Senin, 25 Mei 2009

PENDIDIKAN ORANG MISKIN DAN AGAMA SISTEMIS

Sistem pendidikan nasional telah kehilangan roh nasionalnya akibat kebijakannya yang bertumpu pada basis material dan formalisasi agama. Kuatnya basis material itu dipicu dorongan dari luar, sedangkan kuatnya formalisasi agama merupakan dorongan dari dalam pascareformasi politik 1998.

Kuatnya peran kapital dalam pendidikan itu ditandai oleh munculnya berbagai kebijakan yang lebih bersifat padat modal, misalnya pendidikan berbasis IT, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sertifikasi ISO, world class university, double degree, memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara, hingga memprivatisasi semua lembaga pendidikan melalui pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Semua kebijakan itu lalu membentuk watak pendidikan menjadi korporasi, menutup akses orang miskin untuk mendapat layanan pendidikan, praksis pendidikan pun menjadi monoton, kering, tidak berpijak pada budaya masyarakat. Fungsi pendidikan sebagai proses integrasi bangsa terabaikan.

Dampak kuatnya peran kapital itu secara institusional, cara menilai kinerja Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun hanya dari satu sisi, yaitu daya serap anggaran, tidak dilihat bagaimana implikasi penggunaan anggaran terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan secara gagasan, Depdiknas menempatkan perolehan sertifikasi ISO sebagai simbol keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan. Padahal, selain sertifikat ISO tidak gratis (padat modal), juga standardisasi proses pendidikan akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor.

Memerdekakan manusia

Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa sekaligus salah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional, menyatakan, maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Dalam pendidikan harus diingat, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).

Implikasi konsep Ki Hadjar adalah pendidikan harus mampu menumbuhkan makhluk sosial agar dapat menjadi bagian integral masyarakat-bangsa. Karena itu, dalam praksis, proses pendidikan tidak dibangun berdasarkan prinsip persaingan, tetapi kerja sama. Karena itu, model-model pendidikan melalui permainan itu penting karena permainan selalu mengajarkan kerja sama antartim.

Konsep Ki Hadjar itu diturunkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Ini berbeda dari tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang lebih membentuk manusia sebagai makhluk individu. Konsekuensinya, kebijakan turunannya diarahkan untuk membentuk manusia sebagai makhluk individu yang harus bersaing dengan sesama. Kebijakan pendidikan seperti ini menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan basis ekonomi (mampu dan tidak mampu). Padahal, Ki Hadjar mengingatkan, sekolah itu bukan toko, tetapi perguruan (tempat guru tinggal atau dapat diartikan tempat studi). Sebagai tempat studi, siapa saja bisa datang untuk menimba ilmu. Kalau toko, hanya mereka yang punya uang yang dapat mengakses, yang tidak punya uang hanya menonton.

Formalisasi agama

Faktor internal yang turut menghilangkan ciri nasional sistem pendidikan kita adalah kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih agamis dan itu terakomodasi dalam UUD 1945 hasil amandemen. Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 yang asli mengatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional; yang diatur dengan undang-undang”. Tetapi Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 diamandemen menyatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Implikasi kedua pasal itu jelas berbeda terhadap turunannya (Sisdiknas) dan kebijakan lain.

Pada tingkat praksis kita melihat, dari soal seragam (bagi siswi, pakaian bawah harus sampai menutup tumit), salam pembuka/penutup di kelas, pilihan jenis kegiatan di sekolah, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas kini banyak didasarkan pada pandangan agama. Ironisnya, praksis pendidikan semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya lebih universal dan netral sehingga dapat menjadi pilihan pertama bagi orangtua yang bermacam latar belakang agama, suku, maupun budaya untuk menyekolahkan anaknya tanpa ada sekat apa pun. Mereka yang ingin menyekolahkan anaknya dengan tujuan sekaligus memperkuat keimanan dapat memilih sekolah swasta berbasis agama.

Perkembangan sekolah saat ini membuat minoritas (di daerahnya) memilih sekolah swasta yang sesuai dengan agamanya. Akibatnya, tanpa disadari, orang ditarik ke kelompok masing-masing. Padahal, sekolah negeri seharusnya menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk membangun interaksi sosial dan integrasi bangsa tanpa mengalami sekat agama, suku, agama, maupun ekonomi. Kebijakan pendidikan yang menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama jelas kurang menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kebangsaan perlu mendapat perhatian serius di sekolah negeri agar lulusannya memiliki jiwa kebangsaan yang luas dan tidak makin kerdil.

Kini diperlukan menteri pendidikan yang punya visi tentang bangsa dan negara sehingga menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi bangsa. Pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan ekonominya). Kita juga memerlukan presiden yang peduli pendidikan.

Alimudatsir Aktivis Pendidikan
Selengkapnya...

Pendidikan Orang Miskin dan Agama Sistemis

Sistem pendidikan nasional telah kehilangan roh nasionalnya akibat kebijakannya yang bertumpu pada basis material dan formalisasi agama. Kuatnya basis material itu dipicu dorongan dari luar, sedangkan kuatnya formalisasi agama merupakan dorongan dari dalam pascareformasi politik 1998.


Kuatnya peran kapital dalam pendidikan itu ditandai oleh munculnya berbagai kebijakan yang lebih bersifat padat modal, misalnya pendidikan berbasis IT, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sertifikasi ISO, world class university, double degree, memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara, hingga memprivatisasi semua lembaga pendidikan melalui pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Semua kebijakan itu lalu membentuk watak pendidikan menjadi korporasi, menutup akses orang miskin untuk mendapat layanan pendidikan, praksis pendidikan pun menjadi monoton, kering, tidak berpijak pada budaya masyarakat. Fungsi pendidikan sebagai proses integrasi bangsa terabaikan.

Dampak kuatnya peran kapital itu secara institusional, cara menilai kinerja Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun hanya dari satu sisi, yaitu daya serap anggaran, tidak dilihat bagaimana implikasi penggunaan anggaran terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan secara gagasan, Depdiknas menempatkan perolehan sertifikasi ISO sebagai simbol keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan. Padahal, selain sertifikat ISO tidak gratis (padat modal), juga standardisasi proses pendidikan akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor.

Memerdekakan manusia

Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa sekaligus salah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional, menyatakan, maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Dalam pendidikan harus diingat, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).

Implikasi konsep Ki Hadjar adalah pendidikan harus mampu menumbuhkan makhluk sosial agar dapat menjadi bagian integral masyarakat-bangsa. Karena itu, dalam praksis, proses pendidikan tidak dibangun berdasarkan prinsip persaingan, tetapi kerja sama. Karena itu, model-model pendidikan melalui permainan itu penting karena permainan selalu mengajarkan kerja sama antartim.

Konsep Ki Hadjar itu diturunkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Ini berbeda dari tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang lebih membentuk manusia sebagai makhluk individu. Konsekuensinya, kebijakan turunannya diarahkan untuk membentuk manusia sebagai makhluk individu yang harus bersaing dengan sesama. Kebijakan pendidikan seperti ini menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan basis ekonomi (mampu dan tidak mampu). Padahal, Ki Hadjar mengingatkan, sekolah itu bukan toko, tetapi perguruan (tempat guru tinggal atau dapat diartikan tempat studi). Sebagai tempat studi, siapa saja bisa datang untuk menimba ilmu. Kalau toko, hanya mereka yang punya uang yang dapat mengakses, yang tidak punya uang hanya menonton.

Formalisasi agama

Faktor internal yang turut menghilangkan ciri nasional sistem pendidikan kita adalah kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih agamis dan itu terakomodasi dalam UUD 1945 hasil amandemen. Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 yang asli mengatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional; yang diatur dengan undang-undang”. Tetapi Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 diamandemen menyatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Implikasi kedua pasal itu jelas berbeda terhadap turunannya (Sisdiknas) dan kebijakan lain.

Pada tingkat praksis kita melihat, dari soal seragam (bagi siswi, pakaian bawah harus sampai menutup tumit), salam pembuka/penutup di kelas, pilihan jenis kegiatan di sekolah, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas kini banyak didasarkan pada pandangan agama. Ironisnya, praksis pendidikan semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya lebih universal dan netral sehingga dapat menjadi pilihan pertama bagi orangtua yang bermacam latar belakang agama, suku, maupun budaya untuk menyekolahkan anaknya tanpa ada sekat apa pun. Mereka yang ingin menyekolahkan anaknya dengan tujuan sekaligus memperkuat keimanan dapat memilih sekolah swasta berbasis agama.

Perkembangan sekolah saat ini membuat minoritas (di daerahnya) memilih sekolah swasta yang sesuai dengan agamanya. Akibatnya, tanpa disadari, orang ditarik ke kelompok masing-masing. Padahal, sekolah negeri seharusnya menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk membangun interaksi sosial dan integrasi bangsa tanpa mengalami sekat agama, suku, agama, maupun ekonomi. Kebijakan pendidikan yang menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama jelas kurang menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kebangsaan perlu mendapat perhatian serius di sekolah negeri agar lulusannya memiliki jiwa kebangsaan yang luas dan tidak makin kerdil.

Kini diperlukan menteri pendidikan yang punya visi tentang bangsa dan negara sehingga menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi bangsa. Pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan ekonominya). Kita juga memerlukan presiden yang peduli pendidikan.

Alimudatsir, Aktivis Pendidikan
Selengkapnya...

Jumat, 15 Mei 2009

INDUSTRIALISASI KONSERVASI

Ada pertanyaan yang mengganggu, mengapa suara masyarakat sipil tidak diberi ruang dalam forum internasional sebesar Konferensi Kelautan Dunia (>World Ocean Conference/WOC), dan ketika masyarakat sipil membuat forum "tandingan", mereka dihadapkan pada tindakan represif Negara dengan alasan mengganggu ketertiban umum dan lain-lain, bahkan dituding akan menggagalkan pertemuan WOC.
Jika melihat temanya, yakni "Climate Change Impacts to Ocean and the Role of Ocean to Climate Change", WOC merupakan forum penting dan strategis serta memberikan manfaat bagi Negara, dan rakyat khususnya dapat berkontribusi bagi pengurangan dampak perubahan iklim. Namun, benarkah tujuan yang akan dicapai melalui Deklarasi Manado ini akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang dapat menjawab krisis iklim dan krisis rakyat?
Dalam pandangan yang paling sederhana saja, jika konferensi dunia ini tidak menyediakan ruang bagi nelayan dan masyarakat sipil untuk menyuarakan krisis yang dialaminya, sangat jauh kemungkinannya forum ini menghasilkan kesepakatan yang berpihak kepada nelayan atau lebih jauh negara. Terlebih, konferensi ini diselenggarakan dengan berbagai tindakan represif dengan membungkam suara kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil dengan penangkapan aktivis dan lain-lain. Padahal kita semua tahu bahwa krisis iklim tidak bisa ditangani dengan cara melakukan tindakan represif.
Hal lebih jauh untuk mengatakan bahwa WOC ini jauh dari krisis rakyat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir di negara-negara kelautan, adalah dengan melihat agenda penting yang dibahas dalam WOC, yakni Coral Triangle Initiative (CTI) yang merupakan inisiatif untuk laut dan perubahan iklim di wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle initiative). CTI merupakan desain wilayah konservasi yang melintasi teritori enam negara, yakni Malaysia, Indonesia, Kepulauan Solomon, Timor Leste, Papua Nugini, dan Filipina, dengan luas keseluruhan mencapai 75 ribu kilometer persegi dan menyimpan 3.000 atau 53 persen jenis terumbu karang dunia dan 6.000 jenis ikan karang.
Di sinilah hal penting yang disikapi kritis oleh masyarakat sipil yang terdiri atas berbagai organisasi lingkungan dan nelayan bahwa CTI tidak lebih sebagai sebuah inisiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan negara kepulauan seperti Indonesia dan negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC-CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi. Terakhir, terbukti dari perluasan konservasi Laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektare, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerja sama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu paus secara tradisional sejak April 2009. Ini menjadi indikator untuk menjelaskan bahwa nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka. Bahwa CTI berpotensi besar mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Dalam media publikasi Sisi Gelap dan Bahaya CTI yang dikeluarkan oleh masyarakat sipil yang kritis terhadap WOC-CTI, ada prinsip dasar yang diabaikan dalam CTI, antara lain keselamatan warga, utang ekologis, hak atas kelola dan kedaulatan pangan, serta abai dalam penyelesaian-penyelesaian persoalan mendasar kelautan, antara lain pencemaran yang berasal dari buangan limbah industri tambang (TNC/MNC).
RezimLalu siapa yang diuntungkan dari pertanyaan ini? Jika melihat ulasan di atas, jelas bahwa yang diuntungkan dari seluruh cerita penyelenggaraan WOC adalah rezim industri konservasi yang menempatkan wilayah kelola konservasi dengan menggunakan pendekatan atau paham ekofasis, di mana kawasan ini dikelola dengan menganggap konservasi lingkungan jauh lebih penting dari persoalan manusia. Sehingga, di mana kawasan konservasi itu ditetapkan, di sanalah ruang hidup rakyat digusur, karena dianggap manusia akan merusak lingkungan.
Jika kembali kepada agenda CTI sebagaimana yang dijelaskan di atas, rezim konservasi tersebut berwujud organisasi konservasi internasional yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan ADB. Merekalah yang membiayai industri tambak modern yang menghancurkan mangrove. Negara-negara industri dan industri migas seperti Shell, Rio Tinto, dan Anglo, yang selama ini menguasai jalur migas, seperti Amerika dan Australia, tengah memainkan ruang pasar bebas konservasi atau bisa juga disebut dengan industrialisasi wilayah konservasi atau taman nasional, yang dapat dilihat dari pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Program. Program ini menjadi permakluman pembongkaran konservasi menjadi kawasan pengerukan sumber daya alam melalui skema kompensasi keanekaragaman hayati (biodiversity offset).
CTI tidak lebih merupakan langkah awal dari peta jalan menuju eksploitasi tambang migas dengan mengintegrasikan data, mekanisme, dan hukum kesepakatan-kesepakatan negara-negara yang memiliki kekayaan tambang dan keanekaragaman. Negara maju dan industri tambang yang memiliki daya rusak tinggi itu boleh beroperasi asalkan membayar kompensasi biodiversitas.
Hal lain yang mesti dilihat dalam tema besar WOC itu terkait dengan peran laut dalam mengatasi dampak perubahan iklim, yang ternyata malah semakin melanggengkan rezim karbon. WOC tidak membahas akar persoalan perubahan iklim, bahwa masalah iklim disebabkan oleh rezim karbon yang dipimpin oleh negara-negara maju dengan emisi karbonnya. Seharusnya WOC membicarakan kewajiban bagi negara maju untuk menurunkan emisi karbonnya, bukan dengan melalui skema perdagangan karbon.
Dari sinilah tampak jelas argumentasi penolakan organisasi lingkungan yang mengusung ideologi ecological justice terhadap agenda WOC, bahwa skema biodiversity offset menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya dan mengancam keselamatan rakyat, khususnya nelayan tradisional. Penyelamatan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan krisis iklim, seharusnya tidak menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya.
Oleh:
Khalisah Khalid
DEWAN NASIONAL WALHI 2008-2012; BIRO POLITIK DAN EKONOMI SAREKAT HIJAU INDONESIA
Sumber: http://www.korantempo.com
Selengkapnya...

