Senin, 04 Maret 2013

Wajah Pergerakan dari Zaman ke Zaman


Di Indonesia sendiri mahasiswa mempunyai peranan penting dalam mengubah sejarah kebangsaan dan perjalanan demokrasi. Catat saja bagaimana peranan mahasiswa mampu merubah wajah perpolitikan saat ini yaitu dengan Gerakan reformasinya. Jauh beberapa tahun kebelakang kita mengenal angkatan gerakan kemahsiswaan dengan segala momentum sejarah kebangsaan di tanah air. Dalam bentuk wajah yang berbeda-beda sebagai bentuk refleksi dari segala kebijakan yang diterapkan pemerintah.
Wajah pergerakan dari zaman kezaman bisa terbagi dalam beberapa angkatan:
·         Gerakan Mahasiswa Tahun 1966
Dimana pergolakan politik tahun 1966 adalah suatu akibat langsung dari peristiwa politik yang mendahuluinya yaitu pemberontakan G 30S PKI. Sebagai akibat dari pemberontakan yang didalangi oleh PKI ini berakibat luas dalam kehidupan sosial-politik masyarakat pada waktu itu. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa pada waktu itu (rezim Orde Lama/Soekarno) telah meluas di kalangan masyarakat terutama golongan pemuda dan mahasiswa.
Angkatan 66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten Negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Eksekutif pun beralih dan berpihak kepada rakayat, yaitu dengan dikeluarkannya SUPERSEMAR (surat perintah sebelas maret) dari Presiden Sukarno kepada penerima mandat Suharto. Peralihan ini menandai berakhirnya ORLA (orde lama) dan berpindah kepada ORBA (orde baru).
·         Gerakan Mahasiswa Tahun 1972
Gerakan ini dikenal dengan terjadinya peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari). Tahun angkatan gerakan ini menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga keturunan. Dan Jakarta masih menjadi barometer pergerakan mahasiswa nasional, catat saja tokoh mahasiswa yang mencuat pada gerakan mahasiswa ini seperti Hariman Siregar, sedangkan mahasiswa yang gugur dari peristiwa ini adalah Arif Rahman Hakim.
·         Gerakan Mahasiswa Tahun 1980 an
Gerakan pada era ini tidak popular, karena lebih terfokus pada perguruan tinggi besar saja. Puncaknya tahun 1985 ketika Mendagri (Menteri Dalam Negeri) Saat itu Rudini berkunjung ke ITB. Kedatangan Mendagri disambut dengan Demo Mahasiswa dan terjadi peristiwa pelemparan terhadap Mendagri. Buntutnya Pelaku pelemparan yaitu Jumhur Hidayat terkena sanksi DO (Droup Out) oleh pihak ITB (pada pemilu 2004 beliau menjabat sebagai Sekjen Partai Serikat Indonesia / PSI).
·         Gerakan Mahasiswa Tahun 1990 an
Isu yang diangkat pada Gerakan era ini sudah mengkerucut, yaitu penolakan diberlakukannya terhadap NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Kordinasi Kampus) yang membekukan Dewan Mahasiswa (DEMA/DM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Pemberlakuan NKK/BKK mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang Mahasiswa terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).
Sikap kritis mahasiswa terhadap pemerintah tidak berhenti pada diberlakukannya NKK/BKK, jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap refresif Pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung.
·         Gerakan Mahasiswa Tahun 1998
Gerakan mahasiswa era sembilan puluhan mencuat dengan tumbangnya Orde Baru dengan ditandai lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan, tepatnya pada tanggal 12 mei 1998. Perjuangan mahasiswa menuntut lengsernya sang Presiden memang tercapai, tapi perjuangan ini sangat mahal harganya karena harus dibayar dengan 4 nyawa mahasiswa Tri Sakti, mereka gugur sebagai Pahlawan Reformasi, serta harus dibayar dengan tragedi Semangi 1 dan 2.
Pergerakan mahasiswa dari masa ke masa mengalami dinamika sosial yang berbeda beda, serta masing masing waktu mempunyai jiwa zamanya sendiri seperti pergerakan mahasiswa dari tahun 1966 -1998 atau hingga saat ini pergerakan mahasiswa masih mencari bentuk sesuai dengan karakteristik zamanya.
Reformasi terus bergulir, perjuangan mahasiswa tidak akan pernah berhenti sampai disini. Perjuangan dari masa ke masa akan tumbuh jika Penguasa tidak berpihak kepada rakyat.

Selengkapnya...

Jumat, 03 Agustus 2012

Lulus Kuliah Itu Tidak Penting Saat Melamar Pekerjaan

Pertanyaan yang sebetulnya klise, dan sudah berulang ulang dilakukan pembahasan.

Penting gak sebetulnya kuliah itu?

Simpel saja, dan ini menurut pendapat pribadi saya : Penting gak penting. Dan ini hanya pembatasan berikut sedikit tips untuk yang baru saja lulus kuliah, dan sedang ingin melamar sebuah pekerjaan.

Menjadi penting, apabila niat untuk kuliah itu benar benar untuk mencari ilmu. Ilmu yang dibutuhkan kelak untuk bekal pekerjaan, minimal untuk pengalaman. Apabila jurusan yang diambil benar benar akan didedikasikan untuk pekerjaannya kelak, ya itu bagus, bahkan sangat bagus. Tidak menafik, bahwa persyaratan kerja saat ini kebanyakan mengutamakan lulusan universitas ternama dan lain sebagainya. Ini juga satu pendorong, apabila seseorang ingin mengenyam bangku kuliah. Bukan ilmunya dulu.

