Oleh: Ali Rif‘an**
KEPEMILIKAN media oleh aktor politik dewasa ini menjadi diskursus yang patut dicermati. Sebab, media kerap dalam kendali politik, terkooptasi dan tidak bisa memisahkan peran dan dedikasinya secara tegas sebagai sumber informasi yang berimbang kepada publik.
Media pun menjadi semakin buram dan tampak abu-abu dalam menyajikan informasi karena terlalu setia dengan kepentingan pemodal. Walhasil, masyarakat menjadi gamang dalam menentukan benar-tidaknya sebuah informasi media. Sehingga ekses yang ditimbulkan adalah semakin meredupnya kepercayaan publik terhadap media.
Hal ini patut kita waspadai ketika bos group besar Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo bergabung ke Partai Nasional Demokrat (NasDem). Sebab, ini akan menjadi fenomena yang menghawatirkan ruang publik. Apalagi MNC menguasahi RCTI, GlobalTV, MNCTV, Sindo, dan sejumlah media cetak dan online. Begitu juga para pendahulunya, bos TvOne dan ANTV Aburizal Bakri, dan pemilik MetroTV Surya Paloh.
Karena, seperti dikatakan McQuail (2002), ketika seorang pemodal masuk politik, tidak jarang media akhirnya ‘dipaksa‘ turut mencipta agenda terselubung dan mengontruksi kehendak pemodal dalam bingkai kerja jurnalisme. Lebih-lebih jika pemilik media memiliki libido politik dan kekuasaan yang terlalu besar.
Kebenaran tesis McQuail itu semakin terendus ketika saat ini stasiun-stasiun yang “dinakhodai‘ para pengusaha-politisi terus memunculkan iklan perkenalan partai, acara temu kader, liputan khusus rapat pimpinan nasional (rapimnas), live seminar pimpinan partai, dan segudang pernik-penik lainnya yang ada hubungannya dengan partai.
Senjata Ampuh
Selama ini, media memang menjadi “senjata ampuh‘ dalam mendompleng pencitraan partai politik maupun elite politik. Sebab, media massa--baik cetak maupun elektronik--merupakan sarana persuasi yang efektif dan efisien bagi partai politik karena bisa menjangkau banyak pemilih yang menjadi target mereka dengan waktu yang relatif cepat.
Contoh, di Amerika Serikat, misalnya, kebanyakan warga yang mempunyai hak pilih mendapatkan informasi tentang pemilihan bukan dari kontak langsung dengan para calonnya atau dengan para praktisi politik (baca: politisi) ataupun tim pelaksana kampanye (tim sukses), melainkan melalui media massa cetak ataupun elektronik semisal surat kabar, majalah, website, radio, dan khususnya televisi. Ini terbukti, 60 persen dari masyarakat Amerika Serikat mengatakan bahwa televisi merupakan sumber utama informasi bagi mereka berkaitan dengan pemilihan presiden (Clack, 2000: 36).
Di sinilah, William L Rivers, dkk (2003) kemudian mengatakan, bahwa pemberitaan melalui media memiliki posisi sangat penting. Ia memberikan ilustrasi besarnya anggaran atau besarnya biaya yang disediakan pemerintah federal Amerika Serikat untuk publikasi atau pemberitaan kegiatan-kegiatan hubungan masyarakat dan informasi publik sebesar US$400 juta per tahun.
Di Indonesia, femomena mencuatnya partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) bisa dijadikan contoh. Partai besutan Prabowo Subianto begitu cepat dikenal publik karena iklan media yang amat besar. Hal yang sama, barangkali, juga akan disusul partai Nasional Demokrat (NasDem) binaan Surya Paloh. Apalagi partai NasDem sekarang memiliki dua “bos besar‘ media, yakni Hary Tanoesoedibjo dengan Group MNC-nya, sementara Surya Paloh dengan MetroTV-nya.
Di sinilah, hadirnya pengusaha-politisi di satu sisi akan memberi keuntungan berlipat bagi kelompoknya (partai politik). Tapi di sisi lain akan merugikan publik (masyarakat) karena akan kesulitan mendapatkan informasi yang berimbang.
Bersikap Independen
Karena itu, hal yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana media atau pers tetap independen. Sebab, pers merupakan instrumen publik dan tidak boleh menjadi alat untuk kepentingan golongan tertentu. Setiap orang bisa saja masuk partai politik, termasuk kalangan pers. Namun, kapasitasnya sebagai individu bukan mewakili pers. Pers tetap milik khalayak.
Dengan kata lain, independensi media harus ditempatkan sebagai prinsip pertama yang harus dipegang. Sebagai mata dan telinga masyarakat, sikap independen media sangat penting agar publik bisa mengambil tindakan berdasarkan informasi yang betul-betul obyektif, bukan dari informasi yang lahir karena keberpihakan media terhadap kepentingan kelompok tertentu.
Sebab, pada dasarnya, pemilik media itu berstatus pinjam pakai untuk digunakan dalam menyelenggarakan penyiaran. Ini sebagaimana tersebut dalam UU 32/2002 tentang penyiaran. Kerena itu, izin atau aset tersebut harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik dan masyarakat banyak. Sebab, berdasarkan undang-undang tersebut, peminjaman kanal frekuensi itu--pemodal/pemilik media--posisinya tidak bersifat permanen dan sewaktu-waktu bisa dievaluasi melalui mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Lebih dari itu, pemilik media juga dalam posisi pihak penyewa yang diberi amanah oleh negara sehingga ia tidak memiliki hak absolut untuk menentukan kesetiaan media. Kontrol utama media sejatinya tetap ada pada publik (masyarakat). Karena sesungguhnya, aset berharga itu adalah ruang publik yang harus terus dijaga dan dipelihara, dan digunakan secara demokratis dan bertanggungjawab agar selalu linier dan lempang dengan kepentingan publik. Tentu saja, ruang itu harus steril dari intervensi individu (pemodal), kelompok yang bisa mendistorsi dan memihak pada kepentingan kelompok tertentu.
Artinya, media harus tetap bersikap independen, tidak boleh disalahgunakan, dibuat arena bermain-main untuk sekadar menuruti kehendak atau ‘syahwat‘ pemodal an sich. Media harus terus menjaga komitmen independensinya agar tetap mampu membangun ruang publik yang sehat dan kredibel. Libido politik pemilik media tidak berhak mengintervensi media sesuai dengan seleranya sendiri.
Para pemilik media harus taat pada undang-undang yang mengamanatkan media bersifat jujur, independen, dan berimbang dalam mewartakan berita. Ini penting karena fenomena intervensi pemilik modal acapkali menjadi salah satu problem dan tantangan terbesar dalam membangun media yang demokratis di negara berkembang seperti Indonesia
* Terbit di Jurnal Nasional, Rabu, 29 Februari 2012
** Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Anggota SIMPATI
0 komentar:
Posting Komentar