Jumat, 13 Mei 2011

Pahlawan dan Tukang Sapu

Sekolah Tinggi Penghitungan Uang Negeri (STIPUN) tidak perlu dipertanyakan lagi keterkenalannya di banyak kalangan, apalagi bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, tempat ini bagaikan surga yang diidam-idamkan. Daya tariknya begitu memikat, dengan penawarannya akan ‘murah’ dan ‘terjamin’. Tawaran macam apalagi yang mampu menyaingi dua hal itu.

Nilai prestise tersemat bagi yang mampu memasuki STIPUN, karena tentu saja perlu perjuangan yang lebih untuk itu. Begitu juga dengan Gambun adanya.

Tapi ada yang sedikit berbeda dengan Gambun, dia terlebih cerdas dari lainnya. Jalan pikirnya lebih maju dari lainnya. Dan sulit diprediksi apa maksud sebenarnya ha-hal yang dilakukan.

Gambun adalah alumni dari STIPUN saat ini. Bahkan namanya terlebih terkenal dari STIPUN. Segala media massa memberitakan tentang dirinya. Segala kenalannya dari STIPUN mulai dari teman seangkatan, beda angkatan, dosen, semua pada terbeliak mendengar tentang dirinya. Begitu juga dengan tukang sapu STIPUN.

Tukang sapu ini merasa dirinya sudah merasa mengenal Gambun luar-dalam. Betapa tidak, kos-an Gambun masa mahasiswa sebelahan dengan rumah si tukang sapu, dan gambun orang yang mudah bergaul. Sering kali Tukang Sapu dan Gambun ngobrol tentang segalanya dan melakukan banyak hal bersama, dan dari situ tukang sapu dapat mendiskripsikan Gambun sebagai orang yang pintar-bahkan sangat pintar, sebagai orang yang religius-sering jama’ah bersama; ngaji bersama, dan sebagai orang yang nasionalis (peduli dengan negara)-mengutuk korupsi dalam negeri yang merajalela; mengutuk suap; mengutuk penipuan uang negara.

Jadi tingkat keterbeliakan tukang sapu ini lebih dari lain-lainnya. Pemberitaan-pemberitaan itu meruntuhkan segala imaji tukang sapu terhadap gambun. Pemberitaan yang sangat beterbalikan dengan sosok Gambun di pandangan tukang sapu, bahwa Gambun seorang penipu, bahwa Gambun koruptor, bahwa Gambun menerima banyak suap sana-sini. Hampir-hampir tukang sapu yang sudah lanjut usia ini semaput dibuatnya. Tapi menjadi tukang sapu selama hampir 40 tahun itu tidak lain karena daya tahan tubuhnya yang kuat dan selalu tampak sehat wal-afiat. Jadi yang seharusnya semaputpun tidak jadi.

Selama 40 tahun berkumpul dengan mahasiswa, walau sebagai tukang sapu, membuat dia juga selalu berfikir kritis akan segalanya, begitu juga saat ini.

“Ada yang salah, tidak mungkin itu Gambun yang aku kenal, kalaupun iya pasti ini fitnah,” pikir tukang sapu ketika melihat pemberitaan Gambun di TV.

Naluri tukang sapu yang tidak hanya sebatas berfikir, sepeti ketika dia melihat hal-hal kotor dan tidak pada tempatnya di kampus pasti akan secepatnya dibersihkan dan dikembalikan pada tempat yang wajar. Maka paginya, secepatnya tukang sapu berusaha mencari tempat penahanan Gambun.

Di LP ini tukang sapu mendapat ijin bertemu dengan Gambun. Dia melihat gambun, duduk di depannya dengan baju tahanan, sangat berbeda dengan Gambun yang selama ini berputar-putar dalam pikirannya. “Apa orangnya pun sudah berubah sebagaimana penampilannya?” pikir tukang sapu.

“Lho, Bapak yang jenguk?” tanya gambun, setelah salaman dengan tukang sapu.

“Iya, Bun. Tidak kamu sangka bukan?” Tukang sapu menimpali, dan bertanya balik.

“Hehehe, iya Pak. Ada apa, pak?”

“Langsung aja, Bun. Apa kamu masih Gambun yang bapak kenal?” tanya tukang sapu.

“Maksud Bapak? Saya selalu seperti ini, Pak. Gambun dulu dan Gambun sekarang tidak pernah berbeda,” jawab Gambun.

