Jumat, 03 Agustus 2012
Lulus Kuliah Itu Tidak Penting Saat Melamar Pekerjaan
Senin, 23 Juli 2012
Puasa dan Spirit Antikorupsi
Minggu, 10 Juni 2012
Digitalisasi, Demokrasi, dan Visi Indonesia 2020*
Harus diakui, teknologi saat ini dipandang sebagai sesuatu yang mendukung hidup manusia. Hampir semua aspek kehidupan manusia dibantu dan dipermudah dengan bantuan teknologi. Bahkan dalam skala yang lebih fundamental, teknologi semacam telekomunikasi sekarang ini sudah menjadi kebutuhan primer manusia setelah pangan, sandang, dan papan.
Tak pelak jika Marshall McLuhan (1967)—yang disebut-sebut sebagai Bapak Komunikasi—menyebut teknologi adalah fitrah manusia. Fungsi teknologi sebagai kendaraan berpikir dan kerja manusia menuju perpanjangan tahap selanjutnya, yakni perpanjangan dari badan dalam ruang menuju perpanjangan sistem saraf. Sebut saja komputer, misalnya, yang bekerja dengan bilangan biner adalah perpanjangan akal manusia yang berpikir dialektis. Begitu halnya roda yang berputar merupakan perpanjangan kaki manusia yang berjalan. Sementara teknologi seperti SMS, telepon dan chatting tak banyak beda dengan tegur sapa biasa.
Kini, antara telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran (broadcasting) sudah ibarat setali dua mata uang yang saling berkelindan. Tiga piranti ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Teknologi informasi, misalnya, telah menggabungkan sifat-sifat telekomunikasi yang bersifat masif dengan teknologi komputer yang bersifat interaktif. Fenomena inilah yang kemudian dikenal dengan istilah konvergensi.
Dalam bentuk yang utuh, konvergensi ini menghasilkan apa yang disebut digitalisasi. Digitalisasilah yang menjawab kemudahan atas layanan telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran sekaligus menggantikan teknologi analog. Sebagai dampaknya, maka sekarang ini, kehidupan terasa lebih mudah dan praktis. Betapa tidak, hanya dengan bermodal komputer atau telepon seluler, kita sudah dapat menerima suara, tulisan, data maupun gambar tiga dimensi (3G).
Digitalisasi dan Indonesia
Menurut catatan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), saat ini, sekitar 180 juta penduduk Indonesia sudah menjadi pelanggan layanan seluler [i]. Ini artinya, sekitar 60 persen populasi penduduk di Tanah Air sudah memiliki perangkat telekomunikasi. Bahkan menurut prediksi InMobi, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Mobile Ads Network, pengguna ponsel di Indonesia akan melesat dan membawa Indonesia ke peringkat 3 negara dengan pengguna ponsel terbanyak di bawah China dan India [ii].
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 259.940.857 juta jiwa dan terdistribusi pada wilayah seluas 220.953.634 (km²), dengan jumlah wilayah administratif 349 kabupaten, 91 kota, 5.263 kecamatan, 7.113 kelurahan, dan 62.806 desa di seluruh Indonesia, maka era konvergensi ilmu teknologi dan telekomunikasi yang berwujud digitalisasi menjadi babak baru bagi perubahan Indonesia ke depan. Kenapa demikian? Dalam konvergensi, terdapat 6 muara dalam satu bentuk. Konvergensi dalam bahasa Inggris convergence, yakni “to coce together, to meet or join, to approach from different directions. Aktivitas membaca, mendengar, perjalanan, bekerja, melihat, dan berbicara dapat dilakukan secara bersama-sama.
Sering dikatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai dan gemar membaca. Karena harus diakui, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang melanda negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan fenomena yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban juga tidak semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang paling utama adalah hilangnya élan vital dalam membaca.
Oleh karenanya, tanpa mengesampingkan pentingnya elemen pemerintah sebagai pemangku kepentingan nasional, konvergensi ilmu teknologi dan telekomunikasi yang menghasilkan produk digitalisasi semacam internet patut dicatat sebagai babak penting dalam mewujudkan pembangunan nasional. Alasan pertama, digitalisasi seperti internet akan membuka sekat-sekat atau kebuntuan akan akses informasi yang lambat dan stagnan menuju akses yang lebih dinamis, terbuka tanpa mengenal waktu dan jarak.
Coba bayangkan, sekarang ini, melalui jejaring facebook dan twitter, orang bisa menyapa dan berteman dengan siapa saja. Menurut pengamatan saya terhadap beberapa rekan muda, mereka yang akrab dengan internet, misalnya, cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan wawasan yang update ketimbang mereka yang jarang atau sama sekali tidak bergumul dengan dunia maya. Betapa tidak, melalui “Mbah Google”, tinggal klik, dalam hitungan detik mereka bisa mendapatkan informasi dengan cepat-kilat.
Bahkan yang lebih menggelikan. Untuk urusan percintaan, ruang virtual juga memiliki peran penting. Baru-baru ini saya sempat menghadiri pernikahan teman satu organisasi yang, kabarnya, calon istrinya itu didapat melalui chatting di dunia maya. Dua minggu setelah kenal langsung menikah. Saya kemudiaan berkesimpulan bahwa digitalisasi telah mampu mempercepat segala aspek kehidupan, termasuk sesuatu yang bersifat sakral sekalipun.
Alasan kedua adalah ihwal pengguna internet di Indonesia yang jumlahnya sangat fantastis. Jika pengguna telepon seluler sudah mencapai 60 persen dari jumlah penduduk Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai sekitar 45 juta [iii]. Dari data ini sesungguhnya kita bisa berasumsi sekaligus melempar pertanyaan, dari manakah pembangunan Indonesia bisa dengan cepat digerakkan? Saya memiliki asumsi kuat: dengan digitalisasi. Karena harus diakui, dalam sejarah peradaban manusia, revolusi di bidang teknologi selalu berdampak pada revolusi di bidang kehidupan yang luas. Kemajuan teknologi pun selalu dikaitkan dengan kemajuan negara-bangsa.
Demokrasi Digital
Dengan seribu satu persoalan yang merentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan dan melalui digitalisasi, Indonesia sebenarnya mampu berbenah diri. Kenapa? Barry N. Hague dalam pengantar buku Antologi Diskursus Demokrasi Elektronik (1999) menyebutkan bahwa di dalam digitalisasi mengandung unsur-unsur demokrasi. Jika demokrasi dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka digitalisasi memiliki makna tak jauh beda. Di antara sifat digital adalah interaktif dan komunikatif.
Dengan dan lewat demokrasi digital, ekspresi dan aspirasi kita mendapatkan ruang. Setiap dari kita, misalnya, bisa dengan diskursif mengetengahkan gagasan-gagasan konstruktif atau yang paling gila sekalipun. Kita bisa membentuk komunitas virtual yang peduli dengan kepentingan publik dan komunikasi global yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital pula informasi kajian sosial-politik dapat diproduksi secara bebas dan disebar ke ruang virtual untuk diuji. Diskursus sepenuhnya termanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital melalui newsgroup, milis, surat elektronik, live discussion, blog, website dan jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan seterusnya.
Memang, demokrasi digital juga tidaklah miskin masalah. Ia ibarat pedang bermata dua, di satu sisi sangat membantu kemajuan peradaban, tapi di sisi lain juga bisa menjadi pemicu retaknya peradaban. Sebagai contoh barangkali adalah kasus WikiLeaks. Jagad politik dunia beberepa waktu lalu dirisaukan oleh bocornnya kawat diplomatik WikiLeaks [iv]. Situs yang didirikan oleh Julian Paul Assange ini telah membocorkan segala dinamika dan rahasia dunia. Dunia geger dan kekhawatiran pun terjadi.
Selain WikiLeaks, kasus lain yang menghebohkan jagad Indonesia beberapa waktu lalu adalah skandal Ariel-Luna dan Cut Tari. Tentu saja, terbongkarnya video syur beberapa waktu itu tak lepas dari pengaruh adanya demokrasi digital. Disinilah seorang teman berkata kepada saya, “Kemajuan teknologi juga berdampak pada kemajuaan porno aksi, Bung!”
Perkataan teman saya itu sepintas bisa dibenarkan. Tetapi perlu diketahui, apapun dampak negatif teknologi dan betapapun canggihnya, ia hanyalah sebuah alat. Ia tidak akan berfungsi dan memiliki dampak apapun jika tidak difungsi-gunakan. Karenanya, saya kemudian menimpali, “Jika teknologi membawa dampak negatif, yang patut disalahkan bukanlah teknologinya, melainkan penggunanya. Teknologi adalah fitrah manusia, Bung!” begitu kataku menimpali.
Pragmatisme Digital
Selain mengandung unsur demokrasi, digitalisasi juga sarat dengan unsur pragmatisme. Era kovergensi telah membuka jaringan komunikasi dan telekomunikasi dengan sangat luas dan lebar. Digitalisasi telah mampu menghilangkan sekat dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Jika ini dipandang secara positif-konstruktif serta optimis, sesungguhnya setiap dari kita akan mampu membuka wacana dan sekat informasi yang kemudian bisa digunakan untuk melihat peluang, sehingga memudahkan eksplorasi berbagai bidang yang dapat mensinergiskan proses pembangunan nasional.
Paling kurang ada empat bidang yang bisa kita sinergikan dalam upaya mewujudkan pembangunan nasional. Pertama, bidang pendidikan. Dari survei yang ada, 30 % pengguna internet adalah kalangan pendidikan. Karenanya, manfaat paling menonjol adanya digitalisasi ini tentu di bidang penididikan. Melalui bidang inilah nantinya akan menyebar ke bidang-bidang lain. Para pelajar dan mahasiswa sekarang dapat dengan mudah mencari literatur, artikel atau informasi terkait tugas kuliah ataupun penelitian, baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri.
Pada titik ini, mereka akan semakin terbuka lebar khazanah, wawasan, dan cakrawalanya. Dengan semakin banyak wawasan yang dimiliki, semakin mudah dan bijak pula mereka dalam menyelesaikan segala persoalan kehidupan. Individu yang matang dan berkualitas akan sangat membatu dalam upaya mensukseskan pembangunan nasional.
Kedua, bidang ekonomi. Jika kita melihat dari kacamata geografis, Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari ujung Pulau Sumatera hingga timur Pulau Papua. Aktivitas perekonomian Indonesia dipisahkan oleh lautan. Karenanya, perpindahan barang, jasa dan manusia tentu menjadi mahal. Adanya digitalisasi tentu akan meminimalisasi biaya transaksi dan transportasi. Sekarang para kontaktor atau pebisnis, tak usah bercapek-capek menyeberang lautan jika hendak melakukan transaksi. Cukup pegang telepon seluler atau buka laptop yang ada saluran internetnya, transaksi bisa berjalan dengan mulus.
Cerita di bawah ini barangkali menarik untuk disimak. Dua bulan yang lalu saya berkunjung ke salah satu dosen yang ada di Ciputat. Sebut saja namanya Pak Arul. Ia adalah seorang dosen swasta yang sehari-hari kerjanya hanya mengajar. Tetapi yang membuat saya terkejut, ia memiliki omset sekitar 10-20 juta per bulan. Ketika saya tanya dan selidiki, ternyata ia memanfaatkan ruang virtual untuk berbisnis. “Modalnya sederhana. Yang terpenting bisa membaca peluang,” begitu katanya.
Fenomena Pak Arul ini tak jauh beda dengan teman kuliah saya, anak semester 3 tetapi sudah memiliki omset sekitar 5-10 juta per bulan. Ketika saya cari-cari tahu apa pekerjaannya, ternnyata ia juga melakukan bisnis online. “Jadi mahasiswa itu harus kreatif!” begitu ia berkata kepada saya. Dua realitas di atas hanyalah bagian kecil dari gunung es ihwal kesuksesan bisnis online—bisnis yang didukung dengan kemajuan digitalisasi—yang ada di negeri ini.
Ketiga, bidang sosial dan budaya. Dengan adanya digitalisasi semacam telepon seluler, masyarakat sekarang lebih mudah melakukan komunikasi-komunikasi intens tanpa mengenal sekat dan waktu. Komunikasi ini bisa bersifat vertikal-horizontal. Dulu sebelum adanya telepon seluler, masyarakat kecil susah sekali untuk mengadu kepada kepala desa (kades) ihwal dinamika di pedesaan atau terkait layanan publik.
Sekarang, hadirnya digitalisasi, seorang petani singkong pun bisa bersapa ria dengan anggota dewan melalui jejaring sosial seperti Twitter ataupun Facebook. Mereka bisa langsung mengadu kepada para wakilnya di Senayan tentang segala keluh kesah yang mereka alami. Di sinilah mengapa digitalisasi sering disebut-sebut sebagai wahana ampuh dalam upaya menihilkan kesenjangan sosial.
Dalam konteks budaya, digitalisasi telah mampu melalukan penyebaran dan pengembangan seni nasioanl secara masif. Sekarang ini, seni nyanyian, tarian, atau kerajinan batik khas Indonesia semakin marak menyebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan saking maraknya, seni tari dan nyanyian kita pernah dicaplok negeri tetangga, Malaysia. Perdebatan terjadi dan polemik pun memanas. Padahal, jika publik Indonesia mau memakai kacamata lebih bening, pencaplokan budaya kita itu justru mencerminkan hegemoni budaya Indonesia atas negeri Malaysia.
Keempat, bidang politik dan hukum. Digitalisasi telah menjadikan pemerintah lebih mudah dalam mensosialisasikan segala kebijakan dan aspek-aspek politik dan hukum kepada masyarakat publik. Sebagai dampaknya, masyarakat sekarang kian melek politik dan sadar akan hukum. Kesadaran inilah yang nantinya kan mampu meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap aturan-aturan yang ada, sehingga tercipta keteraturan nasioanl. Dalam konteks yang lebih luas, demokrasi akan semakin tumbuh subur.
Sekarang, masyarakat dapat dengan mudah mengontrol kinerja pemerintah. Segala aspirasi pun dengan mudah disampaikan. Tata kelola pemerintahan yang terbuka, transparan dan demokratis inilah yang pada gilirannya akan mencipta pembangunan nasional yang komprehensif.
Mewujudkan Visi Indonesia 2020
Tahun 2020 digadang-gadang sebagai tahun untuk mewujudkan visi masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Karena itu, adanya digitalisasi akan terasa memliki peluang besar untuk menjawab segala tantangan tersebut.
Menilik betapa penting dan besar manfaat dan pengaruh digitalisasi, jika disinergikan terhadap pembangunan nasional akan berdampak cepat. Tentu untuk mewujudkan hal itu tidak bisa dilakukan secara personal-individual. Harus ada kesadaran kolektif dari segenap elemen bangsa. Seperti halnya operator selular yang telah mempersembahkan karya-karya terbaik bagi pelanggan (masyarakat), pemerintah dan pihak swasta pun tak boleh ketinggalan.
Dengan sarana digitalisasi, gerakan pemerintah akan terasa lebih cepat dan lempang. Paling tidak, empat bidang di atas—bidang pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik-hukum—jika disinergikan dengan pengaruh positif digitalisasi akan memiliki dampak yang baik terhadap perkembangan masyarakat akar rumput (grassroot). Tentu digitalisasi ini bukanlah segalanya, namun patut dimasukkan ke dalam kategori penting pembangunan Indonesia hari esok!
