Senin, 07 September 2009

FATWA HARAM INFO-SETAN

Fatwa Haram Info-setan
Oleh Miftahul Anam



Tulisan Tjipta Lesmana berjudul “Infotainment” dan “Info-setan” Sama Merusak (SinarHarapan, 7/8/2006), menarik untuk dikaji kembali. Ia menyayangkan mengapa Nahdlatul Ulama (NU) tidak mengeluarkan fatwa yang sama terhadap tayangan yang mengekspos persoalan seputar setan dengan kemasan ajaran agama, sebagaimana fatwa haram yang dikeluarkan terhadap infotainment.

Tjipta benar. Program info-setan tak kalah merusak dibanding infotainment. Alih-alih informatif dan edukatif serta mencerminkan tanggung jawab sosial. Kedua tayangan itu justru lebih potensial merusak otak pemirsa. Semua itu hanya omong kosong yang didramatisasi belaka. Tayangan seperti itu, misalnya, dapat menimbulkan rasa takut di benak anak kecil yang ikut menonton.

Tayangan yang menyuguhkan adegan seperti mayat atau keranda terbang, mayat meledak, mayat orang tak beriman bermuka penuh belatung dan sejenisnya, sesungguhnya tak kalah berbahaya dari bergunjing (ghibah). Tayangan-tayangan semacam itu juga amat kental dengan justifikasi keagamaan.

Selain itu, pesan-pesan keagamaan yang disajikan juga cenderung memonopoli tafsir dan kurang menghargai pluralitas. Bukan mustahil, menurunnya toleransi terhadap perbedaan keyakinan, aliran, serta tafsir keagamaan masyarakat kita akhir-akhir ini salah satunya dipicu oleh tayangan-tayangan semacam ini.

Anehnya, tayangan yang kerap menampilkan adegan makhluk gaib menyeramkan itu dinikmati pemirsa bukan sebagai tayangan menakutkan, melainkan sebagai hiburan. Info-setan demikian laris ditonton bukan karena ia menakutkan, tetapi karena menghibur, meski dengan cara berbeda. Dalam hal ini, info-setan tak jauh beda dengan tayangan hiburan semacam infotainment yang sama-sama mempertontonkan kedangkalan.

Yang juga mengherankan, keduanya termasuk tayangan berating tinggi. Telah umum diketahui, bahwa dari prosentase iklan, pemasukan kedua tayangan tersebut jauh di atas tayangan edukatif sejenis berita atau dialog masalah-masalah aktual di layar kaca. Infotainment dan info-setan telah menjadi bagian penting konsumsi masyarakat kita terhadap media. Keduanya begitu ditunggu-tunggu penayangannya oleh mayoritas pemirsa kita—melebihi tayangan-tayangan lain yang lebih menghargai akal sehat.

Kiranya tak berlebihan bila sejumlah pemerhati media menyebut kedua tayangan tersebut memang terbukti merusak. Sehingga ormas keagamaan seperti NU harus berfatwa dengan mengajak masyarakat mengharamkan isi tayangan tersebut. Tetapi, bagi saya, infotainment perlu diharamkan bukan “sekadar” karena ia menggunjing privasi orang yang belum jelas kebenarannya, sebagaimana disinyalir ulama NU.

Lebih jauh, faktanya infotainment bukan sekadar perkara prasangka buruk (su’udzon) belaka. Infotainment telah megidentifikasi diri sebagai prasangka (buruk) yang terbukti benar (su’u al-yaqin). Bila dalam infotainment isu perselingkuhan pasangan artis selalu diberitakan, misalnya, pada gilirannya masyarakat akan memercayainya sebagai kebenaran.

Logika yang kerap membombardir pemirsa lewat tayangan-tayangan semacam itu sungguh merusak martabat jurnalisme dan akal sehat. Demikian halnya dengan info-setan. Namun, yang sungguh menyedihkan, di hampir seluruh stasiun televisi kita (kecuali TVRI dan Metro TV) menayangkan adegan yang menampilkan “hantu penghibur” itu.

Dengan segala macam kemasan yang mengaduk-aduk rasa penasaran, sesuatu yang gaib—yang seharusnya amat tidak patut dipertontonkan sedemikian vulgar—telah dikomodifikasi sedemikian rupa layaknya ramuan kuat pasutri atau salep penumbuh bulu dalam iklan-iklan komersial. Apakah gerangan yang menjangkiti masyarakat kita, sehingga hantu pun dipoles menjadi penghibur?

Menghibur diri sampai mati
Masyarakat kita telah terjangkiti gejala kejiwaan yang membahayakan. Dan seperti tak akan terjadi apa-apa, infotainment dan info-setan telah menjadi menu hiburan favorit di banyak keluarga. Aneh, memang. Ketika sekelompok pemerhati media di Amerika membuat daftar junk food news tentang media yang memuat liputan selebriti secara berlebihan, misalnya, pebisnis infotainment di Indonesia malah kian berjaya.

Kenyataan tersebut sungguh memprihatinkan. Dalam kelimpahruahan informasi, pemirsa digairahkan dengan ekstasi memandang, menonton, dan mendengar. Akan tetapi, yang ditawarkan lebih banyak kekosongan dan kehampaan. Pemirsa disuguhi oleh aneka macam bujukan, rayuan, kesenangan, kepuasan, akan tetapi apa yang diperoleh tak lebih dari rasa ketidakpuasan abadi.

Sebuah situasi yang oleh Neil Postman disebut sebagai menghibur diri sampai mati! Dengan mengkonsumsi tayangan-tayangan yang merusak akal sehat semacam itu, pemirsa sesungguhnya telah melakukan bunuh diri, namun tanpa pernah sadar bahwa yang mereka lakukan adalah bunuh diri.

Postman, guru besar ilmu komunikasi New York University, menulis sebuah buku menarik berjudul Amusing Ourselves to Death (Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi, Pustaka Sinar Harapan, 1995). Ia mengingatkan kita pada bahaya riil yang telah terjadi sekarang dan memberikan saran-saran yang mendesak. Termasuk bagaimana menghadapi malapetaka yang disajikan media massa (televisi). Ia berharap pada dunia pendidikan sebagai medium komunikasi yang secara teoritis bisa menjawab “teror” media massa.

Mengikuti anjuran Postman di atas, tampaknya dunia pendidikan kita secara umum belum setangguh yang diharapkan. Kualitas sistem pendidikan nasional Indonesia secara umum amat payah. Jika dibandingkan dengan masih jauh dari memadainya kualitas SDM dan infrastruktur pendidikan kita, keberhasilan segelintir siswa kita di ajang Olimpiade Fisika atau Kimia Internasional menjadi tidak ada artinya.

Walaupun demikian, pendidikan dari keluarga yang baik amat penting dalam membendung pengaruh tayangan televisi yang merusak. Di sinilah peran kedua orang tua menjadi tumpuan. Tak pelak, tugas mereka di setiap keluarga makin berat menyusul derasnya arus globalisasi informasi saat ini. Dengan komunikasi yang baik, saling pengertian, rendah hati, serta keteladanan moral, saya kira pengaruh buruk televisi bukan sesuatu yang mustahil dikikis.

Demikian pula peran komisi penyiaran, dewan pers, LSM-LSM pemantau media, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhamadiyah dan lainnya. Organ-organ ini berperan semakin penting di saat industri media di negeri ini menjadi begitu komersil dan kian menonjolkan sisi hiburan ketimbang sisi informasinya.

Fatwa Haram
Lembaga penyiaran yang berwenang sudah semestinya mengambil tindakan tegas, sekurang-kurangnya dengan selalu menggelorakan pentingnya tanggungjawab sosial media massa. Sehingga, media massa kita bukan sekadar pekerja kapitalisme informasi belaka, yang lebih memanjakan pemirsa dengan melulu hiburan dan kontestasi gaya hidup. Media massa mesti mengambil peran terhormat sebagai media pencerdasan melalui informasi serta hiburan yang mendidik.

Karena itu, tayangan info-setan dalam berbagai bentuknya mendesak untuk segera disikapi. Bila infotainment terbukti potensial merusak, karena itu diharamkan belum lama ini, selayaknya hal yang sama juga diberlakukan terhadap info-setan. Alih-alih bermanfaat, tayangan semacam ini lebih banyak mendatangkan madarat.

Organisasi sosial keagamaan seperti NU juga mesti bersikap adil melihat kenyataan; demikian halnya dalam mengeluarkan fatwa. Bila kedua jenis tayangan tersebut memang sama-sama merusak umat (akal sehat), kenapa fatwa itu hanya berlaku untuk infotainment? Info-setan menyimpan bom waktu yang tak kalah megerikan. Sudah saatnya info-setan diharamkan.[] Miftahul Anam, Pemerhati Media; Mantan Koordinator Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ). Dimuat Harian Sinar Harapan, Agustus 2006.
Selengkapnya...

MARI MENCINTAI BAHASA IBU!

Anom Bagas Prasetyo 05 September jam 19:30
Mari Mencintai Bahasa Ibu!
Oleh Miftahul Anam*


Tulisan P Ari Subagyo, Bahasa Jawa, Cinta, dan Takjub (Kompas, 28/4) menarik diapresiasi kembali. Pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma ini tak berlebihan saat mengajukan pentingnya cinta dan takjub sebagai spirit (roh) melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa. Dengan menjadikannya sebagai spirit, tersirat pesan penting bahwa upaya untuk melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa seyogianya dilakukan dengan cara “Jawa” pula.

Dalam melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa, dorongan cinta dan takjub bagi para penuturnya tak bisa dipandang sepele. Tanpa keduanya niscaya tak ada kebanggaan, rasa memiliki, dan kepercayaan diri terhadap akar budaya di kalangan orang Jawa. Cinta dan takjub, dalam hal ini, pada dasarnya merupakan laku ruhani, karena ia lahir dari rahim ketulusan para penuturnya.

P Ari Subagyo benar, dua spirit itu tumbuh dari dalam hati tanpa “paksaan”. “Cinta” adalah tertambatnya hati dan rasa. Sementara “takjub” adalah keheranan dan keterpesonaan tingkat tinggi hingga mencerahkan nalar, membuka kesadaran, bahkan menyentuh sisi spiritual. Tanpa dorongan keduanya, rasanya mustahil bahasa (dan budaya) Jawa bisa bertahan melintasi zaman. Dengan sentuhan yang sama pula, hendaknya bahasa dan budaya adiluhung ini dilestarikan.

Karena itu, munculnya Perda yang mengawal pelestarian bahasa (dan budaya) Jawa mesti dilihat sebagai upaya menjaga, merawat, melestarikan serta meneguhkan identitas kultural Jawa yang adiluhung. Dalam perspektif yang lebih luas, peneguhan identitas ini mesti dipahami bukan sebagai bentuk nasionalisme etnisitas yang sempit dan primordialistik. Ia lebih merupakan ikhtiar menjaga identitas salah satu pilar penting kebudayaan nasional kita.

Bagaimana bahasa (dan budaya) Jawa dipahami—demikian halnya dengan bahasa dan budaya lainnya—di tengah persentuhan beragam budaya lainnya? Dapatkah nilai-nilai ke-Jawa-an yang dipandang adiluhung dihayati serta diejawantahkan nilai-nilai filosofisnya, sehingga berdampak positif dalam kehidupan? Dalam konteks inilah Perda Bahasa Jawa mesti dipahami.

Bahasa: budaya
Bahasa Jawa begitu kuat dirasakan sebagai ungkapan utama identitas ke-Jawa-an. Bukan hanya identik, sebagai bahasa ibu orang Jawa, ia bahkan dirasakan sebagai bentuk manifestasi alam pikiran orang Jawa. Maka, bisa dimengerti jika upaya-upaya meneguhkan identitas ke-Jawa-an dilakukan dengan melestarikan bahasanya.

Sering dikatakan bahasa Jawa begitu kaya dengan kesamaan bunyi yang bermakna kias, dengan onomatope (pembentukan kata berdasarkan tiruan bunyi)-nya yang canggih. Ia bukan hanya khazanah yang kaya dengan racikan filosofis yang kental, tapi juga unik-estetis sekaligus rumit.

Kekayaan kosakatanya yang penuh perasaan menyajikan khazanah hubungan sebab-akibat yang esoteris serta pemaknaan yang lestari tentang kesinambungan tersembunyi yang mengalir menembus fenomena. Ragam ujarannya terasa menukik—sering kali puitis—ke lingkup yang paling akrab dalam kehidupan rakyat.

Antropolog Ben Anderson, dalam Language and Power, mencatat satu keunikan bahasa Jawa dengan memotret adegan seorang pesinden (backing vocal) dalam sebuah pertunjukan wayang. Manakala pesinden ingin beristirahat dan mengingatkan dalang untuk mengambil alih peran, dia pun menjalin kata ron ing mlinjo (daun melinjo) ke dalam lagunya.

