Senin, 28 Juni 2010

POSISI CINTA DUNIA oleh Habib Asfiya Jauhari*

LETAK

Dimana waktu akan berlari
Sampai nanti mereka mati
Dimana waktu akan berlari
Saat mereka mulai menghampa diri
Dimana waktu membelakangi bumi
Berharap dia masih berlari
Dimana waktu membelakangi bumi
Menjadi terkapar disini sendiri



BAGAIMANA EFISIEN

Gerakan-gerakan monoton masih bergerak
Pergeseran-pergeseran hanya titik... dan titik
Dan bergesek tanpa terburuk-buruk
Titik monoton sampai berbunga
Cepat, dan cepat, dan trade off
Pembebasan dalam jalan kelipatan
Kerugian tidak ada yang mau
Padahal antara langit dan bijak
Terasa aneh bagi subsidi
Pengurangan efisiensi
Tidak ada efek-efek
Membagaimanakan bantuan




PERTUKARAN

Manfaat sama dengan untung
Pada daun yang karena angin puntung
Untung dari tukar special?
Pikirkanlah eksternalitas!!!
Ada keinginan masuk
Ada keinginan keluar
Bagaimanapun terjadi kerja
Perlu ditingkat itu tanah-tanah
Kalau masuk,
Tekanan pada akar tercabut



PUISI TIDAK JADI

Ketika engkau berjalan
Bagaimana anda bersajak?
Sajak dalam jalan-jalan?
Bagaimana ada jalan-jalan dalam sajak?
Sajak tak jadi puisi
Dari jalan-jalan yang kau puitisasi
Tidak ada puisi yang disajakisasi
Sehingga puisi tidak lagi jadi puisi





DEMI KESEIMBANGAN

Demi keseimbangan
Aku debitkan
Aku kreditkan
Demi keseimbangan
Dua jalur berguncang-guncang
Aku pegangi dari gelombang birahi
Sampai tenang
Demi keseimbangan
Kututup mata, tengadahkan tangan
Demi keseimbangan
Maaf, engkau menjadi korban





HAWA DI DEKATKU

Hari ini hawa makin panas
Berkelit dari tangkapan airku
Sejak pagi tadi
Hari ini hawa sendiri
Tapi panasnya membebaniku
Sejak pagi tadi
Hari ini hawa tertunduk
Mungkin merasa terlalu panas
Atau menjadi pemanas
Hari ini hawa sendiri lagi
Menunggu adam di dekatku
Tetapi aku adalah adam yang lain
Hawa diam didekatku






DINDING PINTU

Aku berjalan dari belakang
Menghadap ke depan menatap sesenggukan
Terkurung dari ruang nista kehidupan
Aku akan keluar
Memegang sebuah senyum kelakar
Berharap orang di luar sana gembira
Biarkan aku terbaring menunggu pintu
Padahal aku menghadap dinding
Ada kunci dan palu
Menemaniku mungkin dari dulu
Aku hancurkan dinding
Kemudian aku tendang pintu
Mendapati kedatanganku
Berharap orang di luar sana gembira


* Aktifis SIMPATI dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Akutansi Negara(STAN) jakarta
Selengkapnya...

