Sistem pendidikan nasional telah kehilangan roh nasionalnya akibat kebijakannya yang bertumpu pada basis material dan formalisasi agama. Kuatnya basis material itu dipicu dorongan dari luar, sedangkan kuatnya formalisasi agama merupakan dorongan dari dalam pascareformasi politik 1998.
Kuatnya peran kapital dalam pendidikan itu ditandai oleh munculnya berbagai kebijakan yang lebih bersifat padat modal, misalnya pendidikan berbasis IT, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, sertifikasi ISO, world class university, double degree, memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi badan hukum milik negara, hingga memprivatisasi semua lembaga pendidikan melalui pengesahan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Semua kebijakan itu lalu membentuk watak pendidikan menjadi korporasi, menutup akses orang miskin untuk mendapat layanan pendidikan, praksis pendidikan pun menjadi monoton, kering, tidak berpijak pada budaya masyarakat. Fungsi pendidikan sebagai proses integrasi bangsa terabaikan.
Dampak kuatnya peran kapital itu secara institusional, cara menilai kinerja Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pun hanya dari satu sisi, yaitu daya serap anggaran, tidak dilihat bagaimana implikasi penggunaan anggaran terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan secara gagasan, Depdiknas menempatkan perolehan sertifikasi ISO sebagai simbol keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan. Padahal, selain sertifikat ISO tidak gratis (padat modal), juga standardisasi proses pendidikan akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor.
Sedangkan secara gagasan, Depdiknas menempatkan perolehan sertifikasi ISO sebagai simbol keberhasilan pengelolaan lembaga pendidikan. Padahal, selain sertifikat ISO tidak gratis (padat modal), juga standardisasi proses pendidikan akan menumpulkan kreativitas guru, inovasi, serta menghilangkan model-model pendekatan nonmanajerial (humanis, budaya, nilai, dan lainnya) karena semua harus berjalan sesuai dengan standar baku yang sudah ditentukan asesor.
Memerdekakan manusia
Ki Hadjar Dewantara, pendiri Perguruan Tamansiswa sekaligus salah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional, menyatakan, maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama ialah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Dalam pendidikan harus diingat, kemerdekaan bersifat tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking).
Implikasi konsep Ki Hadjar adalah pendidikan harus mampu menumbuhkan makhluk sosial agar dapat menjadi bagian integral masyarakat-bangsa. Karena itu, dalam praksis, proses pendidikan tidak dibangun berdasarkan prinsip persaingan, tetapi kerja sama. Karena itu, model-model pendidikan melalui permainan itu penting karena permainan selalu mengajarkan kerja sama antartim.
Konsep Ki Hadjar itu diturunkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Ini berbeda dari tujuan pendidikan nasional dalam UU No 20/2003 tentang Sisdiknas yang lebih membentuk manusia sebagai makhluk individu. Konsekuensinya, kebijakan turunannya diarahkan untuk membentuk manusia sebagai makhluk individu yang harus bersaing dengan sesama. Kebijakan pendidikan seperti ini menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan basis ekonomi (mampu dan tidak mampu). Padahal, Ki Hadjar mengingatkan, sekolah itu bukan toko, tetapi perguruan (tempat guru tinggal atau dapat diartikan tempat studi). Sebagai tempat studi, siapa saja bisa datang untuk menimba ilmu. Kalau toko, hanya mereka yang punya uang yang dapat mengakses, yang tidak punya uang hanya menonton.
Formalisasi agama
Faktor internal yang turut menghilangkan ciri nasional sistem pendidikan kita adalah kuatnya keinginan sebagian kelompok untuk membentuk sistem pendidikan yang lebih agamis dan itu terakomodasi dalam UUD 1945 hasil amandemen. Ayat 2 Pasal 31 UUD 1945 yang asli mengatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional; yang diatur dengan undang-undang”. Tetapi Ayat 3 Pasal 31 UUD 1945 diamandemen menyatakan, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Implikasi kedua pasal itu jelas berbeda terhadap turunannya (Sisdiknas) dan kebijakan lain.
Pada tingkat praksis kita melihat, dari soal seragam (bagi siswi, pakaian bawah harus sampai menutup tumit), salam pembuka/penutup di kelas, pilihan jenis kegiatan di sekolah, sampai pengaturan tempat duduk di ruang kelas kini banyak didasarkan pada pandangan agama. Ironisnya, praksis pendidikan semacam itu justru lebih kuat terjadi di sekolah-sekolah negeri yang seharusnya lebih universal dan netral sehingga dapat menjadi pilihan pertama bagi orangtua yang bermacam latar belakang agama, suku, maupun budaya untuk menyekolahkan anaknya tanpa ada sekat apa pun. Mereka yang ingin menyekolahkan anaknya dengan tujuan sekaligus memperkuat keimanan dapat memilih sekolah swasta berbasis agama.
Perkembangan sekolah saat ini membuat minoritas (di daerahnya) memilih sekolah swasta yang sesuai dengan agamanya. Akibatnya, tanpa disadari, orang ditarik ke kelompok masing-masing. Padahal, sekolah negeri seharusnya menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk membangun interaksi sosial dan integrasi bangsa tanpa mengalami sekat agama, suku, agama, maupun ekonomi. Kebijakan pendidikan yang menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama jelas kurang menguntungkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kebangsaan perlu mendapat perhatian serius di sekolah negeri agar lulusannya memiliki jiwa kebangsaan yang luas dan tidak makin kerdil.
Kini diperlukan menteri pendidikan yang punya visi tentang bangsa dan negara sehingga menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi bangsa. Pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan, bukan korporasi yang diukur dengan sertifikasi ISO. Juga kembalikan sekolah negeri menjadi milik publik agar dapat diakses semua warga (apa pun agama dan kemampuan ekonominya). Kita juga memerlukan presiden yang peduli pendidikan.
Alimudatsir, Aktivis Pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar