Bagi umat Muslim Indonesia, bulan Agustus kali ini memiliki makna yang berbeda, yakni menjalankan ibadah bulan puasa sekaligus memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks Indonesia, baik bulan Ramadhan maupun 17 Agustus, keduanya menghadirkan momentum yang bertemu pada satu titik, yaitu 'kemerdekaan'. Hanya saja, konteks makna 'kemerdekaan' yang terkadung di dalamnya berbeda. Tujuhbelas Agustus bisa dibilang sebagai kemerdekaan yang berupa fisik, sementara Ramadhan lebih identik dengan kemerdekaan non-fisik.
Kemerdekaan fisik tujuhbelas Agustus tercermin dari terbebasnya rakyat Indonesia dari cengkeraman kaum kolonial. Kemerdekaan dalam konteks ini lebih diorientasikan bagaimana rakyat Indonesia tidak lagi ditindas dan dijajah oleh bangsa asing, bagaimana kekayaan alam tidak lagi dikuras oleh para penjajah, rakyat Indonesia memiliki kebebasan (mengungkapkan ekspresi, berbicara, berpendapat, dan lain-lain), mempunyai papan, sandang dan pangan yang layak, hidup sejahtera, makmur dan seterusnya.
Sedangkan kemerdekaan yang diusung dalam bulan Ramadhan adalah kemerdekaan jiwa, ruh, dan mental-spiritual. Puasa pada dasarnya merupakan kekuatan pembebas (liberating power) dari belenggu tangan penjajahan. Penjajahan dalam konteks ini menjurus kepada hal-hal yang berkategori ruhani, seperti suka berbohong, berkhianat, mencela, korupsi, maling, sombong, mau menang sendiri, bertindak sewenang-wenang, anarkis, dan lain sebagainya.
Kemerdekaan Mendesak
Pada saat ini, kemerdekaan mendesak yang harus segera diwujudkan adalah kemerdekaan Ramadhan (kemerdekaan ruhani). Spirit kemerdekaan yang terkandung dalam bulan Ramadhan selayaknya ditancapkan dalam setiap segi-dimensi kehidupan berbangsa. Sebab. kemerdekaan fisik sudah tampak dengan terbebasnya rakyat Indonesia dari belenggu, pengangkangan, dan penindasan oleh kaum penjajah bangsa asing. Sementara kemerdekaan ruhani masih mengundang 'tanda tanya besar'. Karena harus diakui, menjubelnya berbagai permasalahan yang belakangan ini menimpa bangsa Indonesia menandakan bahwa ruhani kita masih terjajah. Artinya, kekacauan diri akan berimplikasi pada kekacauan sistem dan tatanan dalam masyarakat, bangsa dan negara. Karena, sebuah masyarakat, bangsa dan negara dibangun oleh individu-individu di dalamnya, yang memiliki perbedaan latar belakang antara satu dan lainnya. Kita bisa saksikan pada level elite politik, korupsi kian merajalela.
Hasil riset Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta (Pukat Korupsi), misalnya, menyebutkan bahwa dalam Triwulan II-2010, Indonesia mendapati 124 kasus korupsi. (Kompas, 6 Agustus 2010) Ironisnya, pelaku tindak korupsi tersebut paling banyak dilakukan oleh para pejabat negara.
Begitu pula dalam gelanggang hiburan di Tanah Air. Kasus hebohnya video porno dan tayangan infotainment vurgar yang belakangan semakin merebak mengindikasikan bahwa moral anak bangsa kita masih sakit, terjajah, dan belum merdeka. Ini belum termasuk konflik vertikal dan horizontal yang hampir saban hari menghiasi persada negeri bumi Pertiwi. Seperti pertikaian para elite politik, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, kisruh antarpenduduk desa, konflik antarpartai politik, atapun merebaknya politik uang di arena pilkada (pemilihan kepala daerah) dan politisasi pendidikan yang kian merajalela dan lain-lain.
Mengapa semua itu terjadi? Karena, hati dan jiwa sebagian besar masyarakat kita masih dalam kondisi terjajah. Dengan terjajahnya hati dan runani, seseorang akan berjalan tidak stabil, kacau, dan cenderung menuruti nalar hewani. Untuk itu, puasa disyariatkan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membabat habis mental dan hati yang rusak tersebut. Tujuan puasa adalah membebaskan jiwa atau hati (qolb) dari penyakit-penyakit ruhani. Puasa mampu mendorong manusia untuk mempraktikkan nir-kekerasan, mengendalikan diri dari segala sifat hewan, dan mencari hakikat kebenaran yang transendental. Puasa mendesak kita untuk bisa kembali kepada fitrah sebagai manusia seutuhnya. Eksistensi kesederhanaan dan kejujuran yang memang merupakan sifat dasar manusiawi. Islam memang keyakinan yang tidak menentang kepemilikan harta dan pemenuhan hasrat duniawi. Namun spirit ketauhidan menginterupsi hasrat kita berlaku adil dalam menciptakan kesalehan sosial.
Puasa juga menghadirkan pendidikan berupa latihan agar dalam memenuhi aneka dorongan tubuh terarah ke jalan yang benar, tidak melanggar etika sosial keagamaan, dan tidak melanggar harmoni kehidupan sosial kemasyarakatan. Melalui puasa, kita akan menemukan korelasi dan koherensi antara tujuan mulia kemanusiaan dan kenegaraan dengan jalan menjauhi kekerasan, ketidakadilan, demoralisasi, dan intoleransi.
Inti puasa adalah melahirkan manusia agar menjadi lebih baik dan sempurna. Seperti ulat ketika hendak menjadi kupu-kupu yang indah, ia harus berpuasa terlebih dahulu dengan menjadi kepompong. Karena itu, puasa dalam Islam bertujuan untuk mencapai tingkat ketakwaan setinggi-tingginya guna melahirkan kesalehan sosial. "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Untuk itu, mari kita jadikan bulan Ramadhan kali ini tidak hanya sekadar menjadi ritual yang kaku, beku, dan mati. Hakikat puasa adalah untuk menahan hawa nafsu. Esensi Ramadhan seharusnya menjadi titik tolak kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan hakiki yang akan mampu mengentaskan bangsa ini dari segala keterpurukan.
* Terbit di Harian Suara Karya Jumat, 20 Agustus 2010
** Penulis adalah kader muda Nahdatul Ulama (NU); tinggal di Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar