Jumat, 28 Mei 2010

Sulitnya Kesadaran Hidup Damai di Timur Tengah Bagikan* Oleh: Moh fairuz Ad-dailami**


Hamas adalah faksi politik terbesar di Palestina yang kuat akan doktrin perangnya, lebih-lebih menyangkut masalah ideolegis terhadap suatu kebenaran yang mereka yakini. Tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina sedikit banyak terkait oleh faksi politik ini.

Sementara Israel juga tidak jauh beda, bahwa menganggap masyarakat Palestina tak ubahnya seperti “musuh abadi” sebagaimana mereka yakini dalam kitab suci. Cara berfikir masing-masing pihak seperti inilah yang menjadikan konflik di Timur Tengah tidak dapat dihindari.

Untuk mengetahui seberapa sering konflik di Timur Tengah itu akan terjadi, maka mau tidak mau kita harus mengenal karakter masyarakat yang bersangkutan. Itu mengapa konflik Israel dan Palestina seolah sulit untuk dicarikan solusi terangnya, bahkan jalan perang pun akan ditempuh selama menyangkut kebenaran masing-masing pihak yakini.

Kenyataannya, faksi politik Hamas yang “seradikal” itu justru mendapatkan dukungan penuh oleh masyarakat Palestina. Bahkan menurut survey, masyarakat Palestina dalam prosesi pemilunya secara mengejutkan 80 persen dari total suara yang masuk semuanya mendukung Hamas.

Aspirasi masyarakat terhadap suatu kelompok faksi politik merupakan sebuah dukungan sekaligus penggambaran karakter suatu masyarakat itu. Jadi, kelompok Hamas yang “suka perang” dan jauh dari cara-cara diplomasi itu, secara tidak langsung merupakan representasi dari kelompok masyarakat yang ada. Dan semua bentuk “pertarungan” ini tidak lain demi kepentingan nasional masing-masing negara.

Kepentingan Nasional
Bagaimana menegetahui kepentingan nasional (national interest) suatu negara, dalam studi hubungan internasional sendiri ada beberapa pendekatan. Diantaranya adalah tergantung posisi pengamat untuk meletakkan cara pandangnya memilih neo-relisme atau neo-liberalsme.

Dua teori ini adalah sama-sama relevannya sampai saat ini untuk memetakan perilaku suatu negara dan juga kebijakan politik luar negerinya. Semuanya ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan nasional negara masing-masing. Itu mengapa, kedua teori ini dalam dialektikanya banyak melahirkan kritik keras satu sama lain.

Penyerangan Israel ke Palestina tanpa jalur neoisasi merupakan pendekatan militeristik yang digunakan oleh kaum neo-realisme dalam upaya memberikan perlindungan bagi masyarakat sipil Israel terkait masalah kepentinagan nasional. Hal ini tidak jauh beda dengan perilaku Pelestina itu sendiri dengan kelompok faksi Hamasnya. Jadi, pada dasarnya antara Palestina dan Israel sama-sama menggunakan cara pandang yang doktrinnya jauh dari kata “damai” dan upaya diplomasi itu.

Bagaimana mungkin negosiasi antara dua negara itu dapat terwujud untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-bangsa yang damai, jika masyarakatnya sendiri mempunyai karakter yang sulit untuk didamaikan. Belum lagi masalah ini semakin diperkeruh dengan sentimen ideologi (agama) maupun “dendam lama” yang selalu mewarnai mind-set masyarakat kedua negara yang saling bertikai itu.

Jadi, lengkaplah konflik ini akan berkelanjutan sampai salah satu di antara mereka benar-benar ada yang lumpuh, tumbang, dan kalah. Dan ini adalah harga mahal yang harus dibayar, khususnya bagi masyarakat sipil yang secara tidak langsung “dilibatkan” pada peperangan antar neraga tersebut.

PBB selaku badan dunia yang merupakan peng-ejawantahan dari Institusional Liberalism dari konsepsi neo-liberalisme sebagai penjaga keamanan dunia pun kenyataannya tidak sesuai apa yang digariskan. Tetap saja akan kesulitan mencari resolusi seperti apa bagi keduanya yang dapat diterima oleh semua pihak. Sebagus apapun rancangan resolusi yang ditawarkan, hal itu akan menjadi tidak efektif dan berfungsi guna ketika dihadapkan pada karakter masyarakat yang disebut Gus Dur (K.H Abdurrahman Wahid) adalah masyarakat “konservatif” dan realis itu.

Perang dan damai adalah dua hal yang memang benar adanya, namun seberapa besar dari salah satu mana yang akan mendominasi tergantung masyarakat dalam cara berfikirnya. Adalah bagaimna tetap mempertahankan kepentingan nasional namun dengan cara yang damai dan pendekatan yang manusiawi merupakan jalan efektif untuk menciptakan tatanan kehidupan antar-negara yang damai.

Impian Umat Manusia
Tampaknya untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama dalam konteks pergaulan antar-bangsa yang aman dan damai memerlukan gelombang kesadaran yang besar oleh semua lapisan masyarakat dunia. Mereka harus sadar bahwa dalam hirarki paling tinggi terkait bagian dari masyarakat internasional, kesatuan frame dalam paradigma bahwa tiap-tiap individu merupakan hubungan persaudaran yang terikat meskipun lintas benua, agama, ras, suku, entis, dan bahasa adalah kunci mewujudkan cita-cita manusia yang berkeadaban.

Mungkin kedengarannya terlalu utopis sebagaimana kaum liberalis. Namun cara berfikir apa lagi yang mampu menciptakan tatanan kehidupan dunia yang harmonis selain pendekatan di atas? Adalah suatu kebenaran bahwa fitrah manusia merindukan suasana kehidupan surga dan bagaimana menghadirkannya ke dunia sebagai impian seluruh umat manusia sebagaimana fungsi guna tertinggi dalam kehidupan beragama (QS: Al-Hujarat, 13).





*http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=10073
** Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik(FISIP) UIN Syarif Hidayatilloh Jakarta





1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah, sebelumnya suatu kehormatan tulisanku diposting kembali oleh blognya Keluarga Simpati. terima kasih atas apresiasinya!

Posting Komentar