* Juara I Lomba Esai Mahasiswa Nasional
Catatan Kaki
[i] http://www.harianberita.com/jumlah-pemakai-handphone-di-indonesia.html
[ii]http://www.tabloid-ponsel.com-183-146-juta-penduduk-indonesia-memakai-ponsel.html
[iii]http://www.detikinet.com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta
[iv] Kompas, 13 Desember 2010
Selasa, 22 Mei 2012
Pelajaran Penting Tragedi Sukhoi*
RABU siang itu (9/5), langit Indonesia tampak kelabu. Tragedi penerbangan kembali terjadi di Tanah Air. Sukhoi Superjet 100 (SSJ100), pesawat penumpang buatan Rusia yang tengah terbang promosi, jatuh di lereng Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat. Pesawat berpenumpang 45 orang yang sebagian besar warga Indonesia itu kehilangan kontak dengan Bandara Halim Perdanakusuma beberapa saat setelah meminta izin turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki.
Sebenarnya, penerbangan yang melintasi Gunung Salak itu merupakan demo kedua dari Sukhoi komersial itu. Sebelumnya, pagi harinya, pesawat tersebut sukses menerbangi sekitar kawasan Halim. Sebelum demo di Jakarta pun, Sukhoi Superjet 100 itu juga sudah sukses terbang di Myanmar, Pakistan, dan Kazakhstan. Bahkan Pemerintah Rusia mengklaim tidak ada yang salah pada mesin Sukhoi Superjet 100. Sebab, pesawat tersebut dirancang untuk bersaing dengan Bombardier (Kanada), Embraer E Jet (Brasil), dan Antonov An-148 (Ukraina). Meski begitu, pesawat yang dinahkodai pilot andal bernama Alexander Yoblontsev itu akhirnya tetap berujung naas.
Atas tragedi itu, berbagai pendapat dan spekulasi pun bermunculan. Ada yang menduga, terjadinya musibah itu karena adanya masalah komunikasi yang tertunda atau kendala bahasa karena pilot berbahasa Rusia. Ada juga dugaan bahwa ATC tidak memandu pesawat yang sedang bermasalah.
Tapi ada juga yang mengatakan faktor cuaca. Seperti dirilis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang mendeteksi adanya awan cumulo nimbus setinggi 37 ribu kaki (11,1 kilometer) dengan kerapatan 70 persen. Awan ini diduga menjadi alasan pilot minta izin menurunkan ketinggian pesawat, namun kurang memperhitungkan risiko wilayah yang bergunung (Jurnal Nasional, 14/5).
Selain itu, faktor manusia (human factor) juga dianggap menjadi penyebab kecelakaan. Ada dugaan terdapat penumpang yang tidak mematikan alat telekomunikasi sehingga mengganggu komunikasi pilot. Bahkan diduga ada sabotase terkait persaingan bisnis industri penerbangan di Indonesia yang semakin sengit.
Pelajaran Penting
Tentu saja, spekulasi-spekulasi di atas sah-sah saja sebelum ada keputusan resmi dari hasil investigasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Namun demikian, ada pelajaran penting yang dapat kita gali dari tragedi Sukhoi Superjet 100 (SSJ100) ini.
Pertama, jika faktor manusia dianggap menjadi penyebab kecelakaan, bahkan diduga ada penumpang yang tidak mematikan alat telekomunikasi sehingga mengganggu komunikasi pilot, ini bisa menjadi bukti bahwa masalah kedisiplinan masyarakat kita masih dipertanyakan. Kita harus sadar bahwa kedisiplinan amat penting dalam hal apa pun. Tidak hanya soal penerbangan, tapi juga untuk semua pengendara transportasi. Sebab, tidak jarang penyebab kecelakaan transportasi dikarenakan faktor manusianya.
Dalam pantauan Mabes Polri 2011, misalnya, tercatat ada 30.629 orang tewas karena kecelakaan transportasi darat. Sementara untuk transportasi udara, dari 46 kali investigasi kecelakaan yang dilakukan KNKT selama 2011, terdapat sekitar 32 kali kecelakaan dan sebanyak 247 korban meninggal. Ketika diteliti, sebesar 62,5 persen diakibatkan faktor manusia. Karena itu, tragedi Sukhoi ini bisa menjadi pelajaran penting bahwa bersikap disiplin dan taat pada aturan tidak hanya digunakan pada dunia kantor saja, tapi juga harus diterapkan pada dunia transportasi.
Kedua, tentang soliditas dan solidaritas para aparat dan Tim SAR Indonesia. Harus diakui, kita patut bangga dengan Tim SAR Indonesia yang begitu sigap merespons tragedi ini. Bayangkan, tempat jatuhnya pesawat itu sungguh menyeramkan karena topografinya tegak lurus dengan jurang yang dalam. Namun, banyak sekali unsur pemerintah, Basarnas, tentara, polisi, dan masyarakat, semua tumpah ruah dalam suatu pasukan melakukan pencarian dari berbagai arah dan cara. Ada yang dari udara, darat, serta teknologi canggih. Semua bahu membahu bekerjasama siang-malam. Tujuan satu: mencari korban dan mengevakuasinya. Bahkan untuk proses tes DNA saat ini banyak para dokter daerah yang dengan suka rela datang ke Jakarta untuk membantu korban. Ini sungguh membanggakan karena semua pihak sangat kompak dan tanpa pamrih.
Selain itu, terlihat sekali Pemerintah Indonesia dan Rusia sangat kompak dalam berkoordinasi dan bekerja sama dalam upaya evakuasi dan identifikasi korban maupun reruntuhan pesawat. Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, langsung berteleponan untuk membicarakan kerja sama menghadapi musibah ini. Bahkan dengan kesadaran penuh, para aktivis MAPALA Universitas Indonesia tak mau ketinggalan: mereka bergabung melakukan evakuasi ke lapangan.
Ketiga, jaminan keselamatan pemumpang. Tidak bisa dipungkiri, pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia terus meningkat signifikan. Bahkan, saat ini telah menembus angka 14 persen. Tapi ironisnya, hal itu tidak diimbangi perbaikan pelayanan dan jaminan keselamatan bagi penumpang. Kemajuan bisnis penerbangan ternyata mengorbankan keselamatan penumpang karena tidak diikuti dengan langkah progresif pemerintah untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan.
Tentu tragedi ini menjadi pelajaran penting bahwa pemerintah--terutama Kementeraian Perhubungan (Kemenhub)--harus segera menyiapkan infrastruktur, regulasi, dan SDM untuk mengimbangi pertumbuhan bisnis penerbangan di Indonesia yang semakin ketat, sehingga keselamatan dan keamanan penumpang tidak terabaikan. Kenyamanan terutama keselamatan penumpang mutlak diutamakan agar jangan sampai pesawat ibarat peti mati yang disiapkan bagi masyarakat.
* Jurnal Nasional, 22 Mei 2012
** Mahasiswa Asal Pati dan Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Kamis, 03 Mei 2012
Partai Baru, Harapan Baru*
Oleh: Ali Rif'an**
Mengembalikan Citra Perempuan*
Senin, 02 April 2012
IKATAN KELUARGA KABUPATEN PATI IKUTI FESTIVAL BUDAYA NUSANTARA *
| | |
Ditulis oleh Agus Pambudi |
Senin, 02 April 2012 13:37 |
pasfmpati.com (Pati, Kota) - Mahasiswa STAN yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Kabupaten Pati (IKKP) patut berbangga. Pasalnya, mahasiswa STAN asal Kabupaten Pati ini, dapat lolos untuk mengikuti Festival Budaya Nusantara. Minggu kemarin, 1 April 2012 Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Jakarta menyelenggarakan Festival Budaya Nusantara (FESBUDNUS). 30 organisasi berhasil lolos mengikuti festival tersebut. Salah satunya mahasiswa STAN asal Pati, yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Kabupaten Pati (IKKP). Ketua Umum Silaturahmi Mahasiswa Pati (SIMPATI), Moh. Saiful Ulum mengatakan, keikutsertaan IKKP dalam Festival Budaya Nusantara (FESBUDNUS) merupakan wujud dari partisipasi dalam membangun Kabupaten Pati. “Kami mulai itu semua dari lingkup kampus yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Setidaknya kami bisa mempromosikan budaya Kota Pati yang terkenal dengan slogannya Pati, Bumi, Mina, Tani, kepada mahasiswa-mahasiswa lain melalui festival tersebut. Walaupun selama ini bisa dikatakan pemerintah daerah Pati sendiri tidak pernah memberi kontribusi yang jelas terhadap aset masa depan Pati. Namun kami tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk kota Pati,” jelasnya. Direktur STAN, Kusmanaji saat membuka Festival Budaya Nusantara (FESBUDNUS) mengatakan, problematika mengenai budaya tidak bisa disepelekan begitu saja. Hal inilah yang menjadi pelopor bagi mahasiswa-mahasiswa di seluruh tanah air untuk bisa mengangkat kembali dan memperlihatkan budaya mereka masing-masing. “Budaya inilah yang selalu dibawa dan dipertahankan oleh masing-masing daerah di Indonesia. Seolah-olah masyarakat tidak ingin budaya mereka luntur dan hilang begitu saja. Bahkan dalam syari’at agama sedikit atau banyak masih terkontaminasi dengan budaya yang dibawa nenek moyang di masing-masing daerah. Terlebih ada yang beranggapan bahwa budaya yang diajarkan itu termasuk dalam dogma agama,” katanya. Di anjungan FESBUDNUS IKKP berjualan makanan khas Pati seperti nasi gandul, es gempol, dan petis runting yang harus tetap dilestarikan. Melalui agenda ini, makanan dan minuman khas Pati akan selalu menjadi ikon yang tetap dapat dinikmati sampai anak cucu.(*) * http://www.pasfmpati.com/101/index.php?option=com_content&view=article&id=3222%3Aikatan-keluarga-kabupaten-pati-ikuti-festival-budaya-nusantara&catid=1%3Alatest-news&utm_source=twitterfeed&utm_medium=facebook |
Minggu, 01 April 2012
Teologi BBM *
Oleh : Ali Rif’an
Gelombang demonstrasi menentang kenaikan bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan akan memuncak akhir bulan ini. Entah apa yang akan terjadi jika pemerintah tak juga berubah pikiran. Sebab, meski rencana kenaikannya baru dijalankan awal April, harga-harga saat ini sudah merangkak naik dan membumbung tinggi, bahkan masyarakat bawah mulai mengalami tanda-tanda keterpurukan.
Di sinilah, penulis mempunyai analogi. Jika maestro ilmu komunikasi George Gerbner menganggap bahwa media massa merupakan agama resmi masyarakat industri sementara ekonom asal Jerman Karl Marx menyebut agama adalah candu, maka BBM—bagi masyarakat Indonesia—tak ada bedanya dengan “teologi”.
Minyak dan perang
Di banyak negara di dunia, masalah minyak memang selalu menjadi perdebatan sengit bahkan kerap berujung pada perang. Invasi Amarika Serikat (AS) ke Irak beberapa tahun lalu, misalnya, tak luput dari masalah minyak meski AS berkilah tentang hal itu. Bahkan, yang teranyar, ketegangan antara Iran, Israel, dan AS juga tak lepas dari masalah minyak.
Minyak selalu diperebutkan oleh negara-negara di dunia. Sebab, minyak adalah sumber energi, sementara energi merupakan sumber pertahanan. Semua negara berebut energi untuk keberlangsungan negaranya dan sebagai amunisi pertahanan. Tidak ada negara di dunia ini yang tak butuh minyak. Minyak memiliki posisi sangat vital dan patut diperebutkan meski harus terjadi pertumpahan darah.
Di sinilah, dalam logika transenden, minyak memiliki posisi setara dengan agama, atau bahkan bisa mengunggulinya. Jika dulu perang selalu ditautkan dengan persoalan agama, maka pada paruh abad 21 ini perang tak lagi melulu masalah teologi, melainkan minyak dan energi.
Di Indonesia sendiri masalah minyak (baca: BBM) juga mulai mengkrucut pada perang. Bukan perang fisik dengan memakai pedang ataupun senjata pistol, tapi perang media massa. Hal ini seperti diwanti-wanti SBY dalam acara temu kader Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, beberapa hari lalu. SBY mengatakan, “Sekarang ini yang dijadikan sasaran tembak saya. Ada gerakan aneh yang Saudara juga ikuti, pokoknya pemerintahan ini harus jatuh sebelum 2014”.
Frustasi nasional
Karena itu, saat ini masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk berpikir dan merenung, khususnya mengenai masalah menaikkan BMM. Sebab, menaikkan BBM—bagi masyarakat miskin—sama halnya mengusik “keberagamaan” mereka. Betapa tidak, BBM telah masuk ke wilayah kehidupan masyarakat yang paling sensitif. BBM telah menjadi masalah vital yang memiliki dampak sistemik yang bisa berujung pada keterpurukan. Lihat saja, jeritan dan tangis masyarakat kecil saat ini sudah mulai terdengar di warung-warung kopi dan pasar-pasar tradisional. Tak heran jika mereka mulai merapatkan barisan.
Barangkali, kegeraman itu bisa dianggap sebagai akumulasi kekecewaan sebagian besar masyarakaat Indonesia yang melihat begitu banyak persoalan bangsa yang tidak terselesaikan pemerintah dengan baik. Kekesalan dan kegeraman masyarakat karena banyak kasus korupsi yang tak kunjung usai, birokrasi yang amburadul, kesenjangan ekonomi yang semakin nyata, dan elite politik yang semakin hedonis dan abai terhadap rakyat, membuat mereka prustasi melihat masa depan bangsa ini.
Dalam kasus BBM, misalnya, masyarakat seperti diperlakukan tidak adil. Sudah jelas sebagian besar masyarakat menolak kenaikannya, tapi pemerintah tampak acuh. Dengan kata lain, rakyat dengan pemerintah—baik eksekutif maupun legistalif seperti DPR, DPD, dan DPRD—saat ini seperti terdapat jarak. Kebijakan-kebijakan yang muncul di tingkat nasional dan daerah sudah tidak lagi merepresentasikan suara rakyat. Rakyat disapa ketika pemilihan, kemudian dicampakkan begitu saja ketika mereka menjadi penguasa.
Janji manis saat kampanye seperti pepesan kosong belaka. Mungkin para elite politik berpikir, dengan imbalan Rp15-30 ribu saat pemilihan, mereka sudah merasa membeli suara rakyat dan memiliki hak untuk mencampakannya. Femonena ini tidak hanya membuat rakyat semakin terpuruk, namun juga semakin geram. Karena, sistem demokrasi yang diartikan suara rakyat suara Tuhan saat ini tampak berbalik. Kita seperti kembali pada rezim otoriter, yang segala kebijakan muncul hanya dari atas (pemerintah)—mengabaikan yang di bawah (masyarakat). Atau mungkin saat ini kita berjubah demokrasi tapi di dalamnya otoritarian.
Memang dalam kasus kenaikan BBM ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dengan total anggaran Rp25 triliun untuk disubsidikan ke sekitar 70 juta masyarakat miskin. Tapi hemat penulis, BLT itu hanya bersifat membantu, bukan memberdayakan. Sebab, kata pemberdayaan (empowerment) itu memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada membantu (help).
Membantu identik dengan filosofi “memberi ikan” yang berarti membantu tanpa mendidik masyarakat agar mandiri, sedangkan memberdayakan menggunakan filosofi “memberikan kail” yaitu membantu masyarakat sekaligus mendidik mereka agar dapat hidup mandiri ke depannya nanti. Ini harus dipahami oleh pemerintah!
*Republika, 28 Maret 2012
** mahasiswa pati UIN JakartaRabu, 14 Maret 2012
Independensi Media dan Kuasa Pemodal*
Oleh: Ali Rif‘an**
KEPEMILIKAN media oleh aktor politik dewasa ini menjadi diskursus yang patut dicermati. Sebab, media kerap dalam kendali politik, terkooptasi dan tidak bisa memisahkan peran dan dedikasinya secara tegas sebagai sumber informasi yang berimbang kepada publik.