Sayangnya, banyak lulusan S1 dan bahkan S2 sekarang ini yang masih tidak tau bagaimana cara ‘menggunakan ilmunya’ dalam sebuah lingkup pekerjaan. Bahkan pada saat mau melamar pekerjaan sendiri.
Fresh graduate, idealis ( ini sisi baiknya), dan terlalu memilih milih kerjaan. Seringkali, tidak dibekali pengalaman nyambi kerja yang part time sekalipun di deretan manis Curiculum Vitae-nya.  Hanya sederetan gelar, atau lulusan manis tanpa menjelaskan apa apa mengenai pribadi si pelamar.

Hanya faktor keberuntungan dan (kadang) faktor kedekatan terhadap satu atau beberapa orang yang sudah bekerja disana duluan lah yang bisa membuat sang fresh graduate berhasil ikut tes wawancara di perusahaan tersebut. Beruntung, karena benar benar melewati seleksi dari ratusan calon pelamar. Baik seleksi secara langsung, ataupun seleksi dari agensi head hunters yang sekarang banyak dipergunakan.

Kenapa tidak mencantumkan pengalaman kerja sama sekali?  Apabila memang ada, walaupun pengalaman kerja itu hanya sebatas kegiatan sosial dan yang lain, cantumkanlah.  Sekecil apapun, walaupun tidak ada relevansinya terhadap dunia pekerjaan yang dituju, tetap dicantumkan. Sebentuk pengalaman itu yang membuat kita sedikit lebih punya nilai, dibandingkan dengan yang lain. Punya pengalaman bentuk tulisan atau blog, seperti di Kompasiana sendiri? Tuliskan.  Entah hanya sebatas tulisan iseng, hobi atau yang lain, menulis adalah sebuah kegiatan yang positif.

Lebih penting lagi, jangan terlalu pilih pilih pekerjaan.  Betul, bahwa semua orang pasti ingin sebuah pekerjaan yang ideal atau dream job. Saat awal dan memulai, sebaiknya dicoba untuk tidak terlalu manja. Jangan hanya ingin ngadem di ruangan ber ac, atau sekedar ingin tampan gara gara sebuah dasi, atau cantik karena setelan yang keren. Itu semua tidak penting. Berkarya dulu, itu yang lebih penting.

Jangan hanya tergiur dengan uang atau nominal dulu, dan bayangan akan nyamannya sebuah jabatan.  Yang penting adalah berkarya, walaupun dengan resiko babak belur dibuatnya.  Berjuang itu nikmat. Karena dengan berjuang, kita akan bersyukur atas bagaimana cara mendapatkannya.

Kemudian saat wawancara. Jangan terjebak dengan sebuah cerita di masa lalu saja.  Ceritakan sedikit tentang pengalaman pekerjaan saat kuliah , atau pengalaman yang berkaitan dengan sebentuk kegiatan yang seringkali dilakukan. Punya ambisi, itu penting. Apabila ada kesempatan bertemu dengan salah satu pimpinan perusahaan disana, jangan ragu ragu untuk mengatakan bahwa kita menginginkan kursinya kelak setelah target sekian lama bekerja.

Loh kok gitu?  Bukankah yang penting berkarya dulu? Benar, dan saat kita sudah punya kesempatan, sebuah tujuan akan pekerjaan ,itikad baik dan keseriusan mutlak diperlukan.

Jangan hanya cengengesan saat wawancara dan mengatakan “Terserah, nanti bagaimana Bapak atau Ibu saja”.  Maaf kalau kalimat sebelumnya terkesan ‘kasar’, tapi inilah yang sering dihadapi dengan para fresh graduate saat melamar sebuah pekerjaan. Tunjukkan tekad, dan sebuah nilai. Kenapa kita layak bergabung di dunia pekerjaan tersebut.  Tunjukkan bahwa kita memang siap belajar, menerima dan juga berkontribusi.

Penting juga untuk membuat sedikit riset pribadi akan perusahaan yang akan dilamar. Informasi saat ini sudah luas tersedia. Pelajari sedikit banyak tentang si perusahaan sendiri. Dan pada saat wawancara, tunjukkan poin poin menarik mengenai seputar perusahaan atau dunia pekerjaan yang mempunyai relevansi penting.

Jangan ragu ragu untuk bertanya, bahkan minta kepada para pemberi wawancara untuk melakukan sedikit presentasi mengenai perusahaan tersebut. Ketertarikan kita akan menunjukkan sebuah minat yang aktif.

Dan yang terakhir dan tidak kalah pentingnya , bahkan bagi penulis justru ini yang terpenting adalah berdo’a.  Jangan pernah sedikitpun meragukan atau bahkan meremehkan sebuah kekuatan do’a. Minta petunjuk, itu yang terpenting. Tidaklah berguna sederetan ilmu dan yang lainnya apabila do’a sendiri akan diabaikan.  Berusaha itu bentuk amanah, bentuk kita bersyukur akan sebuah kesempatan.

Lulus kuliah itu penting gak penting. Penting, apabila memang didasari niatan baik untuk berkarya. Jangan salah, ribuan bahkan juta’an orang yang tidak kuliah bisa lebih sukses daripada yang lulusan S1, S2 , S3 bahkan Es Campur sekalipun. Semua karena niat,  itikad  dan pengalaman mereka yang seringkali lebih baik daripada para pengenyam bangku pendidikan.

Apabila lulus kuliah masih nganggur, dan berjuang pun sudah dilakukan, kenapa tidak ciptakan saja pekerjaan ? Entrepreneur atau wiraswasta.  Asal halal, semua pengalaman akan menarik untuk dinikmati.
Selengkapnya...

Senin, 23 Juli 2012

Puasa dan Spirit Antikorupsi


Umat Islam di seluruh dunia patut bergembira karena bulan Ramadan telah tiba. Ibadah puasa mengajak umat untuk kembali pada sumber spiritualitas yang tak pernah kering menuju jati diri dan jiwa yang suci (fitrah). Secara sederhana, puasa diartikan menahan diri dari segala perbuatan yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit sampai terbenam matahari.