Selasa, 08 Juni 2010

Asal Usul Tasawuf Dan Irfan Dalam Sejarah Oleh : Mohammad Anwar*


Islam sebagai sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bagi para arif atau sufi menjadi jalan untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Untuk mencapai hal itu, perlu dilakukan usaha-usaha spiritual yang berat dan panjang melalui media yang disebut ilmu Tasawuf. kebanyakan orang menyamakannya dengan Irfan.
Sebelum lebih jauh, mengenai dua term di atas (tasawuf dan irfan), dalam literatur-literatur ilmu tasawuf dan berbagai tulisan mengenai tasawuf maupun irfan terdapat adanya persamaan (sinonim) antara keduanya. Lebih dari itu, di sisi lain sebenarnya juga masih ada yang membedakan istilah tersebut. Sehingga menurut penulis, penting sekali untuk mencari kejelasan terkait dua istilah itu. Perbedaan ini terletak pada masalah objeks kajian atau ruang lingkup pembahasannya. Dari sini, akan ditelusuri perbedaan-perbedaan tersebut dan bagaimana memahami keduanya dalam sebuah kajian.
Pemaparan mengenai perbedaan istilah di atas, akan menjadi hal penting dalam memahami segala pembahasan mengenai tasawuf dan irfan. Walaupun tidak berpengaruh signifikan ketika masuk dalam sejarahnya, lebih-lebih pada tataran esoterik atau secara subtansi. Selanjutnya, tasawuf dan irfan tidak muncul begitu saja dalam dunia keilmuan Islam. Tentu ada sejarah bagaimana ia muncul dan apa yang menyebabkannya muncul menjadi tradisi yang kental dalam Islam. Selain itu, tokoh-tokoh Islam, dalam hal ini sufi atau arif, juga menjadi bagian penting dari sejarah awal mula tasawuf dan irfan.
Untuk memenuhi dan menjawab pembahasan tentang “asal usul tasawuf dan irfan dalam sejarah”, dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengekplor lebih dalam lagi. Sehingga diharapkan akan tercipta pemahaman yang utuh tentang tasawuf dan irfan itu sendiri.

Pengertian Tasawuf dan Irfan
Istilah Tasawuf dalam sejarahnya, baik dalam pengertian etimologi maupun istilah, para ahli saling berbeda pendapat. Dari pengertian etimologi, pengertian tasawuf terdiri dari beberapa macam. Tapi yang paling populer atau yang banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf adalah yang mengatakan tasawuf berasal dari dari kata shuf, yang berarti “bulu domba” atau”wol”.
Diantara mereka yang cenderung mengakui makna ini antara lain Al-Kalabadzi, Asy-Syukhrawardi, Al-Qusyairi, dan lainnya walaupun dalam kenyataannya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol. Ia menegaskan bahwa tasawuf dapat berkonotasi makna dengan tashawwafa ar-rajulu, artinya “seorang laki-laki telah men-tasawuf”. Maksudnya, laki-laki itu telah berpindah dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi. Sebab, para sufi ketika memasuki dunia tasawuf, mereka mempunyai simbol-simbol tersendiri. Seperti pakaian dari bulu, tentunya bukan wol, tetapi hampr menyamai goni dalam kesederhanaannya.
Beberapa makna lain dari Tasawuf antara lain, tasawuf dikonotasikan dengan istilah ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang pada masa rasul yang sering berdiam diri di masjid. Ada juga yang menisbatkannya dengan kata saufi (yunani), disamakan dengan “hikmah” yang berarti kebijaksanaan. Istilah lainnya seperti, shafa’, orang yang mensucikan diri. Shaf, orang yang ketika shalat selalu berada di shaf paling depan.
Pengertian secara istilah, tasawuf dapat dijelaskan sebagai ilmu yang mempelajari usaha-usah membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma’rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antar manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah dalam mendekatkan diri dalam mencapai keridhaannya.
Sekarang beranjak pada pengertian irfan. Irfan jika dilihat dari segi pengertian etimologinya, sama dengan ma’rifat (pengetahuan) atau dalam istilah Barat lebih dikenal dengan gnosis. Yaitu perolehan pengetahuan yang dicapai lewat hati nurani, penghayatan dan pengalaman jiwa. Sedangkan arti terminologinya yaitu sifat atau keadaan orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan membenarkan dengan melaksanakan ajaran-ajaran-Nya.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa irfan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang mempunyai dasar ilmu huduri, dimana dalam perjalanan spiritualnya, hamba Allah meniscayakan adanya pengetahuan hakiki daripada pengetahuan tashawwur (konsepsi) dan tashdiq (afirmasi). Adapun orang yang telah mencapai irfan atau ma’rifat disebut ‘arif. Arif ini adalah orang yang sudah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubarinya melihat Tuhan.

Adanya Perbedaan Pengertian
Dalam sejarahnya, istlah irfan dikenal sebelum lahirnya sufi besar Islam yang bernama Dzun Nun al-Mishri (156-245 H). Dialah yang memperkenalkan irfan pertama kali. Ia menambahkan pengertian diatas dengan “kemudian mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah dan cacat yang terpaku lama di pintu ruhani, yang senantiasa I’tikaf dalam hatinya, kemudian dia menikmati keindahan dekat hadirat-Nya.
Mungkin sulit bagi kita untuk mengetahui kapan istilah irfan mulai digunakan di kalangan ulama Islam, tetapi dengan memperhatikan pendapat Junaid Baghdadi (wafat thn. 298 Hijriah) yang menyatakan bahwa kata irfan pernah digunakan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kata irfan mulai digunakan pada abad ketiga hijriah.
Pada mulanya, pemahaman tentang irfan, ibadah dan zuhud belum mengalami perbedaan makna. Namun secara perlahan-lahan, terjadi perbedaan makna antara ketiga kata ini. Setiap kata arif, abid dan zahid memiliki makna khusus dan tersendiri. Berkaitan dengan perbedaan antara ketiga kata ini, dalam kitabnya Isyarat, Syaikh Ra’is Abu Ali Sina berkata: “Zahid adalah istilah khusus bagi orang yang menghindari dunia dan kelezatan-kelezatannya. Orang yang menjaga dan selalu mawas diri dalam menekuni amal shaleh seperti shalat, puasa dan lainnya disebut abid.
Sedangkan orang yang berusaha keras dan mengerahkan segala kemampuan dan pikirannya untuk menyucikan diri dan selalu berlindung pada kebenaran disebut arif. Namun ketiga istilah ini terkadang dapat saling menyatu.” Dengan demikian, makna irfan telah berubah seiring dengan perjalanan waktu. Terkadang irfan memiliki makna tersendiri dan terkadang semakna dengan tasawuf.
Harus diperhatikan bahwa tasawuf merupakan salah satu mishdaq dan cabang dari irfan, bukan keseluruhan irfan. Irfan dengan makna umumnya mempunyai kesesuaian makna dengan seluruh makna agama dan mazhab yang ada di dunia, baik kecil maupun besar, yang memiliki bentuk beraneka ragam. Artinya irfan sebagai makna subtansi atau pola beribadah memiliki dimensi yang lebih luas. Bahkan para penyembah Totem misalnya, memiliki rahasia dalam kepercayaannya yang untuk meraihnya mereka harus menempuh jalan rohani. Mereka yakin bahwa alam memiliki hubungan dengan Totem sehingga mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengannya. Dalam tafakkur mereka, dapat dilihat asas-asas irfan di dalamnya.
Demikian juga dalam agama-agama kuno India dan Iran, dalam agama Kristen dan Islam, dapat disaksikan hakikat irfan di dalamnya. Dalam kepercayaan agama hindu, diyakini yang namanya Manvantara. Sebuah sistem waktu atau siklus spiritual manusia. Dimana manusia mempunyai daya spiritual untuk membersihkan hidupnya yang kotor. Bahkan dalam agama Yahudi sekalipun yang memiliki akidah paling berbeda tentang Tuhan dan memiliki dendam kesumat terhadap manusia tidak kosong dari hakikat irfani. Hal ini dapat dilihat dalam kitab suci mereka “Mazamir Daud”, “Ghazal Sulaiman” serta ungkapan–ungkapan indah mereka yang berasal dari syuhud batin dan jiwa manusia dalam mencari dan mencintai Tuhan.
Masih dalam perbandingan makna antara keduanya. Dari sisi pendekatan, Ustad Syahid Muthahhari ra. setiap kali ahli irfan ditinjau secara akademis maka hal tersebut dialamatkan pada ‘urafa, tetapi setiap kali ditinjau secara sosial dan kemasrakatan maka hal ini dialamatkan pada mutasawwifah. Berbeda lagi dengan imam Khomeni Qs, beliau berpendapat irfan yakni berhubungan dengan makrifat irfani, tetapi tasawuf berhubungan dengan aspek sair suluk atau perjalanan spiritual (riyâdhâ) seorang sufi.
