendidikan pula sikap dan tindak tanduk manusia dibentuk. Melalui pendidikan, disiplin, pola hidup bersih, dan kejujuran manusia ditanamkan. Ini tentu sedikit kontras dengan praksis pendidikan dalam negeri.
Nasib Guru
Harus diakui, apresiasi pemerintah terhadap profesi guru masih sangat rendah. Stereotip ini kemudian membuat nilai jual guru ciut jika disandingkan dengan karier lainnya. Buktinya, lulusan-lusan terbaik SMA semakin langka yang menceburkan diri ke fakultas pendidikan ketika kuliah. Akibatnya, profesi guru jarang diminati. Ini tak lepas dari kenyataan bahwa profesi guru identik dengan profesi yang tidak menjanjikan dari segi materi. Memang, materi bukan segala-galanya. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi pada era di mana persaingan ekonomi semakin ketat seperti sekangan ini, guru juga tidak mengelak bahwa materi penting untuk menunjang perjalanan profesinya.
Kemajuan bangsa ini sesungguhnya berada di tangan para guru. Pengembangan kualitas guru sesungguhnya terletak pada kemampuan pemerintah untuk memberikan perhatian sekaligus apresiasi yang sebesar-besarnya terhadap kiprah guru. Sebab, logikanya begini. Jika kita ingin mencetak siswa yang cerdas nan berkualitas, tentu gurunya harus cesdas dan berkualitas terlebih dahulu. Pun kesejahteraannya terpenuhi.
Memang, belakangan pemerintah telah dan tengah menggelindingkan program sertifikasi guru yang diproyeksikan untuk meningkatkan kesejahteraan para guru. Namun program ini juga tak sepi dari masalah karena masih berjalan tertatih dan berwatak parsial. Program sertifikasi serasa belum mampu membendung celetukan guru yang kurang lebih bunyinya seperti ini, “Untuk makan saja pas-pasan, apalagi untuk biaya sekolah anak dan urusan rumah tangga lainnya. Yang pasti, seorang guru harus memiliki pekerjaan sampingan.”
Celetukan di atas bukan celetukan biasa. Lahir dari hati yang terdalam. Ini yang penulis dengar sendiri dari beberapa rekan guru. Pada titik ini, tidak menuntut kemungkinan guru dalam mengajar banyak yang tidak fokus dan serius karena ia juga harus membagi pikiran, waktu, dan tenaganya ke bidang lain untuk mencari bisaroh tambahan. Pertanyaannya, jika UN hasilnya buruk, apakah guru saja yang harus disalahkan?
Tentu kenyataan di atas membuat kecewa sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih para wali murid yang anaknya tidak lulus. Logika masyarakat begini. Jika dari 50 siswa yang ikut ujian, 5 di antaranya tidak lulus, itu salah muridnya. Namun, jika satu kelas tidak lulus semua, itu berarti salah gurunya.
Bagi penulis, logika di atas benar tetapi tak sepenuhnya benar. Sebab, buruknya hasil UN sekarang hampir menyeluruh di setiap daerah. Tak terjadi di satu sekolahan atau daerah saja. Artinya, jika seluruh siswa dari satu atau beberapa sekolah di negeri ini tidak lulus semua, tentu ini salah sistemnya. Dengan kata lain, konsep dan praksis pendidikan di Tanah Air juga patut disalahkan. Para pemangku pendidikan, elite pendidikan, dan stakehorders lainnya juga harus bertanggung jawab atas buruknya hasil UN tahun ini.
Sebab, jika kita mau jujur, sistem pendidikan kita sebenarnya tak pernah sepi dari masalah dan dilema, dari tahun ke tahun. Wajah bopeng pendidikan kita masih tercermin dari kebijakan pemerintah yang terkesah plin-plan, masih setengah hati, penuh muatan politis, dan terjebak pada nalar euphoria-gegap gempita, sehingga konsep yang digelontorkan pun masih terkesan coba-coba. Bukutinya, setiap ganti menteri ganti pula kebijakan.
Padak titik ini, kita sejujurnya kasihan kepada para siswa yang selalu dijadikan kelinci percobaan, berikutnya guru yang kerapkali disalahkan. Sebab, jika mau berfikir komprehensif, banyak faktor yang menyebabkaan wajah pendidikan kita masih saja menampilkan kilaunya yang buram. Dari sisi anggaran, misalnya, pendidikan kita serasa masih jauh panggang dari api.
Data tahun 2003, misalnya, menyebutkan bahwa anggaran pendidikan Singapura telah mencapai 27 persen, Thailand 21 persen, dan Malaysia 22 persen dan pada 2008 mencapai 26 persen. Sementara Indonesia baru pada 2008 menaikkan anggaran pendidikannya hingga mencapai 20 persen, itupun tidak secara langsung. Artinya, anggran di Indonesia sudah sarat beban. Beban pemerintah yang harus dibayar tahun-tahun lalu, misalnya, besarnya 2,8 kali anggaran pendidikan, 10,6 anggaran bidang kesehatan, dan 119 kali dari anggaran ketatanegaraan (Kompas, 8/5).
