Rabu, 12 Agustus 2009

KISAH DARI LENTENG AGUNG

Oleh: Anom Bagas Prasetyo*

Bagaimana para mahasiswa ditarik ke dalam gerakan Negara Islam
Indonesia?

NENI ROSIDA seumur hidup tak akan melupakan peristiwa siang itu.
Seorang temannya di kampus, Esti, mengajaknya menemui seorang
pria.

Esti hanya menyebut hendak menemui seorang kawan SMA yang
sudah lama tak bersua. Hanya main saja, kata Esti.

Tak biasanya Esti berbuat demikian, pikirnya. Neni dan Esti
berkawan baik sejak semester awal. Menginjak semester empat,
keduanya aktif di organisasi intrakampus. Jadi aktivis, kata orang.
Keduanya kerap cerita terusterang, bahkan ihwal pribadi masingmasing.
“Dia bestfriend aku, kami sering jalan bareng,” kata Neni
kepada MaJEMUK, akhir Agustus silam.

Rasanya ada yang ditutup-tutupi Esti, Neni penasaran. Meski tak
jauh dari kampus, tak biasa pula Esti menjemputnya ke asrama. Tak
mau karibnya kecewa, Neni mengiayakan saja ajakan karibnya yang
tomboi itu.

Di sebuah tempat di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan,
mereka bertemu. Teman SMA Esti rupanya seorang pria biasa—seperti
pria kebanyakan. Tapi Neni terkesan, ia murah senyum, ramah, dan
pandai bergaul.

Pria berkulit coklat itu rupanya juga kocak dan berwawasan luas.
Keduanya amat terkesan saat ia cerita tentang masalah kegamaan.
Sebuah tema yang memang disukai Neni sejak jadi mahasiswi.
“Kebetulan, saat itu aku sedang tertarik pada banyak hal. Aku juga lagi
butuh pegangan kokoh pada agama yang aku yakini,” tuturnya
menerawang.

Tahu bahwa Neni terkesan dengan ceritanya, pria bernama Yunus itu
kemudian bilang bahwa ia punya seorang kakak senior. Yunus
menyebut seniornya seorang mahasiswa cemerlang dalam pemikiran
keagamaan. Hal itu membawanya menjadi peserta pertukaran pelajar
di Eropa. Yunus juga menawari Neni dan Esti untuk bertemu seniornya
itu. “Gimana, kalian tertarik nggak ketemu dia?” ajak Yunus. Akhirnya,
mereka bertiga sepakat untuk bertemu lagi dua hari berikutnya.

Tanpa pikir panjang, dengan dukungan Esti, Neni tertarik oleh
ajakan pria yang baru dikenalnya itu. Neni sebelumnya memang
sempat cerita kepada Esti bahwa ia “sedang mencari.” Mungkin ini
jawaban dari Tuhan, pikir Neni.

“Wah, saat itu saya tertarik sekali. Aku pada intinya berminat,
karena waktu itu dalam diriku lagi ada pertanyaan tentang bagaimana
beragama yang benar, makanya aku tertarik sekali.”

***

TAK JAUH dari Universitas Pancasila--sekitar tiga kilometer dari Pasar Minggu--
di Jakarta selatan, ketiganya bertemu di sebuah rumah berlantai dua.
Sekitar sepuluhan mahasiwa-mahasiswi—dengan gaya mahasiswa masa
kini yang necis dan manis—tampak berdiskusi saat mereka memasuki
rumah kontrakan itu. Di sinilah Yusuf mengenalkan Neni kepada
seniornya, seorang pria tampan bersetelan kemeja warna gelap.

Seperti cerita Yusuf, pria parlente ini memang punya potongan
seorang peserta pertukaran pelajar, smart dan excelellent. Ia
memperkenalkan diri dengan sopan. “Dia seperti model gitu deh..,
cakep and manis pokoknya. Seingatku namanya Wawan. Nggak Islam
banget kok namanya,” tutur Neni bersemangat.

Wawan memang pandai menarik perhatian. Ia mulai bercerita
tentang pengalamannya di Eropa dan sesekali menyinggung forum
diskusi keagamaan yang ia bikin bersama teman-temannya di sana.

Neni terkesima. Kepada Wawan ia ceritakan semua ganjalan hatinya
tentang Islam. Wawan tak hanya menanggapi dan menjawab dengan
tangkas dan simpatik. Ia bahkan tak keberatan menawarkan sesi
diskusi rutin tentang keagamaan.

Diskusi agak serius pun akhirnya berlangsung di sebuah ruang agak
tertutup. Usai cerita lebih jauh tentang pengalamannya, Wawan mulai
membahas Pancasila dengan sesekali mengutip sejumlah ayat pendek
dari Alquran dan hadis yang ia hafal di luar kepala.

Semangat Wawan membuat Neni kian yakin bahwa ia telah temukan
apa yang dicarinya selama ini. Seperti dalam pelatihan-pelatihan,
penjelasan Wawan dilengkapi ilustrasi berupa gambar dan coretan-coretan.

Tak ketinggalan, ia juga membandingkan Alquran dan Pancasila
dalam sebuah gambar pohon faktor: Alquran pada satu sisi, dan
Pancasila di sisi yang lain. Meski penjelasannya agak rumit dan
provokatif, Wawan tetap tampak simpatik, tenang, dan tak emosional.

Ia pun mengajak Neni untuk lebih condong kepada Alquran, karena
dengan itu akan dibentuk suatu sistem negara berdasarkan syariat,
negara Islam. Sebaliknya, baginya Pancasila adalah pilihan yang salah,
tak cocok sebagai ideologi karena hanya melahirkan kebobrokan.

“Sistem yang bobrok oleh Pancasila ini mesti diubah dengan sebuah
sistem yang berdasarkan Alquran,” kata Wawan meyakinkan. Segala hal
yang Neni tanyakan, ia cari jawabannya dalam Alquran dan hadis. Neni
serasa memasuki sebuah dunia baru.

Neni juga diminta mengisi selembar formulir berikut iuran
alakadarnya. Kolom nama, alamat, nomor telepon hingga orang
tedekat, harus ia isi semua. Ini merupakan syarat awal untuk seorang
anggota baru.

Yang membuatnya penasaran, ia ditanya secara khusus tentang
keluarga dan orang-orang terdekatnya. Ditanyakan pula apakah Neni
punya saudara di militer atau kepolisian. Lhoh, ini organisasi apaan sih,
kok ditanya ginian segala?, tanya Neni dalam hati.

Dengan sedikit curiga, berikutnya Neni masih sering ke sana. Ia
turuti rasa penasarannya. “Sejak itu, aku ikutin dulu maunya mereka
apa. Aku juga pengen tahu sejauh mana mereka.”

***

RASA PENASARAN Neni belum juga terjawab hingga pada sesi
ketiga, bersama Esti, ia di ajak ke suatu tempat dengan mata ditutup.
Esti meyakinkan bahwa ini hanya untuk perjalanan sementara saja
sebelum mengikuti tes. Sebuah tes khusus. Karena sifatnya khusus,
meski tak jauh dari tempat biasa, ia tak boleh tahu di mana tempatnya.

Setibanya di sebuah rumah, keduanya dipisah. Neni dibawa ke
sebuah ruangan, dan Esti ke ruangan lainnya. Masing-masing di
pertemukan dengan seseorang yang usianya di atas mereka.

Seorang perempuan berjilbab mendekati Neni. Setelah basa-basi
sejenak, ia memperkenalkan diri sebagai orang yang bertugas
mengujinya. Ia menanyakan hal-hal yang Neni peroleh di Rancho.
Termasuk tentang pohon faktor dan lainnya. “Aku berhasil menjawab
semua pertanyaannya dan aku diluluskan,” kenang Neni.

Namun, meski terbilang lulus dengan predikat cukup memuaskan,
perasaan Neni kian tak nyaman, terutama pada sesi-sesi diskusi
berikutnya.

Pertayaan-pertanyaan yang Neni ajukan—tak jarang dikaitkan
dengan perlunya membangun sebuah negara berlandaskan agama—
selalu dijawab hanya dengan ayat-ayat yang selalu tergenggam di
tangan seniornya.

Sejak itu Neni dikenal sebagai anak baru yang keras kepala. Ia sering
membantah karena tak puas dengan jawaban-jawaban si senior.

Jawaban yang diberikan dirasa Neni tak masuk akal. Neni heran,
seakan semua masalah dapat diselesaikan hanya dengan dibacakannya
teks-teks.

Neni mulai kecewa. Suasana ceria dan mencerahkan yang ia rasakan
saat pertama kali, kini berubah kaku dan dogmatik. Ia juga merasa
terbebani banyak kewajiban.

Setiap yang sudah mengisi formulir punya kewajiban mengikuti sesisesi
berikutnya, setiap kali ke “markas”, ia selalu ditanya ihwal
keyakinan dan loyalitasnya pada oraganisasi. Selain itu, setiap anggota
diwajibkan menyetor sejumlah uang untuk membiayai perjuangan
organisasi.

Ia juga mulai merasa terasing dengan teman-temannya di asrama.
Teman-teman asramanya tak ada yang tahu apa yang ia lakukan selama
ini. Demikian pula dengan keluarganya. Lagi pula, mustahil ia cerita
kepada mereka. Ini bisa jadi masalah besar. Ia merasa bersalah.

Setelah mengikuti tiga kali sesi khusus, ia memutuskan tak lagi
datang ke Lenteng Agung. Ia curiga, juga kecewa. Jawaban yang
dicarinya ternyata tak ia temukan di sana. Ah, pria parlente
berpotongan fotomodel itu hanya pancingan di tahap-tahap awal.
Cowok sialan, pikir Neni kesal.

Berkali-kali Esti meneleponnya, menayakan kenapa tak datang lagi
ke basecamp. Sedapat mungkin ia memberikan jawaban yang masuk
akal supaya tak membuat karibnya itu tersinggung. “Aku capek dan lagi
banyak kegiatan,” jawab Neni.

Dengan penuh rasa resal, Neni berusaha melupakan pengalaman
pahitnya itu. “Aku berusaha melupakannya, sekadar untuk pengalaman
saja. Pengalaman pahit yang tak boleh terulang,” tuturnya.

Namun, ia tak mau persahabatannya dengan Esti berakhir. Mereka
tetap berkawan baik, meski tak sekarib sebelumnya. Sejak itu, Esti juga
tak lagi berusaha mengajaknya kembali ke sana.

***

TAHUN 2006, dari seorang kakak kelasnya di kampus, Neni akhirnya
tahu bahwa Esti ternyata orang dalam. Esti rupanya hanya berpurapura.
Ia sudah jauh lebih dulu di organisasi itu. Hal ini Esti dilakukan
demi menarik Neni menjadi anggota baru.

“Kamu tahu nggak sih, gua pernah lama di situ. Gua sempet jadi
pengurus (koordinator) malahan,” tutur Lia, kakak kelasnya. Lia cerita
bahwa sebetulnya Esti berusaha merekrut Neni. Dan Lia yang dulu
merekrut Esti.

Dari cerita Lia pula Neni akhirnya tahu bahwa oraganisasi tersebut
adalah gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Sebuah gerakan “bawah
tanah” yang intensif melakukan rekrutmen kalangan muda untuk
dijadikan kadernya.

Dikenal dengan nama Darul Islam (DI)— yang artinya Rumah
Islam—organisasi ini merupakan gerakan politik yang didirikan oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

NII diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (12 Syawal 1368) di di desa
Cisampah, kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong Tasikmalaya,
Jawa Barat. Sejak itu, seluruh Jawa Barat dianggap sebagai teritori
Darul Islam.

Sejak awal gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai
negara teokrasi, dengan agama Islam sebagai dasarnya. Dalam
proklamasinya ditegaskan bahwa hukum yang berlaku dalam Negara
Islam Indonesia adalah hukum Islam, Islam menurut penafsiran sang
imam, Kartosoewirjo.

Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan
kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang
berlandaskan syariat Islam.

Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah,
di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan, dan Aceh.

Struktur NII Kartosoewirjo meliputi tujuh Komandemen Wilayah
(KW). Masing-masing: Priangan Utara (KWI), Jawa Tengah (KWII),
Jawa Timur (KWIII), Sulawesi (KWIV), Kalimantan (KWIV), Aceh
(KWVI), dan Priangan Selatan (KWVII).

Dengan kekuatan tentara yang cukup terorganisasi, selama 13 tahun
NII Kartosoewirjo melakukan pemberontakan bersenjata terhadap
pemerintah RI.

Perlawanan mereka sementara terhenti setelah sang imam
tertangkap pada 1962 oleh Pasukan Kujang II/328 Siliwangi di Gunung
Rakutak, Kecamatan Pacet Majalaya, Bandung. Melalui pengadilan
Mahadper, pemerintah Sukarno menjatuhinya hukuman mati pada 16
Agustus 1962.

Pasca Kartosuwiryo, diangkat Kahar Muzakkar hingga tahun 1965.
Pasca Kahar Muzakkar, NII vakum tanpa imam hingga Abu Daud
Beureueh diangkat sebagai imam pada tahun 1974. Namun, tahun 1975
ia tertangkap dan NII kembali vakum tanpa imam.

NII kemudian diwarnai munculnya faksi-faksi baru yang berujung
perpecahan dan membuatnya terpecah menjadi dua kubu pada 1978-
1979. Pertama, kubu Jamaah Fillah yang diketuai oleh Djadja Sujadi.
Kedua, Jamaah Sabilillah yang dipimpin oleh Adah Djaelani
Tirtapradja.

Keduanya petinggi militer TII, Anggota Komandemen Tertinggi
(AKT) yang diangkat langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh
ada dua Imam", Djadja Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani.

***

DI MASA kepemimpinan Adah Djaelani inilah dibentuk KWVIII
(Lampung) dan KWIX (Jakarta Raya, yang meliputi Bekasi, Jakarta,
Tangerang dan Banten).

KWIX sebagai wilayah strategis gerakan ini dipimpin oleh Abu Karim
Hasan. Pada masa kepemimpinannya, ia menciptakan doktrin baru,
Mabadi Tsalatsah. Tiga pokok yang menjadi landasan teologis NII.
Yakni hukum Islam, umat Islam, dan negara Islam.

Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992 dan kedudukannya
digantikan oleh Abu Toto alias Abu Ma’ariq alias Abu Ma’arif alias
Syamsul Alam alias Syaikh AS Panji Gumilang. Pada tahun 1996, Abu
Toto menjadi Imam NII menggantikan Adah Djaelani. International
Crisis Group (ICG) dalam sebuah laporan tahunannya mencatat, adah
Djaelani pernah memuji kepandaian Abu toto dalam menghimpun
dana. Inilah yang membuat Abu Toto banyak disegani oleh para
anggota lainnya.

Imam Shalahuddin, mantan aktivis NII-anggota KWIX, dalam
sebuah draf bukunya menyebut pada masa kepemimpinannya Abu Toto
mulai mengubah sistem keuangan serta doktrin dasar NII, Mabadi
Tsalasah. Pada masa inilah dimulai pengerukan dana besar-besaran.

Dalam al-Mabadi al-Tsalatsah KWIX, ditegaskan bahwa Alquran,
sebagai landasan syariat, pada dasarnya menjelaskan masalah negara.
Surat awal Alquran (al-Fatihah) dan surat terakhirnya (an-Nas),
selain dijadikan konsep dasar trilogi akidah, juga dijadikan landasan
global tentang berdirinya sebuah negara Islam.

Karenanya, bagi para pengikut NII, seluruh isi Alquran yang
diimplementasikan dalam laku hidup bernegara harus bisa dirujuk
pada konsep di atas.

