Kamis, 28 Juli 2011

Reshuffle dan Manuver Politik Oleh Muhammad Mukhlisin

Lagi-lagi, isu reshuffle menguak kembali ke arena politik pemerintahan. Kali ini reshuffle muncul karena kinerja menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dinilai belum bekerja maksimal. Berdasarkan hasil evaluasi Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UK P4), kurang dari 50% program-program yang direncanakan dapat terealisasi.

Isu reshuffle kali ini agak berbeda dengan isu reshuffle sebelumnya yang didominasi pertimbangan politis transaksional. Kali ini isu reshuffle berangkat dari kinerja pemerintahan yang tidak maksimal. Seperti beberapa bulan lalu, isu reshuffle mencuat setelah terjadi perpecahan pendapat di partai koalisi pendukung pemerintah.

Misalnya, dalam menentukan hak angket kasus Bank Century dan kasus perpajakan. Tak tanggung-tanggung, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengisyaratkan reshuffle para menterinya yang berasal dari partai lain yang tidak sependapat tersebut.

Reshuffle yang awalnya dilontarkan oleh Presiden tersebut ternyata hanyalah manuver politik dan gertakan untuk partai koalisi. Hal tersebut mengakibatkan kinerja pemerintahan menjadi tidak efektif, tidak fokus dan permasalahan bermunculan di mana-mana. Termasuk, di antaranya adalah kasus kekerasan, korupsi yang merajalela, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di berbagai daerah, melonjaknya harga pokok makanan dan lain sebagainya.

Reshuffle merupakan hak perogratif presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, kebijakan reshuffle oleh presiden memang dibutuhkan untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan. Tetapi, di lain pihak, sistem parlemen yang multi partai mau tidak mau terfragmentasi di dalam sistem koalisi-oposisi untuk meningkatkan peran check and balanches terhadap pemerintah.

Menurut ahli filsafat Inggris Thomas Hobbes (1588-1679), sebuah pemerintahan digambarkan sebagai sebuah leviathan. Leviathan adalah sebuah monster di dalam mitologi Timur Tengah yang sangat buas dan ganas. Hobbes mengemukakan untuk mencegah pemerintah leviathan, maka kekuasaan pemerintahan harus dibatasi. Lanjut Hobbes, bentuk pemerintah dan pembatasan kekuasaannya bisa berbentuk apa pun tetapi harus terpisah dan independen antara satu lembaga dengan lembaga pemerintahan yang lain.

Independensi

Berasumsi dari teori Hobbes tersebut, sudah jelas lembaga-lembaga tinggi negara, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif masing-masing harus mempunyai independensi yang tidak bisa digoyah. Karena, hal itu akan mencegah negara menjadi sebuah leviathan. Tetapi, melihat situasi Indonesia sekarang ini, justru menggambarkan keadaan yang sebaliknya. Di mana antara lembaga tinggi negara saling menguatkan posisi satu dan yang lain untuk melanggengkan status quo.

Pengaruh eksekutif di legislatif begitu kuat dengan anggota partai koalisi yang diwadahi dengan Setgab partai koalisi. Tentunya hal ini wajar dalam sistem pemerintahan yang multi partai. Sama halnya dengan recall di DPR, recall akan menjadi wajar bahkan diperlukan jika memang anggota dewan melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan etika sebagai anggota DPR. Tetapi, jika sudah bersifat transaksional antara lembaga satu dengan yang lain, maka yang muncul adalah sebuah leviathan yang mengerikan.

Asumsi ini memberikan point penting bahwa reshuffle jangan sampai sebatas manuver politik. manuver politik seperti ini merubah substansi demokrasi. Dari demokrasi yang pro rakyat menjadi demokrasi yang prosedural dengan penyokong politik transaksional. Dengan orientasi para politikus yang hanya melanggengkan kekauasaan mereka.

Check and Balances

Hasil reshuffle kabinet memang tidak menjamin efektifitas kinerja pemerintahan. Tetapi, evaluasi kinerja pemerintahan mutlak harus dilakukan. Diperlukan ketegasan dan leadhership yang kuat untuk menjalankan kinerja pemerintahan secara efektif. Jika reshuffle sudah mendesak, sebaiknya harus dilakukan.

Masyarakat sudah menanti ketegasan Presiden. Bukan dalam bentuk manuver-manuver politik seperti pada isu reshuffle kabinet sebelum-sebelumnya. Bukan juga politik transaksional yang mendasarinya. Karena, akan menimbulkan minimnya check and balances sehingga sistem pemerintahan tidak berjalan dengan efektif.

Kemudian, leviathan yang akan menguasai negara. Dan, jika hal itu terjadi, Hobbes mengemukakan 2 kemungkinan. Pertama, muncul keadilan dari penguasa untuk menyelesaikan. Dan, jika tidak terwujud maka yang terjadi adalah kemungkinan kedua, rakyat akan melakukan revolusi untuk memperjuangka hak-hak mereka.

Sebaiknya Presiden SBY sebagai pemimpin pemerintahan harus cepat mengambil tindakan terhadap keadaan ini. Seperti cepatnya reaksi Presiden terhadap kasus Nazaruddin yang mengobrak-abrik Demokrat. Berbagai forum dan lembaga masyarakat sudah bosan mengkritisi pemerintah mulai dari pengamat politik, ekonom, agamawan dan yang terakhir gerakan mahasiswa kelompok Cipayung (HMI, PMII, PMKRI, GMNI, GMKI) yang mulai menunjukkan kesolidan untuk merespon pemerintahan yang karut marut.

Bagaimanapun ketegasan presiden bakal menentukan efektivitas pemerintahan.

***

Penulis adalah Koordinator umum Forum Kajian Sosial dan Keagamaan Piramida Circle Ciputat, Tangerang.

Dimuat di Harian Suara Karya,

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=283779



0 komentar:

Posting Komentar