"Dengan kata lain kita tak mau kerja repot-repot untuk sekedar makan, ogah pergi ke pasar, beli cabe, bawang, sayur, beras, lauk-pauk, bawa pulang, diracik, dimasak, baru bisa makan. Kita sering tak sabar atau malas lalu membuat berbagai alasan—yang tak masuk akal. Tak sempatlah, tak pandailah, tak anulah, tak itulah, tak …"
SIAPA DI BUMI Indonesia ini yang tak pernah makan mie instan? Apalagi mie instan merek-nya pakai nama “Indo” itu. Bahkan, orang-orang di kampung saya sampai salah paham, dikirain nama mie yang satu itu adalah nama lain untuk mie instan. Jadi satu kali ketika ia membeli mie instan merek lain, dia menanyakannya ke penjual, “Buk ada “Indo” merek “Anu?”
Konyol lagi, Si Penjual malah menjawab: “Indo” merek “Anu” gak ada, Dik. Tapi “Indo” yang “Anu” ada!”
Hahaha…, Ya tak jadi masalah mereka mau bilang begitu. Saya mau balik ke soal awal; kita suka makan mie intan. Hmm, bisa dipastikan karena: instan. Cepat saji. Dan siapa saja bisa memasaknya. Kalau tak mau repot-repot mengolahnya, tinggal menyeduhnya saja dengan air panas, lalu diaduk dengan bumbu-bumbunya. Siap sudah. Tak sampai hitungan 10 menit, dan kita bisa menyantap mie yang lezat lagi nikmat.
“Slruppp!”
Memang yang serba cepat lan nikmat selalu diburu orang. Sikap begitu tak berhenti pada kesukaan pada mie instan semata. Semua mau cepat. Tak mau repot-repot walaupun kita bukan seorang Gusdurian yang berprinsip, “Begitu saja kok repot!” Kita mau cepat lulus sekolah, cepat dapat kerja, cepat sukses, dlsb tanpa mau bekerja keras. Dengan kata lain kita tak mau kerja repot-repot untuk sekedar makan, ogah pergi ke pasar, beli cabe, bawang, sayur, beras, lauk-pauk, bawa pulang, diracik, dimasak, baru bisa makan. Kita sering tak sabar atau malas lalu membuat berbagai alasan—yang tak masuk akal. Tak sempatlah, tak pandailah, tak anulah, tak itulah, tak …
Karena ingin lulus—tanpa mau belajar—mulailah kita melakukan usaha-usaha instan: minta bocoran soal sebelum ujian berlangsung, kalau tidak dapat minta jawaban dari teman, kalau kawan-kawannya pelit ya buka contekan. Kopekan. Atau apalah namanya. Kalau tidak juga, kita hitung kancing baju: ABCD-ABCD-an untuk memilih jawaban. Setelah kita berdoa kepada sesuai dengan agama dan keyakinan kita masing-masing.
“Ya Allah, luluskanlah hamba. Hamba telah berusaha semampu hamba!”
Ya, banyak juga yang lulus. Berhasil. Tapi namanya juga instan, ya hasilnya tak memuaskan, pun kalau nilainya tinggi ya itu tak asli—aslinya ya tetap dodol juga. Lah, bayangkan saja, kalau kita sarapannya mie instan pagi-pagi mestilah jam-jam 9-an sudah lapar lagi. Sudah keroncongan lagi. Iya apa tidak?—sejauh pengalaman saya: iya!
Dalam karir tak jauh beda. Mau langsung sukses. Tak perlu repot lamar kerja sana-sini, tapi ingin langsung bekerja. Kalau perlu langsung dapat jabatan yang basah: manager kek, direktur kek, atau apalah yang punya kuasa mengambil kebijakan. Sedapnya jalur instan—layaknya mie instan—selalu ada; tersedia dimana-mana. Siapkan uang sogokan kalau mau jadi PNS. Gitu juga waktu lamar jadi Polisi, Jaksa, Hakim; pakai orang dalam plus sogokan juga (konon orang dalam saja tak cukup).
Lalu jadilah kita PNS, jadi polisi, jadi Jaksa, jadi Hakim. Jangan lupa, dengan catatan: instan. Yang instan kan selalu memble. Maka tak heran kalau ada PNS yang sudah pulang jam 10 pagi—sekedar isi absen—ada Polisi yang suka “damai” di tengah jalan, ada Jaksa yang suka terima sogokan, dan ada hakim yang hobby membebaskan koruptor manakala kantog toganya sudah dipenuhi uang sogokan.
***
YA BOLEH DIBILANG kita ini bangsa mie instan (dan Soekarno benar kita bukang Bangsa Tempe). Dari rakyat kecil sampai yang tinggi sana suka mie instan. Dari buruh sampai presiden. Lihat saja, wong SBY juga waktu mau jadi presiden untuk kedua kalinya juga pakai cara-cara mie instan. Ingat saja jingel kampanyenya dulu yang memakai jingel mie instan merek “Indo” tadi. SBY sangat-sangat sadar kalau kita—rakyat Indonesia—suka mie instan.
“Terus Anda mau menuduh kebobrokan pemerintahan SBY sekarang gara-gara mie instannya itu?” tandas Anda.
Akh.., kalau itu Anda sendiri yang mengatakan. Saya cuci tangan (dulu): mie instan saya sudah siap, hahaha…
“Slrup!” [*]
Dikutip dari catatan Jimmie
0 komentar:
Posting Komentar