Media pun menjadi semakin buram dan tampak abu-abu dalam menyajikan informasi karena terlalu setia dengan kepentingan pemodal. Walhasil, masyarakat menjadi gamang dalam menentukan benar-tidaknya sebuah informasi media. Sehingga ekses yang ditimbulkan adalah semakin meredupnya kepercayaan publik terhadap media.
Hal ini patut kita waspadai ketika bos group besar Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo bergabung ke Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sebab, ini akan menjadi fenomena yang menghawatirkan ruang publik. Apalagi MNC menguasahi RCTI, GlobalTV, MNCTV, Sindo, dan sejumlah media cetak dan online. Begitu juga para pendahulunya, bos TvOne dan ANTV Aburizal Bakri, dan pemilik MetroTV Surya Paloh.
Karena, seperti dikatakan McQuail (2002), ketika seorang pemodal masuk politik, tidak jarang media akhirnya ‘dipaksa‘ turut mencipta agenda terselubung dan mengontruksi kehendak pemodal dalam bingkai kerja jurnalisme. Lebih-lebih jika pemilik media memiliki libido politik dan kekuasaan yang terlalu besar.
Kebenaran tesis McQuail itu semakin terendus ketika saat ini stasiun-stasiun yang “dinakhodai‘ para pengusaha-politisi terus memunculkan iklan perkenalan partai, acara temu kader, liputan khusus rapat pimpinan nasional (rapimnas), live seminar pimpinan partai, dan segudang pernik-penik lainnya yang ada hubungannya dengan partai.
Senjata Ampuh
Selama ini, media memang menjadi “senjata ampuh‘ dalam mendompleng pencitraan partai politik maupun elite politik. Sebab, media massa--baik cetak maupun elektronik--merupakan sarana persuasi yang efektif dan efisien bagi partai politik karena bisa menjangkau banyak pemilih yang menjadi target mereka dengan waktu yang relatif cepat.
Contoh, di Amerika Serikat, misalnya, kebanyakan warga yang mempunyai hak pilih mendapatkan informasi tentang pemilihan bukan dari kontak langsung dengan para calonnya atau dengan para praktisi politik (baca: politisi) ataupun tim pelaksana kampanye (tim sukses), melainkan melalui media massa cetak ataupun elektronik semisal surat kabar, majalah, website, radio, dan khususnya televisi. Ini terbukti, 60 persen dari masyarakat Amerika Serikat mengatakan bahwa televisi merupakan sumber utama informasi bagi mereka berkaitan dengan pemilihan presiden (Clack, 2000: 36).
Di sinilah, William L Rivers, dkk (2003) kemudian mengatakan, bahwa pemberitaan melalui media memiliki posisi sangat penting. Ia memberikan ilustrasi besarnya anggaran atau besarnya biaya yang disediakan pemerintah federal Amerika Serikat untuk publikasi atau pemberitaan kegiatan-kegiatan hubungan masyarakat dan informasi publik sebesar US$400 juta per tahun.
Di Indonesia, femomena mencuatnya partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bisa dijadikan contoh. Partai besutan Prabowo Subianto begitu cepat dikenal publik karena iklan media yang amat besar. Hal yang sama, barangkali, juga akan disusul partai Nasional Demokrat (NasDem) binaan Surya Paloh. Apalagi partai NasDem sekarang memiliki dua “bos besar‘ media, yakni Hary Tanoesoedibjo dengan Group MNC-nya, sementara Surya Paloh dengan MetroTV-nya.
Di sinilah, hadirnya pengusaha-politisi di satu sisi akan memberi keuntungan berlipat bagi kelompoknya (partai politik). Tapi di sisi lain akan merugikan publik (masyarakat) karena akan kesulitan mendapatkan informasi yang berimbang.
Bersikap Independen
Karena itu, hal yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana media atau pers tetap independen. Sebab, pers merupakan instrumen publik dan tidak boleh menjadi alat untuk kepentingan golongan tertentu. Setiap orang bisa saja masuk partai politik, termasuk kalangan pers. Namun, kapasitasnya sebagai individu bukan mewakili pers. Pers tetap milik khalayak.
Dengan kata lain, independensi media harus ditempatkan sebagai prinsip pertama yang harus dipegang. Sebagai mata dan telinga masyarakat, sikap independen media sangat penting agar publik bisa mengambil tindakan berdasarkan informasi yang betul-betul obyektif, bukan dari informasi yang lahir karena keberpihakan media terhadap kepentingan kelompok tertentu.
Sebab, pada dasarnya, pemilik media itu berstatus pinjam pakai untuk digunakan dalam menyelenggarakan penyiaran. Ini sebagaimana tersebut dalam UU 32/2002 tentang penyiaran. Kerena itu, izin atau aset tersebut harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik dan masyarakat banyak. Sebab, berdasarkan undang-undang tersebut, peminjaman kanal frekuensi itu--pemodal/pemilik media--posisinya tidak bersifat permanen dan sewaktu-waktu bisa dievaluasi melalui mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Lebih dari itu, pemilik media juga dalam posisi pihak penyewa yang diberi amanah oleh negara sehingga ia tidak memiliki hak absolut untuk menentukan kesetiaan media. Kontrol utama media sejatinya tetap ada pada publik (masyarakat). Karena sesungguhnya, aset berharga itu adalah ruang publik yang harus terus dijaga dan dipelihara, dan digunakan secara demokratis dan bertanggungjawab agar selalu linier dan lempang dengan kepentingan publik. Tentu saja, ruang itu harus steril dari intervensi individu (pemodal), kelompok yang bisa mendistorsi dan memihak pada kepentingan kelompok tertentu.
Artinya, media harus tetap bersikap independen, tidak boleh disalahgunakan, dibuat arena bermain-main untuk sekadar menuruti kehendak atau ‘syahwat‘ pemodal an sich. Media harus terus menjaga komitmen independensinya agar tetap mampu membangun ruang publik yang sehat dan kredibel. Libido politik pemilik media tidak berhak mengintervensi media sesuai dengan seleranya sendiri.
Para pemilik media harus taat pada undang-undang yang mengamanatkan media bersifat jujur, independen, dan berimbang dalam mewartakan berita. Ini penting karena fenomena intervensi pemilik modal acapkali menjadi salah satu problem dan tantangan terbesar dalam membangun media yang demokratis di negara berkembang seperti Indonesia
* Terbit di Jurnal Nasional, Rabu, 29 Februari 2012
** Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Anggota SIMPATI
Korupsi dan Pendidikan Integritas*
Oleh: Ali Rif’an**
Berbagai strategi terus dilakukan, namun karakter dan perilaku korup masih saja terjadi, bahkan cenderung makin parah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sudah menjaring dan menjebloskan banyak koruptor ke penjara. Tapi, toh, apa yang dilakukan KPK hanya membuat penjara semakin sesak. Perilaku korupsi masih tetap jalan, bahkan--dalam bahasa budayawan Indra Tranggono--berlangsung seperti festival. Di sinilah, tampaknya dibutuhkan pemahaman baru untuk memahami korupsi dalam konteks yang lebih esensial dan fundamental.
Salah persepsi
Selama ini, dalam pemberantasan korupsi, langkah masif yang dilakukan oleh berbagai kalangan cenderung berorientasi pada pendekatan hukum. Hukum seolah menjadi jalan ampuh dalam membrangus korupsi. Padahal, pelaku tindak korupsi itu berbeda dengan prilaku kriminal lainnya. Ingat, korupsi itu kejahatan yang dilakukan orang-orang terdidik, atau kejahatan “krah putih”.
