Senin, 17 Mei 2010

Moderat Ala Gus Dur Oleh: Muhammad Fahdi*



Pada suatu waktu ada sebuah pertanyaan dari seorang teman yang dituju pada penulis, “apa kamu moderat?”
Seketika itu juga penulis menjawab dengan bangga, “tentu saja.” Jawaban ini keluar didasarkan dari pengetahuan penulis tatkala itu bahwa sebuah sikap moderat adalah pilihan yang wajar dan seharusnya melekat pada diri setiap manusia, itulah sejauh yang diketahui penulis, tidak lebih.
Ternyata jawaban ini sepertinya memang sudah diprediksi oleh seorang teman tadi yang berkarakter kritis, dan dia meneruskan dengan sebuah pernyataan, “jadi kamu tidak berpijak pada suatu pilihan alias terombang-ambing tidak jelas.”
Sangat tersentak atas pernyataan tersebut. Bagaimana tidak, ketika jalan fikir dijejali akan moderatlah jalan yang baik -tidak berarti setiap tempat doktrinisasinya seperti yang diutarakan di sini, tapi ini (doktrinisasi) terjadi di tempat asal penulis- dan taklid tanpa tanya bahwa itulah yang memang baik, tentu saja pernyataan terombang-ambing benar adanya membuat terombang-ambing.
Saat itu penulis menutup wajah kebingungan dengan seakan yakin, “siapa kata tidak berpijak, tentu saja moderat itulah suatu pijakan.”
Singkat kata, percakapan itu dipaksa berakhir tanpa terselesaikan.
Setelah itu, seperti terduga, pun penulis mencari arti dari kata moderat. Pencarian yang panjang sebenarnya untuk diceritakan secara naratif kronologis. Tapi terlalu sayang untuk tidak diutarakan. Jadi akan dicoba pengutaraan yang mungkin terkesan dipaksa.
Moderat, sebuah kata yang dikenal dalam kamus bahasa Indonesia sebagai sikap selalu menghindar dari perilaku atau pengungkapan yang ekstrem atau berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah. Melihat dari kata “bekecenderungan ke jalan tengah” tentu saja sikap moderat ini sesuai dengan Islam, terlebih umat Islam. Pasalnya, merujuk pada kata wasathan dalam kalimat ummatan wasathan (QS al-Baqarah [2]: 143). Kata wasath dalam ayat tersebut berarti khiyâr (terbaik, paling sempurna) dan ‘âdil (adil). Dengan demikian, makna ungkapan ummatan wasathan berarti umat terbaik dan adil dalam koridor syariah dan tentu saja berkecendrungan ke jalan tengah.
Belum menjawab keterombang-ambingan memang, tapi sekarang apa perlu hal tersebut di jelantrahkan dengan mendalam ketika moderat sendiri tercipta sengaja tidak dengan penjelasan lebih. Dalam artian, seperti yang diungkapkan di atas, kebertengahan (moderat) lebih tertitik beratkan pada tujuan. Adil dan toleran. Tidak heran ketika bicara moderat selalu mengarah pada toleransi. Jadi seakan ada unsur kesengajaan untuk tidak begitu jelas. Untuk selalu dapat berubah. Dinamis.
Selanjutnya, perlu penghalusan kata sebenarnya dari kata “terombang-ambing” yang digunakan seorang teman sebelumnya. Selayaknya dinamis-lah kata yang pantas. Bukannya terombang-ambing dalam arti bingung memilih langkah. Lagi-lagi istilah moderat memang tidak digunakan secara tegas. Ini mencerminkan bahwa istilah moderat dimaksudkan sebagai watak yang apresiatif dan sejalan dengan lokalitas dan modernitas yang selalu berubah.
Mengarah pada Islam, karakter moderat untuk mengarah pada toleran dan simpatik itulah yang sebetulnya mengakar kuat dalam perkembangan Islam selanjutnya, terutama di Indonesia. Meski belakangan muncul karakter lain, yaitu puritan, akibat dari perjumpaan intelektual Muslim Nusantara, terutama yang berasal dari daerah Aceh dan Sumatera Barat, dengan Muslim Haramain (Mekah dan Madinah). Hal itu pun terjadi seiring dengan persaingan politik antara Turki Utsmani dengan penguasa-penguasa Eropa di abad ketujuh belas Masehi. Kesamaan identitas agama dan ketegangan dengan bangsa Eropa mendorong menguatnya konsolidasi kekuatan antarpenguasa Muslim. Selain itu, hubungan diplomatik dan perdagangan Muslim Nusantara dengan Turki Ustmani dan khalifah-khalifah di Timur Tengah berlanjut pada tradisi belajar di Haramain seiring dengan pelaksanaan ibadah Haji dan Umrah. Sebagai pusat perjuangan Nabi Muhammad Saw., Haramain memiliki tradisi keagamaan yang lebih ketat. Karakter puritan ini diperkuat ketika gerakan Wahabi muncul pada awal abad kesembilan belas. Karena itu, Islam yang puritan muncul lebih akhir dan terlokalisasi di sekitar Sumatera. Namun begitu, secara keseluruhan, watak Islam yang tersebar di Indonesia adalah moderat.
