Selasa, 05 Mei 2009

ISU LINGKUNGAN SEMEN GRESIK DAN MASYARAKAT KRITIS PATI


Saya dijemput 18 pamong berpakaian preman dari rumah. Kedua tangan saya dipegangi, saya dipaksa menandatangani surat (akta jual-beli tanah). Jari jempol saya dituntun untuk mengecap surat, tidak atas kemauan saya sendiri”. Kalimat itu diungkapkan oleh Muhamad Hamzah (70), yang akrab dipanggil Mbah Lasem, warga Dusun Karangagung, Desa Karanglo, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, dalam bahasa Jawa ngoko, mengungkapkan kejadian 20 tahun lalu.
Ketika itu, lahan tujuh hektar yang menjadi sandaran hidupnya ”dipaksa” untuk dijual kepada rezim yang berkuasa, untuk kepentingan pembangunan pabrik semen milik PT Semen Gresik. Uang ganti rugi Rp 39 juta pun amblas (katanya dirampok) sebelum ia sempat memakai uang itu untuk membeli tanah pengganti.


Pada hari tuanya, ia berpindah dari satu rumah ke rumah lain milik anak-anaknya dan trauma, selalu ketakutan akan ada orang yang mau merampok atau mencelakainya.

Hamzah hanya satu dari banyak warga sekitar wilayah ring 1 pabrik semen PT Semen Gresik di Tuban yang ketika itu, di bawah tekanan, dipaksa melepas kepemilikan atas lahan yang sudah turun-menurun menjadi harapan bagi mereka.

Rezim Orde Baru yang otoriter memang sudah lama berlalu. Tetapi, pola-pola pembangunan yang menyerobot tanah dan ladang kehidupan rakyat masih terjadi di berbagai penjuru negeri ini, terutama untuk berbagai proyek ekstraksi sumber daya alam.

Apa yang dialami warga Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang menolak rencana proyek pengembangan pabrik semen kebetulan saja juga milik PT SG adalah contohnya.
Sejak pertama wacana rencana pembangunan pabrik semen muncul tiga tahun lalu, calo dan spekulan tanah mulai memburu lahan rakyat. Mereka yang menolak melepas lahan menghadapi intimidasi.

Isu lingkungan

Keberatan sebagian warga yang didukung kalangan peduli lingkungan sebenarnya sangat bisa dimengerti. Proyek yang menjadi harapan Pemkab Pati mengangkat ekonomi Pati bagian selatan itu menerjang kawasan karst Pegunungan Kendeng Utara yang selama ini menyimpan puluhan sumber mata air yang menjadi penyedia kebutuhan air baku bagi puluhan ribu warga Sukolilo dan irigasi ratusan ribu hektar sawah petani.

Hancurnya Kendeng akan menghancurkan pula obyek wisata goa, kehidupan satwa yang menghuni goa-goa, dan berbagai situs peninggalan purbakala. Potensi konflik horizontal di masyarakat juga tinggi, bukan hanya karena sebagian lahan masyarakat sekarang ini sudah berpindah ke tangan spekulan, melainkan juga karena di kalangan warga sendiri tidak semuanya mendukung ataupun menolak kehadiran proyek itu.


Potensi benturan dan kekerasan antara mereka yang pro dan kontra, yang menunjukkan sikap keukeuh, sangat mudah tersulut jika tidak hati-hati.

Meski masih jadi polemik, proses pengalihan peruntukan lahan yang bakal menjadi lokasi penambangan dan pabrik, baik itu lahan rakyat maupun lahan milik PT Perhutani, juga masih jalan terus.

Pihak Pemkab sendiri sangat yakin proyek tidak akan mengalami hambatan berarti. ”Sudah tidak ada masalah di lapangan. Ini kan demi kemajuan, demi kesejahteraan masyarakat,” ujar Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Pati Desmon Hastiono didampingi oleh staf senior Semen Gresik.

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 0398 K/40/MEM/ 2005 sendiri menetapkan kawasan Pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan karst yang harus dilindungi, tetapi Kepmen ini tak menyebutkan klasifikasi dari karst yang dimaksud.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 1456 K/20/ MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst, karst kelas 1 dilarang untuk ditambang, sementara kelas 2 dan 3 masih dimungkinkan ditambang secara terbatas dengan tetap memerhatikan kelangsungan perkembangan karst.

Sementara itu, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jateng sendiri, wilayah Pegunungan Kendeng Utara yang memanjang dari Kabupaten Grobogan, Pati, hingga Blora, memang diperuntukkan bagi penambangan.

Yang menjadi persoalan, RTRW ini sudah kedaluwarsa dan kini sedang dalam tahap revisi untuk menyesuaikan dengan UU rencana tata ruang baru yang berlaku secara nasional, yakni UU No 26/2007.

Pihak PT SG sendiri, seperti dikatakan Kepala Divisi Komunikasi PT SG Saifuddin Zuhri,
”Kalau rekomendasi (amdal) oke, SG akan jalani. Kalau tidak, SG akan mencari lokasi lain”.
Adapun Pemkab, seperti tersirat dari pernyataan beberapa pejabatnya, tampaknya masih keukeuh pada sikapnya: selama belum ada perda yang baru, perda lama yang menetapkan Kendeng Utara sebagai kawasan penambangan, masih sah berlaku.

By: Saiful Ulum (Ketua Umum Silaturahmi Mahasiswa Pati Jakarta dan Sekitarnya)


0 komentar:

Posting Komentar