Sabtu, 21 Mei 2011

Sepak Bola Indonesia berada di Lumpur Kapitalisme

Gegap gempita piala AFF sudah berakhir, pasukan Merah Putih hanya mampu finisih di tempat kedua. Kutukan untuk timnas belum juga berakhir, harapan rakyat Indonesia untuk bisa menggelar pesta kemenangan tak bersambut. Setelah tampil gagah di putaran penyisahan, anak asuhan Alfred Riedl keok oleh tim Malaysia, padahal pada putaran penyisahan timnas bisa menumbangkan anak asuh Radja Gopal dengan skor meyakinkan 5 – 1.

Setelah pagelaran bergengsi di kawasan Asia Tenggara telah berakhir, kehebohan public pecinta sepak bola akan euforia sepak bola ternyata belum berakhir. Permasalahan sepak bola kini menjadi salah satu permasalahan yang menjadi focus pemberitaan beberapa media. terutama pasca batalnya kongres PSSI di Pekanbaru, Riau beberapa pekan lalu. Permasalahan mengenai Statuta PSSI dan FIFA pun mendapat sorotan, disinyalir pihak Nurdin cs, melakukan berbagai uapaya manipulasi untuk terus menjabat di PSSI. Masalah ini kemudian merembet kepada konflik antara pihak Menegpora dengan ketua PSSI. Di salah satu media malam ini, Menegpora, Andi Malarangeng bahkan sudah menyatakan tidak mengakui kepengurasan Nurdin cs di PSSI, aset PSSI akan diambil alih, dana untuk PSSI melalui APBN pun akan di hentikan, sementara pelatnas untuk SEA Games akan diambil oleh KONI dan KOI.

PSSI sebagai wadahnya sepak bola di negeri ini menjadi sorotan masyarakat, kinerja PSSI dianggap setali tiga uang dengan kinerja pemerintahan SBY – Boediono jilid ke 2. Tidak perubahan yang berarti untuk kemajuan sepak bola serta masih mempertahankan pola-pola lama untuk menghindar dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan permasalahan yang lebih penting adalah membawa sepak bola ke system Kapitalisme. Dibawah kepemimpinan mantan seorang narapidana kasus korupsi, Nurdin Halid, PSSI menjadi sebuah lembaga olah raga anti bodi yang tidak menerima kritikan dari anggotanya.

Setelah prestasi yang tidak memuaskan di piala AFF yang lalu, badai kritikan terhadap kepemimpinan di PSSI semakin keras, bahkan 3 klub peserta ISL (Indonesia super league) (PSM Makasar, Persibo Bojonegoro, dan Persema Malang) yang notabene juga anggota PSSI menyebrang ke liga “tandingan” yang disponsori oleh beberapa pengusaha Indonesia, Liga Premier Indonesia (LPI).

Ini merupakan buntut kekecewaan para pelaku sepak bola Indonesia terhadap PSSI. Namun kemudian timbul pertanyaan baru, sama-sama dikelola oleh para pengusaha apakah negeri ini benar-benar mau dibawa ke system Kapitalisme di semua sendi kehidupan, termasuk sepak bola ?

Tidak bisa dipungkiri bahwa system penindas Kapitalisme telah menjajah seluruh lapisan kehidupan negeri ini, termasuk sepak bola. Melihat perkembangan sepak bola dunia sekarang pun tak jauh berbeda, kini sepak bola dunia menuju industri yang menggiurkan bagi para pengusaha. Padahal jika kita melihat perkembangan sejarah sepak bola baik dunia maupun negeri ini, sepak bola merupakan permainan rakyat. Sepak bola lahir dari daratan Cina yaitu berawal dari permainan masyarakat Cina abad ke-2 sampai dengan ke-3 SM. Olah raga ini saat itu dikenal dengan sebutan “tsu chu “. Itu versi sejarah sepak bola yang diakui oleh FIFA sebagai organisasi sepak bola dunia. Walaupun begitu masih banyak versi lain dari sejarah sepak bola, beberapa Negara mempunyai versi lainnya, seperti Mesir, Jepang, bahkan Inggris mengaku sebagai peletak pertama sejarah sepak bola modern. Sepak bola saat ini sudah menjadi lahan bisnis baru untuk para pengusaha dan penguasa. Sepak bola dibawa menuju ke industiralisasi dimana uang yang berkuasa. Itu pula yang harus ditakutkan oleh para pecinta sepak bola dengan hadirnya LPI.

