Rabu, 29 Februari 2012

BAKTI SOSIAL "SIMPATI" UNTUK PATI

Minggu pagi, 12 Pebruari 2012, Silahturrahmi Mahasiswa Pati (SIMPATI) di Jakarta dan sekitarnya melakukan bakti sosial kepada warga korban banjir. Bakti sosial ini difokuskan di Dukuh Pengging Desa Kasihan Kecamatan Sukolilo.

Warga Di Dukuh Pengging Desa Kasiyan setiap tahunnya selalu kebanjiran. Selain rumahnya terendam, tanaman pertanian dipersawahan milik warga sudah dapat dipastikan gagal dipanen.

Ketua Panitia Baksos Muhammad Muad kepada PAS Pati menuturkan, kondisi warga yang memprihatinkan itu, menggugah hati mahasiswa yang tergabung di SIMPATI (Silaturahmi Mahasiswa Pati) Jakarta dan sekitarnya, untuk membantu korban bencana.

“Ini merupakan sedikit bentuk kepedulian yang ditunjukkan armada SIMPATI untuk membantu masyarakat. Karena akibat banjir itu, warga terhambat melakukan pekerjaan sehari-hari, hingga akan berdampak menimbulkan wabah penyakit,” tutur Muhammad Muad.

Kades Kasiyan Kecamatan Sukolilo Rumadji berharap, bantuan SIMPATI mampu mengurangi penderitaan yang dialami warganya, karena kondisi desa yang dipimpinnya sini setiap tahun, selalu terlanda banjir hingga berbulan-bulan.
“Karena banjir di sini sudah menjadi tradisi, akibat sungai yang melintas di desa Kasiyan tidak mampu menampung gelontoran air baik dari daerah diatasnya,” ujar Bapak Rumaji.

80 warga antusias menerima bantuan sembako dari pagi sampai siang di Balai Rakyat didampingi Kepala Desa setempat. Ini membuktikan bahwa uluran tangan dari para dermawan sangat dibutuhkan, demi terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera.
Selengkapnya...

Kamis, 02 Februari 2012

NU dan Moderatisme*

Oleh: Ali Rif'an**

Tanggal 31 Januari 2012, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 86 tahun. Untuk ukuran organisasi, NU saat ini sudah memasuki usia yang relatif mapan. Ibarat semakin tinggi dan rindang sebuah pohon maka akan semakin kencang dan besar angin badai yang menerpanya. Bagitu pula yang dialami NU saat ini. Dalam perspektif sosial-historis, NU memiliki tanggung jawab yang berat, yakni mengawal bangsa ini, mulai dari perjuangan pra-kemerdekaan hingga sekarang.

Sebagai organisasi kultural keagamaan yang mengusung nilai-nilai Aswaja, NU adalah bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban. NU bukan ormas yang eksklusif terhadap perbedaan dan keragaman. Justru keragaman dan pluralitas itulah spirit yang hendak diembuskan NU.

NU seumpama cahaya penerang dari maraknya kebengisan, sukuisme, primordialisme, dan fanatisme berlebihan sebagian anak bangsa, yang acap mendatangkan konflik horizontal. NU bukan ormas yang melulu mengeluarkan fatwa benar dan salah atau stempel hitam dan putih. Tapi, ia semacam katalisator juru damai yang berada di garis tengah. Kebinekaan dan kemajemukan menjadi roh NU dalam menancapkan misi perjuangannya. Ia secara terang-terangan mengatakan bahwa Pancasila adalah asas final bagi Indonesia. Ia pun tampil menjadi ormas garda depan yang berwatak kebangsaan.

Sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan antara akhuwah Islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi merupakan tokoh utamanya.

NU melihat pandangan politik dua tokoh itu senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih “jalan damai”. Ini karena jalan tengah dirasa sejalan dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat (Ali Masykur Musa, 2011 : ix).