Di sinilah pemerintah terkesan kurang menempatkan pendidikan sebagai faktor deteminan bagi kemajuan bangsa. Pemerintah sudah lupa bahwa pendidikan sesungguhnya investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia.
Perhatian Pemerintah
Dalam pandangan penulis, pemerintah sejujurnya masih setengah hati dalam mengelola pendidikan nasional. Ini terlihat dari maraknya politisasi pendidikan yang berlangsung bertahun-tahun dibiarkan saja. Padahal, anggaran pendidikan nasional sangatlah minim, tetapi masih saja dipolitisasi. Tentu perjalan pendidikan nasional menjadi tidak normal. Ibarat bayi, ia akan terus berjalan merangkak, padahal yang lain sudah mampu berjalan, bahkan berlari.
Al hasil, angka indeks pembangunan manusia selalu menampakkan nilai yang rendah, bahkan di bawah negara-negara tetangga. Padahal, jika mengacu amanah pembukaan UDD ’45, pendidikan nasional diproyeksikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tentu bukan keberhasilan beberapa gelintir anak bangsa yang meraih prestasi gemilang dalam olimpiade-olimpiade internasional, melainkan bagaimana bangsa ini secara kolektif-masif mampu menjadi bangsa yang cerdas, bukan bangsa inlander.
Melihat fenomena ini, pemerintah barangkali perlu melakukan kontemplasi tingkat tinggi. Sesekali juga menengok sekaligus mau belajar dari perjalanan sejarah peradaban bangsa-bangsa maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Negara-negara ini merupakan negara yang selalu menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan negaranya. Dalam praksisnya, negara-negara tersebut mampu memberikan perhatian yang tinggi pada sektor pendidikan, yakni dengan cara memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para warganya untuk dapat mengikuti pendidikan dari SD sampai universitas tanpa dipungut biaya.
Mereka sadar bahwa melalui pendidikan masyarakat diberi alat dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mengambil bagian dalam kemajuan dunia. Tidak hanya itu, melalui pendidikan pula sikap dan tindak tanduk manusia dibentuk. Melalui pendidikan, disiplin, pola hidup bersih, dan kejujuran manusia ditanamkan. Ini tentu sedikit kontras dengan praksis pendidikan dalam negeri.
Nasib Guru
Harus diakui, apresiasi pemerintah terhadap profesi guru masih sangat rendah. Stereotip ini kemudian membuat nilai jual guru ciut jika disandingkan dengan karier lainnya. Buktinya, lulusan-lusan terbaik SMA semakin langka yang menceburkan diri ke fakultas pendidikan ketika kuliah. Akibatnya, profesi guru jarang diminati. Ini tak lepas dari kenyataan bahwa profesi guru identik dengan profesi yang tidak menjanjikan dari segi materi. Memang, materi bukan segala-galanya. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi pada era di mana persaingan ekonomi semakin ketat seperti sekangan ini, guru juga tidak mengelak bahwa materi penting untuk menunjang perjalanan profesinya.
Kemajuan bangsa ini sesungguhnya berada di tangan para guru. Pengembangan kualitas guru sesungguhnya terletak pada kemampuan pemerintah untuk memberikan perhatian sekaligus apresiasi yang sebesar-besarnya terhadap kiprah guru. Sebab, logikanya begini. Jika kita ingin mencetak siswa yang cerdas nan berkualitas, tentu gurunya harus cesdas dan berkualitas terlebih dahulu. Pun kesejahteraannya terpenuhi.
Memang, belakangan pemerintah telah dan tengah menggelindingkan program sertifikasi guru yang diproyeksikan untuk meningkatkan kesejahteraan para guru. Namun program ini juga tak sepi dari masalah karena masih berjalan tertatih dan berwatak parsial. Program sertifikasi serasa belum mampu membendung celetukan guru yang kurang lebih bunyinya seperti ini, “Untuk makan saja pas-pasan, apalagi untuk biaya sekolah anak dan urusan rumah tangga lainnya. Yang pasti, seorang guru harus memiliki pekerjaan sampingan.”
Celetukan di atas bukan celetukan biasa. Lahir dari hati yang terdalam. Ini yang penulis dengar sendiri dari beberapa rekan guru. Pada titik ini, tidak menuntut kemungkinan guru dalam mengajar banyak yang tidak fokus dan serius karena ia juga harus membagi pikiran, waktu, dan tenaganya ke bidang lain untuk mencari bisaroh tambahan. Pertanyaannya, jika UN hasilnya buruk, apakah guru saja yang harus disalahkan?
*Peneliti The Dewantara Instutute
0 komentar:
Posting Komentar