Islam Moderat, itulah kata yang sering digunakan untuk membedakan dengan Islam puritan yang berkembang, walaupun sebenarnya Islam an sich adalah moderat. Islam moderat boleh diklaim siapa saja. Tapi, tidak ada yang bisa menghindar dari nama Gus Dur sebagai ikon Islam moderat Indonesia.
Tidak berlebih pernyataan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Zacky Khairul Umam, Wakil Direktur Riset Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI) di Universitas Indonesia dalam opininya di Media Indonesia, pernyataan itu diakui secara mendunia. Gus Dur adalah `wakil' muslim moderat yang sering dirujuk dan dihargai. Pada masa hidupnya, latar belakang sebagai santri par excellence berhasil meramu kemodernan dan keindonesiaan dalam wacana dan praksis keislaman merupakan prestasi yang sulit dicapai. Gus Dur bukan model sarjana seperti almarhum Cak Nur. Jika Cak Nur membangun wacana Islam moderat dari cara kerja keilmuan yang ketat dengan meneliti objektivitas Islam, Gus Dur kerap kali langsung melontarkan ide tanpa bersusah payah melacak dari mana ujung pangkalnya.
Dalam hal itu, Gus Dur lebih sering berperan sebagai `subjek'. Gus Dur adalah pencipta wacana. Ia diuntungkan karena ia mewakili basis massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sebelum resmi terjun dalam dunia politik praktis, baik selama menjadi presiden ataupun setelahnya, kedudukannya sebagai NU 1 membuatnya tak terlalu terbebani dengan wacana-wacana sekuler, seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat sipil. Tidak seperti Cak Nur, Gus Dur tak selalu memerlukan legitimasi ayat-ayat Alquran, filsafat dan yurisprudensi ulama klasik untuk mendukung gagasan-gagasannya.
Tetapi, Gus Dur dianggap lebih `islami' apa pun gagasan yang ia lontarkan, lantaran ia memiliki kekuatan simbolis sebagai wakil santri nomor wahid yang berdarah biru dari Hadratussyekh Hasyim Asy'ari. Ijtihad Gus Dur adalah subjektivitas dirinya. Ibaratnya, Gus Dur adalah wacana itu sendiri. Justru orang lain yang perlu melihat, meneliti, dan menganalisis Gus Dur sebagai objek. Meskipun begitu penting dicatat bahwa hasil pemikiran dan tindakan Gus Dur tidak jatuh dari kehampaan sejarah. Formula-formula Gus Dur terbangun dari timbunan ide-ide besar yang ia gali dari keranjingan belajar autodidak, keterlibatan aktif, dan kemampuan komunikasi interpersonal yang menarik selama hidupnya. Ditambah lagi, modal sosial Gus Dur sangat besar sehingga memungkinkannya luwes bergerak untuk setia dengan segala idealisme yang sulit dipahami orang.
Itulah Gus Dur, seorang besar yang penuh kontroversial karena kesetiannya terhadap idealisme moderatnya, yang selalu membela kaum minoritas sampai dianggap menganak emaskan agama maupun kelompok diluar Islam.
Dalam kenyataannya secara mayoritas kemunculan “Islam moderat” sebagai salah satu alternatif “versi” Islam kini diminati banyak kalangan. Dialog-dialog keagamaan yang mengarah pada tatanan yang damai, toleran, dan berkeadilan merupakan indikasi bahwa model berislam secara moderat sebagai pilihan. Moderatisme juga dinilai paling kondusif di masa kini.
Jadi kembali ke jawaban awal, “tentu saja, aku moderat, seorang muslim Moderat.” Tidak lagi menjadi jawaban taklid, tapi dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan sesuai dengan ala Gus Dur. Wassalam.




*Devisi Lembaga Semi Otonom SIMPATI


1 komentar:

Simpati Jakarta mengatakan...

orang satu ini merupakan generasi muda penerus senior-senior yang sudah tua, yang akan mengembangkan berbagai pemikiran ilmiah tentang keadaan bangsa, semoga semua generasi bangsa mampu mengambil jejek baik langkahnya.

Posting Komentar