Surat al-Fatihah ayat 2, 4, dan 5 dijadikan pokok akidah. Demikian
halnya ayat 1, 2, dan 3 surat an-Nas. Ayat-ayat ini ditafsiri sebagai
definisi al-din atau negara. Penjabarannya:
Al-Fatihah
Al-Nas
(2) Rabb al-‘alamin
(1) Rabb al-nas
(4) Malik yaum al-din
(2) Malik al-nas
(5) Iyyaka Na’bud
(3) Ilah al-nas

Ayat-ayat di atas sepadan, dan kesepadanan ini mereka indikasikan
sebagai trilogi tauhid. Kata Rabb dimaknai rububiyah, Malik berarti
mulkiyah, dan Ilah/ ibadah berarti uluhiyah.

Trilogi akidah ini ditafsiri sesuai obsesi NII tentang berdirinya
negara Islam di Indonesia. Yang dimaksud rububiyah, dengan
demikian, adalah undang-undang (hukum Islam), mulkiyah adalah
tempat berlakunya undang-undang (negara Islam), dan uluhiyah
sebagai warga negara (umat Islam warga NII).

Oleh karena itu, menurut mereka, negara adalah wadah berikut
tempat pelaksanaan ibadah secara sempurna (kaffah). Sah- tidaknya
ibadah bergantung pada sarana (tempat) dilakukannya ibadah, yakni
negara. Karena itu, pembentukan NII merupakan suatu keharusan yang
tidak boleh ditawar-tawar lagi.

***

DENGAN PELBAGAI cara, penggalian dana intensif dilakukan para
anggota KWIX. Dalam pencarian dana perjuangan ini para anggota
dihalalkan merampas (fai’) harta orang kafir.Yang disebut kafir di sini
adalah mereka yang bukan anggota NII.

Dalam doktrin NII ditegaskan bahwa negara mereka adalah
representasi masyarakat Madinah yang dibangun Muhammad SAW.
Sementara, Republik Indonesia mereka identifikasi sebagai negara
Mekkah yang penuh kemusyrikan dan kesesatan di bawah
pemerintahan kafir Quraisy.

Tak ada solusi lain bagi warga RI yang ingin selamat dunia akhirat,
kecuali bila mereka mau hijrah, pindah dari kewarganegaraan RI
menjadi warga negara NII. Nah!

Pemerintahan RI dipersepsikan sebagai pemerintahan thaghut
karena sistem pemerintahannya tak Islami dan tak didasarkan pada
hukum Islam. Sesuatu yang sejak awal tak disukai sang pendiri,
Kartosoewirjo.

Bahkan, dalam catatan materi tilawah NII, warga RI dikategorikan
orang-orang non-Muslim atau kafir. Golongan yang hartanya halal
untuk dirampas.

Untuk akumulasi dana semacam ini pula Lia mesti banting tulang
memenuhi target-target yang sudah ditentukan. Lia dan ribuan
mahasiswa lainnya di Jabotabek yang terjebak dalam gerakan ini
berjuang mati-matian memberikan sumbangan.

Awalnya Lia tak tahu kalau itu NII. Sama seperti Neni, ia ikut tertarik
pada tawaran konsep yang menurutnya mencerahkan. Konsep yang
saat itu memberinya jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaannya
seputar agama yang ia yakini.

Satu bulan dua bulan Lia merasa nyaman berada di lingkungan yang
kritis dan membebaskan itu. Ia merasa terbebaskan dari cara beragama
dogmatik yang ia terima di keluarganya. Tapi, sesudah itu, komunitas
yang dibanggakannya itu membuatnya kian terperosok dalam
dogmatisme.

Kecurigaan Lia mulai timbul. Dari pertanyaan-pertanyaaan yang ia
ajukan, ahirnya terjawab sudah ganjalan hatinya. Seorang seniornya
dengan tegas menyebut bahwa NII adalah turunan DI/ TII. Lia kaget,
tak percaya dan merasa dihianati niat tulusnya.

“Saya baru tahu ketika sudah beberapa bulan mengikuti kajian ini,
itu pun mereka tidak secara gamblang menyebutkannya, paling
menyebutkan bahwa pusat dari semua ini adalah Pesantren Alzaytun di
Indramayu, Jawa Barat.”

Begitu Lia tahu dan sadar bahwa organisasi yang diikutinya itu NII,
tak ada pilihan lain, ia telah dianggap sudah masuk dalam sebuah
sistem negara. Dan ketika masuk sebuah negara, sebagai warganya,
merupakan kewajiban baginya untuk meyumbang,” kata Lia kepada
MaJEMUK awal September silam.

