Oleh: Ali Rif’an**
Berbagai strategi terus dilakukan, namun karakter dan perilaku korup masih saja terjadi, bahkan cenderung makin parah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun sudah menjaring dan menjebloskan banyak koruptor ke penjara. Tapi, toh, apa yang dilakukan KPK hanya membuat penjara semakin sesak. Perilaku korupsi masih tetap jalan, bahkan--dalam bahasa budayawan Indra Tranggono--berlangsung seperti festival. Di sinilah, tampaknya dibutuhkan pemahaman baru untuk memahami korupsi dalam konteks yang lebih esensial dan fundamental.
Salah persepsi
Selama ini, dalam pemberantasan korupsi, langkah masif yang dilakukan oleh berbagai kalangan cenderung berorientasi pada pendekatan hukum. Hukum seolah menjadi jalan ampuh dalam membrangus korupsi. Padahal, pelaku tindak korupsi itu berbeda dengan prilaku kriminal lainnya. Ingat, korupsi itu kejahatan yang dilakukan orang-orang terdidik, atau kejahatan “krah putih”.
Dengan kata lain, ketika masyarakat kecil (tidak terdidik) melakukan kejahatan seperti mencuri ayam dan lain sebagainya. Sesungguhnya, apa yang mereka lakukan itu tidak lain dan tidakk bukan adalah karena alasan perut dan minimnya pendidikan yang dimiliki. Tapi berbeda dengan para koruptor, mereka rata-rata dari kalangan menengah dan terdidik. Masih segar dalam ingatan kita kasus Gayus Tambunan, PNS Golongan III dan alumnus sekolah kedinasan, ataupun Muhammad Nazaruddin, bekas bendahara Partai Demokrat yang kini masih ramai diperbincangkan. Mereka bukanlah orang miskin ataupun minim pendidikannya, tapi sudah lebih dari cukup. Namun kenapa masih tetap melakukan korupsi? Karena perilaku korupsi ini lebih didasari atas “kerakusan” dan “terliminasinya” pendidikan moral dalam diri.
Karena itu, Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sosiologi of Corruption pernah mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan terhadap masalah korupsi ini harus berbeda. Korupsi adalah sebuah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi termasuk kejahatan luar biasa. Karena itu, cara mengatasinya tidak boleh sama dengan masalah kriminal lainnya.
Korupsi sangat erat kaitannya dengan moral, sementara moral erat kaitannya dengan pendidikan. Dengan kata lain, masalah korupsi yang marak terjadi di Tanah Air sebenarnya tidak melulu kesalahan penegakan hukum kita yang lemah, tapi juga terkait dengan model pendidikan kita yang masih jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Pendidikan integritas
Harus diakui, dunia pendidikan dan sekolah selama ini masih sekadar mengajarkan tentaang teori moral, etika, kejujuran dalam bahan ajar yang diujikan secara teoritik, namun miskin dalam praktik. Nilai-nilai dasar adiluhung dan kemanusiaan acap tidak termanifestasi dengan baik dalam praktik pengajaran. Para siswa dan mahasiswa hanya diasah kecerdasan intelektualnya, sementara kecerdasan emosional dan spiritualnya terabaikan.
Akibatnya, nalar yang timbul dari sebagian besar individu produk pendidikan nasional adalah bernalar matematis dan materialistis. Tidak mengherankan konstruksi pemikiran dan komitmen mereka tentang makna kesuksesan adalah sekadar materi dan jabatan. Hal ini sering penulis alami ketika reuni temen sekolahan, hal yang paling dibanggakan lebih awal adalah soal jabatan/profesi dan materi. Sedikit sekali, misalnya, yang menanyakan hal-ihwal moralitas, kemanusiaan dan kejujuran. Masalah moralitas dan kejujuran seolah sudah tidak lagi bernilai. Karena pada kenyataanya, orang akan dianggap bernilai dan naik stratifikasi sosialnya di masyarakat jika punya jabatan tinggi dan kaya, meski jabatan dan kekayaan itu didapat dari kecurangan dan korupsi. Orang-orang yang jujur dan saleh, semakin termarginalkan.
Di sinilah perlu kiranya ada semacam resolusi terhadap model pendidikan kita. Karena fenomena yang sedang terjadi di atas tak lepas dari hasil produk pendidikan Tanah Air. Tentu saja wacana pendidikan integritas perlu dihembuskan di sini. Pendidikan integritas adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya, baik aspek kognisi (cipta), afeksi (rasa) dan konasi (karsa)nya sesuai dengan nilai-nilai integritas (keutuhan moralitas).
Sebab, minimnya pendidikan integritas itulah yang menjadi salah satu penyebab abadinya persoalan krusial bangsa seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan untuk menghasilkan keuntungan pribadi yang bersifat materi. Padahal, seperti diungkapkan pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966), tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter (moral) yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya.
Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara juga pernah mengatakan, pendidikan yang baik itu selayaknya menggunakan metode among, yakni metode yang berdasar pada asih, asah, dan asuh (ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani).
Tentu dalam mewujudkan pendidikan integritas, para guru dituntut tidak hanya mampu memberi materi pembelajaran tentang “petuah” bijak tentang moralitas dan kejujuran, tapi juga harus mampu menyadarkan dan membekali siswa tentang kebanggaan akan moralitas-kejujuran. Pendidikan selayaknya menjadi fondasi yang mewatakkan etika dan sikap kejujuran, bukannya sikap serakah dan gila kekuasaan. Karena sesungguhnya, watak dasar pendidikan adalah sebagai antitesis dari prilaku koruptif dan demoralisasi.
*Mahasiswa UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Anggota SIMPATI
**Republika, 8 Februari 2012
0 komentar:
Posting Komentar