Minggu, 10 Juni 2012

Digitalisasi, Demokrasi, dan Visi Indonesia 2020*

Oleh Ali Rif'an

 Harus diakui, teknologi saat ini dipandang sebagai sesuatu yang mendukung hidup manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia dibantu dan dipermudah dengan bantuan teknologi. Bahkan dalam skala yang lebih fundamental, teknologi semacam telekomunikasi sekarang ini sudah menjadi kebutuhan primer manusia setelah pangan, sandang, dan papan.

Tak pelak jika Marshall McLuhan (1967)—yang disebut-sebut sebagai Bapak Komunikasi—menyebut teknologi adalah fitrah manusia. Fungsi teknologi sebagai kendaraan berpikir dan kerja manusia menuju perpanjangan tahap selanjutnya, yakni perpanjangan dari badan dalam ruang menuju perpanjangan sistem saraf. Sebut saja komputer, misalnya, yang bekerja dengan bilangan biner adalah perpanjangan akal manusia yang berpikir dialektis. Begitu halnya roda yang berputar merupakan perpanjangan kaki manusia yang berjalan. Sementara teknologi seperti SMS, telepon dan chatting tak banyak beda dengan tegur sapa biasa.

Kini, antara telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran (broadcasting) sudah ibarat setali dua mata uang yang saling berkelindan. Tiga piranti ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Teknologi informasi, misalnya, telah menggabungkan sifat-sifat telekomunikasi yang bersifat masif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Fenomena inilah yang kemudian dikenal dengan istilah konvergensi.

Dalam bentuk yang utuh, konvergensi ini menghasilkan apa yang disebut digitalisasi. Digitalisasilah yang menjawab kemudahan atas layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran sekaligus menggantikan teknologi analog. Sebagai dampaknya, maka sekarang ini, kehidupan terasa lebih mudah dan praktis. Betapa tidak, hanya dengan bermodal komputer atau telepon seluler, kita sudah dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G).

Digitalisasi dan Indonesia
Menurut catatan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), saat ini, sekitar 180 juta penduduk Indonesia sudah menjadi pelanggan layanan seluler [i]. Ini artinya, sekitar 60 persen populasi penduduk di Tanah Air sudah memiliki perangkat telekomunikasi. Bahkan menurut prediksi InMobi, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Mobile Ads Network, pengguna ponsel di Indonesia akan melesat dan membawa Indonesia ke peringkat 3 negara dengan pengguna ponsel terbanyak di bawah China dan India [ii].

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 259.940.857 juta jiwa dan terdistribusi pada wilayah seluas 220.953.634 (km²), dengan jumlah wilayah administratif 349 kabupaten, 91 kota, 5.263 kecamatan, 7.113 kelurahan, dan 62.806 desa di seluruh Indonesia, maka era konvergensi ilmu teknologi dan telekomunikasi yang berwujud digitalisasi menjadi babak baru bagi perubahan Indonesia ke depan. Kenapa demikian? Dalam konvergensi, terdapat 6 muara dalam satu bentuk. Konvergensi dalam bahasa Inggris convergence, yakni “to coce together, to meet or join, to approach from different directions. Aktivitas membaca, mendengar, perjalanan, bekerja, melihat, dan berbicara dapat dilakukan secara bersama-sama.

Sering dikatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai dan gemar membaca. Karena harus diakui, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang melanda negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan fenomena yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban juga tidak semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang paling utama adalah hilangnya élan vital dalam membaca.

Oleh karenanya, tanpa mengesampingkan pentingnya elemen pemerintah sebagai pemangku kepentingan nasional, konvergensi ilmu teknologi dan telekomunikasi yang menghasilkan produk digitalisasi semacam internet patut dicatat sebagai babak penting dalam mewujudkan pembangunan nasional. Alasan pertama, digitalisasi seperti internet akan membuka sekat-sekat atau kebuntuan akan akses informasi yang lambat dan stagnan menuju akses yang lebih dinamis, terbuka tanpa mengenal waktu dan jarak.

Coba bayangkan, sekarang ini, melalui jejaring facebook dan twitter, orang bisa menyapa dan berteman dengan siapa saja. Menurut pengamatan saya terhadap beberapa rekan muda, mereka yang akrab dengan internet, misalnya, cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan wawasan yang update ketimbang mereka yang jarang atau sama sekali tidak bergumul dengan dunia maya. Betapa tidak, melalui “Mbah Google”, tinggal klik, dalam hitungan detik mereka bisa mendapatkan informasi dengan cepat-kilat.

Bahkan yang lebih menggelikan. Untuk urusan percintaan, ruang virtual juga memiliki peran penting. Baru-baru ini saya sempat menghadiri pernikahan teman satu organisasi yang, kabarnya, calon istrinya itu didapat melalui chatting di dunia maya. Dua minggu setelah kenal langsung menikah. Saya kemudiaan berkesimpulan bahwa digitalisasi telah mampu mempercepat segala aspek kehidupan, termasuk sesuatu yang bersifat sakral sekalipun.

Alasan kedua adalah ihwal pengguna internet di Indonesia yang jumlahnya sangat fantastis. Jika pengguna telepon seluler sudah mencapai 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai sekitar 45 juta [iii]. Dari data ini sesungguhnya kita bisa berasumsi sekaligus melempar pertanyaan, dari manakah pembangunan Indonesia bisa dengan cepat digerakkan? Saya memiliki asumsi kuat: dengan digitalisasi. Karena harus diakui, dalam sejarah peradaban manusia, revolusi di bidang teknologi selalu berdampak pada revolusi di bidang kehidupan yang luas. Kemajuan teknologi pun selalu dikaitkan dengan kemajuan negara-bangsa.

Demokrasi Digital
Dengan seribu satu persoalan yang merentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan dan melalui digitalisasi, Indonesia sebenarnya mampu berbenah diri. Kenapa? Barry N. Hague dalam pengantar buku Antologi Diskursus Demokrasi Elektronik (1999) menyebutkan bahwa di dalam digitalisasi mengandung unsur-unsur demokrasi. Jika demokrasi dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka digitalisasi memiliki makna tak jauh beda. Di antara sifat digital adalah interaktif dan komunikatif.

Dengan dan lewat demokrasi digital, ekspresi dan aspirasi kita mendapatkan ruang. Setiap dari kita, misalnya, bisa dengan diskursif mengetengahkan gagasan-gagasan konstruktif atau yang paling gila sekalipun. Kita bisa membentuk komunitas virtual yang peduli dengan kepentingan publik dan komunikasi global yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital pula informasi kajian sosial-politik dapat diproduksi secara bebas dan disebar ke ruang virtual untuk diuji. Diskursus sepenuhnya termanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital melalui newsgroup, milis, surat elektronik, live discussion, blog, website dan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan seterusnya.

Memang, demokrasi digital juga tidaklah miskin masalah. Ia ibarat pedang bermata dua, di satu sisi sangat membantu kemajuan peradaban, tapi di sisi lain juga bisa menjadi pemicu retaknya peradaban. Sebagai contoh barangkali adalah kasus WikiLeaks. Jagad politik dunia beberepa waktu lalu dirisaukan oleh bocornnya kawat diplomatik WikiLeaks [iv]. Situs yang didirikan oleh Julian Paul Assange ini telah membocorkan segala dinamika dan rahasia dunia. Dunia geger dan kekhawatiran pun terjadi.

Selain WikiLeaks, kasus lain yang menghebohkan jagad Indonesia beberapa waktu lalu adalah skandal Ariel-Luna dan Cut Tari. Tentu saja, terbongkarnya video syur beberapa waktu itu tak lepas dari pengaruh adanya demokrasi digital. Disinilah seorang teman berkata kepada saya, “Kemajuan teknologi juga berdampak pada kemajuaan porno aksi, Bung!”
Perkataan teman saya itu sepintas bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, apapun dampak negatif teknologi dan betapapun canggihnya, ia hanyalah sebuah alat. Ia tidak akan berfungsi dan memiliki dampak apapun jika tidak difungsi-gunakan. Karenanya, saya kemudian menimpali, “Jika teknologi membawa dampak negatif, yang patut disalahkan bukanlah teknologinya, melainkan penggunanya. Teknologi adalah fitrah manusia, Bung!” begitu kataku menimpali.

Pragmatisme Digital
Selain mengandung unsur demokrasi, digitalisasi juga sarat dengan unsur pragmatisme. Era kovergensi telah membuka jaringan komunikasi dan telekomunikasi dengan sangat luas dan lebar. Digitalisasi telah mampu menghilangkan sekat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Jika ini dipandang secara positif-konstruktif serta optimis, sesungguhnya setiap dari kita akan mampu membuka wacana dan sekat informasi yang kemudian bisa digunakan untuk melihat peluang, sehingga memudahkan eksplorasi berbagai bidang yang dapat mensinergiskan proses pembangunan nasional.

Paling kurang ada empat bidang yang bisa kita sinergikan dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional. Pertama, bidang pendidikan. Dari survei yang ada, 30 % pengguna internet adalah kalangan pendidikan. Karenanya, manfaat paling menonjol adanya digitalisasi ini tentu di bidang penididikan. Melalui bidang inilah nantinya akan menyebar ke bidang-bidang lain. Para pelajar dan mahasiswa sekarang dapat dengan mudah mencari literatur, artikel atau informasi terkait tugas kuliah ataupun penelitian, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pada titik ini, mereka akan semakin terbuka lebar khazanah, wawasan, dan cakrawalanya. Dengan semakin banyak wawasan yang dimiliki, semakin mudah dan bijak pula mereka dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Individu yang matang dan berkualitas akan sangat membatu dalam upaya mensukseskan pembangunan nasional.

Kedua, bidang ekonomi. Jika kita melihat dari kacamata geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari ujung Pulau Sumatera hingga timur Pulau Papua.  Aktivitas perekonomian Indonesia dipisahkan oleh lautan. Karenanya, perpindahan barang, jasa dan manusia tentu menjadi mahal. Adanya digitalisasi tentu akan meminimalisasi biaya transaksi dan transportasi. Sekarang para kontaktor atau pebisnis, tak usah bercapek-capek menyeberang lautan jika hendak melakukan transaksi. Cukup pegang telepon seluler atau buka laptop yang ada saluran internetnya, transaksi bisa berjalan dengan mulus.

Cerita di bawah ini barangkali menarik untuk disimak. Dua bulan yang lalu saya berkunjung ke salah satu dosen yang ada di Ciputat. Sebut saja namanya Pak Arul. Ia adalah seorang dosen swasta yang sehari-hari kerjanya hanya mengajar. Tetapi yang membuat saya terkejut, ia memiliki omset sekitar 10-20 juta per bulan. Ketika saya tanya dan selidiki, ternyata ia memanfaatkan ruang virtual untuk berbisnis. “Modalnya sederhana. Yang terpenting bisa membaca peluang,” begitu katanya.

Fenomena Pak Arul ini tak jauh beda dengan teman kuliah saya, anak semester 3 tetapi sudah memiliki omset sekitar 5-10 juta per bulan. Ketika saya cari-cari tahu apa pekerjaannya, ternnyata ia juga melakukan bisnis online. “Jadi mahasiswa itu harus kreatif!” begitu ia berkata kepada saya. Dua realitas di atas hanyalah bagian kecil dari gunung es ihwal kesuksesan bisnis online—bisnis yang didukung dengan kemajuan digitalisasi—yang ada di negeri ini.

Ketiga, bidang sosial dan budaya. Dengan adanya digitalisasi semacam telepon seluler, masyarakat sekarang lebih mudah melakukan komunikasi-komunikasi intens tanpa mengenal sekat dan waktu. Komunikasi ini bisa bersifat vertikal-horizontal. Dulu sebelum adanya telepon seluler, masyarakat kecil susah sekali untuk mengadu kepada kepala desa (kades) ihwal dinamika di pedesaan atau terkait layanan publik.

Sekarang, hadirnya digitalisasi, seorang petani singkong pun bisa bersapa ria dengan anggota dewan melalui jejaring sosial seperti Twitter ataupun Facebook. Mereka bisa langsung mengadu kepada para wakilnya di Senayan tentang segala keluh kesah yang mereka alami. Di sinilah mengapa digitalisasi sering disebut-sebut sebagai wahana ampuh dalam upaya menihilkan kesenjangan sosial.

Dalam konteks budaya, digitalisasi telah mampu melalukan penyebaran dan pengembangan seni nasioanl secara masif. Sekarang ini, seni nyanyian, tarian, atau kerajinan batik khas Indonesia semakin marak menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan saking maraknya, seni tari dan nyanyian kita pernah dicaplok negeri tetangga, Malaysia. Perdebatan terjadi dan polemik pun memanas. Padahal, jika publik Indonesia mau memakai kacamata lebih bening, pencaplokan budaya kita itu justru mencerminkan hegemoni budaya Indonesia atas negeri Malaysia.

Keempat, bidang politik dan hukum. Digitalisasi telah menjadikan pemerintah lebih mudah dalam mensosialisasikan segala kebijakan dan aspek-aspek politik dan hukum kepada masyarakat publik. Sebagai dampaknya,  masyarakat sekarang kian melek politik dan sadar akan hukum. Kesadaran inilah yang nantinya kan mampu meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap aturan-aturan yang ada, sehingga tercipta keteraturan nasioanl. Dalam konteks yang lebih luas, demokrasi akan semakin tumbuh subur.

Sekarang, masyarakat dapat dengan mudah mengontrol kinerja pemerintah. Segala aspirasi pun dengan mudah disampaikan. Tata kelola pemerintahan yang terbuka, transparan dan demokratis inilah yang pada gilirannya akan mencipta pembangunan nasional yang komprehensif.

Mewujudkan Visi Indonesia 2020
Tahun 2020 digadang-gadang sebagai tahun untuk mewujudkan visi masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Karena itu, adanya digitalisasi akan terasa memliki peluang besar untuk menjawab segala tantangan tersebut.

Menilik betapa penting dan besar manfaat dan pengaruh digitalisasi, jika disinergikan terhadap pembangunan nasional akan berdampak cepat. Tentu untuk mewujudkan hal itu tidak bisa dilakukan secara personal-individual. Harus ada kesadaran kolektif dari segenap elemen bangsa. Seperti halnya operator selular yang telah mempersembahkan karya-karya terbaik bagi pelanggan (masyarakat), pemerintah dan pihak swasta pun tak boleh ketinggalan.

Dengan sarana digitalisasi, gerakan pemerintah akan terasa lebih cepat dan lempang. Paling tidak, empat bidang di atas—bidang pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik-hukum—jika disinergikan dengan pengaruh positif digitalisasi akan memiliki dampak yang baik terhadap perkembangan masyarakat akar rumput (grassroot). Tentu digitalisasi ini bukanlah segalanya, namun patut dimasukkan ke dalam kategori penting pembangunan Indonesia hari esok!


 * Juara I Lomba Esai Mahasiswa Nasional
Catatan Kaki
[i] http://www.harianberita.com/jumlah-pemakai-handphone-di-indonesia.html
[ii]http://www.tabloid-ponsel.com-183-146-juta-penduduk-indonesia-memakai-ponsel.html
[iii]http://www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta
[iv] Kompas, 13 Desember 2010
Selengkapnya...