Apakah karakter itu? Karakter ada yang mengartikan sebagai suatu sifat atau kepribadian yang dimiliki seseorang. Karater juga diartikan sebagai kekuatan dan respon terhadap sesuatu. Karakter juga menggambarkan suatu watak dan kebiasaan seseorang.
Kembali pada karakter, ada beberapa ilmuwan yang menjelaskan berbagai definisi karakter yang dihubungkan dengan moralitas seperti menurut Lawrence Kohlberg dalam bukunya The Psychology of Moral Development (1927) menyimpulkan hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang, penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.
Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian.
Kemudian Sigmund Freud memiliki pendapat tentang potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Berdasarkan teorinya tersebut, Freud menyimpulkan bahwa moralitas merupakan sebuah proses penyesuaian antara id, ego, dan superego.
Di dalam Islam, Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt). Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan. Karena itu, Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir tetapi juga kebersihan ruhani.
Dari beberapa definisi para ahli tentang apa itu karakter, maka dapat disimpulkan karakter manusia meliputi dua hal baik dan buruk. Dan setiap tokoh memiliki karakter yang bisa dijadikan penutan.
Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:
“Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.”
Dari uraian tersebut artinya kita sebagai mahasiswa tidak cukup hanya menyelesaikan semua tugas-tugas kampus, dengan title mahasiswa, menjalani hari-hari dan lulus dengan menyandang gelar sarjana… cukupkah? Inilah yang harus kita rubah, bahwa kita perlu merombak orientasi kita. Kita sebagai penerus bangsa. Tidak ada salahnya berfikir besar, karena kita sebagai cendekiawan harus mampu menhasilkan karya yang bisa berguna di masyarakat. Di Kampus dapat kita ikuti program PKM sebagai wujud andil kita sebagai mahasiswa yang cendikiawan.
Mandiri sering juga disebut dengan tidak bergantung, menjadi mandiri adalah sebuah proses. Kita yang sangat bergantung dari bantuan orang tua, maka mulai dari sekarang kita harus mulai belajar menjadi mandiri. Apakah hanya secara financial? Tidak… kita harus bisa mandiri secara utuh, artinya kita mampu menyelesaikan masalah yang kita hadapi baik masalah pribadi, maupun masalah-masalah umum.
Berhati nurani, kita sadar tiap manusia memiliki hati (perasaan), namun dalam pembentukan karakter masih ditambahkan dengan kata nurani, nurani berasal dari bahasa Arab, yaitu “nĂ»ran” atau “nur’aini” yang artinya cahaya, atau cahaya mata. Dua kata ini umumnya digabung yang berarti hati yang bercahaya atau cahaya mata hati. Di dalam bahasa Indonesia juga dapat berarti lubuk hati yang paling dalam atau di sebut juga sebagai kata hati.
Imam Ghazali mengibaratkan hati nurani sebagai kaca cermin. Bagi orang yang tidak pernah berbuat salah, maka nuraninya bagaikan cermin yang bening. Sehingga sekecil apapun noda di wajah, segera akan tampak di cerminnya. Adapun orang yang kerap melakukan kesalahan-kesalahan kecil, maka nuraninya bagaikan cermin yang terkena debu. Wajahnya masih tampak, namun noda-noda kecil sudah tidak tampak karena kotornya sang cermin. Sedangkan pelaku kejahatan besar maka nuraninya akan gelap, seperti cermin tersiram cat hitam. Mungkin hanya sebagian kecil saja dari cerminnya yang bisa digunakan untuk bercermin. Karenanya seorang penjahat atau pembohong kerap tidak merasa dirinya bersalah, karena cermin hatinya sudah tidak bisa menampakkan gambar apa-apa.
Coba kita ingat jika kita menggunakan uang ibuk kita tanpa izin maka ada perasaan kurang enak, atau kalau kita berbohong keluar malam untuk sesuatu hal yang tidak penting, coba ingat pula ketika kita berjanji namun kemudian kita mengingkari, ingat pula ketika kita melihat orang tua renta yang mengigil kedinginan karena kehujanan sementara kita membawa paying,jika kita merasa kurang nyaman itulah hati nurani yang berbicara.
Nurani dalam diri manusia berfungsi sebagai kotak hitam (black box) untuk merekam segala cerita dan kejadian hidup. Dimensi waktunya mencakup waktu dulu dan yang sedang terjadi sekarang. Selain itu nurani berfungsi sebagai ‘radar’ untuk mendeteksi pengaruh baik dan buruk yang datang dari dalam maupun luar diri manusia, yang kemudian disesuaikan dengan mengikuti fitrahnya, yaitu menerima kebenaran. Inilah perlunya kita mengasah hati nurani. Semoga kita menjadi mahasiswa yang cendikiawan, mandiri dan berhati nurani. Amin
0 komentar:
Posting Komentar