Jumat, 15 Mei 2009

INDUSTRIALISASI KONSERVASI

Ada pertanyaan yang mengganggu, mengapa suara masyarakat sipil tidak diberi ruang dalam forum internasional sebesar Konferensi Kelautan Dunia (>World Ocean Conference/WOC), dan ketika masyarakat sipil membuat forum "tandingan", mereka dihadapkan pada tindakan represif Negara dengan alasan mengganggu ketertiban umum dan lain-lain, bahkan dituding akan menggagalkan pertemuan WOC.
Jika melihat temanya, yakni "Climate Change Impacts to Ocean and the Role of Ocean to Climate Change", WOC merupakan forum penting dan strategis serta memberikan manfaat bagi Negara, dan rakyat khususnya dapat berkontribusi bagi pengurangan dampak perubahan iklim. Namun, benarkah tujuan yang akan dicapai melalui Deklarasi Manado ini akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang dapat menjawab krisis iklim dan krisis rakyat?
Dalam pandangan yang paling sederhana saja, jika konferensi dunia ini tidak menyediakan ruang bagi nelayan dan masyarakat sipil untuk menyuarakan krisis yang dialaminya, sangat jauh kemungkinannya forum ini menghasilkan kesepakatan yang berpihak kepada nelayan atau lebih jauh negara. Terlebih, konferensi ini diselenggarakan dengan berbagai tindakan represif dengan membungkam suara kritis yang disampaikan oleh masyarakat sipil dengan penangkapan aktivis dan lain-lain. Padahal kita semua tahu bahwa krisis iklim tidak bisa ditangani dengan cara melakukan tindakan represif.
Hal lebih jauh untuk mengatakan bahwa WOC ini jauh dari krisis rakyat, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir di negara-negara kelautan, adalah dengan melihat agenda penting yang dibahas dalam WOC, yakni Coral Triangle Initiative (CTI) yang merupakan inisiatif untuk laut dan perubahan iklim di wilayah segitiga terumbu karang (coral triangle initiative). CTI merupakan desain wilayah konservasi yang melintasi teritori enam negara, yakni Malaysia, Indonesia, Kepulauan Solomon, Timor Leste, Papua Nugini, dan Filipina, dengan luas keseluruhan mencapai 75 ribu kilometer persegi dan menyimpan 3.000 atau 53 persen jenis terumbu karang dunia dan 6.000 jenis ikan karang.
Di sinilah hal penting yang disikapi kritis oleh masyarakat sipil yang terdiri atas berbagai organisasi lingkungan dan nelayan bahwa CTI tidak lebih sebagai sebuah inisiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan negara kepulauan seperti Indonesia dan negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC-CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi. Terakhir, terbukti dari perluasan konservasi Laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektare, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerja sama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu paus secara tradisional sejak April 2009. Ini menjadi indikator untuk menjelaskan bahwa nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka. Bahwa CTI berpotensi besar mengancam sumber-sumber kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Dalam media publikasi Sisi Gelap dan Bahaya CTI yang dikeluarkan oleh masyarakat sipil yang kritis terhadap WOC-CTI, ada prinsip dasar yang diabaikan dalam CTI, antara lain keselamatan warga, utang ekologis, hak atas kelola dan kedaulatan pangan, serta abai dalam penyelesaian-penyelesaian persoalan mendasar kelautan, antara lain pencemaran yang berasal dari buangan limbah industri tambang (TNC/MNC).
RezimLalu siapa yang diuntungkan dari pertanyaan ini? Jika melihat ulasan di atas, jelas bahwa yang diuntungkan dari seluruh cerita penyelenggaraan WOC adalah rezim industri konservasi yang menempatkan wilayah kelola konservasi dengan menggunakan pendekatan atau paham ekofasis, di mana kawasan ini dikelola dengan menganggap konservasi lingkungan jauh lebih penting dari persoalan manusia. Sehingga, di mana kawasan konservasi itu ditetapkan, di sanalah ruang hidup rakyat digusur, karena dianggap manusia akan merusak lingkungan.
Jika kembali kepada agenda CTI sebagaimana yang dijelaskan di atas, rezim konservasi tersebut berwujud organisasi konservasi internasional yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan ADB. Merekalah yang membiayai industri tambak modern yang menghancurkan mangrove. Negara-negara industri dan industri migas seperti Shell, Rio Tinto, dan Anglo, yang selama ini menguasai jalur migas, seperti Amerika dan Australia, tengah memainkan ruang pasar bebas konservasi atau bisa juga disebut dengan industrialisasi wilayah konservasi atau taman nasional, yang dapat dilihat dari pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Program. Program ini menjadi permakluman pembongkaran konservasi menjadi kawasan pengerukan sumber daya alam melalui skema kompensasi keanekaragaman hayati (biodiversity offset).
CTI tidak lebih merupakan langkah awal dari peta jalan menuju eksploitasi tambang migas dengan mengintegrasikan data, mekanisme, dan hukum kesepakatan-kesepakatan negara-negara yang memiliki kekayaan tambang dan keanekaragaman. Negara maju dan industri tambang yang memiliki daya rusak tinggi itu boleh beroperasi asalkan membayar kompensasi biodiversitas.
Hal lain yang mesti dilihat dalam tema besar WOC itu terkait dengan peran laut dalam mengatasi dampak perubahan iklim, yang ternyata malah semakin melanggengkan rezim karbon. WOC tidak membahas akar persoalan perubahan iklim, bahwa masalah iklim disebabkan oleh rezim karbon yang dipimpin oleh negara-negara maju dengan emisi karbonnya. Seharusnya WOC membicarakan kewajiban bagi negara maju untuk menurunkan emisi karbonnya, bukan dengan melalui skema perdagangan karbon.
Dari sinilah tampak jelas argumentasi penolakan organisasi lingkungan yang mengusung ideologi ecological justice terhadap agenda WOC, bahwa skema biodiversity offset menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya dan mengancam keselamatan rakyat, khususnya nelayan tradisional. Penyelamatan lingkungan hidup, khususnya terkait dengan krisis iklim, seharusnya tidak menjauhkan rakyat dari ruang hidupnya.
Oleh:
Khalisah Khalid
DEWAN NASIONAL WALHI 2008-2012; BIRO POLITIK DAN EKONOMI SAREKAT HIJAU INDONESIA
Sumber: http://www.korantempo.com


0 komentar:

Posting Komentar