Rabu, 12 Agustus 2009

ANATARA HAM DAN JAMINAN KESEJAHTERAAN

Oleh: Anom Bagas Prasetyo

DALAM rapat kerja Mahkamah Agung yang berlangsung di Bali, September tahun lalu, muncul rekomendasi tentang jaminan kesejahteraan bagi perempuan WNI yang dinikahi pria asing. Dalam rekomendasi itu, pria WNA yang berniat menikahi perempuan WNI harus membayar Rp 500 juta sebagai uang jaminan kesejahteraan. Jika pria yang bersangkutan tak mampu menyediakan uang jaminan tersebut, maka ia tak diperbolehkan menikahi perempuan Indonesia.

Ide uang jaminan itu dilontarkan oleh Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Agama, Andi Syamsu Alam, dalam rapat kerja tersebut. Jika kebijakan tersebut diberlakukan, dengan persetujuan pemerintah dan DPR, maka pria WNA yang berniat menikahi perempuan WNI tak hanya cukup menyediakan emas kawin belaka. Seorang pria asing wajib menyimpan uang jaminan sebesar Rp 500 juta yang didepositokan di bank pemerintah.

Menurut Andi, ide itu mengadopsi dari Mesir yang telah memberlakukan peraturan tersebut sejak 30 tahun terakhir. Di Mesir, sebelum pria asing menyunting perempuan Mesir, ia diwajibkan menyimpan uang jaminan sebesar 25 ribu pound (sekitar Rp 500 juta) yang disimpan di Bank Nasser. Uang itu kelak akan diberikan kepada sang istri apabila ia diceraikan suaminya atau ditinggal sang suami dengan begitu saja.

Kebijakan tersebut diberlakukan karena dulu banyak wanita Mesir yang ditelantarkan setelah dinikahi pria asing yang kebanyakan berasal dari Kuwait, Irak, atau Iran. Aturan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi perempuan Mesir dari laki-laki asing yang tak bertanggung jawab. Selain itu, aturan tersebut merupakan cermin pembelaan martabat kaum hawa yang sering menjadi korban ketidakadilan relasi suami-istri.

Memang, di antara alasan munculnya gagasan di atas adalah bahwa selama ini tidak ada jaminan ekonomi apa pun bagi perempuan WNI yang dinikahi pria WNA. Apalagi, yang status pernikahannya kontrak, siri, atau mut'ah. Para pria WNA yang bekerja pada suatu proyek, misalnya, menikahi perempuan WNI sepanjang ia bekerja di proyek itu. Begitu proyek itu berakhir, pria WNA tersebut kembali ke negerinya. Sehingga, sebagai istri yang berhak atas nafkah suaminya, perempuan Indonesia banyak dirugikan dan diabaikan hak-haknya.

Faktor Ekonomi

Harus diakui, masalah ekonomi merupakan kesulitan paling nyata yang sering dialami para perempuan yang bernasib seperti itu. Seperti kita tahu, di Indonesia fenomena nikah campur makin marak belakangan ini.

Dari situ, tak sedikit perempuan WNI telah menjadi korban. Kebanyakan suaminya tak lagi memberi nafkah setelah kembali ke luar negeri. Hal ini tentu makin memperparah permasalahan sosial, di tengah tingginya angka pengangguran dan rendahnya daya beli masyarakat Indo- nesia.

Fakta yang tak bisa dimungkiri lagi, bahwa mereka yang sering menjadi korban adalah perempuan kalangan menengah ke bawah. Meski demikian, banyak pula kalangan perempuan mapan yang menjadi korban.

Dalam hal pernikahan campur yang terjadi pada kalangan selebritis kita, barangkali tak terlalu menjadi masalah. Sebab, jika mereka ditinggal suami tanpa diberi nafkah, mereka sudah cukup mandiri secara ekonomi. Lagi pula, untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari pun, mereka sudah berkecukupan, lebih dari orang Indonesia pada umumnya. Namun, keduanya tetaplah korban yang berhak memperoleh perlindungan dan pembelaan dari negara.

Belum adanya kebijakan pemerintah yang memberikan jaminan ekonomi kepada perempuan WNI yang dinikahi pria WNA, membuat gagasan ini mengundang simpati banyak pihak. Gagasan ini dinilai melindungi kepentingan perempuan. Namun, tak urung, gagasan tersebut juga menuai pro dan kontra.

Di satu pihak, sebagian masyarakat menyebut bahwa gagasan itu merupakan bentuk tanggung jawab negara melindungi warganya. Banyaknya perempuan Indonesia yang menjadi korban pernikahan campur adalah indikasi kuat adanya pelecehan terhadap perempuan maupun institusi perkawinan di Indonesia oleh para pria asing.

Bila gagasan ini pada akhirnya berhasil dijadikan sebuah kebijakan, maka warga asing yang ingin menikah dengan perempuan Indonesia berpikir seratus kali jika dia ingin bermain-main dalam ikatan perkawinan.

Di lain pihak, banyak yang berpendapat, gagasan ini justru potensial melanggar HAM. Direktur LBH APIK, Ratna Batara Munti, berpendapat bahwa gagasan kewajiban menyimpan deposito Rp 500 juta itu berangkat dari logika yang salah. Lagi pula, tak semua orang asing mampu menyediakan uang jaminan sebesar itu.

Kalau ini diterapkan, kata Ratna, bakal menghambat mereka yang ingin menikah. Bahkan, ada yang menilai ide semacam itu sama halnya menjual perempuan.

Hal senada disampaikan Ketua Solidaritas Perempuan, Salma Safitri. Menurut dia, ada dua masalah yang dihadapi perempuan Indonesia dalam masalah kawin campur.

Pertama, tentang hak kewarganegaraan anaknya. Kedua, perlunya kemudahan untuk mensponsori suaminya jika ingin tinggal di Indonesia. Soal kewarganegaraan anak, misalnya, menurut Salma, selama ini selalu ikut kepada sang bapak. Seharusnya, kata dia, anak bisa diberi peluang untuk memiliki kewarganegaraan ganda sampai umur 18 tahun, sebelum akhirnya dia bisa memutuskan kewarganegaraannya.

Pihak yang kontra, juga menolak jika gagasan itu disebut-sebut untuk melindungi perempuan. Menurut mereka, penelantaran semacam ini tak hanya terjadi dalam kasus nikah campur. Penelantaran semacam ini juga dialami dalam perkawinan sesama orang Indonesia. Persoalannya, bagi mereka, selama ini pengadilan agama kurang mengimplementasikan secara maksimal hukum yang mewajibkan suami memberikan pesangon hidup istri yang diceraikan.

Kesepakatan

Hingga kini, pro-kontra tersebut masih terus berlanjut. Hal ini, saya kira, terutama mengenai jumlah uang jaminan yang dinilai masih terlampau besar untuk ukuran Indonesia. Sehingga, akan menghalangi pria asing yang berniat menikahi perempuan Indonesia. Mengapa harus Rp 500 juta, persis seperti yang berlaku di Mesir?

Akan lebih baik bila jumlah jaminan itu ditentukan oleh kesepakatan kedua pihak yang berniat untuk melangsungkan pernikahan karena dilandasi cinta dan kasih sayang. Karena, tidak semua pria asing memiliki kemampuan finansial sebesar itu.

Lagi pula, kalau alasannya untuk melindungi perempuan, bukankah ketentuan dalam undang-undang perkawinan sudah cukup? Persoalannya, bagaimana implementasi undang-undang tersebut di lapangan.

Harus diakui, banyak sekali materi hukum dalam undang-undang perdata kita yang menunjukkan pemihakan dan perlindungan pada warga negara. Namun, karena lemah pada tingkat implementasi, sehingga sering muncul kesan undang-undang kita kurang melindungi warga negara, dan seterusnya.

Sementara itu, kekhawatiran akan timbulnya korban nikah campur berikutnya, saya kira, tak perlu dibesar-besarkan. Penelantaran istri tak hanya dilakukan pria asing. Pernikahan sesama orang Indonesia juga banyak diwarnai kejadian semacam ini. Untuk itu, dalam undang-undang perkawinan kita, perlu dimasukkan ketentuan-ketentuan baru mengenai jaminan kesejahteraan bagi perempuan.

