Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hardiknas tahun ini ditandai dengan keprihatinan mendalam atas maraknya radikalisme agama yang ditengarai sudah merasuk ke kampus-kampus. Konon, tak sedikit mahasiswa kita yang berhasil tercuci otaknya oleh sekelompok orang yang ingin menjadikan negeri ini bukan lagi menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, melainkan sebagai Negara Islam Indonesia (NII). Jika dugaan ini benar, mau dibawa ke mana bangsa besar yang multikultur dan multiagama ini? Bagaimanakah nasib saudara-saudara kita yang non-Islam jika harus menghuni sebuah negeri yang tidak lagi menolerir perbedaan? Dan jika kaum muda mahasiswa kita berhasil didoktrin aliran radikal semacam itu, jelas ini menjadi petaka buat bangsa kita yang sudah lama ber-Bhineka Tunggal Ika.
Oleh karena itu, sungguh tepat apabila tema Hardiknas tahun ini mengangkat kembali “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa” dengan Subtema “Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Keprihatinan tentang degradasi moral dan involusi budaya yang melanda negeri ini memang sudah lama berlangsung. Kita lihat saja tawuran terbuka di jalan-jalan raya kota besar. Hampir sebagian besar kasus yang terjadi melibatkan kaum pelajar kita. Belum lagi mereka yang terperangkap dalam perilaku seks bebas, penyalahgunaan Narkoba, dan berbagai perilaku anomali sosial yang lain. Makin maraknya perilaku anomali semacam itu membuat sebagian besar masyarakat yang kehilangan sikap kontrol, bersikap permisif, dan cenderung melakukan proses pembiaran. Tawuran, seks bebas, kekerasan, atau perilaku kriminal dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
Kondisi semacam itu diperparah dengan miskinnya keteladanan para elite negara yang secara sosial seharusnya bisa dijadikan sebagai anutan. Korupsi berjamaah yang melingkar-lingkar sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengusutnya hingga tuntas lantaran banyaknya kelompok kepentingan yang ikut bermain di dalamnya, ketidakpedulian sang pemimpin terhadap jutaan warganya yang terlilit kemiskinan dan terjerat dalam pengangguran, merupakan beberapa faktor yang ikut menyuburkan maraknya perilaku anomali semacam itu.
Gampangnya negeri ini disusupi berbagai paham dan ideologi radikalisme agama dinilai juga tak lepas dari situasi semacam itu. Dalam kondisi demikian, kita perlu kembali membangun kesadaran kolektif untuk merefleksi sekaligus mengejawantahkan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan Ki Hajar Dewantara yang kini “nyaris” tinggal jargon belaka itu, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberikan contoh), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah-tengah rakyat mesti mampu membangkitan atau menggugah kehendak dan kemauan bersama untuk berbuat yang terbaik buat negara dan bangsa, dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan moral atau dorongan semangat buat rakyatnya).
Ki Hajar Dewantara adalah spirit zaman. Pandangan-pandangan visionernya yang senantiasa berakar pada nilai-nilai kearifan lokal menunjukkan bahwa kemajuan sebuah bangsa tak bisa diraih hanya sekadar meniru-niru, apalagi bersikap latah, terhadap nilai-nilai barat yang dianggap lebih modern dan kosmopolit. Spirit inilah yang dinilai telah hilang di negeri ini. Bertahun-tahun lamanya bangsa kita silau oleh peradaban barat sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis pada karakter dan kepribadian yang kuat telah lumpuh.
Maraknya perilaku destruktif, anarkis, dan radikalis, bisa jadi memang merupakan ekses ketidakberdayaan dunia pendidikan kita dalam menghasilkan keluaran pendidikan yang memiliki kecerdasan hati nurani dan emosi, spiritual, dan sosial. Meski demikian, rasanya juga tidak adil kalau dunia pendidikan dituding sebagai satu-satunya biang keladi yang menyebabkan degradasi moral dan involusi budaya telanjur parah di negeri ini. Sehebat apa pun dunia pendidikan kita melakukan intervensi tindakan yang simultan untuk mengakarkan nilai-nilai moral dan budi pekerti kepada peserta didik, tanpa diimbangi dengan keteladanan elite negara dan kokohnya masyarakat sebagai kekuatan kontrol, agaknya generasi masa depan negeri ini akan terus-terusan tenggelam dalam kubangan perilaku anomali semacam itu. Butuh sinergi dan kekompakan seluruh elemen negara untuk menyelamatkan anak-anak bangsa negeri ini dari ancaman kekerasan dan radikalisme.
