Keanehan dari negeri yang serba aneh ini kembali terjadi. Pasalnya, akhir-akhir ini Orang Indonesia dari segala penjuru menjadi suka menonton berita.
Mungkin hal ini bukanlah suatu keanehan jika terjadi di negeri lain. Tapi ketika ini terjadi di Indonesia, sepantasnya untuk dianggap suatu hal yang ganjil terjadi.
Tidak perlu munafik terhadap bangsa ini, bukti empiris menunjukkan orang indonesia (sebelumnya) bukanlah suatu warga negara yang rela waktunya terbuang hanya untuk digunakan melihat berita. Terutama ketika menghidupkan televisi masing-masing.
Bukti ini memang tidak menjadi vonis dengan memukul rata semua orang Indonesia. Tapi paling tidak, bisa jadi, mewakili mayoritas dari keseluruhan. Dan itu cukup menjadi sebuah penilaian, bahwa ketika bangsa lain sudah mampu mengambil fungsi elektronik dengan hampir tidak terbatas, terutama menjadi media informasi. Orang Indonesia cukup senang dengan memosisikan fungsi elektronik menjadi penghibur di tengah-tengah kesibukan tiada akhir dan tiada terbaiki. Sinetron dan reality show yang ada benar-benar berhasil menarik orang Indonesia melupakan dunianya.
Itulah bukti empiris yang menjadi penilaian dulu, lain dengan sekarang.
Layaknya kita anggap titik balik ini sebagai prestasi tersendiri bagi bangsa. Tapi jikapun dianggap prestasi serasa terlalu melebih-lebihkan. Karena perlu juga diketahui, ada apa sebenarnya dibalik semua ini.
Usut punya usut. Kemungkinan hal ini merupakan langkah taktis dari para produsen berita di balik layar sana. Tidak lain, untuk mencapai rating penonton lebih banyak, berita yang selama ini tersisihkan dari orang Indonesia, mulai merubah strategi. Dengan mengambil titik tolak apa yang dapat membuat orang indonesia tertarik dengan sinetron dan reality show, maka dari titik itu pula berita akan memulai.
Watak orang Indonesia suka nuansa dramatis dan peminimalan dalam penggunaan akal. Dramatisasi yang beralur naratif. Dari sinilah titik tolak itu. Dan ini pula yang sudah mulai di sadari oleh yang dibalik layar berita.
Dramatisasi. Orang Indonesia, dari anak-anak sampai yang tua renta, dapat dipastikan menyukai satu hal ini. Alasan logisnya, bagi yang berusia produktif menjadi senang karena ternyata ada yang lebih sengsara dari dirinya, dari rasa senang yang tak disadari lalu lupa diri akan dunianya, kemudian terhanyut. Untuk anak-anak, karena melihat orang tuanya, merekapun ikut terhanyut. Untuk orang tua, karena sudah tidak ada lagi yang dikerjakan dan terbawa suasana masa mudanya, merekapun tak bisa terlepas. Ini hanyalah, analisis logis dari satu variabel. Tentu tidak menutup kemungkinan adanya alasan yang lain. Yang jelas, sesuai dengan kenyataan yang ada, hal ini tidaklah lalu menjadi salah secara mutlak.
Naratif. Dari segi jurnalistik, penyampaian yang paling mudah dicerna akal adalah alur ini. alur penceritaan, sebagaimana orang mendongeng. Jadi tidak salah, ketika melihat orang Indonesia yang lebih suka di-cerita-i dari pada diberi penjelasan analisis argumentatif, ataupun model lainnya. Lalu mengambil kesimpulan bahwa orang Indonesia tidak suka memeras otak terlalu dalam. Bukan menghina, benar adanya orang-orang Indonesia yang cerdas, bahkan tidak terhitung. Tapi jika membandingkan dengan yang tidak termasuk orang-orang tersebut. Tentu itu sebuah jawaban.
Jadi, dari titik inilah semua perubahan itu dimulai. Dari yang berawal berisi dan mencerdaskan, sesuai dengan standar ilmiah. Menjadi seakan dibuat-buat, naratif, tidak mengajak berfikir. Dan yang paling disayangkan ketika ke-objektif-an menjadi hilang, hanya karena permintaan pasar, dan kepentingan dari pihak-pihak tertentu.
Lalu apa bedanya dengan sinetron? Kiranya pantas jika dikatakan berita saat ini “Layaknya Sinetron”
Dikutip dari catatan Moham Fahdi
0 komentar:
Posting Komentar