Kamis, 03 Mei 2012

Partai Baru, Harapan Baru*

Oleh: Ali Rif'an**


 Ada sesuatu yang fenomenal ketika berbicara partai politik saat ini, yakni tentang mencuatnya Partai NasDem. Partai yang baru tujuh bulan berdiri itu—bahkan belum disahkan KPU—tiba-tiba menduduki empat besar dalam survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pertengahan Maret 2012 lalu.

Peringkat pertama diduduki Golkar (17,7%), disusul PDIP (13,6%), Demokrat (13,4%), dan Partai NasDem (5,9%). Di bawahnya, PKB (5,3%), PPP (5,3%), PKS (4,2%), Gerindra (3,7%), PAN (2,7%), Hanura (0,9%), dan Partai Nasional Republik (0,5%). Responden yang memilih partai lain-lain (3,5%) dan belum tahu (23,4%).

Mengapa partai besutan Surya Paloh itu tiba-tiba memperoleh dukungan cukup fantastis, bahkan mengungguli partai yang sempat fenomenal sebelumnya, yakni PKS dan Gerindra? Seorang lawan politik pasti akan menjawab dengan cibiran: Partai NasDem besar karena didukung iklan media yang besar serta sokongan dana yang kuat.

Cibiran seperti itu sah-sah saja. Tapi jika diamati lebih jernih, ada beberapa alasan penting yang menyebabkan Partai NasDem meraih banyak dukungan. Pertama, NasDem hadir di saat partai-partai pendahulunya (baca: partai lama) sedang disandera berbagai masalah. Dengan begitu, simpati masyarakat terhadap partai-partai lama beralih ke partai baru sebagai bentuk harapan. Partai baru identik dengan semangat baru. Semangat baru, tulis Eric Fromm (1996), adalah cermin adanya harapan.

Animo Anak Muda
 Kedua, dari hasil survei LSI, terlihat bahwa 75% pemilih NasDem merupakan orang muda yang belum pernah memilih. Ini artinya, NasDem menjadi partai harapan anak-anak muda. Terbukti misalnya, ketika NasDem membuat gerakan sayap—atau tulang punggung partai— seperti Liga Mahasiswa NasDem (LMN), antusiasme dan animo para mahasiswa begitu tinggi. Diprediksi, NasDem akan menjadi ruang bagi mereka yang masih gundah menentukan pilihannya, atau yang tahun lalu golput.

Ketiga, ketidakjelasan ideologi partai saat ini menjadikan NasDem sebagai partai alternatif. Lihat saja, ideologi partai satu dengan lainnya tak ada perbedaan yang signifikan. Hal ini berbeda, misalnya, dengan keberadaan dua partai besar di Amerika Serikat: Demokrat dan Republik. Perbedaan ideologinya sangat menonjol, yakni antara liberal dan konservatif.
Kini banyak partai yang justru hanyut dalam politik pragmatis. Partai dibentuk semata-mata hanya untuk mengejar kekuasaan sehingga mengabaikan kepentingan publik yang mestinya diperjuangkan. Lihat saja sekarang, koalisi dibentuk bukan berdasarkan fatsun ideologi, melainkan transaksional kekuasaan—bagi-bagi kursi menteri.

Padahal, seperti diungkapkan Ramlan Surbakti (1992), ada dua alasan yang melatarbelakangi terbentuknya parpol. Pertama, parpol dibentuk akibat terjadinya transisi yang berakibat pada krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi. Partai berfungsi mengatasi kebuntuan partisipasi dan interaksi di masyarakat. Kedua, parpol dibentuk atas dasar kebutuhan terhadap perubahan modernisasi sosial dan ekonomi.

Sebagai pilar utama demokrasi, parpol memiliki peranan penting dalam mengemban cita-cita bangsa. Parpol dapat menjadi wadah serta ruang untuk penampung aspirasi rakyat yang berorientasi pada kesejahteraan dan kemakmuran. Namun di sisi lain, parpol juga bisa menjadi sesuatu yang absurd serta menjadi penghambat pembangunan bangsa jika dinahkodai orang-orang yang salah (Firman Subagyo, 2009). Ibarat pedang bermata dua: parpol bisa menjadi pemecah masalah, tapi juga dapat mendatangkan masalah.

Fungsi Ideal
Tentu saja, sebagai partai baru, NasDem digadang-gadang bisa menjadi harapan baru di tengah menurunnya elektabilitas partai politik sekarang. NasDem diharapkan mampu mewujudkan fungsi ideal sebuah partai politik.
Kini masyarakat berharap Partai NasDem hadir sebagai oase yang mampu memberi kesejukan di tengah belantara perpolitikan nasional yang pekat dengan aroma uang dan pragmatisme. Karena diprediksi, pencapaian NasDem yang saat ini dianggap jauh melebihi prestasi Demokrat pada Pemilu 2004 berpeluang besar memiliki dukungan tinggi dalam Pemilu 2014.

Sebagai perbandingan, Partai Demokrat misalnya—yang pernah menjadi partai unggul—dalam survei waktu itu hanya meraih dukungan 3% ketika enam bulan menjelang pemilu. Sementara itu, Partai NasDem yang masih sekitar dua tahun lagi menuju Pemilu 2014 sudah meraih 5,9%. Ini artinya, jika tren kenaikan dukungan terhadap Partai NasDem bisa dipertahankan, bukan tak mungkin partai pengusung Gerakan Perubahan dan Restorasi Indonesia ini menjadi partai unggul pada Pemilu 2014. 

*Lampung Post, 19 April 2012
**Peneliti Bidang Politik Lembaga Pengembangan Studi
dan Informasi (LPSI) Jakarta


0 komentar:

Posting Komentar