Minggu, 01 April 2012

Teologi BBM *

Oleh : Ali Rif’an


Gelombang demonstrasi menentang kenaikan bahan bakar minyak (BBM) diperkirakan akan memuncak akhir bulan ini. Entah apa yang akan terjadi jika pemerintah tak juga berubah pikiran. Sebab, meski rencana kenaikannya baru dijalankan awal April, harga-harga saat ini sudah merangkak naik dan membumbung tinggi, bahkan masyarakat bawah mulai mengalami tanda-tanda keterpurukan.

Di sinilah, penulis mempunyai analogi. Jika maestro ilmu komunikasi George Gerbner menganggap bahwa media massa merupakan agama resmi masyarakat industri sementara ekonom asal Jerman Karl Marx menyebut agama adalah candu, maka BBM—bagi masyarakat Indonesia—tak ada bedanya dengan “teologi”.

Minyak dan perang

Di banyak negara di dunia, masalah minyak memang selalu menjadi perdebatan sengit bahkan kerap berujung pada perang. Invasi Amarika Serikat (AS) ke Irak beberapa tahun lalu, misalnya, tak luput dari masalah minyak meski AS berkilah tentang hal itu. Bahkan, yang teranyar, ketegangan antara Iran, Israel, dan AS juga tak lepas dari masalah minyak.

Minyak selalu diperebutkan oleh negara-negara di dunia. Sebab, minyak adalah sumber energi, sementara energi merupakan sumber pertahanan. Semua negara berebut energi untuk keberlangsungan negaranya dan sebagai amunisi pertahanan. Tidak ada negara di dunia ini yang tak butuh minyak. Minyak memiliki posisi sangat vital dan patut diperebutkan meski harus terjadi pertumpahan darah.

Di sinilah, dalam logika transenden, minyak memiliki posisi setara dengan agama, atau bahkan bisa mengunggulinya. Jika dulu perang selalu ditautkan dengan persoalan agama, maka pada paruh abad 21 ini perang tak lagi melulu masalah teologi, melainkan minyak dan energi.

Di Indonesia sendiri masalah minyak (baca: BBM) juga mulai mengkrucut pada perang. Bukan perang fisik dengan memakai pedang ataupun senjata pistol, tapi perang media massa. Hal ini seperti diwanti-wanti SBY dalam acara temu kader Partai Demokrat di Puri Cikeas, Bogor, beberapa hari lalu. SBY mengatakan, “Sekarang ini yang dijadikan sasaran tembak saya. Ada gerakan aneh yang Saudara juga ikuti, pokoknya pemerintahan ini harus jatuh sebelum 2014”.

Frustasi nasional

Karena itu, saat ini masih ada kesempatan bagi pemerintah untuk berpikir dan merenung, khususnya mengenai masalah menaikkan BMM. Sebab, menaikkan BBM—bagi masyarakat miskin—sama halnya mengusik “keberagamaan” mereka. Betapa tidak, BBM telah masuk ke wilayah kehidupan masyarakat yang paling sensitif. BBM telah menjadi masalah vital yang memiliki dampak sistemik yang bisa berujung pada keterpurukan. Lihat saja, jeritan dan tangis masyarakat kecil saat ini sudah mulai terdengar di warung-warung kopi dan pasar-pasar tradisional. Tak heran jika mereka mulai merapatkan barisan.

Barangkali, kegeraman itu bisa dianggap sebagai akumulasi kekecewaan sebagian besar masyarakaat Indonesia yang melihat begitu banyak persoalan bangsa yang tidak terselesaikan pemerintah dengan baik. Kekesalan dan kegeraman masyarakat karena banyak kasus korupsi yang tak kunjung usai, birokrasi yang amburadul, kesenjangan ekonomi yang semakin nyata, dan elite politik yang semakin hedonis dan abai terhadap rakyat, membuat mereka prustasi melihat masa depan bangsa ini.

Dalam kasus BBM, misalnya, masyarakat seperti diperlakukan tidak adil. Sudah jelas sebagian besar masyarakat menolak kenaikannya, tapi pemerintah tampak acuh. Dengan kata lain, rakyat dengan pemerintah—baik eksekutif maupun legistalif seperti DPR, DPD, dan DPRD—saat ini seperti terdapat jarak. Kebijakan-kebijakan yang muncul di tingkat nasional dan daerah sudah tidak lagi merepresentasikan suara rakyat. Rakyat disapa ketika pemilihan, kemudian dicampakkan begitu saja ketika mereka menjadi penguasa.

Janji manis saat kampanye seperti pepesan kosong belaka. Mungkin para elite politik berpikir, dengan imbalan Rp15-30 ribu saat pemilihan, mereka sudah merasa membeli suara rakyat dan memiliki hak untuk mencampakannya. Femonena ini tidak hanya membuat rakyat semakin terpuruk, namun juga semakin geram. Karena, sistem demokrasi yang diartikan suara rakyat suara Tuhan saat ini tampak berbalik. Kita seperti kembali pada rezim otoriter, yang segala kebijakan muncul hanya dari atas (pemerintah)—mengabaikan yang di bawah (masyarakat). Atau mungkin saat ini kita berjubah demokrasi tapi di dalamnya otoritarian.

Memang dalam kasus kenaikan BBM ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) dengan total anggaran Rp25 triliun untuk disubsidikan ke sekitar 70 juta masyarakat miskin. Tapi hemat penulis, BLT itu hanya bersifat membantu, bukan memberdayakan. Sebab, kata pemberdayaan (empowerment) itu memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada membantu (help).

Membantu identik dengan filosofi “memberi ikan” yang berarti membantu tanpa mendidik masyarakat agar mandiri, sedangkan memberdayakan menggunakan filosofi “memberikan kail” yaitu membantu masyarakat sekaligus mendidik mereka agar dapat hidup mandiri ke depannya nanti. Ini harus dipahami oleh pemerintah!


*Republika, 28 Maret 2012

** mahasiswa pati UIN Jakarta



0 komentar:

Posting Komentar