Senin, 07 September 2009

MARI MENCINTAI BAHASA IBU!

Anom Bagas Prasetyo 05 September jam 19:30
Mari Mencintai Bahasa Ibu!
Oleh Miftahul Anam*


Tulisan P Ari Subagyo, Bahasa Jawa, Cinta, dan Takjub (Kompas, 28/4) menarik diapresiasi kembali. Pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma ini tak berlebihan saat mengajukan pentingnya cinta dan takjub sebagai spirit (roh) melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa. Dengan menjadikannya sebagai spirit, tersirat pesan penting bahwa upaya untuk melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa seyogianya dilakukan dengan cara “Jawa” pula.

Dalam melestarikan bahasa (dan budaya) Jawa, dorongan cinta dan takjub bagi para penuturnya tak bisa dipandang sepele. Tanpa keduanya niscaya tak ada kebanggaan, rasa memiliki, dan kepercayaan diri terhadap akar budaya di kalangan orang Jawa. Cinta dan takjub, dalam hal ini, pada dasarnya merupakan laku ruhani, karena ia lahir dari rahim ketulusan para penuturnya.

P Ari Subagyo benar, dua spirit itu tumbuh dari dalam hati tanpa “paksaan”. “Cinta” adalah tertambatnya hati dan rasa. Sementara “takjub” adalah keheranan dan keterpesonaan tingkat tinggi hingga mencerahkan nalar, membuka kesadaran, bahkan menyentuh sisi spiritual. Tanpa dorongan keduanya, rasanya mustahil bahasa (dan budaya) Jawa bisa bertahan melintasi zaman. Dengan sentuhan yang sama pula, hendaknya bahasa dan budaya adiluhung ini dilestarikan.

Karena itu, munculnya Perda yang mengawal pelestarian bahasa (dan budaya) Jawa mesti dilihat sebagai upaya menjaga, merawat, melestarikan serta meneguhkan identitas kultural Jawa yang adiluhung. Dalam perspektif yang lebih luas, peneguhan identitas ini mesti dipahami bukan sebagai bentuk nasionalisme etnisitas yang sempit dan primordialistik. Ia lebih merupakan ikhtiar menjaga identitas salah satu pilar penting kebudayaan nasional kita.

Bagaimana bahasa (dan budaya) Jawa dipahami—demikian halnya dengan bahasa dan budaya lainnya—di tengah persentuhan beragam budaya lainnya? Dapatkah nilai-nilai ke-Jawa-an yang dipandang adiluhung dihayati serta diejawantahkan nilai-nilai filosofisnya, sehingga berdampak positif dalam kehidupan? Dalam konteks inilah Perda Bahasa Jawa mesti dipahami.

Bahasa: budaya
Bahasa Jawa begitu kuat dirasakan sebagai ungkapan utama identitas ke-Jawa-an. Bukan hanya identik, sebagai bahasa ibu orang Jawa, ia bahkan dirasakan sebagai bentuk manifestasi alam pikiran orang Jawa. Maka, bisa dimengerti jika upaya-upaya meneguhkan identitas ke-Jawa-an dilakukan dengan melestarikan bahasanya.

Sering dikatakan bahasa Jawa begitu kaya dengan kesamaan bunyi yang bermakna kias, dengan onomatope (pembentukan kata berdasarkan tiruan bunyi)-nya yang canggih. Ia bukan hanya khazanah yang kaya dengan racikan filosofis yang kental, tapi juga unik-estetis sekaligus rumit.

Kekayaan kosakatanya yang penuh perasaan menyajikan khazanah hubungan sebab-akibat yang esoteris serta pemaknaan yang lestari tentang kesinambungan tersembunyi yang mengalir menembus fenomena. Ragam ujarannya terasa menukik—sering kali puitis—ke lingkup yang paling akrab dalam kehidupan rakyat.

Antropolog Ben Anderson, dalam Language and Power, mencatat satu keunikan bahasa Jawa dengan memotret adegan seorang pesinden (backing vocal) dalam sebuah pertunjukan wayang. Manakala pesinden ingin beristirahat dan mengingatkan dalang untuk mengambil alih peran, dia pun menjalin kata ron ing mlinjo (daun melinjo) ke dalam lagunya.

Kenapa daun melinjo? Di Jawa daun ini dikenal dengan sebutan so, sedangkan beristirahat dalam bahasa Jawa adalah ngaso. Begitu keterkaitan ini dirasakan, yang tetap menjadi misteri bagi yang tidak paham, sang dalang dengan segera mengambil alih peran melantunkan suara menggantikan sinden.