Karena itu, dengan amat gigih dan penuh perjuangan, NU hendak mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa mewujudkan harmonisasi yang konsisten. Seperti diungkapkan Ketua Umum PB NU Said Agil Shiraj, NU adalah organisasi reformis dan dinamis yang senantiasa dinaungi spirit moral yang bercahaya.

Metamorfosis

Harus diakui, dalam perjalanannya, NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang tampil dan mampu mengikuti arah retak zaman. Ia menerjemahkan prinsip-prinsip dasar yang dicanangkannya ke dalam perilaku konkret. Dalam bidang pendidikan, NU mewujudkannya dalam bentuk pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan moral dan adiluhung dalam hidup dan berbangsa.

Dalam bidang sosial-ekonomi, NU mengusung ekonomi kerakyatan dan transformasi-transformasi sosial yang terejawantah dalam aksi-aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan termarginalkan. Dalam ranah teologi, NU menampilkan wajah Islam yang ramah; ramah terhadap budaya lokal, adat setempat, dan agama-agama yang ada. Sementara itu, dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas politik, bukan tipu muslihat politik.

Tentu saja, dalam kehidupan sejarah berbangsa ini, NU telah banyak mengambil kepeloporan dalam peta sejarah Indonesia. NU merupakan organisasi yang mampu tumbuh secara adaptif dan responsif terhadap dinamika yang terjadi. Karena memang dalam sejarahnya, NU lahir atas keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi.

Tak kuat dengan kondisi itu, sekumpulan kaum terpelajar kemudian tergugah untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Tahun 1908, muncullah apa yang disebut “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan inilah yang akhirnya menjadi daya dobrak sekaligus titik kisar dimulainya benih-benih perjuangan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespons Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916.

Tahun 1918, Taswirul Afkar atau dikenal juga Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) berdiri sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Organisasi-organisasi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal berbagai kiai berkesepakatan membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin KH Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Memang dalam perkembangannya, NU pernah masuk ke dalam politik praktis. Itu terlihat pasca-kemerdekaan Indonesia, orientasi NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Pada titik ini, NU sebenarnya hendak berkiprah secara total dalam upaya membangun tatanan nasional. Tapi, “politik” tampaknya bukanlah “rumah” NU yang sesungguhnya.

Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam Muktamar Ke-27 NU pada 1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi. Tentu absennya NU dalam panggung politik di bawah kekuasaan rezim Orba bukan lantaran NU ingin lari dari masalah kebangsaan. NU justru ingin menyelamatkan bangsa ini dari kaos.

Ketidakhadiran NU dalam kancah politik praktis justru akan mampu menekan warga NU untuk tidak terbuai dengan kekuasaan yang korup, kolutif, dan manipulatif. NU tak boleh dipolitisasi oleh segelintir orang yang hanya mengejar kekuasaan, tapi miskin misi kebangsaan.

Moderatisme

NU dikenal sebagai organisasi yang moderat, yaitu sikap yang mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah tawassuth yang mencakup tawazun (keseimbangan dan keselarasan), i’tidal (teguh dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan) (Ali Maskur Musa, 2011 : vii-viii).

Baik melalui jalur politik praktis, transformasi sosial-ekonomi, ataupun pendidikan, NU selalu menampilkan dua watak, yakni kebijaksanaan dan keluwesan. Kebijaksanaan, bagi NU, adalah tindakan yang kondusif untuk memperoleh manfaat/menghindari kerugian. Kewajiban untuk mengurangi atau menghindari segala bentuk risiko atau akibat buruk juga merupakan salah satu tema sentral dalam tradisi ijtihad politik NU. Sementara itu, keluwesan NU adalah sikap kompromistis dan menghindari segala bentuk ekstremistis.

Tentu saja, moderatisme NU sangat dibutuhkan sebagai perekat di tengah-tengah konstelasi pemikiran, baik keagamaan maupun politik kebangsaan, yang cenderung ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ataupun santernya gerakan-gerakan ekstremisme yang mengatasnamakan golongan dan agama yang belakangan kerap menyembul. Ini karena NU adalah ormas yang selalu mengusung kedamaian dan kesantunan--atau jalan tengah--dalam menerjemahkan visi dan gerakannya.


*Sinar Harapan, 1 Februari 2012

**Kader Muda NU, Anggota Jaringan Gusdurian Indonesia (JGI), Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Mahasiswa asal Pati

Selengkapnya...

Rabu, 01 Februari 2012

Mobil Esemka dan Kebanggaan Nasional )

Oleh : Ali Rif‘an

Mobil Kiat Esemka hasil karya siswa SMK di Solo menjadi kabar gembira di penjuru Tanah Air. Sebagai bentuk apresiasi, Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) mengganti mobil dinasnya Toyota Camry tahun 2002 dengan mobil karya anak bangsa itu. Keputusan Jokowi kemudian diamini oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie dan beberapa pejabat lainnya.

Tentu saja, sebagai pejabat publik, keputusan Jokowi cukup mengejutkan sekaligus menimbulkan banyak asumsi. Ada yang menuding itu sebagai manuver politik Jokowi, mencari perhatian masyarakat dan pencitraan terkait isu pencalonannya menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Tapi ada juga yang bilang, Jokowi menyindir pejabat yang masih suka bermewah-mewahan.

Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, justru mengatakan, apa yang dilakukan Jokowi merupakan fenomena cinta masyarakat kepada pemimpin yang memiliki visi. Dengan kata lain, mereka yang mengkritik Jokowi adalah orang yang tak punya visi jelas sebagai pemimpin.

Menjadi Oase

Seharusnya, kehadiran mobil Kiat Esemka itu menjadi “oase" yang memberi kesejukan, inspirasi, ataupun daya dobrak bagi anak bangsa lainnya untuk semangat berkarya, khususnya di bidang otomotif. Apalagi di tengah-tengah runcingnya persoalan kebangsaan yang akhir-akhir ini terus menyembul menghiasi persada negeri. Lihat saja kasus-kasus korupsi di kalangan elite politik, tawuran antarpelajar, kriminalitas di angkutan umum, sengketa PSSI, kasus Mesuji dan Bima, atau penembakan di Aceh baru-baru ini.

Semua itu adalah catatan buram yang harus ditutupi dengan prestasi-prestasi terbaik anak bangsa. Dus, kehadiran mobil Kiat Esemka bisa menjadi “katarsis" dalam melihat Indonesia ke depan. Apalagi, kabarnya, Kiat Esemka juga akan dijadikan mobil nasional (mobnas). Ini tentu menjadi preseden baik dalam memantik pertumbuhan produk dalam negeri. Seperti dikatakan filsuf Jerman Friedrich Nietzche, kunci keberhasilan bangsa amat ditentukan oleh komitmen menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja (tindakan nyata).

Memang, dalam sejarahnya, kita pernah punya mobil nasional (mobnas) di era Orde Baru. Mobil Timor yang diproduksi PT Timor Putra Nasional (TPN) yang bermitra dengan KIA Motors dari Korea Selatan, sempat menarik perhatian masyarakat Indonesia, namun tahun 1997, tenggelam akibat dihantam krisis moneter. Tak hanya itu, kita juga pernah punnya mobil nasional seperti Maleo, Kancil, Tawon, Perkasa, MR 90, dan Bimantara. Tapi dibanding produk lainnya, hanya Timor yang sempat unggul ketika itu walau akhirnya ambruk juga.

Kebanggaan Nasional

Karena itu, kehadiran mobil Esemka patut menjadi kebanggaan nasional. Tapi bangga saja tidak cukup. Mobil Kiat Esemka karya siswa SMK di Solo itu hendaknya dijadikan landasan kokoh untuk merealisasikan hadirnya mobil nasional. Tentu saja, proyek mobil nasional bukan sekadar proyek gagah-gagahan atau menaikkan gengsi. Proyek mobil nasional harus dijadikan pijakan awal untuk memacu anak-anak terbaik bangsa dalam berkarya.

Kita percaya, bangsa ini memiliki banyak generasi cerdas, kreatif, dan inovatif. Ini terbukti dalam banyak olimpiade internasional, anak-anak Indonesia selalu menggondol medali emas, perak, dan perunggu. Selain itu, bangsa Indonesia punya segudang ahli, mulai dari proses desain hingga keperluan produksi. Contoh kecil adalah Daihatsu Xenia, yang beberapa desainernya berasal dari Indonesia. Apalagi dalam lima tahun terakhir ini, diam-diam Indonesia juga mempunyai prestasi cukup membanggakan.

Di tengah-tengah bangsa Eropa dan Amerika Serikat yang tengah sakit keras, Singapura lagi garuk-garuk kepala, sebab tahun ini diyakini masih terseret arus krisis keuangan di dua benua itu, atau pun Perdana Menteri Lee Hsieng Long melihat ekonomi Singapura dengan hati resah, Indonesia justru mencetak rapor biru. Lihat saja cadangan devisa kita yang sudah menembus angka US$100 miliar, pertumbuhan ekonomi kita mantap di 6,5 persen, GDP kita sekarang US$800-an miliar dan diyakini mencapai U$S1 triliun, belakangan lembaga pemeringkat asing memasukkan kita sebagai negara layak investasi (Jurnal Nasional, 5/1/2012).

Tentu saja, prestasi-prestasi di atas tidak boleh dijadikan euforia semata. Prestasi tersebut harus dijadikan peluang bagi Indonesia menuju negara yang mandiri. Dalam hal ini, Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption menulis, kekacauan atau guncangan besar akan menghancurkan kehidupan berbangsa manakala masyarakatnya tidak mau dan tidak mampu membekali diri dengan profesionalitas dan kemandirian. Sikap profesionalitas dan kemandirian dalam segala bidang, tulis Francis Fukuyama, harus menjadi social capital danhuman capital serta menjadi tiket masuk ke arena peradaban dunia saat ini.

Kemandirian menjadi benteng bagi kemajuan Indonesia ke depan. Kemandirian dapat diwujudkan dengan cara mengoptimalkan segala sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDA) yang dimiliki bangsa ini. Sebab, Indonesia punya segalanya. Indonesia, tulis Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), negeri penggalan surga. Contoh kecil, sebagai negeri bahari, letak lautan Indonesia sangat strategis. Indonesia adalah negara yang perairannya berdekatan dengan 10 negara tetangga.

Karena itu, Indonesia sangat berpeluang menjadi “raja" pada sektor perikanan, bahkan bisa menjadi negara pengekspor ikan terbesar di dunia. Belum lagi budaya, adat, bahasa, tarian, dan rempah-rempahnya yang begitu kaya. Sebagai tunas bangsa, para pelajar dan pemuda Indonesia tidak boleh menjadi orang yang pasif atau obyek yang senantiasa setia mengikuti irama yang dialunkan.

Manusia Indonesia harus cerdas, kreatif, dan inovatif agar mampu menggerakkan segala potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Sebab, sebagaimana diungkapkan pendiri Yayasan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan, setelah melakukan survei di 150 negara, ia menyimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang menentukan kemajuan negara. Empat faktor itu antara lain 10 persen adalah sumber daya alam (SDM), 20 persen adalah networking, 25 persen adalah teknologi, sementara 45 persen adalah inovasi. Untuk itu, selain menjadi kebanggaan nasional, kehadiran mobil Kiat Esemka juga menjadi bukti bahwa di negeri ini masih banyak anak-anak yang cerdas, kreatif, dan inovatif.

*Jurnal Nasional | 14 Jan 2012

** Mahasiswa PatiPeneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


Selengkapnya...

Pesantren Ngaji Sorogan Buku Bung Karno

oleh abu daud

Ketika mengaji nahnu wa at-turas dengan mas Baso, beliau selalu mencoba mengkontekstualkan pemikiran al-Jabiri agar relevan untuk diterapkan dalam memahami fenomena di Indonesia. al-Jabiri dalam menuliskan karyanya, tentunya berlandaskan realita dan fakta yang ia hadapi di Maroko. Bagi kita pembaca karyanya-yang tinggal di Indonesia- harus dapat membaca al-Jabiri secara manhaji, bukan hanya sekedar taklid buta, agar apa saja yang kita baca relevan dengan kondisi kita. belajar al-Jabiri ibarat kita belajar nyetir mobil, kalau hanya sekedar teori tentu tidak akan ada manfaatnya. Akan tetapi, manfaatnya akan terasa apabila kita langsung praktek, bukan hanya sebatas teori.

Disamping ngaji al-jabari, mas Baso juga suka bercerita tentang keunggulan pesantren dibanding sekolah lain. Konon pesantren dulunya memiliki jaringan yang sangat luas, bahkan internasional. Pesantren dulunya juga sangat terbuka dengan pemikiran macam apapun, selagi itu positif. Sangat banyak cerita tentang kehebatan pesantren yang beliau sampaikan. Sehingga hal ini membuat saya termotivasi dan bangga menjadi seorang santri.

Pengalaman mengaji dengan mas Baso itu, mendorong saya untuk menelusuri teks-teks tentang pesantren. Awalnya memang cukup sulit untuk menemukan teks-teks itu, saya pun merasa bosan dan putus asa. Namun, ketika menemukan buku Berangkat dari pesantren karya KH.Syaifuddin Zuhri, yang memang sudah lama saya cari, semangat untuk menelusuri karya atau cerita-cerita tentang pesantren itu tumbuh lagi.

Buku setebal 600 halaman ini bercerita tentang pengalaman KH. Syaifuddin Zuhri mulai masa anak-anak sampai dewasanya. Buku ini terbit sekitar tahun 1985, satu tahun sebelum beliau meninggal. Dalam pengantarnya, beliau menjelaskan bahwa sekitar tahun 1980 penulisan buku ini sempat terhenti karena beliau sakit. Kemudian, pada tahun 1983 penulisan buku ini juga tidak terlaksana, sebab istri beliau mulai sakit-sakitan. Sehingga KH. Syaifuddin Zuhri tidak fokus untuk menulis dan berpikir. Al-hamdulillah sekitar tahun 1985 naskah buku ini selesai, tutur beliau.

Sangat banyak pengalaman dan cerita-cerita mengenai pesantren dalam buku ini. Santri manapun harus membaca buku ini. Teman saya bersoloroh begini. “untuk mengetahui dan belajar tentang NU,cukup dengan dua buku; berangkat dari pesantren dan guruku orang pesantren. Dalam kertas yang sangat terbatas ini, saya tidak akan menceritakan semua yang terdapat dalam buku ini. Saya hanya sekedar menukilkan satu atau dua kalimat dalam buku ini. Seterusnya, silahkan baca sendiri bukunya. Sekali lagi buku ini harus dibaca.........

Simaklah kutipan ini, semoga terinspirasi untuk membaca lebih lanjut....

“marilah kita bacakan sebagian dari buku ini, “ Ustadz Abdul Fattah mengeluarkan buku Mencapai Indonesia Merdeka dari saku bajunya lalu membalik-balik halamannya.

“Tunggu dulu,” seru Kiai Haji Halimi. “Meski di sini insya’ Allah aman, akan tetapi kita harus waspada. Hai Ma’il! Kau sebaiknya melukis di situ! Dekat pintu itu lebih baik, siapa tahu polisi datang,”belia menyuruh Ismail adiknya, seorang pelukis muda sahabatku dalam “Ittihaadus-Syubhaan”. Aku membantu ismail memindahkan alat-alat lukisan ke dekat pintu kamar kerja Ismail, istilah kerennya studio, terletak di sayap kiri serambi masjid.

“coba kaulah yang membacakan!!” Ustadz Abdul Fattah menyuruh aku membacakan. Sejenak aku amati bagian yang harus aku baca. Agak gemetar juga aku memegang buku Mencapai Indonesia Merdeka. Sekilas aku ingat ibu. Lalu aku mulai membacanya dengan suara agak parau. Gemetarku belum hilang.

Selengkapnya...