Tahap spiritualitas ibadah puasa akan dicapai melalui disiplin diri yang ketat selama satu bulan penuh, menahan lapar, haus, dan tidak melakukan hubungan suami-istri pada siang hari. Esensi puasa sebenarnya menahan nafsu yang kerap mendatangkan bencana di muka bumi ini. Dalam kehidupan sosial-kenegaraan, nafsu tersebut menjelma dalam bentuk seperti korupsi dan suap. Seperti kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, bahaya yang mengancam Indonesia saat ini adalah penyakit korupsi.

Jalan Kejujuran
Karena itu, spirit ibadah puasa harus dijadikan manusia untuk bisa mengendalikan nafsu korup, tamak, dan serakah sebab puncak pencapaian kualitas pribadi seorang muttaqi (orang bertakwa) tidaklah instan karena melalui proses panjang yang intens sebulan penuh mendisiplinkan diri siang-malam.

Tentu saja, pelajaran penting dari puasa adalah soal kejujuran. Manusia tidak mungkin akan bisa menjalankan ibadah puasa tanpa sebuah kejujuran yang hakiki. Umat bisa berbohong kepada sesama, masyarakat, dan negara, tapi tidak kepada Tuhan. Bisa saja orang mengatakan puasa, padahal tidak.

Karena itulah, puasa merupakan ibadah yang sangat pribadi. Artinya tidak ada orang lain yang mengetahui. Juga tidak perlu orang lain tahu kita berpuasa atau tidak, kecuali Allah sendiri. Meskipun tidak seorang pun mengetahui kita sedang berpuasa, Tuhan melihat. Di sinilah puasa melatih manusia untuk bersikap jujur.

Lebih dari itu, puasa juga mengajarkan manusia untuk berlaku disiplin, menumbuhkan sensitivitas sosial, rendah hati, mengabdi pada ketulusan dan kebersamaan. Puasa menjauhkan orang dari korupsi. Lantas, bagaimana kaitan puasa dengan pemberantasan korupsi?

Jenis Korupsi
Secara sederhana, korupsi adalah perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan merugikan keuangan negara. Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sosiologi of Corruption mengatakan, korupsi adalah sebuah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.

Ditinjau dari motifnya, menurut penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, ada empat jenis korupsi, yaitu korupsi karena kebutuhan, serakah, peluang, dan telanjang. Korupsi karena kebutuhan biasanya dilakukan seseorang karena kepepet dan kebutuhan terus bertambah, sementara pemasukan tidak meningkat. Orang seperti ini biasanya memiliki watak pemalas dan ingin selalu instan dalam mendapat sesuatu.

Korupsi karena serakah terjadi karena orang selalu tidak cukup. Dalam bahasa Th omas Hobbes, watak rakus dan "serigala" telah bersemayam dalam dirinya. Secara populer, Hobbes menyebutnya homo homoni lupus, manusia adalah serigala bagi lainnya. Korupsi karena peluang biasanya dilakukan seseorang yang memiliki kedudukan dan wewenang. Korupsi model ini kerap dilakukan oleh pejabat pemerintah. Mereka memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dengan cara memanipulasi data dan seterusnya.

Korupsi secara telanjang ini banyak macamnya. Dalam skala yang besar, bisa dilihat pada kebijakankebijakan pemerintah yang tidak mewaliki rakyat (pro-rakyat), sementara dalam lingkup yang kecil, terjadi pada korupsi waktu. Contoh, para pejabat bolos dan telat ataupun para pegawai negeri sipil yang sekadar mengisi daftar presensi dalam bekerja. Korupsi telanjang inilah yang justru paling banyak di Indonesia.

Dari penjelasan tadi terlihat bahwa korupsi merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Korupsi merupakan bentuk kejahatan. Modusnya kadang-kadang sangat terang dan kasar tidak lagi malumalu. Korupsi berdampak mematikan karena rakyat kehilangan kesempatan menikmati hak dan kesejahteraan. Korupsi menjadi kejahatan konkret. Sebagai kejahatan yang sistematis, tidak mudah memberantas korupsi. Ramadan harus menjadi momentum menyadarkan koruptor yang kebanyakan orang cerdik pandai. Maka, selain lewat pendekatan hukum, pemberantasannya juga perlu jalur lain seperti pendidikan moral dan penguatan spiritual. Salah satunya adalah memanfaatkan momen ibadah puasa ini.

Spirit Antikorupsi
Tujuan penting puasa supaya manusia kembali ke alam spiritual, mengingat Tuhannya, sehingga terjadi transformasi dalam diri menuju ke arah yang lebih baik. Karena itu, dalam puasa, manusia harus meninggalkan segala macam bentuk perkataan dan perbuatan buruk termasuk korupsi.

Tidak ada artinya berpuasa, tapi (tetap) korup. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Barang siapa berpuasa tapi tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk, sesungguhnya Allah tidak memunyai persoalan apa pun untuk menyia-nyiakan puasanya." (Al-Hadis).

Dengan kata lain, ibadah puasa sesungguhnya bisa menumbuhkan spirit pemberantasan korupsi. Sebagai ilustrasi, dalam momen Ramadan ini, para penegak hukum bisa berpuasa dari korupsi dengan menegakkan aturan hukum seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya, sementara pemerintah bisa melakukan puasa korupsi dengan men jalankan program prorakyat. Adapun masyarakat luas bisa berpuasa dari korupsi dengan meninggalkan budayabudaya koruptif di segala bentuknya.

Seperti kata sarjana Al-Azhar Cairo Mesir, Hasibullah Satrawi, dalam Puasa dan Pemberantasan Korupsi, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw, bulan puasa dibagi ke dalam tiga fase penting. Sepuluh hari pertama disebut fase rahmat, sebagai masa-masa awal.

Dalam segala hal, banyak orang yang justru tergelincir pada masa-masa awal, bahkan tidak sedikit yang tetap melakukan kebiasaan lamanya yang buruk. Karenanya, Tuhan membuka pintu rahmat selebar-lebarnya atas segala jenis kesalahan yang terjadi pada masa-masa awal menjalankan ibadah puasa.

Sementara sepuluh hari kedua sebagai fase ampunan, saat emas bagi mereka yang berpuasa untuk memperbaiki dan menyempurnakan kekurangan atau kesalahan sebelumnya. Sehingga grafik kebaikan mereka yang berpuasa terus meningkat dari waktu ke waktu hingga ibadah ini selesai. Adapun sepuluh hari terakhir itu fase keselamatan dari api neraka.

Pada umumnya mereka yang berpuasa dianjurkan untuk lebih meningkatkan lagi segala macam kebaikan pada fase ini. Di sini manusia sudah menginjak masa-masa penyucian diri. Ibarat kepompong, ia sudah hampir menjadi kupu-kupu yang indah. Puasa tahun ini harus benar-benar menjadi latihan berharga untuk mewujudkan insan yang jujur dan jauh dari perilaku koruptif.

Oleh : Ali Rif'an
Selengkapnya...

Minggu, 10 Juni 2012

Digitalisasi, Demokrasi, dan Visi Indonesia 2020*

Oleh Ali Rif'an

 Harus diakui, teknologi saat ini dipandang sebagai sesuatu yang mendukung hidup manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia dibantu dan dipermudah dengan bantuan teknologi. Bahkan dalam skala yang lebih fundamental, teknologi semacam telekomunikasi sekarang ini sudah menjadi kebutuhan primer manusia setelah pangan, sandang, dan papan.

Tak pelak jika Marshall McLuhan (1967)—yang disebut-sebut sebagai Bapak Komunikasi—menyebut teknologi adalah fitrah manusia. Fungsi teknologi sebagai kendaraan berpikir dan kerja manusia menuju perpanjangan tahap selanjutnya, yakni perpanjangan dari badan dalam ruang menuju perpanjangan sistem saraf. Sebut saja komputer, misalnya, yang bekerja dengan bilangan biner adalah perpanjangan akal manusia yang berpikir dialektis. Begitu halnya roda yang berputar merupakan perpanjangan kaki manusia yang berjalan. Sementara teknologi seperti SMS, telepon dan chatting tak banyak beda dengan tegur sapa biasa.

Kini, antara telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran (broadcasting) sudah ibarat setali dua mata uang yang saling berkelindan. Tiga piranti ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Teknologi informasi, misalnya, telah menggabungkan sifat-sifat telekomunikasi yang bersifat masif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Fenomena inilah yang kemudian dikenal dengan istilah konvergensi.

Dalam bentuk yang utuh, konvergensi ini menghasilkan apa yang disebut digitalisasi. Digitalisasilah yang menjawab kemudahan atas layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran sekaligus menggantikan teknologi analog. Sebagai dampaknya, maka sekarang ini, kehidupan terasa lebih mudah dan praktis. Betapa tidak, hanya dengan bermodal komputer atau telepon seluler, kita sudah dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G).

Digitalisasi dan Indonesia
Menurut catatan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), saat ini, sekitar 180 juta penduduk Indonesia sudah menjadi pelanggan layanan seluler [i]. Ini artinya, sekitar 60 persen populasi penduduk di Tanah Air sudah memiliki perangkat telekomunikasi. Bahkan menurut prediksi InMobi, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Mobile Ads Network, pengguna ponsel di Indonesia akan melesat dan membawa Indonesia ke peringkat 3 negara dengan pengguna ponsel terbanyak di bawah China dan India [ii].

Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 259.940.857 juta jiwa dan terdistribusi pada wilayah seluas 220.953.634 (km²), dengan jumlah wilayah administratif 349 kabupaten, 91 kota, 5.263 kecamatan, 7.113 kelurahan, dan 62.806 desa di seluruh Indonesia, maka era konvergensi ilmu teknologi dan telekomunikasi yang berwujud digitalisasi menjadi babak baru bagi perubahan Indonesia ke depan. Kenapa demikian? Dalam konvergensi, terdapat 6 muara dalam satu bentuk. Konvergensi dalam bahasa Inggris convergence, yakni “to coce together, to meet or join, to approach from different directions. Aktivitas membaca, mendengar, perjalanan, bekerja, melihat, dan berbicara dapat dilakukan secara bersama-sama.

Sering dikatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai dan gemar membaca. Karena harus diakui, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang melanda negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan fenomena yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban juga tidak semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang paling utama adalah hilangnya élan vital dalam membaca.

Oleh karenanya, tanpa mengesampingkan pentingnya elemen pemerintah sebagai pemangku kepentingan nasional, konvergensi ilmu teknologi dan telekomunikasi yang menghasilkan produk digitalisasi semacam internet patut dicatat sebagai babak penting dalam mewujudkan pembangunan nasional. Alasan pertama, digitalisasi seperti internet akan membuka sekat-sekat atau kebuntuan akan akses informasi yang lambat dan stagnan menuju akses yang lebih dinamis, terbuka tanpa mengenal waktu dan jarak.

Coba bayangkan, sekarang ini, melalui jejaring facebook dan twitter, orang bisa menyapa dan berteman dengan siapa saja. Menurut pengamatan saya terhadap beberapa rekan muda, mereka yang akrab dengan internet, misalnya, cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan wawasan yang update ketimbang mereka yang jarang atau sama sekali tidak bergumul dengan dunia maya. Betapa tidak, melalui “Mbah Google”, tinggal klik, dalam hitungan detik mereka bisa mendapatkan informasi dengan cepat-kilat.

Bahkan yang lebih menggelikan. Untuk urusan percintaan, ruang virtual juga memiliki peran penting. Baru-baru ini saya sempat menghadiri pernikahan teman satu organisasi yang, kabarnya, calon istrinya itu didapat melalui chatting di dunia maya. Dua minggu setelah kenal langsung menikah. Saya kemudiaan berkesimpulan bahwa digitalisasi telah mampu mempercepat segala aspek kehidupan, termasuk sesuatu yang bersifat sakral sekalipun.

Alasan kedua adalah ihwal pengguna internet di Indonesia yang jumlahnya sangat fantastis. Jika pengguna telepon seluler sudah mencapai 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai sekitar 45 juta [iii]. Dari data ini sesungguhnya kita bisa berasumsi sekaligus melempar pertanyaan, dari manakah pembangunan Indonesia bisa dengan cepat digerakkan? Saya memiliki asumsi kuat: dengan digitalisasi. Karena harus diakui, dalam sejarah peradaban manusia, revolusi di bidang teknologi selalu berdampak pada revolusi di bidang kehidupan yang luas. Kemajuan teknologi pun selalu dikaitkan dengan kemajuan negara-bangsa.

Demokrasi Digital
Dengan seribu satu persoalan yang merentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan dan melalui digitalisasi, Indonesia sebenarnya mampu berbenah diri. Kenapa? Barry N. Hague dalam pengantar buku Antologi Diskursus Demokrasi Elektronik (1999) menyebutkan bahwa di dalam digitalisasi mengandung unsur-unsur demokrasi. Jika demokrasi dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka digitalisasi memiliki makna tak jauh beda. Di antara sifat digital adalah interaktif dan komunikatif.

Dengan dan lewat demokrasi digital, ekspresi dan aspirasi kita mendapatkan ruang. Setiap dari kita, misalnya, bisa dengan diskursif mengetengahkan gagasan-gagasan konstruktif atau yang paling gila sekalipun. Kita bisa membentuk komunitas virtual yang peduli dengan kepentingan publik dan komunikasi global yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital pula informasi kajian sosial-politik dapat diproduksi secara bebas dan disebar ke ruang virtual untuk diuji. Diskursus sepenuhnya termanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital melalui newsgroup, milis, surat elektronik, live discussion, blog, website dan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan seterusnya.

Memang, demokrasi digital juga tidaklah miskin masalah. Ia ibarat pedang bermata dua, di satu sisi sangat membantu kemajuan peradaban, tapi di sisi lain juga bisa menjadi pemicu retaknya peradaban. Sebagai contoh barangkali adalah kasus WikiLeaks. Jagad politik dunia beberepa waktu lalu dirisaukan oleh bocornnya kawat diplomatik WikiLeaks [iv]. Situs yang didirikan oleh Julian Paul Assange ini telah membocorkan segala dinamika dan rahasia dunia. Dunia geger dan kekhawatiran pun terjadi.

Selain WikiLeaks, kasus lain yang menghebohkan jagad Indonesia beberapa waktu lalu adalah skandal Ariel-Luna dan Cut Tari. Tentu saja, terbongkarnya video syur beberapa waktu itu tak lepas dari pengaruh adanya demokrasi digital. Disinilah seorang teman berkata kepada saya, “Kemajuan teknologi juga berdampak pada kemajuaan porno aksi, Bung!”
Perkataan teman saya itu sepintas bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, apapun dampak negatif teknologi dan betapapun canggihnya, ia hanyalah sebuah alat. Ia tidak akan berfungsi dan memiliki dampak apapun jika tidak difungsi-gunakan. Karenanya, saya kemudian menimpali, “Jika teknologi membawa dampak negatif, yang patut disalahkan bukanlah teknologinya, melainkan penggunanya. Teknologi adalah fitrah manusia, Bung!” begitu kataku menimpali.

Pragmatisme Digital
Selain mengandung unsur demokrasi, digitalisasi juga sarat dengan unsur pragmatisme. Era kovergensi telah membuka jaringan komunikasi dan telekomunikasi dengan sangat luas dan lebar. Digitalisasi telah mampu menghilangkan sekat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Jika ini dipandang secara positif-konstruktif serta optimis, sesungguhnya setiap dari kita akan mampu membuka wacana dan sekat informasi yang kemudian bisa digunakan untuk melihat peluang, sehingga memudahkan eksplorasi berbagai bidang yang dapat mensinergiskan proses pembangunan nasional.

Paling kurang ada empat bidang yang bisa kita sinergikan dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional. Pertama, bidang pendidikan. Dari survei yang ada, 30 % pengguna internet adalah kalangan pendidikan. Karenanya, manfaat paling menonjol adanya digitalisasi ini tentu di bidang penididikan. Melalui bidang inilah nantinya akan menyebar ke bidang-bidang lain. Para pelajar dan mahasiswa sekarang dapat dengan mudah mencari literatur, artikel atau informasi terkait tugas kuliah ataupun penelitian, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri.

Pada titik ini, mereka akan semakin terbuka lebar khazanah, wawasan, dan cakrawalanya. Dengan semakin banyak wawasan yang dimiliki, semakin mudah dan bijak pula mereka dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Individu yang matang dan berkualitas akan sangat membatu dalam upaya mensukseskan pembangunan nasional.

Kedua, bidang ekonomi. Jika kita melihat dari kacamata geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari ujung Pulau Sumatera hingga timur Pulau Papua.  Aktivitas perekonomian Indonesia dipisahkan oleh lautan. Karenanya, perpindahan barang, jasa dan manusia tentu menjadi mahal. Adanya digitalisasi tentu akan meminimalisasi biaya transaksi dan transportasi. Sekarang para kontaktor atau pebisnis, tak usah bercapek-capek menyeberang lautan jika hendak melakukan transaksi. Cukup pegang telepon seluler atau buka laptop yang ada saluran internetnya, transaksi bisa berjalan dengan mulus.

Cerita di bawah ini barangkali menarik untuk disimak. Dua bulan yang lalu saya berkunjung ke salah satu dosen yang ada di Ciputat. Sebut saja namanya Pak Arul. Ia adalah seorang dosen swasta yang sehari-hari kerjanya hanya mengajar. Tetapi yang membuat saya terkejut, ia memiliki omset sekitar 10-20 juta per bulan. Ketika saya tanya dan selidiki, ternyata ia memanfaatkan ruang virtual untuk berbisnis. “Modalnya sederhana. Yang terpenting bisa membaca peluang,” begitu katanya.

Fenomena Pak Arul ini tak jauh beda dengan teman kuliah saya, anak semester 3 tetapi sudah memiliki omset sekitar 5-10 juta per bulan. Ketika saya cari-cari tahu apa pekerjaannya, ternnyata ia juga melakukan bisnis online. “Jadi mahasiswa itu harus kreatif!” begitu ia berkata kepada saya. Dua realitas di atas hanyalah bagian kecil dari gunung es ihwal kesuksesan bisnis online—bisnis yang didukung dengan kemajuan digitalisasi—yang ada di negeri ini.

Ketiga, bidang sosial dan budaya. Dengan adanya digitalisasi semacam telepon seluler, masyarakat sekarang lebih mudah melakukan komunikasi-komunikasi intens tanpa mengenal sekat dan waktu. Komunikasi ini bisa bersifat vertikal-horizontal. Dulu sebelum adanya telepon seluler, masyarakat kecil susah sekali untuk mengadu kepada kepala desa (kades) ihwal dinamika di pedesaan atau terkait layanan publik.

Sekarang, hadirnya digitalisasi, seorang petani singkong pun bisa bersapa ria dengan anggota dewan melalui jejaring sosial seperti Twitter ataupun Facebook. Mereka bisa langsung mengadu kepada para wakilnya di Senayan tentang segala keluh kesah yang mereka alami. Di sinilah mengapa digitalisasi sering disebut-sebut sebagai wahana ampuh dalam upaya menihilkan kesenjangan sosial.

Dalam konteks budaya, digitalisasi telah mampu melalukan penyebaran dan pengembangan seni nasioanl secara masif. Sekarang ini, seni nyanyian, tarian, atau kerajinan batik khas Indonesia semakin marak menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan saking maraknya, seni tari dan nyanyian kita pernah dicaplok negeri tetangga, Malaysia. Perdebatan terjadi dan polemik pun memanas. Padahal, jika publik Indonesia mau memakai kacamata lebih bening, pencaplokan budaya kita itu justru mencerminkan hegemoni budaya Indonesia atas negeri Malaysia.

Keempat, bidang politik dan hukum. Digitalisasi telah menjadikan pemerintah lebih mudah dalam mensosialisasikan segala kebijakan dan aspek-aspek politik dan hukum kepada masyarakat publik. Sebagai dampaknya,  masyarakat sekarang kian melek politik dan sadar akan hukum. Kesadaran inilah yang nantinya kan mampu meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap aturan-aturan yang ada, sehingga tercipta keteraturan nasioanl. Dalam konteks yang lebih luas, demokrasi akan semakin tumbuh subur.

Sekarang, masyarakat dapat dengan mudah mengontrol kinerja pemerintah. Segala aspirasi pun dengan mudah disampaikan. Tata kelola pemerintahan yang terbuka, transparan dan demokratis inilah yang pada gilirannya akan mencipta pembangunan nasional yang komprehensif.

Mewujudkan Visi Indonesia 2020
Tahun 2020 digadang-gadang sebagai tahun untuk mewujudkan visi masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Karena itu, adanya digitalisasi akan terasa memliki peluang besar untuk menjawab segala tantangan tersebut.

Menilik betapa penting dan besar manfaat dan pengaruh digitalisasi, jika disinergikan terhadap pembangunan nasional akan berdampak cepat. Tentu untuk mewujudkan hal itu tidak bisa dilakukan secara personal-individual. Harus ada kesadaran kolektif dari segenap elemen bangsa. Seperti halnya operator selular yang telah mempersembahkan karya-karya terbaik bagi pelanggan (masyarakat), pemerintah dan pihak swasta pun tak boleh ketinggalan.

Dengan sarana digitalisasi, gerakan pemerintah akan terasa lebih cepat dan lempang. Paling tidak, empat bidang di atas—bidang pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik-hukum—jika disinergikan dengan pengaruh positif digitalisasi akan memiliki dampak yang baik terhadap perkembangan masyarakat akar rumput (grassroot). Tentu digitalisasi ini bukanlah segalanya, namun patut dimasukkan ke dalam kategori penting pembangunan Indonesia hari esok!


 * Juara I Lomba Esai Mahasiswa Nasional
Catatan Kaki
[i] http://www.harianberita.com/jumlah-pemakai-handphone-di-indonesia.html
[ii]http://www.tabloid-ponsel.com-183-146-juta-penduduk-indonesia-memakai-ponsel.html
[iii]http://www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta
[iv] Kompas, 13 Desember 2010
Selengkapnya...

Selasa, 22 Mei 2012

Pelajaran Penting Tragedi Sukhoi*

 Oleh: Ali Rif'an**


RABU siang itu (9/5), langit Indonesia tampak kelabu. Tragedi penerbangan kembali terjadi di Tanah Air. Sukhoi Superjet 100 (SSJ100), pesawat penumpang buatan Rusia yang tengah terbang promosi, jatuh di lereng Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Pesawat berpenumpang 45 orang yang sebagian besar warga Indonesia itu kehilangan kontak dengan Bandara Halim Perdanakusuma beberapa saat setelah meminta izin turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki.

Sebenarnya, penerbangan yang melintasi Gunung Salak itu merupakan demo kedua dari Sukhoi komersial itu. Sebelumnya, pagi harinya, pesawat tersebut sukses menerbangi sekitar kawasan Halim. Sebelum demo di Jakarta pun, Sukhoi Superjet 100 itu juga sudah sukses terbang di Myanmar, Pakistan, dan Kazakhstan. Bahkan Pemerintah Rusia mengklaim tidak ada yang salah pada mesin Sukhoi Superjet 100. Sebab, pesawat tersebut dirancang untuk bersaing dengan Bombardier (Kanada), Embraer E Jet (Brasil), dan Antonov An-148 (Ukraina). Meski begitu, pesawat yang dinahkodai pilot andal bernama Alexander Yoblontsev itu akhirnya tetap berujung naas.

Atas tragedi itu, berbagai pendapat dan spekulasi pun bermunculan. Ada yang menduga, terjadinya musibah itu karena adanya masalah komunikasi yang tertunda atau kendala bahasa karena pilot berbahasa Rusia. Ada juga dugaan bahwa ATC tidak memandu pesawat yang sedang bermasalah.

Tapi ada juga yang mengatakan faktor cuaca. Seperti dirilis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang mendeteksi adanya awan cumulo nimbus setinggi 37 ribu kaki (11,1 kilometer) dengan kerapatan 70 persen. Awan ini diduga menjadi alasan pilot minta izin menurunkan ketinggian pesawat, namun kurang memperhitungkan risiko wilayah yang bergunung (Jurnal Nasional, 14/5).

Selain itu, faktor manusia (human factor) juga dianggap menjadi penyebab kecelakaan. Ada dugaan terdapat penumpang yang tidak mematikan alat telekomunikasi sehingga mengganggu komunikasi pilot. Bahkan diduga ada sabotase terkait persaingan bisnis industri penerbangan di Indonesia yang semakin sengit.

Pelajaran Penting

Tentu saja, spekulasi-spekulasi di atas sah-sah saja sebelum ada keputusan resmi dari hasil investigasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Namun demikian, ada pelajaran penting yang dapat kita gali dari tragedi Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) ini.

Pertama, jika faktor manusia dianggap menjadi penyebab kecelakaan, bahkan diduga ada penumpang yang tidak mematikan alat telekomunikasi sehingga mengganggu komunikasi pilot, ini bisa menjadi bukti bahwa masalah kedisiplinan masyarakat kita masih dipertanyakan. Kita harus sadar bahwa kedisiplinan amat penting dalam hal apa pun. Tidak hanya soal penerbangan, tapi juga untuk semua pengendara transportasi. Sebab, tidak jarang penyebab kecelakaan transportasi dikarenakan faktor manusianya.

Dalam pantauan Mabes Polri 2011, misalnya, tercatat ada 30.629 orang tewas karena kecelakaan transportasi darat. Sementara untuk transportasi udara, dari 46 kali investigasi kecelakaan yang dilakukan KNKT selama 2011, terdapat sekitar 32 kali kecelakaan dan sebanyak 247 korban meninggal. Ketika diteliti, sebesar 62,5 persen diakibatkan faktor manusia. Karena itu, tragedi Sukhoi ini bisa menjadi pelajaran penting bahwa bersikap disiplin dan taat pada aturan tidak hanya digunakan pada dunia kantor saja, tapi juga harus diterapkan pada dunia transportasi.

Kedua, tentang soliditas dan solidaritas para aparat dan Tim SAR Indonesia. Harus diakui, kita patut bangga dengan Tim SAR Indonesia yang begitu sigap merespons tragedi ini. Bayangkan, tempat jatuhnya pesawat itu sungguh menyeramkan karena topografinya tegak lurus dengan jurang yang dalam. Namun, banyak sekali unsur pemerintah, Basarnas, tentara, polisi, dan masyarakat, semua tumpah ruah dalam suatu pasukan melakukan pencarian dari berbagai arah dan cara. Ada yang dari udara, darat, serta teknologi canggih. Semua bahu membahu bekerjasama siang-malam. Tujuan satu: mencari korban dan mengevakuasinya. Bahkan untuk proses tes DNA saat ini banyak para dokter daerah yang dengan suka rela datang ke Jakarta untuk membantu korban. Ini sungguh membanggakan karena semua pihak sangat kompak dan tanpa pamrih.

Selain itu, terlihat sekali Pemerintah Indonesia dan Rusia sangat kompak dalam berkoordinasi dan bekerja sama dalam upaya evakuasi dan identifikasi korban maupun reruntuhan pesawat. Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, langsung berteleponan untuk membicarakan kerja sama menghadapi musibah ini. Bahkan dengan kesadaran penuh, para aktivis MAPALA Universitas Indonesia tak mau ketinggalan: mereka bergabung melakukan evakuasi ke lapangan.

Ketiga, jaminan keselamatan pemumpang. Tidak bisa dipungkiri, pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia terus meningkat signifikan. Bahkan, saat ini telah menembus angka 14 persen. Tapi ironisnya, hal itu tidak diimbangi perbaikan pelayanan dan jaminan keselamatan bagi penumpang. Kemajuan bisnis penerbangan ternyata mengorbankan keselamatan penumpang karena tidak diikuti dengan langkah progresif pemerintah untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan.

Tentu tragedi ini menjadi pelajaran penting bahwa pemerintah--terutama Kementeraian Perhubungan (Kemenhub)--harus segera menyiapkan infrastruktur, regulasi, dan SDM untuk mengimbangi pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia yang semakin ketat, sehingga keselamatan dan keamanan penumpang tidak terabaikan. Kenyamanan terutama keselamatan penumpang mutlak diutamakan agar jangan sampai pesawat ibarat peti mati yang disiapkan bagi masyarakat.

* Jurnal Nasional, 22 Mei 2012
** Mahasiswa Asal Pati dan Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Selengkapnya...

Kamis, 03 Mei 2012

Partai Baru, Harapan Baru*

Oleh: Ali Rif'an**


 Ada sesuatu yang fenomenal ketika berbicara partai politik saat ini, yakni tentang mencuatnya Partai NasDem. Partai yang baru tujuh bulan berdiri itu—bahkan belum disahkan KPU—tiba-tiba menduduki empat besar dalam survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pertengahan Maret 2012 lalu.

Peringkat pertama diduduki Golkar (17,7%), disusul PDIP (13,6%), Demokrat (13,4%), dan Partai NasDem (5,9%). Di bawahnya, PKB (5,3%), PPP (5,3%), PKS (4,2%), Gerindra (3,7%), PAN (2,7%), Hanura (0,9%), dan Partai Nasional Republik (0,5%). Responden yang memilih partai lain-lain (3,5%) dan belum tahu (23,4%).

Mengapa partai besutan Surya Paloh itu tiba-tiba memperoleh dukungan cukup fantastis, bahkan mengungguli partai yang sempat fenomenal sebelumnya, yakni PKS dan Gerindra? Seorang lawan politik pasti akan menjawab dengan cibiran: Partai NasDem besar karena didukung iklan media yang besar serta sokongan dana yang kuat.

Cibiran seperti itu sah-sah saja. Tapi jika diamati lebih jernih, ada beberapa alasan penting yang menyebabkan Partai NasDem meraih banyak dukungan. Pertama, NasDem hadir di saat partai-partai pendahulunya (baca: partai lama) sedang disandera berbagai masalah. Dengan begitu, simpati masyarakat terhadap partai-partai lama beralih ke partai baru sebagai bentuk harapan. Partai baru identik dengan semangat baru. Semangat baru, tulis Eric Fromm (1996), adalah cermin adanya harapan.

Animo Anak Muda
 Kedua, dari hasil survei LSI, terlihat bahwa 75% pemilih NasDem merupakan orang muda yang belum pernah memilih. Ini artinya, NasDem menjadi partai harapan anak-anak muda. Terbukti misalnya, ketika NasDem membuat gerakan sayap—atau tulang punggung partai— seperti Liga Mahasiswa NasDem (LMN), antusiasme dan animo para mahasiswa begitu tinggi. Diprediksi, NasDem akan menjadi ruang bagi mereka yang masih gundah menentukan pilihannya, atau yang tahun lalu golput.

Ketiga, ketidakjelasan ideologi partai saat ini menjadikan NasDem sebagai partai alternatif. Lihat saja, ideologi partai satu dengan lainnya tak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan keberadaan dua partai besar di Amerika Serikat: Demokrat dan Republik. Perbedaan ideologinya sangat menonjol, yakni antara liberal dan konservatif.
Kini banyak partai yang justru hanyut dalam politik pragmatis. Partai dibentuk semata-mata hanya untuk mengejar kekuasaan sehingga mengabaikan kepentingan publik yang mestinya diperjuangkan. Lihat saja sekarang, koalisi dibentuk bukan berdasarkan fatsun ideologi, melainkan transaksional kekuasaan—bagi-bagi kursi menteri.

Padahal, seperti diungkapkan Ramlan Surbakti (1992), ada dua alasan yang melatarbelakangi terbentuknya parpol. Pertama, parpol dibentuk akibat terjadinya transisi yang berakibat pada krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Partai berfungsi mengatasi kebuntuan partisipasi dan interaksi di masyarakat. Kedua, parpol dibentuk atas dasar kebutuhan terhadap perubahan modernisasi sosial dan ekonomi.

Sebagai pilar utama demokrasi, parpol memiliki peranan penting dalam mengemban cita-cita bangsa. Parpol dapat menjadi wadah serta ruang untuk penampung aspirasi rakyat yang berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran. Namun di sisi lain, parpol juga bisa menjadi sesuatu yang absurd serta menjadi penghambat pembangunan bangsa jika dinahkodai orang-orang yang salah (Firman Subagyo, 2009). Ibarat pedang bermata dua: parpol bisa menjadi pemecah masalah, tapi juga dapat mendatangkan masalah.

Fungsi Ideal
Tentu saja, sebagai partai baru, NasDem digadang-gadang bisa menjadi harapan baru di tengah menurunnya elektabilitas partai politik sekarang. NasDem diharapkan mampu mewujudkan fungsi ideal sebuah partai politik.
Kini masyarakat berharap Partai NasDem hadir sebagai oase yang mampu memberi kesejukan di tengah belantara perpolitikan nasional yang pekat dengan aroma uang dan pragmatisme. Karena diprediksi, pencapaian NasDem yang saat ini dianggap jauh melebihi prestasi Demokrat pada Pemilu 2004 berpeluang besar memiliki dukungan tinggi dalam Pemilu 2014.

Sebagai perbandingan, Partai Demokrat misalnya—yang pernah menjadi partai unggul—dalam survei waktu itu hanya meraih dukungan 3% ketika enam bulan menjelang pemilu. Sementara itu, Partai NasDem yang masih sekitar dua tahun lagi menuju Pemilu 2014 sudah meraih 5,9%. Ini artinya, jika tren kenaikan dukungan terhadap Partai NasDem bisa dipertahankan, bukan tak mungkin partai pengusung Gerakan Perubahan dan Restorasi Indonesia ini menjadi partai unggul pada Pemilu 2014. 

*Lampung Post, 19 April 2012
**Peneliti Bidang Politik Lembaga Pengembangan Studi
dan Informasi (LPSI) Jakarta
Selengkapnya...