Contoh di atas setidaknya mencerminkan pandangan dan sikap hidup orang Jawa, yang unik-estetis, filosofis, seakan berputar-putar sarat simbol tetapi mengisyaratkan perjalanan menuju ke satu titik, kemudian kembali lagi pada kehidupan sehari-hari.

Kekayaan khazanah yang sama dapat kita jumpai dalam ratusan bahasa ibu lain di nusantara. Dalam bahasa (dan budaya) Melayu, misalnya, kita mengenal tradisi berpantun yang berdaya seni tinggi dan sarat pesan moral. Bahkan, sejarah mencatat, dari bahasa Melayu pula bahasa Indonesia berasal.

Mencintai bahasa ibu
Terdapat 700-an bahasa Ibu (bahasa daerah) yang tersebar di seluruh pelosok daerah di Indonesia. Ini jumlah yang amat besar untuk sebuah negara. Dalam catatan UNESCO, terdapat sekitar 6.000 bahasa ibu di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 300 di antaranya terancam punah.

Di Indonesia, misalnya, ada sejumlah bahasa daerah yang telah punah. Di Papua saja, sedikitnya ada sembilan bahasa yang dianggap sudah punah, yakni bahasa Bapu, Darbe, Wares (Kabupaten Sarmi), bahasa Taworta dan Waritai (Jayapura), bahasa Murkim dan Walak (Jayawijaya), bahasa Meoswas (Manokwari), dan bahasa Loegenyem (Rajaampat). Daftar serupa bisa amat panjang mengingat banyaknya bahasa daerah di nusantara yang terus berkurang penuturnya.

Sama seperti bahasa daerah lainnya, bahasa (dan budaya) Jawa kini dihadapkan pada persoalan besar keberlangsungan hidupnya. Ini tercermin dari mayoritas penutur bahasa ibu orang Jawa ini yang hanya dari kalangan berusia lanjut. Generasi muda (Jawa) kini kurang peduli terhadap bahasa ibu-nya. Bahkan, ada anggapan berbahasa daerah dianggap tidak modern dan kampungan. Padahal, bahasa akan punah jika tidak dilestarikan (tidak dipergunakan) oleh masyarakat pendukungnya, baik sebagai sarana pengungkap maupun sebagai sarana komunikasi.

Amat disayangkan, dunia pendidikan kita secara perlahan turut mengikis penggunaan bahasa ibu di sekolah-sekolah. Demikian halnya dengan tayangan di media-media massa. Tayangan televisi maupun siaran radio, misalnya, cenderung lebih menonjolkan bahasa campuran Indonesia dan Inggris, ditambah dengan bahasa gaul yang tidak kaprah.

Di sinilah Perda Bahasa Jawa menjadi penting bagi instrumen pelestarian bahasa ibu yang terancam punah ini. Namun, sebagai payung hukum dan alat penunjang (pemaksa) pemakaian bahasa daerah, hendaknya peran yang diambil lebih pada menumbuhkan kecintaan dari kalangan masyarakat sendiri. Dunia pendidikan sebagai medium pembelajaran juga amat penting bagi penggunaan, pemeliharaan, serta revitalisasi bahasa Jawa bagi masyarakatnya.

Namun demikian, upaya-upaya pelestarian bahasa (dan budaya) Jawa di luar instrumen tersebut juga perlu terus dilakukan. Kelestarian bahasa ibu menjadi tanggung jawab semua, baik individu maupun masyarakatnya. Pengenalan kepada anak-anak sejak dini amatlah penting. Sebab, keluarga dan lingkungan masyarakat daerah setempat memiliki peran besar agar bahasa Jawa tetap lestari.

Gugusan bahasa atau budaya dapat terjaga bila ada penutur yang setia menggunakan dan mewariskannya ke generasi berikutnya. Dan penutur yang setia hanya lahir dari cinta, ketakjuban, kebanggaan, serta kesadaran pada akar budayanya sendiri. Saatnya gerakan pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa tumbuh dari masyarakat sendiri.[]

*Pecinta Bahasa Jawa; Alumni Salafiyah Kajen; Anggota Dewan Eksekutif Perkumpulan Obor Nusantara.

Pengantar diskusi dalam rangka penetapan Perda Bahasa (dan budaya) Jawa oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah, bertempat di Pendopo Kabupaten Boyolali.


0 komentar:

Posting Komentar