Rabu, 04 Mei 2011

Osama versus Obama oleh Ali Rif'an

Kematian pendiri sekaligus pemimpin jaringan teroris global Al Qaeda, Osama bin Laden, Minggu (1/5), mengundang perhatian besar masyarakat dunia. Osama tewas tertembak di bagian kepala dalam sebuah operasi militer rahasia yang digelar pasukan khusus AS di Kota Abbottabad, Pakistan. Seperti diberitakan media AS, New York Times dan televisi CNN, Osama langsung dikubur di laut.

Tak ada yang menyangka, Osama justru ditemukan dalam persembunyian di perumahan mewah di Abbottabad, bukan di sebuah goa di perbatasan Afganistan-Pakistan, seperti diduga selama ini. Bagi pasukan AS, mencari pesembunyian Osama tidaklah mudah. Militer dan intelijen AS telah mendeteksi keberadaan Osama sejak empat tahun lalu, dan baru April 2011 mereka menemukannya.

Osama bin Laden lahir pada 10 Maret 1957 di Riyadh, Arab Saudi. Dia adalah putra kontraktor dan pebisnis properti kaya raya bernama Mohamed bin Laden. Putra ke-17 dari 52 bersaudara ini meraih gelar sarjana ekonomi dari Universitas King Abdul Aziz, Jeddah yang kemudian dipercaya sebagai manajer di perusahaan bapaknya. Osama kecil tumbuh dari keluarga Islam fundamen. Dari bapaknya, ia mendapat warisan 250 juta dolar AS. Dari warisan itulah, Osama kemudian sukses mengembangkan perusahaan-perusahaan besar yang didirikan di berbagai negara. Terhitung sekitar 70-80 perusahaan milik Osama tersebar di mancanegara dengan nama samaran (Kompas, 3/5).

Tahun 1984, Osama mendirikan lembaga dakwah dan kamp militer yang dinamai Kamp Farouk. Kamp ini merupakan cikal bakal tempat latihan militer bagi sukarelawan Afganistan dan mancanegara. Osama kemudian merekrut banyak sukarelawan untuk digembleng mental, idiologi, serta militer. Tak pelak, mundurnya Uni Soviet dari Afganistan pada 1989 disebut-sebut sebagai jasa Osama. Pada 1998, Osama bersama Ayman Zawahiri melalui jaringan Al Qaeda memulai perlawanan terhadap negara-negara adidaya yang dianggap sering mengintimidasi negara-negara Islam. AS kemudian menjadi target utama.

Serangan-serangan yang kerap disebut-sebut dilakukan oleh jaringan Al Qaeda, antara lain: pengeboman Kedubes AS (7 Agustus 1998), serangan menara kembar WTC dan Pentagon AS (11 September 2001), bom Bali (12 Oktober 2002), pengeboman kereta api Madrid (11 Maret 2004), pengeboman angkutan London (7 Juli 2005), pengeboman Aljazair (12 Desember 2007), rencana bom pesawat kargo (29 Oktober 2010).

Kemenangan Obama

Tentu tewasnya Osama tak hanya menjadi kemenangan AS dalam perang melawan terorisme global, namun juga menjadi kemenangan besar bagi Presiden Barack Obama di pentas politik dalam negeri AS. Seperti dilansir The Washington Post, hanya dalam waktu sepekan, Obama berhasil mencetak tiga kemenangan berturut-turut terhadap lawan-lawan politiknya.

Kemenangan pertama saat ia berhasil membalik tuduhan bahwa dirinya tak lahir di wilayah AS dan tidak sah menjadi presiden AS. Obama berhasil mempermalukan telak tuduhan dari Donald Trump dan para simpatisan gerakan birther.Kemenangan kedua ialah saat ia dengan cepat merespon bencana tornado yang menewaskan lebih dari 350 orang di tujuh negara bagian AS, pekan lalu. Bagi Obama, kesalahan pendahulunya, Presiden George W Bush—yang lambat menangani bencana Topan Katrina (2005)—menjadi pelajaran berharga baginya. Obama kemudian mengunjungi lokasi terparah yang terkena bencana hanya dua hari setelah 137 tornado mengamuk Negara Bagian Alabama dan sekitarnya.

Dan, tentu saja kemenangan terbesar Obama ketiga adalah tewasnya Osama. Meskipun upaya membumihanguskan pemimpin jaringan Al Qaida ini dimulai pada era Presiden Bush, akan tetapi publik dunia tetap menaruh bangga terhadap prestasi signifikan kepemimpinan Obama dalam menggulingkan Osama. Karena itu, masyarakat internasional, seperti PBB hingga mantan Presiden Bush dan bakal calon presiden dari Partai Republik AS untuk pemilu 2012 memberikan apresiasi besar terhadap Obama.

Kegagalan Obama dalam mengatasi pengangguran, kenaikan harga bahan bakar minyak, dan perpecahan sengit politik dalam negeri AS belakangan seolah bisa diredam sejenak dengan terbunuhnya musuh bebuyutan AS, Osama bin Laden.

Dalam konteks Indonesia, kabar tewasnya Osama juga memberikan oase bagi sebagian besar masyarakat, khusnya bagi gerakan Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah. Ada dua alasan. Pertama, apa yang dilakukan Osama selama ini telah mencoreng nama Islam. Betapa tidak. Islam adalah agama yang sarat dengan nilai-nilai toleransi sekaligus menjadi rahmat bagi seru sekalian alam (rahmatan lil alamin), namun di tangan Osama, Islam tampak garang dan pekat dengan aroma kebencian. Islam identik dengan perang dan terorisme. Sebagai dampaknya, umat Islam yang hidup di negara mayoritas non-muslim selalu mendapat cibiran, hinaan, serta dimarjinalkan. Dus, Islam kemudian dianggap agama yang berbahaya dan harus dijauhi.

Kedua, secara historis, Osama adalah anak kesayangan yang pernah dibesarkan AS ketika mempersenjatai rakyat Afganistan menentang pendudukan Uni Soviet. Artinya, ada hubungan kausal yang kuat antara negara Obama dan Osama. Bisa jadi, serangan balik Osama terhadap AS tidak karena idiologi semata, tapi lebih kepada dendam Osama kepada Amerika karena merasa dicampakkan setelah Uni Soviet berhasil diusir dari bumi Afganistan.

Oleh karenanya, kematian gembong teroris Al-Qaida selayaknya kita jadikan sebagai babak penting bagi terbentuknya masyarakat Islam Indonesia yang santun dan toleran. Indonesia yang notabene negara mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia harus memberikan contoh ihwal wajah Islam yang penuh kehangatan, persaudaraan, dan cinta damai.

Gerakan-gerakan radikalisme seperti Negara Islam Indonesia (NII) dan lain-lain, jika konsep dakwah yang dipakai adalah kekerasan dan terorisme, mau tidak mau, harus segera dibumihanguskan dari bumi Pertiwi. Pemerintah harus cepat dan sigap dalam membaca gejala ini. “Osama Vs Obama” akan lebih menarik jika segera diganti dengan “NII versus SBY”.






0 komentar:

Posting Komentar