Penulis lebih sepaham dengan Muthahhari, yang selanjutnya ia mengatakan irfan lebih dinamis dari pada tasawwuf, karena tasawwuf lebih menekankan pada pembahasan jiwa internal manusia untuk bertahalli (menghias diri) dan ber tajalli (manivestasi) dengan asma’-asma’ Allah. Tapi irfan, menurutnya, tidak hanya membahas tentang jiwa internal manusia, tapi juga mengajak manusia berjalan untuk keluar dari alamnya menuju alam Tuhan . Perjalanan itu disebut dengan safar. Artinya disini, jika membahas esoterisme Islam dalam tataran amalinya lebih tepat dikatan tasawwuf. Sebaliknya, jika masuk lebih dalam membahas tema-tema dalam proses pengenalan Tuhan, maka tepat disebut irfan.
Seperti yang penulis katakana sebelumnya, dari berbagai penjelasan tentang adanya perbedaan antara tasawuf dan Irfan, penulis cenderung paham dan setuju dengan apa yang dikatakan oleh Muthahhari. Karena apa yang disebut sufi, lebih menunjukkan kefakirannya atau zuhud hidup di dunia. Artinya hal ini cenderung pada wilayah praktis. Kalaupun tasawwuf sudah menjadi ilmu pengetahuan, dia hanya berbicara tentang tarekat-tarekat dan ajaran-ajarannya. Lebih dalam berbicara tentang jiwa manusia sebagai media untuk menangkap cahaya illahi. Dan menyebutkan tingkatan-tingkatan untuk sampai pada sang Khaliq.
Berbeda dengan irfan, yang muncul cenderung sebagai ilmu dan dibicarakan para arif untuk kepentingan intelektual dan lebih dalam cakupannya. Hal ini terbukti dengan adanya dua aspek dalam irfan yaitu irfan teoritis dan praktis. Tapi yang juga perlu diketahui adalah keduanya tidak selalu berpisah dan benar-benar tidak bisa ditemukan. Keduanya bisa ditemukan dalam setiap madzhab dan sekte Islam. Dan juga ditemukan dalam kelompok yang berbeda di wilayah sosial. Artinya keduanya tetap memiliki perbedaan, tapi keduanya juga (tasawwuf dan Irfan) dapat menjelma sekaligus dalam diri seseorang atau sebuah kelompok.
Untuk lebih memudahkan pemahaman untuk pembahasan selanjutnya, maka akan saya sebutkan makna yang sama dari kedua term di atas (irfan dan tasawuf). Sebagaimana dipahami pada umumnya.
Tasawuf dan Irfan Dalam Sejarah
Sebenarnya esensi dari tasawuf (Irfan) dalam praktek adalah mengingat nama Allah (dzikir) . Hal ini sebenarnya sudah ditetapkan sejak permulaan munculnya agama, bahkan sebelum ritual-ritual yang diajarkan pada nabi, berupa shalat sebagai jalan eksoteriknya. Metodenya sudah dipraktekkan Nabi pada masa-masa awal kerasulan di Mekkah, salah satunya adalah penyendirian spiritual (I’tikaf atau khalwah). Hal ini juga telah ada pada Ibrahim, yang ajaran esoterisme agamanya masih berkesinambungan sampai pada esoterisme awal Islam. Bahkan nabi Adam pun telah mempraktekannya.
Seiring berjalannya zaman kenabian Muhammad dan telah berhijrah dari Mekkah ke Madinah, kelompok esoterik yang menjadi generasi pertama sufi dan sangat dekat dengan Nabi, menjadi minoritas di Madinah. Mereka melakukan ibadah-ibadah sunnah yang dapat dikatakan sebagai ibadah esoterisme , dimana ketika diamalkan oleh mayoritas menjadi eksoterisme. Tapi ketika diamalkan kelompok minoritas spiritual, ibadah-ibadah sunnah itu diesoteriskan kembali.
Kenapa demikian, karena kaum sufi memang bergerak dalam wilayah-wilayah esoteris atau batiniah. Sebagaimana yang dijelaskan di awal, bahwa mereka (sufi) adalah orang-orang yang beribadah dan dekat dengan Allah melalui segala pengetahuan hudurinya.

Orisinalitas Ajaran Irfan (Tasawuf) Islam
Menyangkut masalah orisinalitas, dalam hal ini ajaran tasawuf, perlu dibuktikan bahwa ia memang bersumber pada Islam, sekalipun Islam belum turun sebagai agama. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait dengan hal ini adalah apakah ilmu Islam ini seperti halnya ilmu filsafat, kedokteran, matematika yang terpengaruh dari peradaban selanjutnya? Atau seperti ilmu fiqh yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip metode yang didasarkan pada nash? Atau ada kemungkinan pertanyaan lain?
Semua pertanyaan tersebut tidak begitu perlu penulis jawab dan jelaskan panjang lebar dalam tulisan ini. Tapi akan dijelaskan secara umum terkait pertanyaan tersebut. Dan perlu digaris bawahi bahwa kaum Arif, lebih cenderung pada alternatif yang kedua. Akan tetapi para orientalis tetap bersi keras bahwa ajaran irfan Islam terpengaruh atau mengadopsi ajaran-ajaran dari luar Islam.
Beberapa anggapan mereka (orientalis), seperti asal usul gagasan irfan berasal dari “Kristen”. Dengan alasan adanya kontak awal antara orang-orang Arab dengan Kristen pra-Islam. Juga ada yang menyatakan produk filsafat neo-Platonis dibawah pengaruh phytagoras. Yang meyakini bahwa ruh itu bersifat kekal dan tubuh ini merupakan penjara bagi ruh. anggapan lain, bahwa adanya kemiripan istilah-istilah irfan dengan ajaran agama Persia. Dan masih banyak lagi. Tapi juga tidak lantas menafikan adanya sedikit pengaruh dari luar Islam.
Seperti yang dijelaskan Muthahhari dalam bukunya,Mengenal Irfan, bahwa dasar ajaran Islam cukup dengan memahami sistem doktrinal Islam, yaitu monoteisme atau tauhid. Yang berarti bahwa hanya ada satu wujud tunggal atau sejati yaitu Allah swt. Dan ia melanjutkannya secara singkat bahwa ajaran-ajaran dasar Islam sangatlah mampu untuk menginspirasikan berbagai gagasan spiritual yang sangat mendalam, baik teoritis maupun praktis. Meskipun juga ia menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan bagi kaum arif. Seperti dalam surat al-Baqarah: 115, QS. Qaf:16 dan QS. Al-Syams: 7-8.