Kenapa daun melinjo? Di Jawa daun ini dikenal dengan sebutan so, sedangkan beristirahat dalam bahasa Jawa adalah ngaso. Begitu keterkaitan ini dirasakan, yang tetap menjadi misteri bagi yang tidak paham, sang dalang dengan segera mengambil alih peran melantunkan suara menggantikan sinden.

Contoh di atas setidaknya mencerminkan pandangan dan sikap hidup orang Jawa, yang unik-estetis, filosofis, seakan berputar-putar sarat simbol tetapi mengisyaratkan perjalanan menuju ke satu titik, kemudian kembali lagi pada kehidupan sehari-hari.

Kekayaan khazanah yang sama dapat kita jumpai dalam ratusan bahasa ibu lain di nusantara. Dalam bahasa (dan budaya) Melayu, misalnya, kita mengenal tradisi berpantun yang berdaya seni tinggi dan sarat pesan moral. Bahkan, sejarah mencatat, dari bahasa Melayu pula bahasa Indonesia berasal.

Mencintai bahasa ibu
Terdapat 700-an bahasa Ibu (bahasa daerah) yang tersebar di seluruh pelosok daerah di Indonesia. Ini jumlah yang amat besar untuk sebuah negara. Dalam catatan UNESCO, terdapat sekitar 6.000 bahasa ibu di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 300 di antaranya terancam punah.

Di Indonesia, misalnya, ada sejumlah bahasa daerah yang telah punah. Di Papua saja, sedikitnya ada sembilan bahasa yang dianggap sudah punah, yakni bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat). Daftar serupa bisa amat panjang mengingat banyaknya bahasa daerah di nusantara yang terus berkurang penuturnya.

Sama seperti bahasa daerah lainnya, bahasa (dan budaya) Jawa kini dihadapkan pada persoalan besar keberlangsungan hidupnya. Ini tercermin dari mayoritas penutur bahasa ibu orang Jawa ini yang hanya dari kalangan berusia lanjut. Generasi muda (Jawa) kini kurang peduli terhadap bahasa ibu-nya. Bahkan, ada anggapan berbahasa daerah dianggap tidak modern dan kampungan. Padahal, bahasa akan punah jika tidak dilestarikan (tidak dipergunakan) oleh masyarakat pendukungnya, baik sebagai sarana pengungkap maupun sebagai sarana komunikasi.

Amat disayangkan, dunia pendidikan kita secara perlahan turut mengikis penggunaan bahasa ibu di sekolah-sekolah. Demikian halnya dengan tayangan di media-media massa. Tayangan televisi maupun siaran radio, misalnya, cenderung lebih menonjolkan bahasa campuran Indonesia dan Inggris, ditambah dengan bahasa gaul yang tidak kaprah.

Di sinilah Perda Bahasa Jawa menjadi penting bagi instrumen pelestarian bahasa ibu yang terancam punah ini. Namun, sebagai payung hukum dan alat penunjang (pemaksa) pemakaian bahasa daerah, hendaknya peran yang diambil lebih pada menumbuhkan kecintaan dari kalangan masyarakat sendiri. Dunia pendidikan sebagai medium pembelajaran juga amat penting bagi penggunaan, pemeliharaan, serta revitalisasi bahasa Jawa bagi masyarakatnya.

Namun demikian, upaya-upaya pelestarian bahasa (dan budaya) Jawa di luar instrumen tersebut juga perlu terus dilakukan. Kelestarian bahasa ibu menjadi tanggung jawab semua, baik individu maupun masyarakatnya. Pengenalan kepada anak-anak sejak dini amatlah penting. Sebab, keluarga dan lingkungan masyarakat daerah setempat memiliki peran besar agar bahasa Jawa tetap lestari.

Gugusan bahasa atau budaya dapat terjaga bila ada penutur yang setia menggunakan dan mewariskannya ke generasi berikutnya. Dan penutur yang setia hanya lahir dari cinta, ketakjuban, kebanggaan, serta kesadaran pada akar budayanya sendiri. Saatnya gerakan pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa tumbuh dari masyarakat sendiri.[]

*Pecinta Bahasa Jawa; Alumni Salafiyah Kajen; Anggota Dewan Eksekutif Perkumpulan Obor Nusantara.

Pengantar diskusi dalam rangka penetapan Perda Bahasa (dan budaya) Jawa oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, bertempat di Pendopo Kabupaten Boyolali.
Selengkapnya...