Kamis, 09 Juni 2011

Falsafah Kepemimpinan Soeharto

Rabu (8/6) Peluncuran buku Pak Harto, "The Untold Stories" yang diterbitkan oleh Keluarga Cendana membangkitkan kenangan masyarakat akan kepemimpinan Soeharto. Menurut survey yang diselenggarakan oleh Indobarometer menunjukkan bahwa Soeharto menjadi Presiden paling popular dan dirindukan kepemimpinannya. Survei ini juga menujukkan bahwa 40% responden lebih suka orde baru, angka ini cukup tinggi di tengah perjuangan menegakkan reformasi di Indonesia.

Soeharto memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, di awal kepemimpinannya Soeharto menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia secara jelas. Obama menurut kesaksiannya ketika hidup di Jakarta menggap bahwa apa yang dilakukan Soeharto ketika membangun Jakarta begitu menakjubkan, seperti sulap tuturnya. Selain itu keberpihakan Soeharto pada petani sangat jelas, Soeharto lahir dari keluarga petani sehingga mengenal betul bagaimana cara membangun pertanian. Keberpihakannya pada petani itu berhasil menjadikan Indonesia maju di bidang pertaniannya. Selain kondisi di atas, kerinduan masyarakat akan kepemimpinan Soeharto akibat dari kondisi paska reformasi yang semakin membuat kehidupan masyarakat sulit, Pejuang-pejuang Reformasi yang duduk dipemerintahan juga mengecewakan. Kalau benar apa yang dikatakan oleh Marzuki Alie bahwa tokoh muda DPR 70% menjadi masalah di DPR menunjukkan bahwa ternyata reformasi tidak lebih baik. Partai Politik produk reformasi juga tidak ada yang menunjukkan keberpihakan kepada Rakyat. Munculnya politisi bermasalah, keberpihakan pada (capital) pengusaha yang semakin jelas, mafia hokum, peradilan, kasus, dominasi asing yang semakin mengecilkan peluang pribumi. Selain itu premis yang menunjukkan bahwa korupsi terjadi akibat distribusi kekuasaan yang merata, sehingga terciptanya otonomi daerah yang malah menyebabkan korupsi yang dulunya terpusat sekarang tersebar ke daerah. Yang paling sederhana bagi persepsi masyarakat akan dua orde ini adalah kemudahan masyarakat dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari. Perbedaan-perbedaan yang mencolok ini membuat sebagian masyarakat merindukan kepemimpinan Soeharto

Kekuasaan Soeharto disebut sebagai representasi dari kepemimpinan Jawa, Nuansa jawasentris sangat kuat. Kepemimpinan Soeharto, berdasarkan perspektif teleologi (tujuan), memang penuh dengan simbol-simbol kepemimpinan dalam budaya Jawa (Tunjung W. Sutirto, 2008).. Sistem politik Orde Baru dibangun di atas falsafah dan nilai-nilai budaya Jawa yang kental. Dalam memimpin Soeharto menguatkan ketokohannya sebagai pemimpin yang berkuasa, sesuai dengan falsafah “raja berkuasa tidak boleh dibantah.” Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). [Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta, 2003)] Hal ini ditunjukkan Soeharto dengan membangun sistem kekuasaan sentralistik, feodalis, dan otoriter. Kebijakan-kebijakan nasional sepenuhnya di bawah pengaruh Presiden, bahkan DPR-MPR dipilih langsung oleh Soeharto, hal ini membuat langkah Soeharto mulus menjadi Presiden selama 32 Tahun.

Soeharto yang memiliki latarbelakang etnik Jawa memanfaatkan nilai-nilai luhur budaya Jawa sebagai simbol kekuasaannya. Dengan nilai-nilai falsafah budaya Jawa, Soeharto melegitimasi setiap sepak-terjangnya yang dianggap merepresentasikan kepemimpinan ala Jawa. Franz Magnis Suseno mengemukanan, menunjuk “manajemen kekuasaan” Soeharto selama ini “mengoper” pola kekuasaan Raja Jawa. Pola inilah yang membuat pembantunya “yes-men”. Ketika Soeharto berkehendak tidak ada satupun orang dekat yang berani membantah. Jawasentrisme ini juga akhirnya menyebabkan gejolak daerah karena merasa Jawa terlalu mendominasi sehingga kebudayaan lain cenderung terabaikan.

Pada awal masa kekuasaan Soeharto, karakter kepemimpinan Soeharto yang kuat efektif mempersatukan Indonesia di tengah kekacauan politik dan perpecahan, Soeharto juga awalny merepresentasikan pemimpin yang bersahaja dan merakyat. Bahkan menurut pengakuan Tri Sutrisno beliau kerap datang ke daerah dengan cara menyamar untuk mendapatkan gambaran langsung tentang kondisi masyarakat, karena jika diberitahukan sebelumnhya dengan menggunakan protokoler kondisi yang didapatkan tidak apa adanya. Namun Sejumlah paranormal Jawa melihat sejak perekonomian Indonesia mulai tumbuh. Soeharto mulai menumpuk kekayaan. Saat itulah Sri Sultan HB ke IX melihat Soeharto mulai melanggar ajaran Jawa. Sebagai bentuk “protes”nya beliau menolak dicalonkan kembali menjadi wapres.

Seseorang yang diberikan kekuasaan berlebih akan menimbulkan penyelewengan terbukti benar. Lingkar Soeharto menumpuk kekayaan, Praktik KKN merajalela, Pungli terjadi hamper disetiap lini Ramage dalam buku Politics in Indonesia menyatakan bahwa Budaya membangun suatu rekanan di era Soeharto, merupakan salah satu contoh sistem patronase. Dalam hal ini, atasan dan bawahan seperti halnya hubungan patron-client. Oleh karena itu, seorang bawahan harus pada suatu waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah pengarem-arem atau upeti. Padahal, sebenarnya budaya patronase merupakan salah satu pemikiran luhur Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian memberikan sebagian rezekinya kepada atasan. Karena pada saat itu, atasanlah yang memberi tanah garapan.


Fuad Bawazier dalam sebuah wawancara di televisi mengungkapkan bahwa Soeharto memiliki pemahaman ekonomi yang lemah karena Soeharto adalah orang yang sederhana namun juga kompleks. Secara intelektual, wawasannya sempit dan sederhana, hal ini disebabkan oleh pendidikannya yang terbatas. Ia juga tidak mempunyai kebiasaan membaca, merenung ataupun membuat suatu teori. Hal ini dimanfaatkan oleh ekonom-ekonom penjahat untuk meracuni pak Harto dalam menentukan kebijakan Ekonomi Makro. Ekonom-ekonom tu memberikan pemahaman kepada Soeharto bahwa APBN Indonesia berimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Padahal yang terjadi adalah devisit, dikatakan oleh mereka berimbang karena pendapatan negara dari hutang luar negeri menutupi devisit negera sehingga terlihat berimbang. Selain itu pemerintah orde baru menganggap bahwa hutang luar negeri adalah sebuah bentuk kepercayaan kepada Indonesia, sehingga pemerintahan Soeharto gemar berhutang.

Ishak Raffick dalam bukunya Catatan Hitam 5 Presiden Indonesia mengungkapkan bahwa resep-resep IMF yang ditawarkan oleh ekonom-ekonom pejahat itu berakibat pada beban hutang yang sangat tinggi, apalagi setelah terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan nilai tukar rupiah anjlok setelah band intervensi terhadap kurs mengambang terkendali itu dicabut, Indonesia pun limbung.

Maksud hati, Soeharto mau memeluk gunung untuk menghemat devisa, tapi yang terjadi, justru celaka. Ekonomi Indonesia kacau. Indonesia urung tinggal landas dan kembali digiring ke titik nol dalam pelukan IMF (hal 69). Soeharto yang sejak 1967 menopang pembangunan dari dana pinjaman IMF, seperti tak bisa mengelak. Dengan iming-iming umpan US$ 43 miliar, IMF lantas memaksa Soeharto menandatangani kesepakatan -terdiri 50 paragraf yang kemudian dikenal sebagai 50 point Letter of Intent (LoI)- dan ironisnya, kini jadi bumerang bagi siapa pun yang memimpin negeri ini.

Meski sejak tahun 1967-1998, Indonesia telah menelan resep-resep yang ditawarkan IMF dan terbukti “gagal tinggal landas”, anehnya arsitek (ekonomi) dibalik Soharto meminta lagi obat IMF. Padahal tak ada satu negara berkembang (seperti di Amerika Latin dan Ekuador) berhasil meningkatkan kesejahteraannya setelah mengikuti “model Washington Konsensus”. Sebaliknya negara-negara yang menyimpang (seperti Jepang, Taiwan, Malaysia dan China), justru bisa berhasil memperbesar kekuatan ekonomi.

Tak pelak lantaran resep IMF itu tak manjur, ujungnya Soeharto jatuh. Tapuk pimpinan beralih ke pundak Habibie, yang ironisnya mewarisi negeri yang bangrut, utang di ambang batas US$ 100 miliar karena menjelang Soeharto jatuh negeri ini menanggung utang -Maret 1998- sekitar 137,424 miliar US$. Habibie, jadi korban pertama. Setiap tahun setelah itu, terpaksa harus “menganggarkan” seratus triliun lebih untuk cicilan utang dalam dan luar luar negeri ditambah bunganya.


Untuk menjaga stabilitas nasional atau lebih tepatnya memastikan semua di bawah kendali Soeharto, Presiden ke 2 RI itu melakukan tindakan represif terhadap musuh politiknya, Komnas HAM menyatakan paling tidak ada 5 pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto Lima perkara yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah kasus Pulau Buru; Penembakan Misterius (Petrus); Peristiwa Tanjung Priok; Kebijakan Daerah Operasi Militer di Aceh dan Papua; serta Kasus 27 Juli. Selain itu Soeharto tidak memberikan kebebasan pers, berserikat, berkumpul, berpendapat. Semua harus tunduk pada pemerintahan pusat.


Setelah reformasi Indonesia mestinya memperkuat sistem, tidak lagi memperkuat penokohan kepemimpinan politik. Kelahiran Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan langkah tepat memunculkan ceck and balances. Agar setiap yang berkuasa tidak bisa ’seenaknya’ tanpa pengawasan. Walaupun saat ini Pemerintah SBY tetap menunjukkan ke’aku’annya

Di bidang ekonomi, reformasi mengamanahkan kemandirian bangsa dalam membangun. Keberpihakan pada kepentingan nasional atau apa yang disebut oleh Nurcholis Majid sebagai ”Diskriminasi Positif” harus dilakukan. Walaupun pada kenyataannya pemerintah saat ini tetap saja menerima resep-resep asing yang merugikan. Seperti CAFTA yang membuat 40% produksi dalam negeri menurut akibat serbuat barang dari Cina

Di Bidang Polhukam, demokrasi harus memberikan rasa aman, kebebasan berpendapat, berserikat. Tetapi bebas bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Kepentingan nasional harus tetap diutamakan, misalnya dalam pembentukan partai politik, ide awal pasca reformasi adalah dengan banyaknya partai politik akan banyak mewakili pandangan politik, ideologi masyarakt kita. Tetapi hal ini justru berakibat sebaliknya. Partai politik tidak punya frame perjuangan yang jelas, banyaknya partai politik hanya membuat banyak kepentingan, dan justru mengakibatkan pemerintahan tidak berjalan efektif. Banyaknya kasus-kasus yang terungkap belakangan ini sebetulnya menunjukkan bahwa hukum mulai berjalan, walaupun masih terkesan tebang pilih tetapi keterbukaan informasi dan komunikasi pada akhirnya akan mempersempit praktik KKN. Walaupun pada tingkat daerah hal ini masih sulit dilakukan.

Mudah-mudahan Transisi Demokrasi ini dapat berjalan dengan selamat mengantarkan Indonesia selamat berdemokrasi yang hakiki, guna terciptanya kesejahteraan nasional.

Sumber


Dikutip dari catatan Najib Yusuf



0 komentar:

Posting Komentar