Masa Generasi Pertama
Menelusuri kembali tokoh-tokoh pertama dalam irfan, setelah irfan atau tasawwuf ini menjadi sebuah istilah dan fenomena keagamaan, tidak cukup memerlukan penelitian yang berat. Mengingat banyak literatur yang berbicara tentang itu. oleh karenanya, untuk tujuan menelusuri sejarah awal munculnya, tampaknya lebih tepat diawali pada tahun hijrah pertama. Sudah jelas bahwa pada awal hijriyah belum ada sekolompok orang yang disebut sufi atau urafa’. Istilah tersebut muncul pertama kali pada abad ke-2 hujriyah/8 Masehi.
Orang pertama yang mendapat gelar sufi adalah Abu Hasyim al Kufi. Dia adalah orang pertama yang membangun rumah musyafir di Ramlah, Palestina, sebagai tempat ibadah para zuhud muslim. Tapi mengenai wafatnya, belum diketahui kapan. Ia mempunyai murid yang bernama Abu Qasim Qusyairi, juga terkenal sebagai sufi besar. Terkait masalah orang pertama dan kemunculan kelompok sufi, ia mengutarakan bahwa istilah sufi telah muncul sebelum tahun 200 H/815 M. Ini jelas disebutkan dalam Kitab al Ma’isyah jilid V dari Al Kafi bahwa ada sebuah kelompok, Sufyan Sauri dan kelompok sufi lain yang telah disebut dengan istilah ini. Tapi yang jelas, istilah ini mulai populer dan digunakan pada abad ke-3 H.
Tapi, yang jelas penulis tidak akan menguraikan panjang lebar terkait masalah ini. Karena memang bahasannya hanya sebatas sejarah awal mula kemunculannya. Oleh karena itu, dalam pembahasan penutup, penting kiranya menyebutkan nama-nama penting dalam generasi pertama. Seperti Hasan Basri, ia lahir pada tahun 22 H/ 642 M da \n hidup selama 88 tahun. Dikelompokkan sebagai sufi karena melihat karya-karyanya seperti Ri’ayah li Huquq Allah. Dimana isinya membahas tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Kitab ini dikatakan sebagai kitab pertama tentang sufisme.
Tokoh lainnya antara lain Malik bin Dinar (w.130H/747M), seorang yang menjalani asketisme dan menahan diri dari kesenangan duniawi. Ibrahim bin Adham (w.161H/777M), Rabiah Adawiyah (w.135H/752M), Abu Hasyim as Sufi dari Kufah, nama terakhir ini adalah orang pertama yang disebut sufi sebagaimana yang dikatakan oleh muridnya, Sufyan Sauri. Nama-nama lainnya adalah, Syaqiq Balkhi (w.194H/810M), Ma’ruf Karkhi dan Fudail bin Iyad. Beberapa tokoh di atas tidak semuanya mengenal istilah sufi, tapi mereka sudah mempraktekan akhlaq sufi dan beberapa membahas segi esoterisme Islam.

Kesimpulan

Dari semua pemaparan terkait masalah asal mula Tasawwuf dan Irfan, dalam bab penutup ini, penulis cenderung akan mengambil poin penting dari semua penjelasan di atas. Karena kesimpulan lebih tepatnya dapat ditemukan diakhir bab. Dimana setiap bab memiliki bahasan yang berbeda, walaupun tetap mempunyai keterkaitan.
Pertama, mengenai term Tasawwuf dan irfan ternyata ada perbedaan pengertian dan cakupan.sebagamana diungkapkan para tokoh. Yaitu tergantung dari sudut mana kita melihatnya dan seberapa jauh cakupan yang dibahas keduanya. Kedua, berbicara sejarah munculnya, secara hakikat, irfan dan tasawwuf telah muncul sejak adanya kehidupan yaitu bermula dari Adam as. Karena konsep irfan berdasarkan tauhid Islam. Dimana disadari adanya wujud hakiki sebagai sebab wujudnya alam semesta ini. Dan menyadari bahwa manusia dan alam ini adalah ciptaanNya. Oleh karena itu, hidup ini adalah untuk mengenal dan mengabdi pada yang memberi hidup. Dan semua yang berasal dari-Nya akan kembali pada-Nya.
Maka dapat diartikan bahwa benih-benih atau pun irfan sebagai hakikat sudah muncul sebelum turunnya Islam sebagai agama. Yang selanjutnya, irfan dan Tasawwuf menjadi sebuah fenomena keagamaan dalam masyarakat, sebuah kelompok, bahkan disiplin ilmu. Konsep irfan atau tasawwuf islam jelas disebutkan dalam al-Qur’an, dan hal itu mempunyai argumentasi yang kuat untuk membuktikan bahwa konsep spiritual Islam, irfan dan tasawwuf tidak berasal dan terpengaruh dari faham-faham diluar Islam.

Jakarta, 29 Mei 2010






Referensi

Nasr, Seyyed H (editor). Ensiklopedi Tematis Spiritualiatas Islam (buku pertama). (Bandung : mizan 2002).
Syams, ruhullah.Irfan Dan Tasawuf Islam. diakses dari http://telagahikmah.org/id/index. com tgl. 10 april 2010.
Simuh.Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam.(Jakarta: Rajawali pers.1996).
Deden hms.Irfan Sebagai Metode Mencapai Pencerahan Spiritual.(skripsi).
Solihin, Rosihon Anwar. ilmu tasawuf. Bandung: Pustaka Setia 2008.
Sekha Alidrus.Hijab Dalam Pandangan Irfan (tasawuf). Diakses dari www.al-shia.com tgl. 11 April 2010.
Muthahhari.M.Mengenal Irfan, meniti maqam-maqam kearifan. Jakarta : Penerbit IMAM & Penerbit HIKMAH 2002.