“Lantas bagaimana dengan tentang pemberitaan itu? Sampai-sampai kamu masuk di sini. Jelas sekali, kalau itu semua bukan Gambun yang bapak kenal,” kata tukang sapu

Gambun terdiam, menundukkan wajah dengan mimik muka berfikir serius. Tukang sapu-pun menunggu jawaban Gambun, sambil menatap wajah Gambun seakan ingin melihat perubahan-perubahan mimik wajahnya.

“Oh itu. Itu semua benar adanya, Pak,” jawab Gambun lirih, sambil menegakkan kembali kepalanya dan menatap mata tukang sapu.

“Tapi, saya masih Gambun yang Bapak kenal,” lanjut Gambun.

“Maksudnya?” tanya tukang sapu, dengan kebingungan akan apa dibalik ini semua.

“Pak, aku masih tidak berubah, bahkan tambah kuat pendirianku yang dulu itu. Aku sekarang tidak hanya mengutuk, bahkan ingin memangkas habis segala macam penipuan uang negara,” kata Gambun dengan mata berbinar-binar, seperti beberapa tahun lalu ketika membicarakan tentang pendirian.

“Tapi yang kamu lakukan itu tidak menceminkan semuanya, Bun?” tanya tukang sapu masih bingung akan apa maksud dari Gambun.

“Itulah, Pak. Apa Bapak tahu cara untuk menyapu bersih itu semua?” tanya Gambun.

Tukang sapu hanya menggeleng-gelengkan kepala, walaupun tukang sapu, tapi untuk menyapu bersih penipuan uang negara tentu saja dia tidak tahu.

“Bapak tahukan dari pemberitaan, kalau aku disuap sana-sini, untuk melakukan hal ini-itu yang merugikan negara. Dari situ aku tahu siapa mereka, bagaimana mereka bertindak dan akhirnya aku akan bongkar mereka di pengadilan yang sebenarnya mengadiliku.”

“Jadi itu semua hanya akting untuk menipu mereka? Dan menjebloskan mereka ke penjara seperti kamu?”

“Tentu saja, Pak.”

Dan kembali, tukang sapu terbeliak hampir semaput, tapi tidak jadi.

Beberapa hari kemudian sebelum pengadilan, STIPUN mulai dikenal kembali dengan nama olok-olok Sekolah Tipu Negri, yakni sekolah yang mengajarkan tipu-menipu terutama menipu uang negara, dan dihubungkan dengan adanya Gambun. Untuk membuktikan hal tersebut, maka ada seorang wartawan berkunjung ke STIPUN. Untuk mewawancarai tokoh-tokoh di STIPUN mengenai hal tersebut.

Hasil wawancara tokoh-tokoh besar di STIPUN pada menolak dengan keras hal itu dan menyatakan kasus Gambun tidak ada hubungan sama sekali dengan STIPUN, bahkan ada yang menyatakan Gambun adalah produk gagal dari STIPUN.

Tapi sebelum si wartawan memutuskan keluar kampus, dilihatnya ada seorang tukang sapu yang begitu giat dan sambil tersenyum membersihkan halaman depan. Terbersit di hati wartawan untuk sekedar bertanya pada tukang sapu itu.

“Salam, Pak”

“Salam, ada apa mas?”

“ehm, saya mau tanya-tanya ke Bapak boleh?”

“Silahkan saja” kata tukang sapu.

“Bapak kenal sama Gambun, yang sering di berita itu?” tanya wartawan.

“Wah tentu saja, orang-orang di sini pasti kenal sama dia,” jawab tukang sapu sambil tersenyum.

“Lantas menurut Bapak, dia orang yang bagaimana?” wartawan bertanya kembali.

Tiba-tiba sorot mata tukang sapu berubah serius dan berkata sambil melihat ke langit, seakan-akan ada sosok Gambun di atas sana.

“Gambun, dia itu sosok yang hebat. Belum pernah bapak bertemu orang sehebat dia, berani berkorban demi kemakmuran negara ini, dia seorang yang sangat baik, seperti Gambun yang bapak kenal waktu mahasiswa,” kata tukang sapu.

Kemudian tukang sapu menatap kembali pada wartawan, dan melanjutkan, “bagi saya, Gambun adalah sesosok pahlawan negara ini.”

Wartawan-pun terbeliak, dan karena wartawan bukanlah tukang sapu, diapun semaput di tempat. (Ciputat, 02-03-2011)


Dikutip dari catatan Moham Fahdi



0 komentar:

Posting Komentar