Dengan kata lain, ketika masyarakat kecil (tidak terdidik) melakukan kejahatan seperti mencuri ayam dan lain sebagainya. Sesungguhnya, apa yang mereka lakukan itu tidak lain dan tidakk bukan adalah karena alasan perut dan minimnya pendidikan yang dimiliki. Tapi berbeda dengan para koruptor, mereka rata-rata dari kalangan menengah dan terdidik. Masih segar dalam ingatan kita kasus Gayus Tambunan, PNS Golongan III dan alumnus sekolah kedinasan, ataupun Muhammad Nazaruddin, bekas bendahara Partai Demokrat yang kini masih ramai diperbincangkan. Mereka bukanlah orang miskin ataupun minim pendidikannya, tapi sudah lebih dari cukup. Namun kenapa masih tetap melakukan korupsi? Karena perilaku korupsi ini lebih didasari atas “kerakusan” dan “terliminasinya” pendidikan moral dalam diri.
Karena itu, Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sosiologi of Corruption pernah mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan terhadap masalah korupsi ini harus berbeda. Korupsi adalah sebuah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi termasuk kejahatan luar biasa. Karena itu, cara mengatasinya tidak boleh sama dengan masalah kriminal lainnya.
Korupsi sangat erat kaitannya dengan moral, sementara moral erat kaitannya dengan pendidikan. Dengan kata lain, masalah korupsi yang marak terjadi di Tanah Air sebenarnya tidak melulu kesalahan penegakan hukum kita yang lemah, tapi juga terkait dengan model pendidikan kita yang masih jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Pendidikan integritas
Harus diakui, dunia pendidikan dan sekolah selama ini masih sekadar mengajarkan tentaang teori moral, etika, kejujuran dalam bahan ajar yang diujikan secara teoritik, namun miskin dalam praktik. Nilai-nilai dasar adiluhung dan kemanusiaan acap tidak termanifestasi dengan baik dalam praktik pengajaran. Para siswa dan mahasiswa hanya diasah kecerdasan intelektualnya, sementara kecerdasan emosional dan spiritualnya terabaikan.
Akibatnya, nalar yang timbul dari sebagian besar individu produk pendidikan nasional adalah bernalar matematis dan materialistis. Tidak mengherankan konstruksi pemikiran dan komitmen mereka tentang makna kesuksesan adalah sekadar materi dan jabatan. Hal ini sering penulis alami ketika reuni temen sekolahan, hal yang paling dibanggakan lebih awal adalah soal jabatan/profesi dan materi. Sedikit sekali, misalnya, yang menanyakan hal-ihwal moralitas, kemanusiaan dan kejujuran. Masalah moralitas dan kejujuran seolah sudah tidak lagi bernilai. Karena pada kenyataanya, orang akan dianggap bernilai dan naik stratifikasi sosialnya di masyarakat jika punya jabatan tinggi dan kaya, meski jabatan dan kekayaan itu didapat dari kecurangan dan korupsi. Orang-orang yang jujur dan saleh, semakin termarginalkan.
Di sinilah perlu kiranya ada semacam resolusi terhadap model pendidikan kita. Karena fenomena yang sedang terjadi di atas tak lepas dari hasil produk pendidikan Tanah Air. Tentu saja wacana pendidikan integritas perlu dihembuskan di sini. Pendidikan integritas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya, baik aspek kognisi (cipta), afeksi (rasa) dan konasi (karsa)nya sesuai dengan nilai-nilai integritas (keutuhan moralitas).
Sebab, minimnya pendidikan integritas itulah yang menjadi salah satu penyebab abadinya persoalan krusial bangsa seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan untuk menghasilkan keuntungan pribadi yang bersifat materi. Padahal, seperti diungkapkan pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966), tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter (moral) yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya.
Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara juga pernah mengatakan, pendidikan yang baik itu selayaknya menggunakan metode among, yakni metode yang berdasar pada asih, asah, dan asuh (ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani).
Tentu dalam mewujudkan pendidikan integritas, para guru dituntut tidak hanya mampu memberi materi pembelajaran tentang “petuah” bijak tentang moralitas dan kejujuran, tapi juga harus mampu menyadarkan dan membekali siswa tentang kebanggaan akan moralitas-kejujuran. Pendidikan selayaknya menjadi fondasi yang mewatakkan etika dan sikap kejujuran, bukannya sikap serakah dan gila kekuasaan. Karena sesungguhnya, watak dasar pendidikan adalah sebagai antitesis dari prilaku koruptif dan demoralisasi.
*Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Anggota SIMPATI
**Republika, 8 Februari 2012
Rabu, 29 Februari 2012
BAKTI SOSIAL "SIMPATI" UNTUK PATI
Warga Di Dukuh Pengging Desa Kasiyan setiap tahunnya selalu kebanjiran. Selain rumahnya terendam, tanaman pertanian dipersawahan milik warga sudah dapat dipastikan gagal dipanen.
Ketua Panitia Baksos Muhammad Muad kepada PAS Pati menuturkan, kondisi warga yang memprihatinkan itu, menggugah hati mahasiswa yang tergabung di SIMPATI (Silaturahmi Mahasiswa Pati) Jakarta dan sekitarnya, untuk membantu korban bencana.
“Ini merupakan sedikit bentuk kepedulian yang ditunjukkan armada SIMPATI untuk membantu masyarakat. Karena akibat banjir itu, warga terhambat melakukan pekerjaan sehari-hari, hingga akan berdampak menimbulkan wabah penyakit,” tutur Muhammad Muad.
Kades Kasiyan Kecamatan Sukolilo Rumadji berharap, bantuan SIMPATI mampu mengurangi penderitaan yang dialami warganya, karena kondisi desa yang dipimpinnya sini setiap tahun, selalu terlanda banjir hingga berbulan-bulan.
“Karena banjir di sini sudah menjadi tradisi, akibat sungai yang melintas di desa Kasiyan tidak mampu menampung gelontoran air baik dari daerah diatasnya,” ujar Bapak Rumaji.
80 warga antusias menerima bantuan sembako dari pagi sampai siang di Balai Rakyat didampingi Kepala Desa setempat. Ini membuktikan bahwa uluran tangan dari para dermawan sangat dibutuhkan, demi terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera.
Kamis, 02 Februari 2012
NU dan Moderatisme*
Oleh: Ali Rif'an**
Tanggal 31 Januari 2012, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 86 tahun. Untuk ukuran organisasi, NU saat ini sudah memasuki usia yang relatif mapan. Ibarat semakin tinggi dan rindang sebuah pohon maka akan semakin kencang dan besar angin badai yang menerpanya. Bagitu pula yang dialami NU saat ini. Dalam perspektif sosial-historis, NU memiliki tanggung jawab yang berat, yakni mengawal bangsa ini, mulai dari perjuangan pra-kemerdekaan hingga sekarang.
Sebagai organisasi kultural keagamaan yang mengusung nilai-nilai Aswaja, NU adalah bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban. NU bukan ormas yang eksklusif terhadap perbedaan dan keragaman. Justru keragaman dan pluralitas itulah spirit yang hendak diembuskan NU.
NU seumpama cahaya penerang dari maraknya kebengisan, sukuisme, primordialisme, dan fanatisme berlebihan sebagian anak bangsa, yang acap mendatangkan konflik horizontal. NU bukan ormas yang melulu mengeluarkan fatwa benar dan salah atau stempel hitam dan putih. Tapi, ia semacam katalisator juru damai yang berada di garis tengah. Kebinekaan dan kemajemukan menjadi roh NU dalam menancapkan misi perjuangannya. Ia secara terang-terangan mengatakan bahwa Pancasila adalah asas final bagi Indonesia. Ia pun tampil menjadi ormas garda depan yang berwatak kebangsaan.
Sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan antara akhuwah Islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa). Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi merupakan tokoh utamanya.
NU melihat pandangan politik dua tokoh itu senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih “jalan damai”. Ini karena jalan tengah dirasa sejalan dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat (Ali Masykur Musa, 2011 : ix).
Karena itu, dengan amat gigih dan penuh perjuangan, NU hendak mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa mewujudkan harmonisasi yang konsisten. Seperti diungkapkan Ketua Umum PB NU Said Agil Shiraj, NU adalah organisasi reformis dan dinamis yang senantiasa dinaungi spirit moral yang bercahaya.
Metamorfosis
Harus diakui, dalam perjalanannya, NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang tampil dan mampu mengikuti arah retak zaman. Ia menerjemahkan prinsip-prinsip dasar yang dicanangkannya ke dalam perilaku konkret. Dalam bidang pendidikan, NU mewujudkannya dalam bentuk pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan moral dan adiluhung dalam hidup dan berbangsa.
Dalam bidang sosial-ekonomi, NU mengusung ekonomi kerakyatan dan transformasi-transformasi sosial yang terejawantah dalam aksi-aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan termarginalkan. Dalam ranah teologi, NU menampilkan wajah Islam yang ramah; ramah terhadap budaya lokal, adat setempat, dan agama-agama yang ada. Sementara itu, dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas politik, bukan tipu muslihat politik.
Tentu saja, dalam kehidupan sejarah berbangsa ini, NU telah banyak mengambil kepeloporan dalam peta sejarah Indonesia. NU merupakan organisasi yang mampu tumbuh secara adaptif dan responsif terhadap dinamika yang terjadi. Karena memang dalam sejarahnya, NU lahir atas keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi.
Tak kuat dengan kondisi itu, sekumpulan kaum terpelajar kemudian tergugah untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui jalan pendidikan dan organisasi. Tahun 1908, muncullah apa yang disebut “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan inilah yang akhirnya menjadi daya dobrak sekaligus titik kisar dimulainya benih-benih perjuangan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespons Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916.
Tahun 1918, Taswirul Afkar atau dikenal juga Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) berdiri sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatul Tujjar (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Organisasi-organisasi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal berbagai kiai berkesepakatan membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin KH Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Memang dalam perkembangannya, NU pernah masuk ke dalam politik praktis. Itu terlihat pasca-kemerdekaan Indonesia, orientasi NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Pada titik ini, NU sebenarnya hendak berkiprah secara total dalam upaya membangun tatanan nasional. Tapi, “politik” tampaknya bukanlah “rumah” NU yang sesungguhnya.
Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam Muktamar Ke-27 NU pada 1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi. Tentu absennya NU dalam panggung politik di bawah kekuasaan rezim Orba bukan lantaran NU ingin lari dari masalah kebangsaan. NU justru ingin menyelamatkan bangsa ini dari kaos.
Ketidakhadiran NU dalam kancah politik praktis justru akan mampu menekan warga NU untuk tidak terbuai dengan kekuasaan yang korup, kolutif, dan manipulatif. NU tak boleh dipolitisasi oleh segelintir orang yang hanya mengejar kekuasaan, tapi miskin misi kebangsaan.
Moderatisme
NU dikenal sebagai organisasi yang moderat, yaitu sikap yang mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah tawassuth yang mencakup tawazun (keseimbangan dan keselarasan), i’tidal (teguh dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan) (Ali Maskur Musa, 2011 : vii-viii).
Baik melalui jalur politik praktis, transformasi sosial-ekonomi, ataupun pendidikan, NU selalu menampilkan dua watak, yakni kebijaksanaan dan keluwesan. Kebijaksanaan, bagi NU, adalah tindakan yang kondusif untuk memperoleh manfaat/menghindari kerugian. Kewajiban untuk mengurangi atau menghindari segala bentuk risiko atau akibat buruk juga merupakan salah satu tema sentral dalam tradisi ijtihad politik NU. Sementara itu, keluwesan NU adalah sikap kompromistis dan menghindari segala bentuk ekstremistis.
Tentu saja, moderatisme NU sangat dibutuhkan sebagai perekat di tengah-tengah konstelasi pemikiran, baik keagamaan maupun politik kebangsaan, yang cenderung ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ataupun santernya gerakan-gerakan ekstremisme yang mengatasnamakan golongan dan agama yang belakangan kerap menyembul. Ini karena NU adalah ormas yang selalu mengusung kedamaian dan kesantunan--atau jalan tengah--dalam menerjemahkan visi dan gerakannya.
*Sinar Harapan, 1 Februari 2012
**Kader Muda NU, Anggota Jaringan Gusdurian Indonesia (JGI), Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Mahasiswa asal Pati
Rabu, 01 Februari 2012
Mobil Esemka dan Kebanggaan Nasional )
Oleh : Ali Rif‘an
Mobil Kiat Esemka hasil karya siswa SMK di Solo menjadi kabar gembira di penjuru Tanah Air. Sebagai bentuk apresiasi, Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) mengganti mobil dinasnya Toyota Camry tahun 2002 dengan mobil karya anak bangsa itu. Keputusan Jokowi kemudian diamini oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie dan beberapa pejabat lainnya.
Tentu saja, sebagai pejabat publik, keputusan Jokowi cukup mengejutkan sekaligus menimbulkan banyak asumsi. Ada yang menuding itu sebagai manuver politik Jokowi, mencari perhatian masyarakat dan pencitraan terkait isu pencalonannya menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Tapi ada juga yang bilang, Jokowi menyindir pejabat yang masih suka bermewah-mewahan.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, justru mengatakan, apa yang dilakukan Jokowi merupakan fenomena cinta masyarakat kepada pemimpin yang memiliki visi. Dengan kata lain, mereka yang mengkritik Jokowi adalah orang yang tak punya visi jelas sebagai pemimpin.
Menjadi Oase
Seharusnya, kehadiran mobil Kiat Esemka itu menjadi “oase" yang memberi kesejukan, inspirasi, ataupun daya dobrak bagi anak bangsa lainnya untuk semangat berkarya, khususnya di bidang otomotif. Apalagi di tengah-tengah runcingnya persoalan kebangsaan yang akhir-akhir ini terus menyembul menghiasi persada negeri. Lihat saja kasus-kasus korupsi di kalangan elite politik, tawuran antarpelajar, kriminalitas di angkutan umum, sengketa PSSI, kasus Mesuji dan Bima, atau penembakan di Aceh baru-baru ini.
Semua itu adalah catatan buram yang harus ditutupi dengan prestasi-prestasi terbaik anak bangsa. Dus, kehadiran mobil Kiat Esemka bisa menjadi “katarsis" dalam melihat Indonesia ke depan. Apalagi, kabarnya, Kiat Esemka juga akan dijadikan mobil nasional (mobnas). Ini tentu menjadi preseden baik dalam memantik pertumbuhan produk dalam negeri. Seperti dikatakan filsuf Jerman Friedrich Nietzche, kunci keberhasilan bangsa amat ditentukan oleh komitmen menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja (tindakan nyata).
Memang, dalam sejarahnya, kita pernah punya mobil nasional (mobnas) di era Orde Baru. Mobil Timor yang diproduksi PT Timor Putra Nasional (TPN) yang bermitra dengan KIA Motors dari Korea Selatan, sempat menarik perhatian masyarakat Indonesia, namun tahun 1997, tenggelam akibat dihantam krisis moneter. Tak hanya itu, kita juga pernah punnya mobil nasional seperti Maleo, Kancil, Tawon, Perkasa, MR 90, dan Bimantara. Tapi dibanding produk lainnya, hanya Timor yang sempat unggul ketika itu walau akhirnya ambruk juga.
Kebanggaan Nasional
Karena itu, kehadiran mobil Esemka patut menjadi kebanggaan nasional. Tapi bangga saja tidak cukup. Mobil Kiat Esemka karya siswa SMK di Solo itu hendaknya dijadikan landasan kokoh untuk merealisasikan hadirnya mobil nasional. Tentu saja, proyek mobil nasional bukan sekadar proyek gagah-gagahan atau menaikkan gengsi. Proyek mobil nasional harus dijadikan pijakan awal untuk memacu anak-anak terbaik bangsa dalam berkarya.
Kita percaya, bangsa ini memiliki banyak generasi cerdas, kreatif, dan inovatif. Ini terbukti dalam banyak olimpiade internasional, anak-anak Indonesia selalu menggondol medali emas, perak, dan perunggu. Selain itu, bangsa Indonesia punya segudang ahli, mulai dari proses desain hingga keperluan produksi. Contoh kecil adalah Daihatsu Xenia, yang beberapa desainernya berasal dari Indonesia. Apalagi dalam lima tahun terakhir ini, diam-diam Indonesia juga mempunyai prestasi cukup membanggakan.
Di tengah-tengah bangsa Eropa dan Amerika Serikat yang tengah sakit keras, Singapura lagi garuk-garuk kepala, sebab tahun ini diyakini masih terseret arus krisis keuangan di dua benua itu, atau pun Perdana Menteri Lee Hsieng Long melihat ekonomi Singapura dengan hati resah, Indonesia justru mencetak rapor biru. Lihat saja cadangan devisa kita yang sudah menembus angka US$100 miliar, pertumbuhan ekonomi kita mantap di 6,5 persen, GDP kita sekarang US$800-an miliar dan diyakini mencapai U$S1 triliun, belakangan lembaga pemeringkat asing memasukkan kita sebagai negara layak investasi (Jurnal Nasional, 5/1/2012).
Tentu saja, prestasi-prestasi di atas tidak boleh dijadikan euforia semata. Prestasi tersebut harus dijadikan peluang bagi Indonesia menuju negara yang mandiri. Dalam hal ini, Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption menulis, kekacauan atau guncangan besar akan menghancurkan kehidupan berbangsa manakala masyarakatnya tidak mau dan tidak mampu membekali diri dengan profesionalitas dan kemandirian. Sikap profesionalitas dan kemandirian dalam segala bidang, tulis Francis Fukuyama, harus menjadi social capital danhuman capital serta menjadi tiket masuk ke arena peradaban dunia saat ini.
Kemandirian menjadi benteng bagi kemajuan Indonesia ke depan. Kemandirian dapat diwujudkan dengan cara mengoptimalkan segala sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDA) yang dimiliki bangsa ini. Sebab, Indonesia punya segalanya. Indonesia, tulis Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), negeri penggalan surga. Contoh kecil, sebagai negeri bahari, letak lautan Indonesia sangat strategis. Indonesia adalah negara yang perairannya berdekatan dengan 10 negara tetangga.
Karena itu, Indonesia sangat berpeluang menjadi “raja" pada sektor perikanan, bahkan bisa menjadi negara pengekspor ikan terbesar di dunia. Belum lagi budaya, adat, bahasa, tarian, dan rempah-rempahnya yang begitu kaya. Sebagai tunas bangsa, para pelajar dan pemuda Indonesia tidak boleh menjadi orang yang pasif atau obyek yang senantiasa setia mengikuti irama yang dialunkan.
Manusia Indonesia harus cerdas, kreatif, dan inovatif agar mampu menggerakkan segala potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Sebab, sebagaimana diungkapkan pendiri Yayasan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan, setelah melakukan survei di 150 negara, ia menyimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang menentukan kemajuan negara. Empat faktor itu antara lain 10 persen adalah sumber daya alam (SDM), 20 persen adalah networking, 25 persen adalah teknologi, sementara 45 persen adalah inovasi. Untuk itu, selain menjadi kebanggaan nasional, kehadiran mobil Kiat Esemka juga menjadi bukti bahwa di negeri ini masih banyak anak-anak yang cerdas, kreatif, dan inovatif.
*Jurnal Nasional | 14 Jan 2012
** Mahasiswa PatiPeneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Pesantren Ngaji Sorogan Buku Bung Karno
oleh abu daud
Ketika mengaji nahnu wa at-turas dengan mas Baso, beliau selalu mencoba mengkontekstualkan pemikiran al-Jabiri agar relevan untuk diterapkan dalam memahami fenomena di Indonesia. al-Jabiri dalam menuliskan karyanya, tentunya berlandaskan realita dan fakta yang ia hadapi di Maroko. Bagi kita pembaca karyanya-yang tinggal di Indonesia- harus dapat membaca al-Jabiri secara manhaji, bukan hanya sekedar taklid buta, agar apa saja yang kita baca relevan dengan kondisi kita. belajar al-Jabiri ibarat kita belajar nyetir mobil, kalau hanya sekedar teori tentu tidak akan ada manfaatnya. Akan tetapi, manfaatnya akan terasa apabila kita langsung praktek, bukan hanya sebatas teori.
Disamping ngaji al-jabari, mas Baso juga suka bercerita tentang keunggulan pesantren dibanding sekolah lain. Konon pesantren dulunya memiliki jaringan yang sangat luas, bahkan internasional. Pesantren dulunya juga sangat terbuka dengan pemikiran macam apapun, selagi itu positif. Sangat banyak cerita tentang kehebatan pesantren yang beliau sampaikan. Sehingga hal ini membuat saya termotivasi dan bangga menjadi seorang santri.
Pengalaman mengaji dengan mas Baso itu, mendorong saya untuk menelusuri teks-teks tentang pesantren. Awalnya memang cukup sulit untuk menemukan teks-teks itu, saya pun merasa bosan dan putus asa. Namun, ketika menemukan buku Berangkat dari pesantren karya KH.Syaifuddin Zuhri, yang memang sudah lama saya cari, semangat untuk menelusuri karya atau cerita-cerita tentang pesantren itu tumbuh lagi.
Buku setebal 600 halaman ini bercerita tentang pengalaman KH. Syaifuddin Zuhri mulai masa anak-anak sampai dewasanya. Buku ini terbit sekitar tahun 1985, satu tahun sebelum beliau meninggal. Dalam pengantarnya, beliau menjelaskan bahwa sekitar tahun 1980 penulisan buku ini sempat terhenti karena beliau sakit. Kemudian, pada tahun 1983 penulisan buku ini juga tidak terlaksana, sebab istri beliau mulai sakit-sakitan. Sehingga KH. Syaifuddin Zuhri tidak fokus untuk menulis dan berpikir. Al-hamdulillah sekitar tahun 1985 naskah buku ini selesai, tutur beliau.
Sangat banyak pengalaman dan cerita-cerita mengenai pesantren dalam buku ini. Santri manapun harus membaca buku ini. Teman saya bersoloroh begini. “untuk mengetahui dan belajar tentang NU,cukup dengan dua buku; berangkat dari pesantren dan guruku orang pesantren. Dalam kertas yang sangat terbatas ini, saya tidak akan menceritakan semua yang terdapat dalam buku ini. Saya hanya sekedar menukilkan satu atau dua kalimat dalam buku ini. Seterusnya, silahkan baca sendiri bukunya. Sekali lagi buku ini harus dibaca.........
Simaklah kutipan ini, semoga terinspirasi untuk membaca lebih lanjut....
“marilah kita bacakan sebagian dari buku ini, “ Ustadz Abdul Fattah mengeluarkan buku Mencapai Indonesia Merdeka dari saku bajunya lalu membalik-balik halamannya.
“Tunggu dulu,” seru Kiai Haji Halimi. “Meski di sini insya’ Allah aman, akan tetapi kita harus waspada. Hai Ma’il! Kau sebaiknya melukis di situ! Dekat pintu itu lebih baik, siapa tahu polisi datang,”belia menyuruh Ismail adiknya, seorang pelukis muda sahabatku dalam “Ittihaadus-Syubhaan”. Aku membantu ismail memindahkan alat-alat lukisan ke dekat pintu kamar kerja Ismail, istilah kerennya studio, terletak di sayap kiri serambi masjid.
“coba kaulah yang membacakan!!” Ustadz Abdul Fattah menyuruh aku membacakan. Sejenak aku amati bagian yang harus aku baca. Agak gemetar juga aku memegang buku Mencapai Indonesia Merdeka. Sekilas aku ingat ibu. Lalu aku mulai membacanya dengan suara agak parau. Gemetarku belum hilang.