* Mahasiswa Program Islamic Studies di The Islamic College Jakarta dan Sekarang Menjabat Di Devisi Lembaga Semi Otonom SIMPATI

Selengkapnya...

Tentang Pesantren dan ZamanBagikan Oleh Muhamad Fahdi*


Susah untuk dimulai, susah untuk dideskripsikan secara sederhana, susah untuk mencari jalan keluar yang manis. Selalu demikian pembahasan akan pesantren saat ditentangkan dengan perubahan zaman.
Mencoba untuk sederhana, hal yang selalu disebarluaskan adalah dinamisme Pesantren, keluwesannya, inovasinya dalam penyesuaian. Yang intinya untuk masalah ini, pesantren selalu bisa mengikuti perubahan zaman.
Tapi ternyata memulai dengan penyederhanaan tersebut menjadi sangat naif. Pasalnya kembali pada subkultur yang tersemat pada pesantren yang mulai dipopulerkan oleh Gus Dur. Dan secara kalangan umumpun menganggukkan kepala untuk hal ini.
Subkultur yang berarti suatu bagian (sub) yang unik dari budaya (kultur) besar sebuah bangsa. Keunikan subkultur ini memiliki tiga poin penting dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan nilai yang diikuti, serta hirarki kekuassaan yang interen tersendiri yang diikuti sepenuhnya. Maka sudah maklum pesantren masuk dalam kategori subkultur.
Karena, (1) Pesantren memiliki cara hidup unik; cara kehidupan santri. Mulai dari jadwal kegiatan yang berbeda dari pengertian rutinitas masyarakat sekitar, tidak adanya ukuran waktu tertentu pada masa belajar di pesantren, sistematika pengajaran yang seakan tak berkesudahan dan berulang-ulang dari jenjang ke jenjang dengan menggunakan kitab kuning, lalu kehidupan keseharian yang merupakan aplikasi dari pelajaran yang diterima.
(2) Pandangan hidup dan nilai yang khas, muncul sebagai akibat dari cara hidup unik di atas. Yaitu visi keikhlasan yang berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan ketaatan (tawadlu’) yang bersumber dari nilai barakah (grace); kepercayaan bahwa pengawasan kiai-ulama pada santri akan mempermudah penguasaan ilmu-ilmu agama yang benar (right religious sciences).
(3) Hirarki kekuasaan yang mutlak di tangan kiai dan para pembantunya, ditegakkan di atas kewibawaan moral sang kiai sebagai juru selamat para santri dari melangkah ke arah kesesatan. Kekuasaan atau kepemimpinan ini dibangun berdasarkan kepercayaan, bukan berdasarkan patron-klien sebagaimana masyarakat pada umumnya. Dus, inipun menjadi unik.
Dengan adanya ketiga hal di atas maka itulah pesantren sebagai subkultural, yang berarti pesantren sebagai unit dari budaya yang berdiri terpisah dan pada waktu bersamaan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Tapi pernyataan inilah sebenarnya yang menjadikan sebuah kebingungan ketika dihadapkan pada tujuan pesantren, untuk memiliki daya tarik keluar yang berarti agar masyarakat tertransformasi kultrul pesantren yang dianggap pilihan ideal bagi pola kehidupan umum. Yang berarti mengancam keberpisahan tersebut dan selanjutnya mengancam ke-subkulturannya.
Tujuan tersebut berdampak pada sikap pesantren yang harus selalu mampu menjawab kebutuhan sosial untuk mengembangkan framework kemasyarakatan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Dengan bahasa lain framework sosial yang dikembangkan pesantren harus selaras dengan perkembangan masyarakat lain secara umum. Menjadi lembaga yang tidak ekslusif dan mudah diterima oleh masyarakat. Karena keberubahan yang konstan dari sebuah zaman yang tentunya mempengaruhi masyarakat. Dan pada waktunya (seakan-akan) pesantrenpun harus terpengaruh juga. Maka, perlu untuk dipertanyakan kembali tentang ke-subkulturan pesantren tersebut, keunikan sebuah pesantren dari masyarakat.
Sebelum adanya jawaban untuk hal tersebut, menjadi menarik untuk dijawab terlebih dahulu sebuah pertanyaan awal ini, “Apakah tujuan dari tersematnya ikon subkultural pada pesantren?” Yang berkembang ke pertanyaan, “Subkultural pesantren apakah sebuah keharusan? Dalam arti apakah harus dijaga?”
Sebenarnya memang pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang Gus Dur, karena Beliau yang menyebarluaskan hal ini. Tapi jawaban Beliau hanya bisa diperkirakan, kurang lebih agar pesantren lebih dikenal oleh masyarakat, dengan kata lain ini sebuah promosi pesantren. Jika memang demikian, keharusan untuk menjaga subkultural tersebut bisa menjadi hilang ketika pesantren memang sedang melebur dengan masyarakat dan masyarakatlah yang menginginkan hal tersebut. Istilahnya, pesantren menyediakan penawaran yang disesuaikan dengan permintaan masyarakat. Namun, apa memang demikian jawaban tersebut? Bukankah ini hal yang menarik untuk dikaji?
Ada sebuah jawaban tentang perubahan yang diikuti pesantren, yakni asal nilai minimal dari pesantren tidak ikut berubah dan nilai inilah yang diharapkan bertransformasi dan diterima secara umum masyarakat, nilai asetisme.
Tapi ini bukanlah jawaban dari subkultur pesantren. Nilai hanyalah satu dari tiga poin utama sebuah subkultur, dan masih ada nilai yang lainnya selain asetisme seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk jangka panjang, proses penyesuaian pesantren yang berlangsung terus-menerus ini, pasti akan semakin menggerus dua poin utama lainnya, walaupun nilai asetisme itu bisa dijaga. Tapi tidak berarti nilai lainnya masih bisa ajeg.
Sebagai contoh yang paling konkrit adalah semakin tergerusnya otoritarisme seorang kiai pada pesantrennya, ketika sistem yayasan dari masyarakat mulai dianut oleh pesantren, sebagai wujud dari penyesuaian itu. Searah hal ini, nilai tawadlu’ dari seorang santri terhadap kiai juga semakin berkurang, entah sebagai akibat pengaruh dari luar atau dari sosok kiai itu sendiri yang dianggap tidak mampu memberi nilai barakah.
Berhubungan dengan sistem pendidikan yang ikut berubah, hal ini ikut merubah cara kehidupan santri yang unik, dan tentunya perubahan nilai tidak bisa dicegah. Seperti dewasa ini, pesantren di pesisir utara Jawa Tengah cenderung dalam mendirikan institusi pendidikan SMK (kejuruan), karena memang sistem SMK ini menjadi pilihan yang paling diminati masyarakat. Tapi ternyata hal ini malah mendorong masuknya nilai-nilai luar pesantren lebih gencar merasuk pada para santri, tentunya nilai-nilai ini cenderung merusak, termasuk nilai dari remaja luar pesantren yang selalu membangkang dan ingin kebebasan yang sebebas-bebasnya. Dan ini riil terjadi, menurut pengamatan penulis.
Jadi, disini jika di kalkulasikan proses transformasi yang riil terjadi adalah lebih banyak dari masyarakat ke pesantren dari pada sebaliknya. Apa hal ini tidak menjadi masalah ketika memang yang ditumpukan untuk bertransformasi ke masyarakat adalah nilai minimal yang telah disebutkan di atas? Yang berarti subkultur tidak menjadi hal yang perlu dijaga?
Mungkin hanya Gus Dur, Zaman dan Allah yang mengetahui dan bisa menjawab ini. Wassalam.



*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
Selengkapnya...