Sabtu, 18 Juni 2011

Demokrasi, Pancasila, dan Spirit Multikultural*


Euforia demokrasi pasca-Reformasi terasa semakin jauh dari solidaritas dan kebersamaan. Santernya gerakan radikalisme agama dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang terus terjadi akhir-akhir ini menjadi bukti bahwa demokrasi kita sedang limbung.

Berdasarkan survei Moderate Muslim Society (MMS), misalnya, menyebutkan bahwa sejak Reformasi, gerakan ekstremisme di Indonesia terus membesar. Pada 2009, MMS mencatat 59 kali kasus kekerasan terjadi atas nama agama. Sementara itu, pada 2010, meningkat 30 persen menjadi 80 kali kasus. Adapun pada tahun ini, diperkirakan bisa mencapai 100 persen. Fenomena inilah yang kemudian oleh Profesor Azyumardi Azra (2011) disebut sebagai anomali demokrasi.

Demokrasi yang digadang-gadang sebagai sistem paling ideal untuk sebuah negara plural seperti Indonesia pun menimbulkan paradoks. Banyak orang bersuara lantang dan saling mencibir dengan dalih demokrasi. Begitu halnya dengan ekspresi-ekspresi yang berwujud kekerasan, juga terjadi karena alasan demokrasi. Demokrasi seolah hanya menjadi tumbal untuk membenarkan tindakan ekspresif. Akibatnya, demokrasi pun sekadar menjadi pil pahit dalam kehidupan berbangsa yang harus terus ditelan namun tidak dapat menyembuhkan berbagai penyakit kebangsaan.

Paling tidak ada dua alasan mengapa fenomena di atas itu terjadi. Pertama, karena hilangnya nilai-nilai Pancasila dalam demokrasi. Kedua, karena runtuhnya spirit multikultural dalam Pancasila itu sendiri.

Demokrasi dan Pancasila

Tidak harmonisnya hubungan antara demokrasi dan Pancasila merupakan alasan utama mengapa domokrasi menjadi bebal. Ketidakharmonisan ini secara kasuistis dapat dilihat dari UU 20/2003 (Sisidiknas) yang tidak lagi menyebut Pancasila sebagai pelajaran wajib. Pancasila terabaikan bahkan cenderung termarginalkan hanya karena dianggap tidak reformis. Akibatnya, demokrasi dimaknai bebas sebebas-bebasnya dan cenderung mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Padahal, demokrasi sebagai sistem negara sudah selayaknya merangkul Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Jika demokrasi merupakan napas Pancasila, Pancasila adalah pakem demokrasi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai gotong royong dan kesetaraan. Sebab, kebiasaan untuk memandang dan memperlakukan orang lain setara itulah amanat penting dari Pancasila. Sebagaimana dikatakan filsuf politik kontemporer John Rawls (1993), kesetaraan adalah syarat penting bagi hidup bernegara sebagai suatu “sistem kerja sama sosial”.

Tak pelak jika pada masa pemerintahan Presiden John F Kennedy, negara yang paling ditakuti Amerika Serikat ialah Indonesia. Mengapa? Karena Indonesia memiliki ghirah nasionalisme yang sangat kuat, sebagai akibat penjelmaan bangunan teoretis konsepsi Pancasila. Menurut Kennedy, Pancasila merupakan sebuah ideologi besar, yang mampu mengobarkan semangat nasionalisme, sangat toleran, antikorupsi, saling menghargai, dan menjunjung tinggi perbedaan, serta sangat mengakomodasi persamaan. Di sinilah demokrasi dan Pancasila diibaratkan sebagai setali tiga uang yang saling berkelindan.

Spirit Multikultural

Spirit multikultural menjadi jalan utama jika ingin mewujudkan nilai-nilai demokrasi dan Pancasila sebagaimana yang dicita-citakan bangsa. Sebab spirit inilah yang nantinya akan menjadi katalisator untuk meredam terjadinya persinggungan atau gesekan antaretnis dan agama. Spirit multikultural menjadi penting fungsinya di dalam negara yang bermasyarakat majemuk seperti Indonesia. Ini karena semangat multikultural terbukti telah mampu menginterupsi berbagai ketegangan yang ada di masyarakat.

Entitas multikultural berlatar pada keragaman etnisitas agama, ekspresi budaya, dan lain sebagainya, yang semuanya harus dikelola dan difasilitasi dalam kesetaraan pengakuan dan toleransi. Di sinilah semangat Pancasila sangat berbanding lurus dengan pengakuan multikultural, karena Pancasila lahir dari perbedaan etnis, identitas, kultur, dan kemajemukan.

Pancasila sendiri merupakan institusionalisasi multikultural yang membuka ekspresi, solidaritas, dan partisipasi dalam semangat persatuan dan kemanusiaan. Dengan kata lain, multikulturalisme merupakan sebuah gagasan perjuangan tentang pengakuan atas realitas masyarakat yang majemuk dan pluralistik (bineka).

Oleh karena itu, spirit multikultural hendaknya dipahami sebagai unsur penting dalam upaya mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dan mengibarkan bendera demokrasi, agar sesuai dengan pakemnya. Spirit multikultural ini mengandung beragam prinsip penting. Pertama, prinsip universalitas, yakni sebagai unsur-unsur yang sangat luas persebarannya dan dapat dianggap sebagai unsur kebudayaan yang menunjukkan persamaan (cultural similarity).

Kedua, prinsip relevansi, yakni sebagai budaya yang mempunyai kegunaan praktis (utility) dalam masyarakat majemuk yang memerlukan kerangka acuan maupun media sosial untuk memperlancar interaksi sosial lintas lingkungan atau ranah kebudayaan secara tertib. Ketiga, prinsip distingtif (distinctiveness), yakni sebagai unsur yang menunjukkan kekhususan sebagai unsur budaya yang diidolakan sebagai unsur jati-diri bangsa yang membedakan dari bangsa lain. Dalam bentuk yang praktis, prinsip distingtif ini akan membentuk kepribadian bangsa yang diharapkan, seperti nilai-nilai budaya dalam menghargai musyawarah untuk mencapai kesepakatan dalam tataran demokrasi.

Keempat, prinsip kemajuan (adab), yakni sebagai unsur yang membuka peluang atau memperlancar kreativitas masyarakat untuk mengembangkan penemuan menuju adab sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Di sinilah spirit multikultural tetap dapat mengadopsi budaya asing, tetapi dengan catatan tidak menghilangkan nilai dan alur budaya bangsanya sendiri.

Kelima, prinsip kesetaraan (equality), sebagaimana diamanatkan UUD 1945 bahwa semangat kesetaraan di samping keanekaragaman dalam pengembangan kebudayaan bangsa, sebagaimana tercermin tentang arah kemajuan harus terus ditempuh, juga agar setiap orang mampu menuju peradaban yang maju, berbudaya, dan persatuan bangsa. Dengan spirit inilah, kekecewaan maupun kecemburuan sosial yang ditimbulkan oleh kecenderungan subjektif dan dominasi ideologi atau golongan tertentu akan dapat teratasi.

Sudah saatnya prinsip-prinsip demokrasi, nilai-nilai Pancasila, dan spirit multikultural disinergikan sebagai upaya menciptakan masyarakat Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera.

Sumber : Sinar Harapan, http://www.sinarharapan.co.id/content/read/demokrasi-pancasila-dan-spirit-multikultural/

*Oleh Ali Rif'an

Penulis adalah Peserta Sekolah Demokrasi Tangerang Selatan; Aktif di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi


· · Bagikan


1 komentar:

Moh khoiri mengatakan...

pye ki mudik e pak?

Posting Komentar