Selain itu, RUU Kewarganegaraan seharusnya memberikan kemudahan bagi keluarga pernikahan campur, yang karena negara asingnya tidak memperbolehkan kewarganegaraan ganda, untuk dapat tetap tinggal di Indonesia dengan menjadi penduduk tetap sehingga memungkinkan mereka dapat hidup di Indonesia dengan wajar.

Karena itu, sudah seharusnya pihak pemerintah, Mahkamah Agung, dan DPR segera menuntaskan masalah ini sebelum berlarut-larut. Kalau pun gagasan di atas nanti jadi diundangkan, hendaknya aspek maslahat bagi semua pihak menjadi pertimbangan utamanya. Artinya, hukum benar-benar dibuat untuk mencapai keadilan, memenuhi hak-hak asasi manusia, dan demi mencapai kesejahteraan umat manusia. *

Penulis adalah Peneliti Lembaga Pengkajian Islam dan Sosial (LPIS) Jakarta
Sumber: Tempo Interactive, 15 Februari 2006


8 komentar:

Anonim mengatakan...

Dengan adanya wacana ini sesungguhnya menunjukkan bahwa pemerintah menyadari bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa melindungi dan menjamin kesejahteraan penduduknya, terutama wanita. Lalu apa bedanya dengan banyak wanita yang ditelantarkan oleh suami pribumi, kenapa para suami pribumi ini tidak diharuskan memberikan jaminan sebesar 500 juta?
Lagipula kenapa uang sebesar itu harus didepositokan kepada pemerintah?
Kenapa bukannya dibelikan properti di Indonesia atas nama istri? Bukankah itu nantinya akan menjadi investasi asing juga?

Anonim mengatakan...

Mungkin harus dilakukan riset dan ditinjau lebih lanjut bahwa realitanya banyak kontradiksi bahwa tidak jarang wanita WNI yang menikah dengan pria WNA lalu diboyong dan tinggal di luar negeri (terutama istri WNI dari kalangan menengah ke bawah) mereka malah mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan menikahi pria WNA , setelah di bawa ke negara suaminya, lalu ditinggalnya lah suami malang tsb, menurut undang2 di eropa istri/suami mendapatkan hak separuh dari kekayaan dari salah satu pihak , dalam hal ini pihak suami. 'Sudah jatuh tertimpa tangga pula'!! Menurut saya peraturan jaminan 500 juta tsb perlu ditinjau lagi, apakah masih bisa berlaku di abad 22 ini (wanita2 sekarang sudah lebih pintar dan berdikari jika dibandingkan dengan wanita 30 tahun yang lalu). Maka menurut hemat saya, harus dilihat kasus demi kasus, tidak bisa disama ratakan.. Perlu diingat,jaman sekarang sangat banyak oportunis berkeliaran!

Lisa mengatakan...

Saya heran, kenapa bisa ada ide seperti itu..Hey..ini hak asasi manusia untuk menikah dengan siapa saja..kita bukan hidup dijaman Siti Nurbaya yang mau menikah harus diatur-atur. Apakah Negara Indonesia sekarang merasa lebih berkuasa untuk Hak Asasi manusia? Menikah adalah hak asasi yang mendasar seperti halnya hak untuk bernafas...Tolong jangan seenaknya mengemukakan ide-ide yang bulshit seperti itu...Apakah pria Indonesia yang akan menikah dengan wanita asing maka wanita asing harus memberikan uang jaminan tersebut juga? Jangan seenaknya dengan hak asasi manusia. Apa hak negara mengatur pernikahan seorang wanita warga negara Indonesia? Kalau mau mencari devisa atau uang tambahan untuk negara ini, jangan jadikan wanita Indonesia sebagai tumbal. Tolong Bapak2 & Ibu2 yang ada dipemerintahan..ini masa emansipasi wanita..jangan mengatur hidup wanita Indonesia termasuk dengan siapa dia akan menikah. Lama-lama saya menjadi heran..ada apa dengan Indonesia..kenapa sekarang ini bisa ada pemikiran2 aneh yang dilontarkan untuk menjadi aturan negara? Hey..jangan lupa ini negara Merdeka dan Demokrasi..Hak asasi manusia diakui..jangan biarkan ide2 yang menginjak-injak hak asasi manusia dibiarkan terus bermunculan...karena kalau seperti ini terus maka Indonesia akan berubah menjadi negara Diktator yang akan mengendalikan bangsanya termasuk hak asasi manusia bangsanya. Tolong para pemimpin bangsa jangan perlakukan rakyatmu sebagai benda karena mereka adalah manusia yang bernafas, punya hati,pikiran dan perasaan dan punya hak asasi. Jangan menindas kami dengan aturan-aturan yang menginjak-injak hak asasi kami. Dan tolonglah berpikir tentang segala sesuatu yang bisa memajukan negara Indonesia ini tanpa menginjak-injak hak asasi rakyat Indonesia

Anonim mengatakan...

bisa2 ga ada wna yg mau menikahi wanita indonesia kalau di kasih harga bandrol semahal itu.. kita ini kaum wanita indonesia atau pelacur sih ?? ga mikir apa yg bikin uu ini? kok yg dikekang hanya wna, pria wni yg jauh lebih tdk setia dan main tinggal kawin gimana dong ??? lagipula wanita indonesia jaman sekarang bukan wanita bodoh ! dengan peraturan spt ini hanya MEMPERMALUKAN BANGSA INDONESIA DI MATA DUNIA SEBAGAI NEGARA GERMO TERBESAR !!!

Anonim mengatakan...

sebenarnya justru untuk melindungi perempuan indonesia kan? karena banyak kasus kawin kontrak wna dengan perempuan wni yang merugikan perempuan indonesia. nantinya uang jaminan itu akan diberikan kepada perempuan wni tersebut jika si suami yang wna ternyata menelantarkannya. gimana jika suami tidak menelantarkannya? yah mudah mudahan uangnya digunakan untuk membangun indonesia. lagipula apalah arti 500juta untuk cinta sejati kan? plus pesan moralnya jangan cari bule kere haha. @shintahimura

Anonim mengatakan...

waduh ini pasti cewe2 yg komentar merasa orang luar itu lebih super! pasti anda2 semua belom pernah ngalamin kalo nikah terus anda hamil terus ditinggal begitu saja, seperti yang dialamin teman kerja saya yang nikah sama bule, emang sanggup apa membesarkan anak sendiri, diberikan perlindungan jaminan sama negara malah mencak-mencak, dengan alasan ngak boleh ikut campur ini itulah, memang ngurusi pertumbuhan penduduk tanpa alur bapak memangnya gampang, jangan cetek pikirannya neng...

Anonim mengatakan...

Laki laki WNA tidak akan pernah menikahi wanita WNI apabila mereka harus membayar 500 juta. Mereka hanya akan meniduri dan tinggal bersama alias kumpul kebo saja. Ini berarti akan semakin menjatuhkan martabat wanita Indonesia, wanita Indonesia akan lebih merasa terlecahkan dengan keadaan ini. Bagaimana kalau WNA tidak punya uang sebanyak itu. Banyak WNA yg tdk mempunyai uang sebanyak itu, apa lagi krisis dunia seperti saat ini. Akibat nya apa? akan semakin banyak wanita Indonesia yang tidak dinikahi oleh WNA dan hanya kumpul kebo saja. Suami saya orang asing, pada saat kami menikah 10 tahun yll suami saya datang ke Indonesia hanya dengan uang $1000 saja tersisa. Sampai saat ini pun kami tdk bs memiliki tabungan 500 juta, sekalipun suami saya bekerja keras pagi sampai malam di USA. Apa mereka pikir semua WNA itu kaya?
Bisa saya bayangkan seandainya mereka harus membayar 500 jt, hanya unt menikahi wanita WNI. Ho ho ho......mereka malah akan berfikir kalau negara menjual Wanita Indonesia. Seperti mereka menjual pulau2 kita yang lain.

anom b prasetyo mengatakan...

lha iya. makanya saya beropini. :)

Posting Komentar