Saat menyetor sumbangan pertama kali, ia setor 300.000. Uang ia
rencanakan untuk membeli kamera. Demi loyalitasnya untuk
perjuangan, Lia lebih memilih menunda membeli kamera. Selain itu, ia
juga dituntut untuk memenuhi target dana perjuangan. Ia ikhlas.

“Waktu menyetorkan uang, aku bukan karena didorong oleh balasan
surga atau takut neraka, namun karena aku didorong oleh sebuah
keyakinan akan lahirnya sesuatu yang bakal mengubah keadaan,” tutur
Lia kepada MaJEMUK.

Banyak mahasiswa-mahasiswi yang senasib dengan Lia bahkan kerap
menangguhkan uang kuliah untuk memenuhi target. Banyak pula di
antara mereka rela hutang sana-sini, selain sesekali merampas hak
milik orang, demi memenuhi taget akumulasi dana perjuangan.
“Saya sampai pontang-panting untuk memenuhi target. Tiap hari
harus ada pemasukan untuk dana perjuangan. Karena saya

koordinator, saya yang ditanya terus. Targetnya per hari Mas. Kalau
untuk pribadi, minimal harus setor 20.000 setiap hari, kalau bisa lebih.
Pola demikian masih berlaku sampai sekarang.”

Seperti dialami Neni, Lia pun memutuskan keluar karena merasa
tersiksa. Lia merasa tersiksa karena—sebagai kordinator—ia
berkewajiban memenuhi target kas organisasi. Ia malu karena kerap
ngutang sana-sini untuk memenuhi target.

Kini, bahkan pola ideologisasi mereka sudah melalui cara
pernikahan. Para anggota saling dijodohkan. “Karena orang semakin
banyak, jadi nanti rekrutmennya lewat pernikahan seperti itu. Aku tahu
perkembangan terakhir seperti itu,” kata Lia.

***

SUDAH BANYAK kasus seperti Lia dan Neni terungkap di sejumlah
tempat. Namun, para pelaku di balik praktik menyesatkan dan
merusak generasi muda ini belum pernah ditindak oleh aparat.

Kasus ini hanya menjadi desas-desus yang seakan tak pernah nyata.
Banyak fakta mengungkapkan bahwa organisasi yang menyebut dirinya
NII ini telah memakan korban tak terkira.

Belum lama ini, misalnya, ketua FUUI di Bandung Athian Ali, yang
pernah memfatwa mati Ulil Abshar-Abdalla, melaporkan gerakan ini
kepada Polda setempat.

Dalam berkas laporannya Athian menyebut NII KWIX sebagai
gerakan sesat dan meresahkan karena banyak anggota masyarakat telah
menjadi korban gerakan ini. Gerakan ini, menurut Athian, telah banyak
meyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Athian memberikan data-data yang dapat dijadikan bukti kesesatan
gerakan ini. Dari bukti-bukti yang dimiliki, ia meminta Kapolda untuk
menindak atau membubarkan NII KWIX. Namun, hingga kini, laporan
Athian berhenti tanpa alasan yang jelas. Ini hanya satu contoh dari
deretan peristiwa serupa yang dialami oleh banyak orang.

Walhasil, organisasi yang telah banyak menebar mudarat di kalangan
muda ini kian leluasa menebar jala. “Negara” dalam negara itu masih
terus menumpuk pundi-pundi. Kita pun tak dapat berbuat banyak
untuk membendungnya, hanya bisa menduga-duga, siapakah gerangan
orang-orang di balik organisasi ini.[]

*Mantan Redaktur Eksekutif MaJEMUK; selain menulis biografi sejumlah tokoh,
kini bekerja sebagai editor untuk sebuah penerbitan di Jakarta.
Tulisan ini dimuat di majalah MaJEMUK tahun 2006.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalau yakin benar, sampaikan terang-terang, ajak diskusi orang2 yang memahamislam secara mendalam, jangan memanfaatkan orang2 yang tak mendalami agama

Posting Komentar