Selasa, 25 Mei 2010

MENAGIH IDEALISME KHITAH* Oleh: Anom Bagas Prasetyo**


Tulisan Abdul Ghaffar Rozin, Perwujudan Idealisme Khitah (SM, 8/4/2010), menarik untuk diapresiasi kembali. Rozin menyebut terpilihnya KH Sahal Mahfudh-KH Said Aqil Siradj dalam Muktamar Ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, sebagai wujud kemenangan idealisme khitah. Bagi Rozin, keduanya adalah representasi kubu khitah, yang berorientasi pada politik kerakyatan dan kebangsaan.

Dalam catatannya ia menilai bahwa muktamirin sudah capai dan emoh ditunggangi kepentingan politik praktis, meski hal itu dilakukan oleh elite Nahdlatul Ulama (NU) sendiri. Sehingga, menjadi wajar jika muktamirin cenderung memilih Sahal untuk posisi Rais Aam Syuriah, dan Said untuk posisi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Kedua figur ini dinilai sebagai sosok yang teguh membawa NU ke pangkuan Khitah 1926 (panduan dasar).

Benar bahwa Muktamar NU yang dilaksanakan pada akhir Maret lalu adalah ajang pertaruhan, apakah NU akan dipimpin figur prokhitah, atau sebaliknya, dipimpin oleh figur pro kekuasaan dan berorientasi politik praktis-pragmatis. Namun demikian, buru-buru menilai bahwa “kemenangan” Sahal-Said merupakan perwujudan idealisme khitah, adalah kesimpulan yang perlu diuji lebih lanjut.

Sekiranya benar warga nahdliyin sudah capai dengan kegiatan politik praktis para elitenya, sehingga pilihan muktamirin jatuh pada Sahal-Said, belumlah cukup untuk dijadikan bukti bahwa di masa kepengurusannya kini, NU tidak lagi “diseret-seret” ke dalam kubangan politik praktis. Butuh waktu yang tidak sebentar—sekurangnya selama periode kepengurusan mereka berlangsung—untuk dapat menilai kinerjanya.

Muktamar dan khitah
Setiap kali muktamar berlangsung, muncul wacana tentang perlunya mengembalikan NU pada khitahnya. Saat yang sama, tafsiran tentangnya juga mengemuka dalam banyak versi. Kembali ke Khitah 1926 telah menjadi bahasan pokok di forum muktamar, tak terkecuali dalam Muktamar Ke-32.

Lagi pula, di kalangan nahdliyin belakangan ini ada kekhawatiran wacana kembali ke khitah sekadar “jargon tim sukses” para kontestan dalam pemilihan pucuk pimpinan NU. Tak dapat dimungkiri, sejarah kepengurusan NU mencatat fakta yang tak selalu konsisten dengan ingar-bingar muktamar. Kekhawatiran semacam ini kiranya dapat dimengerti jika menengok sepak-terjang NU dalam sepuluh tahun terakhir.

Dua periode kepemimpinan KH Hasyim Muzadi sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, misalnya, menunjukkan praksis yang sepenuhnya tak dapat diterima nahdliyin sebagai manifestasi kembalinya khitah. Di bawah kepemimpinan Hasyim, peran NU dalam pemberdayaan umat tak bisa dipandang gemilang, untuk tidak mengatakan gagal. Energi NU lebih banyak terkuras untuk orientasi politik praktis-pragmatis ketimbang memperteguh visi khitah.

Dalam hal ini, perlu digarisbawahi, Khitah NU 1926 bukan hanya menerangkan ihwal tujuan berdirinya NU, gerakan-gerakan, ataupun hubungan organisasi NU dengan politik belaka. Khitah juga menerangkan hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah SWT dan soal kemasyarakatan. Menurut tokoh NU KH Muchit Muzadi, khitah meliputi dasar agamanya, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, termasuk faham kenegaraannya.

Karena itu, dapat dimengerti demikian besar ekspektasi nahdliyin terhadap Sahal-Said agar membawa NU kembali ke pangkuan khitah secara murni dan konsekuen. Keduanya diharapkan teguh mengawal khitah sebagai landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus tercermin dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi, serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Di pundak keduanya, nasib NU lima tahun ke depan akan ditentukan ke mana arahnya.

Sejarahlah yang akan mencatat, apakah kedua petinggi NU ini akan konsisten, tegak lurus menjaga idealisme khitah dalam pengertian yang hakiki—sebagaimana dicita-citakan para founding fathers-nya—dengan senantiasa menomorsatukan pemberdayaan warganya melalui advokasi, peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi warganya.

Terlalu dini mengukur perwujudan idealisme khitah pada hasil muktamar yang baru seumur jagung. Terwujudnya idealisme khitah juga tak bisa diukur dari terpilihnya “salah satu pihak” atau tidak terpilihnya “pihak lain” dalam arena muktamar. Ia juga tak bisa dilihat hanya dengan diterimanya pertanggungjawaban pimpinan demisoner dan terpilihnya pimpinan baru secara demokratis.

Idealisme khitah
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, penulis buku Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati—yang juga Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)—As’ad Said Ali mengutip sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa sejak berdiri hingga sekarang, disinyalir fungsi dakwah NU hanya berjalan di tempat. Hal itu sekurangnya tampak dari jumlah warga NU, yang selain tidak bertambah, malah cenderung berkurang.

Sebagai ormas terbesar penjaga Ahlusunnah Waljama’ah, misalnya, NU tampak begitu kedodoran merespon suburnya perkembangan organisasi-organisasi transnasional di Indonesia. Mereka telah begitu massif dan berhasil menggeser peran sosial warga NU di banyak wilayah. Demikian halnya dengan soal kemandirian dan tingkat kesejahteraan warga nahdliyin pada umumnya.

Kenyataan tersebut tak bisa dilepaskan dari peran yang dipilih pucuk pimpinan NU sendiri, yang dalam sepuluh tahun terakhir, terkesan kuat gemar main mata dengan politik praktis dengan memobilisasi warga NU ke dalam kubangan politik praktis ketimbang bekerja keras mewujudkan visi mulia khitah. Adalah fakta yang tak dapat dibantah, lebih banyak madharat ketimbang manfaat yang diperoleh NU, baik bagi warganya maupun institusinya.

Terwujudnya idealisme khitah tersebut setidaknya akan tampak pada makin berdayanya warga nahdliyin. Sebagai misal, dari meningkatnya standar kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi warga nahdliyin. Wajar saja jika warga nahdliyin akan terus menagih komitmen para petingginya: seperti apa perbaikan signifikan dari kepengurusan PBNU yang baru ini, sehingga pantas disebut segaris dengan idealisme khitah?

Ekspektasi ihwal datangnya “zaman keemasan” atau kejayaan NU pada kepengurusan kali ini adalah aspirasi semua warga nahdliyin. Kapan kejayaan NU tercapai? Amatlah sulit menjawabnya, meski kedua figur tersebut tampak begitu menjanjikan. Tetapi, rasanya penting untuk digarisbawahi, bahwa kejayaan NU adalah kejayaan puluhan juta warganya, bukan sekadar kejayaan segelintir elite atau pengurusnya.

Sebab, tak diragukan lagi, NU didirikan untuk mengabdi kepada umat. NU berdiri saat kondisi rakyat Indonesia sangat terpuruk di banyak bidang akibat kolonialisme Belanda. Karena itu, upaya penguatan bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi umat menjadi poin penting yang melatarbelakangi pendiriannya, selain untuk membendung arus wahabisme kala itu.

Harus diakui, kini muktamirin dan nahdliyin bukan hanya kian cerdas, tetapi juga kian kritis-partisipatif terhadap kinerja pengurus NU di pelbagai tingkatan. Mereka tak lagi sekadar melihat apa saja yang dikatakan, ataupun siapa yang mengatakan, tetapi apa yang nanti dikerjakan oleh duet Sahal-Said, nahkoda baru ormas Islam terbesar di Indonesia ini.
Ihwal bagaimana dan kapan idealisme khitah terwujud, hemat penulis, nahdliyin sendiri yang akan menjawabnya, bukan? Semoga kejayaan yang ditunggu-tunggu itu dapat terwujud tak lama lagi.[]



* Pengantar Diskusi "Pesantren Pasca Mukatamar Makassar" Laboratorium Ilmu Politik UNJ. 15 April 2010.

** Dewan Pembina Silaturahmi Mahasiswa Pati(SIMPATI) Jakarta Dan Sekitarnya


1 komentar:

Fari mengatakan...

Jakarta, Aktual.com — Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengucapkan selamat kepada Said Aqil Siradj yang kembali terpilih menjadi Ketum PBNU.

Menurut JK, Selain memiliki pengalaman yang luas, Said Aqil dinilai sebagai sosok yang baik, sehingga dinilai pantas memimpin kembali PBNU.

“Saya kira pak Said Aqil kan punya pengalaman, orang baik. Jadi ulama, NU kan kebangkitan ulama otomatis. Ulama, pantaslah sebagai ketuanya dipilih lagi,” kata JK, di Jakarta, Kamis (6/8).


BACA SELENGKAPNYA DI :
JK: Said Aqil Siradj Pantas Dipilih Kembali

Posting Komentar