Selasa, 22 Mei 2012

Pelajaran Penting Tragedi Sukhoi*

 Oleh: Ali Rif'an**


RABU siang itu (9/5), langit Indonesia tampak kelabu. Tragedi penerbangan kembali terjadi di Tanah Air. Sukhoi Superjet 100 (SSJ100), pesawat penumpang buatan Rusia yang tengah terbang promosi, jatuh di lereng Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Pesawat berpenumpang 45 orang yang sebagian besar warga Indonesia itu kehilangan kontak dengan Bandara Halim Perdanakusuma beberapa saat setelah meminta izin turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki.

Sebenarnya, penerbangan yang melintasi Gunung Salak itu merupakan demo kedua dari Sukhoi komersial itu. Sebelumnya, pagi harinya, pesawat tersebut sukses menerbangi sekitar kawasan Halim. Sebelum demo di Jakarta pun, Sukhoi Superjet 100 itu juga sudah sukses terbang di Myanmar, Pakistan, dan Kazakhstan. Bahkan Pemerintah Rusia mengklaim tidak ada yang salah pada mesin Sukhoi Superjet 100. Sebab, pesawat tersebut dirancang untuk bersaing dengan Bombardier (Kanada), Embraer E Jet (Brasil), dan Antonov An-148 (Ukraina). Meski begitu, pesawat yang dinahkodai pilot andal bernama Alexander Yoblontsev itu akhirnya tetap berujung naas.

Atas tragedi itu, berbagai pendapat dan spekulasi pun bermunculan. Ada yang menduga, terjadinya musibah itu karena adanya masalah komunikasi yang tertunda atau kendala bahasa karena pilot berbahasa Rusia. Ada juga dugaan bahwa ATC tidak memandu pesawat yang sedang bermasalah.

Tapi ada juga yang mengatakan faktor cuaca. Seperti dirilis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang mendeteksi adanya awan cumulo nimbus setinggi 37 ribu kaki (11,1 kilometer) dengan kerapatan 70 persen. Awan ini diduga menjadi alasan pilot minta izin menurunkan ketinggian pesawat, namun kurang memperhitungkan risiko wilayah yang bergunung (Jurnal Nasional, 14/5).

Selain itu, faktor manusia (human factor) juga dianggap menjadi penyebab kecelakaan. Ada dugaan terdapat penumpang yang tidak mematikan alat telekomunikasi sehingga mengganggu komunikasi pilot. Bahkan diduga ada sabotase terkait persaingan bisnis industri penerbangan di Indonesia yang semakin sengit.

Pelajaran Penting

Tentu saja, spekulasi-spekulasi di atas sah-sah saja sebelum ada keputusan resmi dari hasil investigasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Namun demikian, ada pelajaran penting yang dapat kita gali dari tragedi Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) ini.

Pertama, jika faktor manusia dianggap menjadi penyebab kecelakaan, bahkan diduga ada penumpang yang tidak mematikan alat telekomunikasi sehingga mengganggu komunikasi pilot, ini bisa menjadi bukti bahwa masalah kedisiplinan masyarakat kita masih dipertanyakan. Kita harus sadar bahwa kedisiplinan amat penting dalam hal apa pun. Tidak hanya soal penerbangan, tapi juga untuk semua pengendara transportasi. Sebab, tidak jarang penyebab kecelakaan transportasi dikarenakan faktor manusianya.

Dalam pantauan Mabes Polri 2011, misalnya, tercatat ada 30.629 orang tewas karena kecelakaan transportasi darat. Sementara untuk transportasi udara, dari 46 kali investigasi kecelakaan yang dilakukan KNKT selama 2011, terdapat sekitar 32 kali kecelakaan dan sebanyak 247 korban meninggal. Ketika diteliti, sebesar 62,5 persen diakibatkan faktor manusia. Karena itu, tragedi Sukhoi ini bisa menjadi pelajaran penting bahwa bersikap disiplin dan taat pada aturan tidak hanya digunakan pada dunia kantor saja, tapi juga harus diterapkan pada dunia transportasi.

Kedua, tentang soliditas dan solidaritas para aparat dan Tim SAR Indonesia. Harus diakui, kita patut bangga dengan Tim SAR Indonesia yang begitu sigap merespons tragedi ini. Bayangkan, tempat jatuhnya pesawat itu sungguh menyeramkan karena topografinya tegak lurus dengan jurang yang dalam. Namun, banyak sekali unsur pemerintah, Basarnas, tentara, polisi, dan masyarakat, semua tumpah ruah dalam suatu pasukan melakukan pencarian dari berbagai arah dan cara. Ada yang dari udara, darat, serta teknologi canggih. Semua bahu membahu bekerjasama siang-malam. Tujuan satu: mencari korban dan mengevakuasinya. Bahkan untuk proses tes DNA saat ini banyak para dokter daerah yang dengan suka rela datang ke Jakarta untuk membantu korban. Ini sungguh membanggakan karena semua pihak sangat kompak dan tanpa pamrih.

Selain itu, terlihat sekali Pemerintah Indonesia dan Rusia sangat kompak dalam berkoordinasi dan bekerja sama dalam upaya evakuasi dan identifikasi korban maupun reruntuhan pesawat. Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, langsung berteleponan untuk membicarakan kerja sama menghadapi musibah ini. Bahkan dengan kesadaran penuh, para aktivis MAPALA Universitas Indonesia tak mau ketinggalan: mereka bergabung melakukan evakuasi ke lapangan.

Ketiga, jaminan keselamatan pemumpang. Tidak bisa dipungkiri, pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia terus meningkat signifikan. Bahkan, saat ini telah menembus angka 14 persen. Tapi ironisnya, hal itu tidak diimbangi perbaikan pelayanan dan jaminan keselamatan bagi penumpang. Kemajuan bisnis penerbangan ternyata mengorbankan keselamatan penumpang karena tidak diikuti dengan langkah progresif pemerintah untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan.

Tentu tragedi ini menjadi pelajaran penting bahwa pemerintah--terutama Kementeraian Perhubungan (Kemenhub)--harus segera menyiapkan infrastruktur, regulasi, dan SDM untuk mengimbangi pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia yang semakin ketat, sehingga keselamatan dan keamanan penumpang tidak terabaikan. Kenyamanan terutama keselamatan penumpang mutlak diutamakan agar jangan sampai pesawat ibarat peti mati yang disiapkan bagi masyarakat.

* Jurnal Nasional, 22 Mei 2012
** Mahasiswa Asal Pati dan Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta


0 komentar:

Posting Komentar