Oleh : Ali Rif‘an
Mobil Kiat Esemka hasil karya siswa SMK di Solo menjadi kabar gembira di penjuru Tanah Air. Sebagai bentuk apresiasi, Wali Kota Solo, Joko Widodo (Jokowi) mengganti mobil dinasnya Toyota Camry tahun 2002 dengan mobil karya anak bangsa itu. Keputusan Jokowi kemudian diamini oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Marzuki Alie dan beberapa pejabat lainnya.
Tentu saja, sebagai pejabat publik, keputusan Jokowi cukup mengejutkan sekaligus menimbulkan banyak asumsi. Ada yang menuding itu sebagai manuver politik Jokowi, mencari perhatian masyarakat dan pencitraan terkait isu pencalonannya menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta. Tapi ada juga yang bilang, Jokowi menyindir pejabat yang masih suka bermewah-mewahan.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, justru mengatakan, apa yang dilakukan Jokowi merupakan fenomena cinta masyarakat kepada pemimpin yang memiliki visi. Dengan kata lain, mereka yang mengkritik Jokowi adalah orang yang tak punya visi jelas sebagai pemimpin.
Menjadi Oase
Seharusnya, kehadiran mobil Kiat Esemka itu menjadi “oase" yang memberi kesejukan, inspirasi, ataupun daya dobrak bagi anak bangsa lainnya untuk semangat berkarya, khususnya di bidang otomotif. Apalagi di tengah-tengah runcingnya persoalan kebangsaan yang akhir-akhir ini terus menyembul menghiasi persada negeri. Lihat saja kasus-kasus korupsi di kalangan elite politik, tawuran antarpelajar, kriminalitas di angkutan umum, sengketa PSSI, kasus Mesuji dan Bima, atau penembakan di Aceh baru-baru ini.
Semua itu adalah catatan buram yang harus ditutupi dengan prestasi-prestasi terbaik anak bangsa. Dus, kehadiran mobil Kiat Esemka bisa menjadi “katarsis" dalam melihat Indonesia ke depan. Apalagi, kabarnya, Kiat Esemka juga akan dijadikan mobil nasional (mobnas). Ini tentu menjadi preseden baik dalam memantik pertumbuhan produk dalam negeri. Seperti dikatakan filsuf Jerman Friedrich Nietzche, kunci keberhasilan bangsa amat ditentukan oleh komitmen menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja (tindakan nyata).
Memang, dalam sejarahnya, kita pernah punya mobil nasional (mobnas) di era Orde Baru. Mobil Timor yang diproduksi PT Timor Putra Nasional (TPN) yang bermitra dengan KIA Motors dari Korea Selatan, sempat menarik perhatian masyarakat Indonesia, namun tahun 1997, tenggelam akibat dihantam krisis moneter. Tak hanya itu, kita juga pernah punnya mobil nasional seperti Maleo, Kancil, Tawon, Perkasa, MR 90, dan Bimantara. Tapi dibanding produk lainnya, hanya Timor yang sempat unggul ketika itu walau akhirnya ambruk juga.
Kebanggaan Nasional
Karena itu, kehadiran mobil Esemka patut menjadi kebanggaan nasional. Tapi bangga saja tidak cukup. Mobil Kiat Esemka karya siswa SMK di Solo itu hendaknya dijadikan landasan kokoh untuk merealisasikan hadirnya mobil nasional. Tentu saja, proyek mobil nasional bukan sekadar proyek gagah-gagahan atau menaikkan gengsi. Proyek mobil nasional harus dijadikan pijakan awal untuk memacu anak-anak terbaik bangsa dalam berkarya.
Kita percaya, bangsa ini memiliki banyak generasi cerdas, kreatif, dan inovatif. Ini terbukti dalam banyak olimpiade internasional, anak-anak Indonesia selalu menggondol medali emas, perak, dan perunggu. Selain itu, bangsa Indonesia punya segudang ahli, mulai dari proses desain hingga keperluan produksi. Contoh kecil adalah Daihatsu Xenia, yang beberapa desainernya berasal dari Indonesia. Apalagi dalam lima tahun terakhir ini, diam-diam Indonesia juga mempunyai prestasi cukup membanggakan.
Di tengah-tengah bangsa Eropa dan Amerika Serikat yang tengah sakit keras, Singapura lagi garuk-garuk kepala, sebab tahun ini diyakini masih terseret arus krisis keuangan di dua benua itu, atau pun Perdana Menteri Lee Hsieng Long melihat ekonomi Singapura dengan hati resah, Indonesia justru mencetak rapor biru. Lihat saja cadangan devisa kita yang sudah menembus angka US$100 miliar, pertumbuhan ekonomi kita mantap di 6,5 persen, GDP kita sekarang US$800-an miliar dan diyakini mencapai U$S1 triliun, belakangan lembaga pemeringkat asing memasukkan kita sebagai negara layak investasi (Jurnal Nasional, 5/1/2012).
Tentu saja, prestasi-prestasi di atas tidak boleh dijadikan euforia semata. Prestasi tersebut harus dijadikan peluang bagi Indonesia menuju negara yang mandiri. Dalam hal ini, Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption menulis, kekacauan atau guncangan besar akan menghancurkan kehidupan berbangsa manakala masyarakatnya tidak mau dan tidak mampu membekali diri dengan profesionalitas dan kemandirian. Sikap profesionalitas dan kemandirian dalam segala bidang, tulis Francis Fukuyama, harus menjadi social capital danhuman capital serta menjadi tiket masuk ke arena peradaban dunia saat ini.
Kemandirian menjadi benteng bagi kemajuan Indonesia ke depan. Kemandirian dapat diwujudkan dengan cara mengoptimalkan segala sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDA) yang dimiliki bangsa ini. Sebab, Indonesia punya segalanya. Indonesia, tulis Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), negeri penggalan surga. Contoh kecil, sebagai negeri bahari, letak lautan Indonesia sangat strategis. Indonesia adalah negara yang perairannya berdekatan dengan 10 negara tetangga.
Karena itu, Indonesia sangat berpeluang menjadi “raja" pada sektor perikanan, bahkan bisa menjadi negara pengekspor ikan terbesar di dunia. Belum lagi budaya, adat, bahasa, tarian, dan rempah-rempahnya yang begitu kaya. Sebagai tunas bangsa, para pelajar dan pemuda Indonesia tidak boleh menjadi orang yang pasif atau obyek yang senantiasa setia mengikuti irama yang dialunkan.
Manusia Indonesia harus cerdas, kreatif, dan inovatif agar mampu menggerakkan segala potensi sumber daya alam yang dimilikinya. Sebab, sebagaimana diungkapkan pendiri Yayasan Indonesia Mengajar, Anies Baswedan, setelah melakukan survei di 150 negara, ia menyimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang menentukan kemajuan negara. Empat faktor itu antara lain 10 persen adalah sumber daya alam (SDM), 20 persen adalah networking, 25 persen adalah teknologi, sementara 45 persen adalah inovasi. Untuk itu, selain menjadi kebanggaan nasional, kehadiran mobil Kiat Esemka juga menjadi bukti bahwa di negeri ini masih banyak anak-anak yang cerdas, kreatif, dan inovatif.
*Jurnal Nasional | 14 Jan 2012
** Mahasiswa PatiPeneliti di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar