Kamis, 03 Mei 2012

Mengembalikan Citra Perempuan*


Oleh: Ali Rif'an**

Sejak reformasi bergulir, partisipasi perempuan di ranah politik dan publik semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan. Bila pada 1999 jumlah anggota DPR perempuan 8,6 persen dan 11,6 persen pada 2004, kini dari 650 anggota DPR terdapat 101 perempuan (18,03 persen).

Artinya, posisi perempuan di ranah publik dianggap penting. Ini karena perempuan sejak awal identik dengan sosok yang penuh kasih sayang, tempat berteduh, memiliki watak tidak "tegaan", serta minim dari nalar kerakusan. Terbukti, misalnya, dari penelitian World Bank (1999), perempuan bisa menjadi kontrol dan pengarah bagi laki-laki yang salah langkah dan salah arah. Kaum perempuan dianggap lebih telaten, hati-hati, dan malu kalau melakukan tindakan tercela, termasuk korupsi.

Hal ini diperkuat dengan data World Value Surveys yang menyebutkan, dari 18 negara tahun 1981 dan dari 43 negara tahun 1991, perempuan selalu menunjukkan penolakan terhadap perbuatan tidak jujur dan yang bersifat ilegal lebih besar ketimbang laki-laki. Di sinilah kemudian, banyak negara di belahan dunia berlomba-lomba memberikan kesempatan pada perempuan di ranah pemerintahan atau parlemen dengan harapan angka praktik korupsi bisa ditekan.

Sayangnya, asumsi tersebut kurang relevan ketika kita melihat kasus-kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia. Tampaknya penelitian World Bank itu sudah tidak lagi menunjukkan tanda-tanda kevalidan. Sebab, meski banyak perempuan masuk ke ranah politik, korupsi juga masih saja terjadi, bahkan di antara pelakunya banyak melibatkan aktor perempuan.

Pusaran Korupsi
Beberapa perempuan yang telah dan tengah berada dalam pusaran korupsi antara lain Artalyta Suryani, yang terlibat dalam kasus suap terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan. Artalyta semakin populer ketika sel penjara yang dihuninya dikabarkan disulap bagaikan kamar hotel berbintang lima. Nunun Nurbaetie dan Miranda S Goeltom dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI, sementara Wa Ode Nurhayati dalam kasus mafia badan anggaran (Banggar) DPR.

Selain itu, dua anggota DPR Ni Luh Mariani Tirtasari dan Engelina Pattiasina juga tersangkut kasus cek pelawat. Sedangkan Dhanarwati juga terlibat kasus suap Kemenakertrans, serta Mindo Rosalina Manulang, Neneng Sri Wahyuni, hingga yang paling terseksi adalah Angelina Sondakh dalam kasus suap Wisma Atlet. Lebih dari itu, perempuan yang sempat dikaitkan dengan berbagai skandal suap juga tak kalah banyak. Ada Malinda Dee yang sempat "tenar" karena kiprahnya membobol uang nasabah Citibank, ataupun Athiyah Laila, istri Anas Urbaningrum dalam kasus suap Wisma Atlet.

Tentu saja, skandal korupsi yang menimpa perempuan Indonesia di atas menjadi keperihatinan bagi kita semua, khususnya kalangan penggerak dan pejuang hak-hak kesataraan perempuan(responsive gender). Sebab, ibarat pepatah: "karena nila setitik, rusak susu sebelanga".Tidak saja citra perempuan yang rusak, dikhawatirkan skandal perempuan korupsi ini menjangkiti kaum perempuan Indonesia lainnya. Sebab, fakta, pelaku maupun tersangka cenderung selalu ada hampir pada setiap tahun.

Mengembalikan Citra
Karena itu, citra perempuan Indonesia harus segera dikembalikan. Sebab, dalam sejarahnya, wanita Indonesia justru memiliki prestasi-prestasi luar biasa. Sebut saja Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, dan RA Kartini, adalah beberapa wanita yang telah menorehkan sejarah baru dan mengharumkan negeri ini. Kartini, misalnya, menjadi sosok yang sangat membanggakan. Selain mampu menghapus budaya partiarkal masyarakat Jawa terhadap kaum perempuan yang cenderung diskriminanif, Kartini juga menempatkan posisi perempuan identik dengan peradaban.

Bagi Kartini, perempuan adalah peletak dasar tunas-tunas baru kehidupan. Perempuan paling banyak membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Perempuan memiliki pengaruh cukup besar dalam uapaya menata hidup dan kehidupan. Sebab, dari perempuanlah manusia pertama-tama menerima pembelajaran seperti: merasa, berpikir, dan berkata-kata.

Perempuan, menurut Kartini, adalah tempat awal untuk memulai pendidikan oleh anak-anak atau generasi-generasi baru. Mustahil perempuan mendidik tanpa pengetahuan. Karena, dari bangunan pendidikan yang dilakoni perempuan terdidik itulah akan lahir generasi-generasi yang beradab sebagai cikal-bakal lahirnya peradaban. Karena sesungguhnya, perawatan manusia sejak janin hingga berakal sangat ditentukan oleh kualitas mendidik oleh sang ibu.

Benih manusia yang dirawat dengan baik juga akan tumbuh dan berkembang baik. Begitu juga sebaliknya. Dalam satu suratnya Kartini menulis, "Banyak pengetahuan bukan ijazah tanda mulia budi pekerti. Jiwa dididik dalam pergaulan di rumah, anak bukan untuk dirinya melainkan untuk masyarakat." Dari untaian kata ini, Kartini berpendapat bahwa peradaban harus diserahkan pada perempuan.

Karena itu, tak heran jika Bung Karno dalam bukunya Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjoeangan Republik Indonesia (1963) mengatakan, "Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional".
Bung Karno yakin, perempuan Indonesia mampu "berdikari".

Dalam buku tersebut Bung Karno bahkan berpesan bahwa perempuan (wanita) Indonesia harus ikut aktif dalam panggung dan kontestasi nasional. Menurut Bung Karno, pertama, kaum perempuan memiliki tanggung jawab sejarah untuk menyelamatkan negara. Kedua, kaum perempuan memiliki peran yang strategis dalam proses menyusun negara. Ketiga, kaum perempuan harus ikut serta menggerakkan perubahan sosial, yakni perubahan yang mengantarkan rakyat Indonesia (warga bangsa) kepada kehidupan yang adil dan makmur atau masyarakat berkeadilan sosial dan sejahtera.

Maka itu, sudah saatnya kita mengembalikan citra perempuan Indonesia yang kini tengah dilanda badai korupsi. Kita harus yakin bahwa perempuan-perempuan Indonesia adalah generasi-generasi yang bisa diandalkan. Perempuan Indonesia harus bisa menjadi tiang bagi tegaknya Republik. Karena, seperti sabda Rasulullah SAW, wanita (salihah) adalah tulang punggung umat.

 *Jurnal Nasional, 21 Apr 2012
 **Peneliti Bidang Politik Lembaga Pengembangan Studi dan Informasi (LPSI) Jakarta


0 komentar:

Posting Komentar