Nah, selamat memperingati Hardiknas 2011, semoga semangat Ki Hajar Dewantara terus menjadi spirit zaman untuk membangun peradaban bangsa yang terhormat dan bermartabat.
Dikutip dari catatan Sawali Tuhusetya
Oleh karena itu, sungguh tepat apabila tema Hardiknas tahun ini mengangkat kembali “Pendidikan Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa” dengan Subtema “Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Keprihatinan tentang degradasi moral dan involusi budaya yang melanda negeri ini memang sudah lama berlangsung. Kita lihat saja tawuran terbuka di jalan-jalan raya kota besar. Hampir sebagian besar kasus yang terjadi melibatkan kaum pelajar kita. Belum lagi mereka yang terperangkap dalam perilaku seks bebas, penyalahgunaan Narkoba, dan berbagai perilaku anomali sosial yang lain. Makin maraknya perilaku anomali semacam itu membuat sebagian besar masyarakat yang kehilangan sikap kontrol, bersikap permisif, dan cenderung melakukan proses pembiaran. Tawuran, seks bebas, kekerasan, atau perilaku kriminal dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.
Kondisi semacam itu diperparah dengan miskinnya keteladanan para elite negara yang secara sosial seharusnya bisa dijadikan sebagai anutan. Korupsi berjamaah yang melingkar-lingkar sehingga menyulitkan aparat penegak hukum untuk mengusutnya hingga tuntas lantaran banyaknya kelompok kepentingan yang ikut bermain di dalamnya, ketidakpedulian sang pemimpin terhadap jutaan warganya yang terlilit kemiskinan dan terjerat dalam pengangguran, merupakan beberapa faktor yang ikut menyuburkan maraknya perilaku anomali semacam itu.
Gampangnya negeri ini disusupi berbagai paham dan ideologi radikalisme agama dinilai juga tak lepas dari situasi semacam itu. Dalam kondisi demikian, kita perlu kembali membangun kesadaran kolektif untuk merefleksi sekaligus mengejawantahkan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan Ki Hajar Dewantara yang kini “nyaris” tinggal jargon belaka itu, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberikan contoh), Ing Madya Mangun Karsa (di tengah-tengah rakyat mesti mampu membangkitan atau menggugah kehendak dan kemauan bersama untuk berbuat yang terbaik buat negara dan bangsa, dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberikan dorongan moral atau dorongan semangat buat rakyatnya).
Ki Hajar Dewantara adalah spirit zaman. Pandangan-pandangan visionernya yang senantiasa berakar pada nilai-nilai kearifan lokal menunjukkan bahwa kemajuan sebuah bangsa tak bisa diraih hanya sekadar meniru-niru, apalagi bersikap latah, terhadap nilai-nilai barat yang dianggap lebih modern dan kosmopolit. Spirit inilah yang dinilai telah hilang di negeri ini. Bertahun-tahun lamanya bangsa kita silau oleh peradaban barat sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang berbasis pada karakter dan kepribadian yang kuat telah lumpuh.
Maraknya perilaku destruktif, anarkis, dan radikalis, bisa jadi memang merupakan ekses ketidakberdayaan dunia pendidikan kita dalam menghasilkan keluaran pendidikan yang memiliki kecerdasan hati nurani dan emosi, spiritual, dan sosial. Meski demikian, rasanya juga tidak adil kalau dunia pendidikan dituding sebagai satu-satunya biang keladi yang menyebabkan degradasi moral dan involusi budaya telanjur parah di negeri ini. Sehebat apa pun dunia pendidikan kita melakukan intervensi tindakan yang simultan untuk mengakarkan nilai-nilai moral dan budi pekerti kepada peserta didik, tanpa diimbangi dengan keteladanan elite negara dan kokohnya masyarakat sebagai kekuatan kontrol, agaknya generasi masa depan negeri ini akan terus-terusan tenggelam dalam kubangan perilaku anomali semacam itu. Butuh sinergi dan kekompakan seluruh elemen negara untuk menyelamatkan anak-anak bangsa negeri ini dari ancaman kekerasan dan radikalisme.
Nah, selamat memperingati Hardiknas 2011, semoga semangat Ki Hajar Dewantara terus menjadi spirit zaman untuk membangun peradaban bangsa yang terhormat dan bermartabat.
Dikutip dari catatan Sawali Tuhusetya
0 komentar:
Posting Komentar