Senin, 11 Mei 2009

WAWASAN GLOBAL EKONOMI LOKAL

Kebutuhan tenaga kerja di sektor ekonomi dalam negeri masih tinggi. Sejumlah perguruan tinggi membuat terobosan dengan menerapkan kelas internasional di fakultas ekonomi.

Perbincangan masalah ekonomi muncul dalam keseharian. Nyaris tak ada hari tanpa membahas masalah ekonomi. Mulai soal kecil seperti kenaikan harga cabe merah di pasar kampung hingga perdebatan panas tentang utang luar negeri. Debat yang disebut terakhir ini memang tak pernah surut dari panggung sejak satu dekade terakhir.

Maklum, utang luar negeri Indonesia terus membengkak. Data menujukkan, selama lima tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah nominal utang Indonesia membengkak dari Rp 1.275 trilyun pada 2004 menjadi Rp 1.667 trilyun pada 11 Februari 2009.

Para ekonom yang tergabung dalam tim Indonesia Bangkit menilai, jebakan utang itu didesain sekelompok ekonom yang mereka sebut "mafia Berkeley". Mereka adalah ekonom yang berkuasa pada pemerintahan negeri ini selama 40 tahun terakhir. Ekonom tim Indonesia Bangkit, Ichsanuddin Noorsy, menyebutkan bahwa Indonesia tidak akan bisa lepas dari jebakan utang bila tetap mempertahankan mafia Berkeley.

Julukan mafia Berkeley itu juga identik dengan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Sebab pentolan mafia Berkeley adalah para pendiri dan pengajar di fakultas non-eksakta paling bergengsi itu. Tak aneh pula jika FEUI dituding sebagai biang sistem ekonomi liberal alias kapitalisme. Sedangkan FE Universitas Gadjah Mada dipandang sebagai pendukung ekonomi kerakyatan.

Namun, menurut Dekan FEUI, Firmanzah, dikotomi strukturalis yang dikembangkan pada era 1970-an itu tidak relevan lagi. "Harus didefinisikan apa itu kapitalis dan ekonomi kerakyatan. Misalnya corporate social responsibility yang kapitalis juga ada unsur sosialnya. Demikian pula keberadaan serikat buruh yang diakui Kadin," ujar Firmanzah.

Ia menyatakan bahwa dengan globalisasi, pada saat ini kapitalisme tak mudah diterjemahkan. Globalisasi membuat isu penting yang mengemuka adalah national capacity building. "Bangsa kita disegani kalau kita kuat dan bagus pelayanan kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan pelayanan sosialnya," kata Firmanzah.

Menurut Firmanzah, dari sisi kurikulum, FEUI tak pernah memihak pada sistem ekonomi mana pun. Sebab mereka menerapkan desain kurikulum eklektik. Jadi, para mahasiswa FE terbaik di Indonesia ini dibekali dengan beragam mazhab ekonomi. Pemilihan mana yang cocok diserahkan kepada mahasiswa.

Untuk meningkatkan kualitas lulusannya, FEUI melakukan beragam terobosan. Misalnya, membuat program studi ekonomi dengan kurikulum internasional, memperbanyak konferensi internasional, dan menambah jumlah pengajar tamu dari luar negeri. "Dengan mengadakan banyak acara internasional, setidaknya bahasa Inggris para mahasiswa akan lebih terlatih sehingga siap bersaing dengan siapa pun," katanya.

Upaya-upaya ini dilakukan karena kebutuhan sumber daya manusia yang memiliki keahlian bidang ekonomi terus meningkat, seiring dengan kemajuan ekonomi dan globalisasi. Misalnya, sektor perbankan nasional membutuhkan 20.000 tenaga kerja setiap tahun. Dengan catatan, yang diperlukan adalah ekonom profesional dan kreatif dengan kualitas internasional.
Pemenuhan kebutuhan itu menjadi tantangan bagi fakultas ekonomi, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Nah, bagaimana kesiapan perguruan tinggi swasta dalam menghasilkan lulusan berkualitas? Berikut ini profil tiga fakultas ekonomi di perguruan tinggi swasta yang mendapat akreditasi A dari BAN-PT.

Universitas Trisakti

Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti berdiri di atas puing Universitas Res Publika pada zaman Orde Lama. Pada awal berdirinya, 29 November 1965, FE Universitas Trisakti mengalami masa cukup sulit karena keterbatasan sarana dan prasarana. Pada saat itu, FE Trisakti hanya punya satu jurusan, ekonomi perusahaan (manajemen), dengan jumlah mahasiswa 16 orang dan 15 dosen.

Secara bertahap, dibukalah jurusan baru, akuntansi dan ilmu ekonomi (IE). Ketiganya kemudian mendapat akreditasi A dari BAN-PT. Akreditasi ini didapat dengan beragam tolok ukur. Salah satunya, keberhasilan program studi IE memproduksi lulusan yang sanggup menganalisis, menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah ekonomi, dan memprediksi kondisi ekonomi masa depan dengan akurat.

Pencapaian nilai A fakultas terbesar itu ikut mendorong status Universitas Trisaksi menjadi perguruan tinggi swasta terbaik di Indonesia. Status ini makin kukuh dengan pengenalan program gelar ganda pada awal milenium kedua. Awalnya, FE Trisakti menggandeng Edith Cowan University, Australia. Lalu diperluas dengan Indiana University Purdue University Indianapolis (IUPUI) dan University of Missouri St. Louis (MSL).

Di bawah kepemimpinan Dekan FE Trisakti, Prof. Farida Jasfar, yang menjabat sejak tahun 2002, FE Trisakti juga membuka kelas unggulan dan kelas internasional. Dua program ini diberikan kepada mahasiswa yang mampu melewati persyaratan tertentu mulai dari semester III. Dua program ini mencoba menciptakan suasana belajar aktif di antara mahasiswa dan pada saat bersamaan meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Inggris.

Menurut Farida, jumlah mahasiswa FE Trisakti mencapai 14.000 orang, dengan rasio dosen dengan mahasiswa 1:20. Komposisi ini bisa didapat dengan mengerem laju penerimaan mahasiswa, yang dilakukan sejak tahun 2000. Sebelumnya, jumlah mahasiswa baru meningkat 40% setiap tahun, sehingga bisa mengurangi keseimbangan rasio dosen, mahasiswa, dan sarana/prasarana.

Agar sesuai dengan kebutuhan pasar dan perkembangan zaman, kurikulum program S-1 FE Trisakti dievaluasi dua tahun sekali. Farida menyatakan, FE Trisakti memandang penting praktikum dan magang. Tak mengherankan jika mahasiswa IE wajib mengikuti empat praktikum, mahasiswa manajemen lima praktikum, dan mahasiswa akuntansi enam praktikum.
Sedangkan magang bisa dilakukan di instansi dalam negeri atau bekerja sama dengan pihak luar negeri. Antara lain melalui program pertukaran mahasiswa, dosen, dan kerja sama penelitian dengan Mikeli Polytechnic, Finlandia, University of Holland, dan Christelijk Hogeschool Nord Holland.

Selain itu, untuk menyiapkan tenaga-tenaga profesional, FE Trisakti membuka program D-3 akuntansi perpajakan sampai doktoral. Lalu, jasa-jasa konsultasi bidang ekonomi, manajemen, dan akuntansi serta pelatihan bagi masyarakat diberikan melalui Lembaga Administrasi Perusahaan (LAP).

FE Trisakti juga membuat Pojok BEJ, hasil kerja sama dengan PT Bursa Efek Jakarta, untuk mengasah keahlian mahasiswa di bidang pasar modal. Pojok BEJ Trisakti menjadi mini-one stop information soal seluk-beluk pasar modal Indonesia dan internasional secara komprehensif dan akurat. Mulai JSX Real- Time Securities Information System (JSX-RTI) hingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Di sini juga tersedia laboratorium simulasi perdagangan efek di Bursa Efek Universitas Trisakti, yang punya 37 unit komputer dan satu server. Sehingga mahasiswa bisa bersimulasi proses jual-beli saham secara kongkret seperti di Bursa Efek Jakarta.

Lokasi FE Trisakti yang strategis di wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Timur juga mempermudah penyerapan informasi. Apalagi, ditambah dengan fasilitas penunjang lainnya, seperti internet, CD-ROM, perpustakaan modern, dan ruangan kuliah yang representatif.

ABFI Perbanas

Cikal bakal Asia Banking and Finance Institute (ABFI) Perbanas dimulai dengan pendirian Yayasan Pendidikan Perbanas (YPP) pada 19 Februari 1969. YPP yang dimotori O.P. Simorangkir dan Sarono ini lalu mendirikan Akademi Ilmu Perbankan (AIP) Perbanas. Semula, AIP Perbanas berkantor di Jalan Sindanglaya Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat.

Kegiatan perkuliahan menumpang di TK dan SD Trisula, di Jalan Pariaman, masih di bilangan Menteng. Selama setengah dekade awal pendiriannya, AIP mengalami pasang-surut. Masa paling suram dialami pada 1974, ketika jumlah mahasiswa AIP hanya tersisa 28 orang dari 100 orang.

Keadaan ini mendorong dilakukannya perubahan pengurus yayasan. Nyoo Han Siang, seorang bankir terkemuka, terpilih menjadi ketua yayasan. Seiring dengan pertambahan jurusan akuntansi, pada 1982 AIP berubah menjadi Akademi Akuntansi dan Perbankan (AAP) Perbanas. Ketika itu, AAP hanya menyediakan program D-3 akuntansi dan manajemen.
Pertumbuhan pesat industri perbankan sejak Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 88) membuat kebutuhan tenaga profesional perbankan, akuntansi, dan manajemen meningkat. Sehingga AAP berkembang menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Perbanas. Jenjang pendidikan yang disediakan makin tinggi, yaitu S-1 akuntansi serta S-1 manajemen keuangan dan perbankan. Keduanya berakreditasi A.

Pada saat bersamaan, YPP mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Informatika dan Komputer (STIMIK) Perbanas. Namun, sejak tahun 2006, YPP melakukan evaluasi terkait kesulitan memenangkan persaingan di antara perguruan tinggi negeri ternama, seperti UI, UGM, ITB, dan IPB. Masalahnya berawal dari melebarnya bidang kajian STIE sehingga bersifat umum. Karena itu, YPP memutuskan menggabungkan STIE dengan STMIK sejak 23 Oktober 2007. Nama barunya adalah ABFI Perbanas.

ABFI yang dipimpin Harinowo ini bertekad mendorong industri keuangan dan perbankan Indonesia agar kuat, efisien, solid, inovatif, dan sanggup berkiprah di industri keuangan dan perbankan global. Misi ini direalisasikan lewat penawaran enam program (S-1 dan D-3), yaitu akuntansi, manajemen, komputer akuntansi, sistem informasi, sistem komputer, dan teknik informatika.

Khusus untuk jurusan akuntansi dan manajemen, tersedia beberapa konsentrasi, seperti keuangan perbankan, pasar modal, asuransi, dan sumber daya manusia. Perguruan tinggi yang berlokasi di kawasan "segitiga emas" Jakarta ini juga punya program kelas internasional S-1 manajemen dan akuntansi. Tak hanya itu. Perguruan tinggi seluas 22.820 meter persegi ini pun punya program sertifikasi bertaraf internasional, seperti financial risk manager dan certified financial planner.

Untuk menunjang kelancaran kuliah bagi sekitar 7.500 mahasiswanya, ABFI punya 52 ruang kuliah ber-AC berkapasitas 50 tempat duduk. Dilengkapi dengan 10 ruang laboratorium mandiri, seperti laboratorium bank mini, laboratorium bahasa Inggris, dan laboratorium akuntansi. Laboratorium bank mini berlokasi di Unit III lantai VI, dengan kapasitas masing-masing 15 peserta, dilengkapi 30 komputer peraga dengan program modul perbankan modern berjaringan online system.

Sedangkan laboratorium akuntansi dan manajemen yang terkomputerisasi dilengkapi dengan program-program aplikasi komputer akuntansi, EDP-audit, software statistik, software manajemen keuangan, dan lain-lain. Di setiap laboratorium terdapat 25 unit komputer, yang dilengkapi alat peraga (LCD projector, panaboard, dan printer), berlokasi di Unit III lantai II.
Tidak hanya itu. Perpustakaan ABFI Perbanas termasuk lengkap dan modern. Tersedia 10.059 judul buku, dengan jumlah 28.208 eksemplar. Jumlah ini di luar koleksi majalah, jurnal, dan media cetak. Ruang baca dan refensi disediakan tersendiri di lantai terpisah.

Dengan segala kelengkapan fasilitas dan perbaikan kurikulum, ABFI yakin bisa meningkatkan penyerapan lulusannya di dunia kerja. Sebelum bermetamorfosis, 60% dari sekitar 15.000 lulusannya terserap di dunia perbankan. Sisanya bergelut di dunia usaha, seperti wiraswastawan dan tenaga edukatif.

Universitas Persada Indonesia YAIUsia Universitas Persada Indonesia (UPI) YAI tergolong masih muda bila dibandingkan dengan universitas swasta lainnya. UPI YAI berdiri pada 20 Mei 1985 sebagai hasil desakan alumni Akademi Akuntansi YAI yang menginginkan kelanjutan studi S-1 tanpa meninggalkan kampus. Pada saat ini, FE UPI YAI yang dikomandani Yosandi Yulius, SE, MM, punya dua jurusan S-1, yaitu akuntansi dan manajemen, dengan akreditasi A.
Secara umum, UPI YAI masuk peringkat kesembilan perguruan tinggi swasta terbaik dan favorit di Indonesia. Sistem belajar yang dipakai adalah sistem terpadu proporsional teoretis dan praktis yang berwawasan global oleh tenaga dosen lulusan dalam dan luar negeri dan praktisi berkualifikasi internasional. Untuk itu, mereka menjalin kerja sama dengan beragam lembaga pendidikan, organisasi, dan instansi pemerintah.

Antara lain menggandeng Cleveland State University dan Colorado State University dalam bidang penelitian dan akademik. Juga dengan Departemen Pendidikan Nasional, Bappenas, Departemen Dalam Negeri, dan Asian Development Bank (State Audit Reform Sector Development Program --STAR-SDP) dalam penyelenggaraan pendidikan program magister (S-2) akuntansi pemerintahan/pengawasan keuangan negara.

Fasilitas penunjang yang dimiliki FE UPI YAI juga memadai. Ada perpustakaan dengan koleksi 20.000 judul buku, puluhan laboratorium, area hotspot di seluruh kampus, kantor akuntan, bank mini, lembaga pengabdian kepada masyarakat, bus kampus, dan Pojok BEI.

Yang menarik adalah keberadaan training dan learning center (TLC), yang memberikan beragam pelatihan, dari akuntansi, pajak, bahasa asing, hingga audit keuangan. Fasilitas perpustakaan online dan pembelajaran e-learning UPI YAI pun berjalan mulus.
FE UPI YAI peduli pula pada nasib lulusannya. Pihak kampus membantu pencarian kerja, dengan membuka akses Bursa Kerja Online YAI, bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja. Juga ada kerja sama dengan Hipmi Jaya dan Kadin Jaya.

Oleh:
Astari Yanuarti
Ibnu Haidar (Mahasiswa Trisakti)
Selengkapnya...

Sabtu, 09 Mei 2009

MAHASISWA PATI DI YOGYAKARTA TOLAK SEMEN GRESIK

Yogyakarta - Di Yogyakarta aksi mahasiswa dalam menolak pembangunan pabrik semen di Sukolilo dilakukan dengan menghadang kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Yogyakarta.

Para mahasiswa menggelar aksi orasi di perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta, Sabtu (9/5) dibubarkan aparat kepolisian setelah membacakan pernyataan sikap. Dalam orasinya mahasiswa menyatakan berempati terhadap penduduk yang menolak dibangunnya pabrik semen di Sulkolilo, Pati Jawa Tengah.

Dalam pernyataan sikapnya, para mahsasiswa menuntut pemerintah membatalkan rencana pembangunan pabrik semen di Sukolilo. Kata mahasiswa, masyarakat di sana juga menolak dengan alasan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi pabrik semen tidak seimbang dengan keuntungan yang diperoleh.

Menurut humas aksi, Aditya, penolakan warga Sukolilo bukan tanpa alasan. Secara keseluruhan sumber daya alam di wilayah tersebut telah memberikan manfaat terhadap 91.688 jiwa penduduk di kecamatan Sukolilo dan 73. 051 penduduk kecamatan Kayen. Sekitar 15.873 hektar sawah di sana dialiri air dari pegunungan yang akan dieksplorasi pihak PT Semen Gresik tersebut.

“Bandingkan saja dengan tenaga kerja yang akan diserap sebanyak 2.000 orang dan 1.000 tenaga operasional dengan penduduk yang akan jadi korban,” kata Aditya.

Aparat kepolisian segera membubarkan aksi tersebut karena akan mengganggu rencana Presiden berkunjung di Gedung Agung yang hanya berjarak 50 meter dari lokasi aksi.(alm/anm/sum)
Selengkapnya...

Selasa, 05 Mei 2009

ISU LINGKUNGAN SEMEN GRESIK DAN MASYARAKAT KRITIS PATI


Saya dijemput 18 pamong berpakaian preman dari rumah. Kedua tangan saya dipegangi, saya dipaksa menandatangani surat (akta jual-beli tanah). Jari jempol saya dituntun untuk mengecap surat, tidak atas kemauan saya sendiri”. Kalimat itu diungkapkan oleh Muhamad Hamzah (70), yang akrab dipanggil Mbah Lasem, warga Dusun Karangagung, Desa Karanglo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, dalam bahasa Jawa ngoko, mengungkapkan kejadian 20 tahun lalu.
Ketika itu, lahan tujuh hektar yang menjadi sandaran hidupnya ”dipaksa” untuk dijual kepada rezim yang berkuasa, untuk kepentingan pembangunan pabrik semen milik PT Semen Gresik. Uang ganti rugi Rp 39 juta pun amblas (katanya dirampok) sebelum ia sempat memakai uang itu untuk membeli tanah pengganti.


Pada hari tuanya, ia berpindah dari satu rumah ke rumah lain milik anak-anaknya dan trauma, selalu ketakutan akan ada orang yang mau merampok atau mencelakainya.

Hamzah hanya satu dari banyak warga sekitar wilayah ring 1 pabrik semen PT Semen Gresik di Tuban yang ketika itu, di bawah tekanan, dipaksa melepas kepemilikan atas lahan yang sudah turun-menurun menjadi harapan bagi mereka.

Rezim Orde Baru yang otoriter memang sudah lama berlalu. Tetapi, pola-pola pembangunan yang menyerobot tanah dan ladang kehidupan rakyat masih terjadi di berbagai penjuru negeri ini, terutama untuk berbagai proyek ekstraksi sumber daya alam.

Apa yang dialami warga Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang menolak rencana proyek pengembangan pabrik semen kebetulan saja juga milik PT SG adalah contohnya.
Sejak pertama wacana rencana pembangunan pabrik semen muncul tiga tahun lalu, calo dan spekulan tanah mulai memburu lahan rakyat. Mereka yang menolak melepas lahan menghadapi intimidasi.

Isu lingkungan

Keberatan sebagian warga yang didukung kalangan peduli lingkungan sebenarnya sangat bisa dimengerti. Proyek yang menjadi harapan Pemkab Pati mengangkat ekonomi Pati bagian selatan itu menerjang kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara yang selama ini menyimpan puluhan sumber mata air yang menjadi penyedia kebutuhan air baku bagi puluhan ribu warga Sukolilo dan irigasi ratusan ribu hektar sawah petani.

Hancurnya Kendeng akan menghancurkan pula obyek wisata goa, kehidupan satwa yang menghuni goa-goa, dan berbagai situs peninggalan purbakala. Potensi konflik horizontal di masyarakat juga tinggi, bukan hanya karena sebagian lahan masyarakat sekarang ini sudah berpindah ke tangan spekulan, melainkan juga karena di kalangan warga sendiri tidak semuanya mendukung ataupun menolak kehadiran proyek itu.


Potensi benturan dan kekerasan antara mereka yang pro dan kontra, yang menunjukkan sikap keukeuh, sangat mudah tersulut jika tidak hati-hati.

Meski masih jadi polemik, proses pengalihan peruntukan lahan yang bakal menjadi lokasi penambangan dan pabrik, baik itu lahan rakyat maupun lahan milik PT Perhutani, juga masih jalan terus.

Pihak Pemkab sendiri sangat yakin proyek tidak akan mengalami hambatan berarti. ”Sudah tidak ada masalah di lapangan. Ini kan demi kemajuan, demi kesejahteraan masyarakat,” ujar Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Pati Desmon Hastiono didampingi oleh staf senior Semen Gresik.

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 0398 K/40/MEM/ 2005 sendiri menetapkan kawasan Pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan karst yang harus dilindungi, tetapi Kepmen ini tak menyebutkan klasifikasi dari karst yang dimaksud.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 1456 K/20/ MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, karst kelas 1 dilarang untuk ditambang, sementara kelas 2 dan 3 masih dimungkinkan ditambang secara terbatas dengan tetap memerhatikan kelangsungan perkembangan karst.

Sementara itu, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jateng sendiri, wilayah Pegunungan Kendeng Utara yang memanjang dari Kabupaten Grobogan, Pati, hingga Blora, memang diperuntukkan bagi penambangan.

Yang menjadi persoalan, RTRW ini sudah kedaluwarsa dan kini sedang dalam tahap revisi untuk menyesuaikan dengan UU rencana tata ruang baru yang berlaku secara nasional, yakni UU No 26/2007.

Pihak PT SG sendiri, seperti dikatakan Kepala Divisi Komunikasi PT SG Saifuddin Zuhri,
”Kalau rekomendasi (amdal) oke, SG akan jalani. Kalau tidak, SG akan mencari lokasi lain”.
Adapun Pemkab, seperti tersirat dari pernyataan beberapa pejabatnya, tampaknya masih keukeuh pada sikapnya: selama belum ada perda yang baru, perda lama yang menetapkan Kendeng Utara sebagai kawasan penambangan, masih sah berlaku.

By: Saiful Ulum (Ketua Umum Silaturahmi Mahasiswa Pati Jakarta dan Sekitarnya)
Selengkapnya...