oleh abu daud
Ketika mengaji nahnu wa at-turas dengan mas Baso, beliau selalu mencoba mengkontekstualkan pemikiran al-Jabiri agar relevan untuk diterapkan dalam memahami fenomena di Indonesia. al-Jabiri dalam menuliskan karyanya, tentunya berlandaskan realita dan fakta yang ia hadapi di Maroko. Bagi kita pembaca karyanya-yang tinggal di Indonesia- harus dapat membaca al-Jabiri secara manhaji, bukan hanya sekedar taklid buta, agar apa saja yang kita baca relevan dengan kondisi kita. belajar al-Jabiri ibarat kita belajar nyetir mobil, kalau hanya sekedar teori tentu tidak akan ada manfaatnya. Akan tetapi, manfaatnya akan terasa apabila kita langsung praktek, bukan hanya sebatas teori.
Disamping ngaji al-jabari, mas Baso juga suka bercerita tentang keunggulan pesantren dibanding sekolah lain. Konon pesantren dulunya memiliki jaringan yang sangat luas, bahkan internasional. Pesantren dulunya juga sangat terbuka dengan pemikiran macam apapun, selagi itu positif. Sangat banyak cerita tentang kehebatan pesantren yang beliau sampaikan. Sehingga hal ini membuat saya termotivasi dan bangga menjadi seorang santri.
Pengalaman mengaji dengan mas Baso itu, mendorong saya untuk menelusuri teks-teks tentang pesantren. Awalnya memang cukup sulit untuk menemukan teks-teks itu, saya pun merasa bosan dan putus asa. Namun, ketika menemukan buku Berangkat dari pesantren karya KH.Syaifuddin Zuhri, yang memang sudah lama saya cari, semangat untuk menelusuri karya atau cerita-cerita tentang pesantren itu tumbuh lagi.
Buku setebal 600 halaman ini bercerita tentang pengalaman KH. Syaifuddin Zuhri mulai masa anak-anak sampai dewasanya. Buku ini terbit sekitar tahun 1985, satu tahun sebelum beliau meninggal. Dalam pengantarnya, beliau menjelaskan bahwa sekitar tahun 1980 penulisan buku ini sempat terhenti karena beliau sakit. Kemudian, pada tahun 1983 penulisan buku ini juga tidak terlaksana, sebab istri beliau mulai sakit-sakitan. Sehingga KH. Syaifuddin Zuhri tidak fokus untuk menulis dan berpikir. Al-hamdulillah sekitar tahun 1985 naskah buku ini selesai, tutur beliau.
Sangat banyak pengalaman dan cerita-cerita mengenai pesantren dalam buku ini. Santri manapun harus membaca buku ini. Teman saya bersoloroh begini. “untuk mengetahui dan belajar tentang NU,cukup dengan dua buku; berangkat dari pesantren dan guruku orang pesantren. Dalam kertas yang sangat terbatas ini, saya tidak akan menceritakan semua yang terdapat dalam buku ini. Saya hanya sekedar menukilkan satu atau dua kalimat dalam buku ini. Seterusnya, silahkan baca sendiri bukunya. Sekali lagi buku ini harus dibaca.........
Simaklah kutipan ini, semoga terinspirasi untuk membaca lebih lanjut....
“marilah kita bacakan sebagian dari buku ini, “ Ustadz Abdul Fattah mengeluarkan buku Mencapai Indonesia Merdeka dari saku bajunya lalu membalik-balik halamannya.
“Tunggu dulu,” seru Kiai Haji Halimi. “Meski di sini insya’ Allah aman, akan tetapi kita harus waspada. Hai Ma’il! Kau sebaiknya melukis di situ! Dekat pintu itu lebih baik, siapa tahu polisi datang,”belia menyuruh Ismail adiknya, seorang pelukis muda sahabatku dalam “Ittihaadus-Syubhaan”. Aku membantu ismail memindahkan alat-alat lukisan ke dekat pintu kamar kerja Ismail, istilah kerennya studio, terletak di sayap kiri serambi masjid.
“coba kaulah yang membacakan!!” Ustadz Abdul Fattah menyuruh aku membacakan. Sejenak aku amati bagian yang harus aku baca. Agak gemetar juga aku memegang buku Mencapai Indonesia Merdeka. Sekilas aku ingat ibu. Lalu aku mulai membacanya dengan suara agak parau. Gemetarku belum hilang.
0 komentar:
Posting Komentar