Oleh: Ali Rif'an**
Sejak
reformasi bergulir, partisipasi perempuan di ranah politik dan publik
semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bila pada 1999 jumlah
anggota DPR perempuan 8,6 persen dan 11,6 persen pada 2004, kini dari
650 anggota DPR terdapat 101 perempuan (18,03 persen).
Artinya,
posisi perempuan di ranah publik dianggap penting. Ini karena perempuan
sejak awal identik dengan sosok yang penuh kasih sayang, tempat
berteduh, memiliki watak tidak "tegaan", serta minim dari nalar
kerakusan. Terbukti, misalnya, dari penelitian World Bank (1999),
perempuan bisa menjadi kontrol dan pengarah bagi laki-laki yang salah
langkah dan salah arah. Kaum perempuan dianggap lebih telaten,
hati-hati, dan malu kalau melakukan tindakan tercela, termasuk korupsi.
Hal
ini diperkuat dengan data World Value Surveys yang menyebutkan, dari 18
negara tahun 1981 dan dari 43 negara tahun 1991, perempuan selalu
menunjukkan penolakan terhadap perbuatan tidak jujur dan yang bersifat
ilegal lebih besar ketimbang laki-laki. Di sinilah kemudian, banyak
negara di belahan dunia berlomba-lomba memberikan kesempatan pada
perempuan di ranah pemerintahan atau parlemen dengan harapan angka
praktik korupsi bisa ditekan.
Sayangnya, asumsi tersebut
kurang relevan ketika kita melihat kasus-kasus korupsi yang terjadi
akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia. Tampaknya penelitian World Bank
itu sudah tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kevalidan. Sebab, meski
banyak perempuan masuk ke ranah politik, korupsi juga masih saja
terjadi, bahkan di antara pelakunya banyak melibatkan aktor perempuan.
Pusaran Korupsi
Beberapa
perempuan yang telah dan tengah berada dalam pusaran korupsi antara
lain Artalyta Suryani, yang terlibat dalam kasus suap terhadap Jaksa
Urip Tri Gunawan. Artalyta semakin populer ketika sel penjara yang
dihuninya dikabarkan disulap bagaikan kamar hotel berbintang lima. Nunun
Nurbaetie dan Miranda S Goeltom dalam kasus suap pemilihan Deputi
Gubernur BI, sementara Wa Ode Nurhayati dalam kasus mafia badan anggaran
(Banggar) DPR.
Selain itu, dua anggota DPR Ni Luh Mariani
Tirtasari dan Engelina Pattiasina juga tersangkut kasus cek pelawat.
Sedangkan Dhanarwati juga terlibat kasus suap Kemenakertrans, serta
Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, hingga yang paling terseksi
adalah Angelina Sondakh dalam kasus suap Wisma Atlet. Lebih dari itu,
perempuan yang sempat dikaitkan dengan berbagai skandal suap juga tak
kalah banyak. Ada Malinda Dee yang sempat "tenar" karena kiprahnya
membobol uang nasabah Citibank, ataupun Athiyah Laila, istri Anas
Urbaningrum dalam kasus suap Wisma Atlet.
Tentu saja,
skandal korupsi yang menimpa perempuan Indonesia di atas menjadi
keperihatinan bagi kita semua, khususnya kalangan penggerak dan pejuang
hak-hak kesataraan perempuan(responsive gender). Sebab, ibarat
pepatah: "karena nila setitik, rusak susu sebelanga".Tidak saja citra
perempuan yang rusak, dikhawatirkan skandal perempuan korupsi ini
menjangkiti kaum perempuan Indonesia lainnya. Sebab, fakta, pelaku
maupun tersangka cenderung selalu ada hampir pada setiap tahun.
Mengembalikan Citra
Karena
itu, citra perempuan Indonesia harus segera dikembalikan. Sebab, dalam
sejarahnya, wanita Indonesia justru memiliki prestasi-prestasi luar
biasa. Sebut saja Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, dan RA Kartini, adalah
beberapa wanita yang telah menorehkan sejarah baru dan mengharumkan
negeri ini. Kartini, misalnya, menjadi sosok yang sangat membanggakan.
Selain mampu menghapus budaya partiarkal masyarakat Jawa terhadap kaum
perempuan yang cenderung diskriminanif, Kartini juga menempatkan posisi
perempuan identik dengan peradaban.
Bagi Kartini,
perempuan adalah peletak dasar tunas-tunas baru kehidupan. Perempuan
paling banyak membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Perempuan
memiliki pengaruh cukup besar dalam uapaya menata hidup dan kehidupan.
Sebab, dari perempuanlah manusia pertama-tama menerima pembelajaran
seperti: merasa, berpikir, dan berkata-kata.
Perempuan,
menurut Kartini, adalah tempat awal untuk memulai pendidikan oleh
anak-anak atau generasi-generasi baru. Mustahil perempuan mendidik tanpa
pengetahuan. Karena, dari bangunan pendidikan yang dilakoni perempuan
terdidik itulah akan lahir generasi-generasi yang beradab sebagai
cikal-bakal lahirnya peradaban. Karena sesungguhnya, perawatan manusia
sejak janin hingga berakal sangat ditentukan oleh kualitas mendidik oleh
sang ibu.
Benih manusia yang dirawat dengan baik juga
akan tumbuh dan berkembang baik. Begitu juga sebaliknya. Dalam satu
suratnya Kartini menulis, "Banyak pengetahuan bukan ijazah tanda mulia
budi pekerti. Jiwa dididik dalam pergaulan di rumah, anak bukan untuk
dirinya melainkan untuk masyarakat." Dari untaian kata ini, Kartini
berpendapat bahwa peradaban harus diserahkan pada perempuan.
Karena itu, tak heran jika Bung Karno dalam bukunya Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjoeangan Republik Indonesia (1963)
mengatakan, "Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang
ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan jika
Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara
Nasional".
Bung Karno yakin, perempuan Indonesia mampu "berdikari".
Dalam
buku tersebut Bung Karno bahkan berpesan bahwa perempuan (wanita)
Indonesia harus ikut aktif dalam panggung dan kontestasi nasional.
Menurut Bung Karno, pertama, kaum perempuan memiliki tanggung jawab sejarah untuk menyelamatkan negara. Kedua, kaum perempuan memiliki peran yang strategis dalam proses menyusun negara. Ketiga, kaum
perempuan harus ikut serta menggerakkan perubahan sosial, yakni
perubahan yang mengantarkan rakyat Indonesia (warga bangsa) kepada
kehidupan yang adil dan makmur atau masyarakat berkeadilan sosial dan
sejahtera.
Maka itu, sudah saatnya kita mengembalikan
citra perempuan Indonesia yang kini tengah dilanda badai korupsi. Kita
harus yakin bahwa perempuan-perempuan Indonesia adalah generasi-generasi
yang bisa diandalkan. Perempuan Indonesia harus bisa menjadi tiang bagi
tegaknya Republik. Karena, seperti sabda Rasulullah SAW, wanita
(salihah) adalah tulang punggung umat.
*Jurnal Nasional, 21 Apr 2012
**Peneliti Bidang Politik Lembaga Pengembangan Studi dan Informasi (LPSI) Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar