Selasa, 08 Juni 2010

Tentang Pesantren dan ZamanBagikan Oleh Muhamad Fahdi*


Susah untuk dimulai, susah untuk dideskripsikan secara sederhana, susah untuk mencari jalan keluar yang manis. Selalu demikian pembahasan akan pesantren saat ditentangkan dengan perubahan zaman.
Mencoba untuk sederhana, hal yang selalu disebarluaskan adalah dinamisme Pesantren, keluwesannya, inovasinya dalam penyesuaian. Yang intinya untuk masalah ini, pesantren selalu bisa mengikuti perubahan zaman.
Tapi ternyata memulai dengan penyederhanaan tersebut menjadi sangat naif. Pasalnya kembali pada subkultur yang tersemat pada pesantren yang mulai dipopulerkan oleh Gus Dur. Dan secara kalangan umumpun menganggukkan kepala untuk hal ini.
Subkultur yang berarti suatu bagian (sub) yang unik dari budaya (kultur) besar sebuah bangsa. Keunikan subkultur ini memiliki tiga poin penting dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan nilai yang diikuti, serta hirarki kekuassaan yang interen tersendiri yang diikuti sepenuhnya. Maka sudah maklum pesantren masuk dalam kategori subkultur.
Karena, (1) Pesantren memiliki cara hidup unik; cara kehidupan santri. Mulai dari jadwal kegiatan yang berbeda dari pengertian rutinitas masyarakat sekitar, tidak adanya ukuran waktu tertentu pada masa belajar di pesantren, sistematika pengajaran yang seakan tak berkesudahan dan berulang-ulang dari jenjang ke jenjang dengan menggunakan kitab kuning, lalu kehidupan keseharian yang merupakan aplikasi dari pelajaran yang diterima.
(2) Pandangan hidup dan nilai yang khas, muncul sebagai akibat dari cara hidup unik di atas. Yaitu visi keikhlasan yang berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan ketaatan (tawadlu’) yang bersumber dari nilai barakah (grace); kepercayaan bahwa pengawasan kiai-ulama pada santri akan mempermudah penguasaan ilmu-ilmu agama yang benar (right religious sciences).
(3) Hirarki kekuasaan yang mutlak di tangan kiai dan para pembantunya, ditegakkan di atas kewibawaan moral sang kiai sebagai juru selamat para santri dari melangkah ke arah kesesatan. Kekuasaan atau kepemimpinan ini dibangun berdasarkan kepercayaan, bukan berdasarkan patron-klien sebagaimana masyarakat pada umumnya. Dus, inipun menjadi unik.
Dengan adanya ketiga hal di atas maka itulah pesantren sebagai subkultural, yang berarti pesantren sebagai unit dari budaya yang berdiri terpisah dan pada waktu bersamaan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Tapi pernyataan inilah sebenarnya yang menjadikan sebuah kebingungan ketika dihadapkan pada tujuan pesantren, untuk memiliki daya tarik keluar yang berarti agar masyarakat tertransformasi kultrul pesantren yang dianggap pilihan ideal bagi pola kehidupan umum. Yang berarti mengancam keberpisahan tersebut dan selanjutnya mengancam ke-subkulturannya.
Tujuan tersebut berdampak pada sikap pesantren yang harus selalu mampu menjawab kebutuhan sosial untuk mengembangkan framework kemasyarakatan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Dengan bahasa lain framework sosial yang dikembangkan pesantren harus selaras dengan perkembangan masyarakat lain secara umum. Menjadi lembaga yang tidak ekslusif dan mudah diterima oleh masyarakat. Karena keberubahan yang konstan dari sebuah zaman yang tentunya mempengaruhi masyarakat. Dan pada waktunya (seakan-akan) pesantrenpun harus terpengaruh juga. Maka, perlu untuk dipertanyakan kembali tentang ke-subkulturan pesantren tersebut, keunikan sebuah pesantren dari masyarakat.
Sebelum adanya jawaban untuk hal tersebut, menjadi menarik untuk dijawab terlebih dahulu sebuah pertanyaan awal ini, “Apakah tujuan dari tersematnya ikon subkultural pada pesantren?” Yang berkembang ke pertanyaan, “Subkultural pesantren apakah sebuah keharusan? Dalam arti apakah harus dijaga?”
Sebenarnya memang pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang Gus Dur, karena Beliau yang menyebarluaskan hal ini. Tapi jawaban Beliau hanya bisa diperkirakan, kurang lebih agar pesantren lebih dikenal oleh masyarakat, dengan kata lain ini sebuah promosi pesantren. Jika memang demikian, keharusan untuk menjaga subkultural tersebut bisa menjadi hilang ketika pesantren memang sedang melebur dengan masyarakat dan masyarakatlah yang menginginkan hal tersebut. Istilahnya, pesantren menyediakan penawaran yang disesuaikan dengan permintaan masyarakat. Namun, apa memang demikian jawaban tersebut? Bukankah ini hal yang menarik untuk dikaji?
Ada sebuah jawaban tentang perubahan yang diikuti pesantren, yakni asal nilai minimal dari pesantren tidak ikut berubah dan nilai inilah yang diharapkan bertransformasi dan diterima secara umum masyarakat, nilai asetisme.
Tapi ini bukanlah jawaban dari subkultur pesantren. Nilai hanyalah satu dari tiga poin utama sebuah subkultur, dan masih ada nilai yang lainnya selain asetisme seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Untuk jangka panjang, proses penyesuaian pesantren yang berlangsung terus-menerus ini, pasti akan semakin menggerus dua poin utama lainnya, walaupun nilai asetisme itu bisa dijaga. Tapi tidak berarti nilai lainnya masih bisa ajeg.
Sebagai contoh yang paling konkrit adalah semakin tergerusnya otoritarisme seorang kiai pada pesantrennya, ketika sistem yayasan dari masyarakat mulai dianut oleh pesantren, sebagai wujud dari penyesuaian itu. Searah hal ini, nilai tawadlu’ dari seorang santri terhadap kiai juga semakin berkurang, entah sebagai akibat pengaruh dari luar atau dari sosok kiai itu sendiri yang dianggap tidak mampu memberi nilai barakah.
Berhubungan dengan sistem pendidikan yang ikut berubah, hal ini ikut merubah cara kehidupan santri yang unik, dan tentunya perubahan nilai tidak bisa dicegah. Seperti dewasa ini, pesantren di pesisir utara Jawa Tengah cenderung dalam mendirikan institusi pendidikan SMK (kejuruan), karena memang sistem SMK ini menjadi pilihan yang paling diminati masyarakat. Tapi ternyata hal ini malah mendorong masuknya nilai-nilai luar pesantren lebih gencar merasuk pada para santri, tentunya nilai-nilai ini cenderung merusak, termasuk nilai dari remaja luar pesantren yang selalu membangkang dan ingin kebebasan yang sebebas-bebasnya. Dan ini riil terjadi, menurut pengamatan penulis.
Jadi, disini jika di kalkulasikan proses transformasi yang riil terjadi adalah lebih banyak dari masyarakat ke pesantren dari pada sebaliknya. Apa hal ini tidak menjadi masalah ketika memang yang ditumpukan untuk bertransformasi ke masyarakat adalah nilai minimal yang telah disebutkan di atas? Yang berarti subkultur tidak menjadi hal yang perlu dijaga?
Mungkin hanya Gus Dur, Zaman dan Allah yang mengetahui dan bisa menjawab ini. Wassalam.



*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta


0 komentar:

Posting Komentar