Dibawah pengelolaan PSSI di liga Indonesia, sepak bola negeri ini pun sudah dibawa ke arah industrialisasi sepak bola dimana uang menjadi pengendali utamanya. Hadirnya LPI setali tiga uang dengan liga yang dikelola oleh PSSI. LPI bukanlah jawaban dari bobroknya pengelolaan liga sepak bola di negeri ini oleh PSSI, justru dengan hadirnya LPI akan membawa liga sepak bola negeri ini menjadi lahan bisnis baru untuk para pengusaha bermental kapitalis untuk menginvestasikan uangnya. Sejatinya setelah berdirinya LPI, banyak pengusaha-pengusaha di daerah-daerah yang berlomba-lomba menguncurkan uangnya untuk mendirikan klub sepak bola, menciptakan prestasi dengan cara yang instant.

Kemunculan liga tandingan yang disponsori oleh seorang pengusaha bernama Arifin Panigoro menjadi babak baru perkembangan sepak bola negeri ini ke arah system kapitalisme. Hal ini bisa dilihat dari munculnya klub-klub “ajing mumpung” yang hadir semenjak digulirkannya liga primer Indonesia, diberbagai pelosok kota di negeri ini bermunculan klub-klub liga sepak bola yang mengusung corak budaya kapitalisme, sebut saja nama-nama klub yang meniru nama-nama klub liga besar dunia, macam Real Mataram, Tanggerang Wolves, Manado United, Ksatria XI Solo FC, dll. Klub-klub ini dibiayai oleh para pengusaha. Artinya keuntungan menjadi harga mutlak bagi para pengusaha ketika ia mengelola sebuah klub. Sementara di luar negeri sana, banyak fans yang mengecam masuknya para pengusaha mengelola klub sepak bola, tapi di negeri ini malah mendukungnya. Kita lihat bagaimana fans Mancester United menentang Malcom Glezer sebagai presiden klub, begitu pula dengan fans Liverpool yang menganggap kepemimpinan Hicks bersaudara membawa klub ini ke ajang komersialisasi semata tapi tidak membawa prestasi lebih baik. Membawa liga sepak bola negeri ini ke arah system kapitalisme bukanlah menjadi solusi terbaik dari carut marutnya PSSI menangani sepak bola negeri ini.

Mengutip tulisan dari seorang pengamat sepak bola, Andi Bachtiar Yusuf dalam salah satu artikelnya berjudul Garuda di Dada ku, “sebuah sistem yang keparat seyogyanya dibalas dengan sebuah revolusi nyata yang dilakukan dengan cara yang benar. Seperti saat Ernesto Guevara dan Fidel Castro menerobos masuk Havana dengan pasukannya dan merobohkan rezim Fulgentio Batista yang menguasa. Saat Ayatullah Rahullah Khomeini memimpin rakyat Iran untukmenjatuhkan rezim Shah yang sangat barat!” dan system tersebut memang tak bisa diharapkan dengan datangnya LPI yang digagas oleh para pengusaha yang memiliki reputasi tidak baik tersebut. Kita mencerca saat timnas kemarin dibawa-bawa bak seorang selebritis oleh keluarga Bakrie, tapi apakah kita juga akan mencerca saat pemain sepak bola di perjual belikan laykanya komoditi dagang oleh para pengusaha pemilik klub di LPI ?

Permasalahan mendasar yang belum disadari sebagian pecinta sepak bola tanah air adalah makin kuatnya jeratan system kapitalisme di bidang sepak bola. Saat ini, sebagian besar pecinta sepak bola merasa bersyukur dengan hadirnya LPI sebagai jawaban dari semarawutnya liga Indonesia yang dikelola PSSI, namun kita tidak pernah mau melihat latar belakang berdirinya LPI ? masuknya beberapa investor asing ke LPI tidak kita lihat sebagai bentuk penjajahan baru para pemegang modal ke segala sendi kehidupan negeri ini. Hadirnya LPI tidak akan merubah angka pengangguran di negeri ini, LPI pun tidak akan memperbaiki mutu sepak bola negeri ini, justru dengan hadirnya LPI akan menguntungkan industri penyiaran, akan memberikan keuntungan bagi produk-produk inverstor yang mensupport LPI. Keuntungan yang didapat dari hadirnya LPI hanya akan menyentuh pada lapisan atas pemegang modal dari terbentuknya LPI.

System pembinaan sepak bola yang harusnya diperbaiki. Bukan justru makin menyumburkan system lama yang sudah terbukti bobroknya bagi kemajuan sepak bola negeri ini. reformasi bukanlah kata yang tepat untuk PSSI namun revolusi adalah kata yang tepat untuk diarahkan kepada sepak bola negeri ini. tarikannya bukan lagi PSSI sebagai sasaran tembak namun juga kepada seluruh lapisan di negeri ini yang akan membawa sepak bola ke system kapitalisme. Mengapa kita tidak bisa mencoba meniru pola pembinaan Korea Utara ? Negara komunis yang dianggap miskin dan terbelakang ini, bisa menembus putaran final piala dunia 2010, terlepas dari hasil buruk yang mereka dapatkan di ajang 4 tahunan tersebut tapi kita melihat bahwa system kapitalisme tidak selamanya bisa membuat prestasi yang baik untuk kemajuan sepak bola.

Kita menyadari betul bahwa PSSI dipenuhi oleh orang-orang bermental mafia. Kita tentu muak ketika banyak indikasi korupsi yang dilakukan PSSI. Pemerintah harusnya segera mengaudit keuangan PSSI, dana operasional yang diterima PSSI pada tahun 2010 mencapai Rp. 20 miliar, sedangkan untuk tahun ini saja RAPBN menyebutkan bahwa dana untuk PSSI mencapai Rp.80 miliar, pertanyaannya mengalir kemana saja dana rakyat tersebut ? dan apa hasilnya ? selama ini kita terfokus dengan banyaknya mafia di lingkungan badan hukum negeri ini, tapi kita lupa bahwa mafia tersebut juga ada di lembaga olah raga, utamanya sepak bola. Dan jelas pemerintah abai terhadap hal ini. Pengabaian pemerintah terlihat jelas dari sikap kementrian pemuda dan olah raga yang bersikap setali 3 uang dengan Presiden, ragu-ragu dan tidak mempunyai sikap tegas. Ini pun diperparah dengan sebagian anggota DPRD yang justru malah mendorong klub sepak bola untuk bergabung ke LPI.

Alasan dana APBD yang menjadi sumber pemasukan untuk klub-klub sepak bola menjadi alasan klise yang diberikan untuk mendorong klub bergabung dengan LPI. Sebagian klub sepak bola di negeri ini memang didanai oleh dana APBD. Persela Lamongan mendapat dana kucuran APBD Rp. 14 miliar untuk tahun 2010, Persisam Samarinda mendapat Rp. 15 miliar, Persipasi Bekasi memperoleh Rp. 10 miliar, klub ibu kota Persija Jakarta mendapat gelontoran dana yang paling besar yaitu Rp. 25 miliar. Tentu kita pun mengkritik hal tersebut, uang rakyat digunakan untuk sesuatu yang tidak bisa dibanggakan, peralihan sikap dari sebagain kalangan DPRD tentu kita lihat sebagai posisi cari aman. Tak bisa dipungkiri banyak pejabat public baik dari kalangan pemerintahan maupun DPRD yang masih mempunyai peran strategis di klub tersebut, tentu saja besarnya dana APBD sangat menggiurkan bagi mereka. Besarnya dana APBD yang digelontorkan ke klub-klub tersebut tidak terlepas dari peran mereka untuk mensahkan peraturan tersebut.

Kesemerawutan sepak bola di negeri ini harus dibenahi dengan sungguh, bukan menciptakan liga tandingan yang hanya mengarah kepada “aji mumpung” dari para pengusaha untuk mengeruk uang dari bobroknya kepengurusan liga Indonesia, bukan juga mengerahkan TNI untuk menintervensi jalannya Kongres PSSI, dan bukan juga membuat PSSI tandingan yang akan berdampak kepada sanksi yang diberikan FIFA kepada Timnas kita yang akan berlaga di perhelatan internasional, serta bukan juga menarik pemerintah untuk campur tangan kedalam permasalahan ini. namun solusi yang paling tepat adalah mengumpulkan seluruh para pelaku sepak bola negeri ini untuk melepaskan sepak bola dari jeratan liberalisasi serta kepentingan politik sesaat. Kembalikan PSSI di bawah kepengurusan para mantan pemain sepak bola negeri ini, yang sekarang banyak tidak terpantau lagi. Karena hanya merekalah yang paham bagaimana mengurus sepak bola, bukan orang-orang yang bertitel pengusaha yang akan membawa sepak bola negeri ini ke arah lumpur kapitalisme.


Dikutip dari catatan Pras Che



0 komentar:

Posting Komentar