KABINET INDONESIA "BERANTAKAN" JILID II
Fathun Ni'am*)
Menjelang pembentukan kabinet, SBY sudah menjanjikan akan membentuk “Zaken cabinet” atau kabinet profesional. Dia menjanjikan orang yang dipilih memiliki kompetensi, bersih, gigih, dan penuh dedikasi. Dan, setelah melalui proses perekrutan panjang, sekaligus proses seleksi ketat, akhirnya terbentuk Kabinet Indonesia "Berantakan"—KIB jilid II.
Namun, kabinet yang baru dilantik ini segera mendapatkan pro-kontra. Ada beberapa orang yang dianggap kurang profesional di bidangnya, belum lagi ada isu soal ada menteri yang merupakan titipan asing, AS.
Belum selesai kontroversi ini, sebuah kontroversi baru segera muncul: para menteri menuntut kenaikan gaji, yang awalnya disuarakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). Ini benar-benar menuai kontroversi, selain karena berhadapan dengan krisis ekonomi yang mendalam, juga dikarenakan kabinet ini belum bekerja sama sekali.
Moralitas Pemerintah
Dalam aturan hubungan industri, ada prinsip yang mengatakan; “no work, no pay”, sebuah prinsip yang pasti benar-benar diketahui oleh menteri-menteri profesional ini. Dengan begitu, seorang baru dianggap layak memperoleh imbalan atau gaji, bila sudah menjalankan pekerjaannya dengan baik dan benar.
Kemudian, perlu diketahui, bahwa setiap kenaikan gaji pejabat negara atau pejabat publik selalu berkolerasi dengan proporsi anggaran secara umum. Artinya, kenaikan gaji ini akan mempengaruhi pos anggaran yang lain, program sosial, misalnya.
Bila disadari bahwa aspek penting dari pekerjaan seorang pejabat publik, termasuk menteri, adalah pelayanan kepada rakyat, maka tuntutan menaikkan gaji benar-benar perilaku inkonsistensi dengan tugas jabatan mereka. Dan, tentu saja, ini sangat bertentangan pula dengan julukan kabinet ini; kaum profesional?
Bila kita menengok ke belakang, masa pemerintahan sebelum ini, kinerja kabinet benar-benar buruk. Ada beberapa nama yang mengisi kabinet sekarang ini, merupakan orang-orang yang pernah mengisi kabinet sebelumnya. Sebagai misal, di sektor perhubungan, yang dulunya pernah dinahkodai Hatta Rajasa, masih dipenuhi dengan persoalan-persoalan penting; sarana transportasi yang buruk, fasilitas jalan raya yang tidak memadai, kecelakaan yang berulang kali terjadi, dan sebagainya.
Saat ini, seorang menteri menerima gaji pokok sebesar Rp18 juta perbulan. Namun, di luar gaji pokok itu, setiap menteri sebetulnya mendapatkan dana taktis sebesar Rp.250 juta per bulan, belum lagi fasilitas-fasilitas lain, seperti rumah dinas, kendaraan pribadi, dan sebagainya.
Berdasarkan data Depkeu pada April tahun 2009, terdapat inventaris seperti 30.716 rumah dinas senilai Rp 1,99 triliun dari 34 kementerian dan lembaga. Jumlah itu terdiri atas 7.974 rumah dinas golongan satu senilai 1,20 triliun. Rumah menteri dan pejabat tinggi negara menggunakan rumah dinas golongan satu. Fasilitas lainnya adalah mobil mewah. Untuk kaninet Indonesia "Berantakan" jidil I menggunakan merek Toyota Camry 3.000 cc yang tahun 2005 senilai Rp 350 juta. Dari informasi yang beredar, saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan mobil dinas Toyota Crown yang sekelas Mercedes Benz S Class.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang menteri di Indonesia juga mendapat begitu banyak kemudahan, diantaranya fasilitas pesawat VIP, kereta eksekutif, dan sebagainya. Dengan begitu, seharusnya seorang menteri sudah sangat terbantu dalam menjalankan aktifitasnya.
Tidak Profesional
Situasi sekarang ini, yang juga seringkali dipaparkan oleh sejumlah pejabat negara, adalah masa-masa yang sulit, berhadapan dengan krisis ekonomi, defisit anggaran, dan persoalan bencana alam yang membutuhkan dana besar untuk rehabilitasi dan perbaikannya.
Sangat berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia, ketika berhadapan dengan krisis energi dunia, justru memangkas gaji menteri dan seluruh pejabat tingginya sebesar 10%. Satu paket dengan kebijakan itu, Badawi, Perdana Menteri Malaysia, juga mengurangi fasilitas liburan ke luar negeri bagi para pejabat tinggi. Hasilnya, gerakan ini mampu menghemat anggaran negara sebesar USD613 juta (Rp5,71 triliun).
Venezuela, ketika berhadapan dengan jatuhnya harga minyak dunia, sekitar bulan Maret 2009 lalu, juga melakukan hal yang sama. Presiden Chavez mengumumkan pemotongan gaji seluruh pejabat senior sebesar 20% untuk menyeimbangkan anggaran. Pada saat itu, seluruh menteri Chaves mendukung keputusan ini, disamping dukungan mayoritas anggota parlemen.
Ini sangat aneh, memang, sebuah kabinet yang berjulukan “profesional” justru meminta imbalan diluar capaian dan kualitas kerjanya. Sehingga, dari situ, kita mempertanyakan profesionalitas seluruh menteri-menteri KIB jilid II ini.
Lebih aneh lagi, presiden SBY yang selalu berbicara profesionalisme, justru turut mengamini rencana kenaikan gaji ini, bahkan ada usulan menaikkan gaji pejabat tinggi negara lainnya, seperti presiden dan wakil presiden. Akibatnya, beberapa pihak menuding bahwa kenaikan gaji ini merupakan “kompensasi” atas transaksi politik di balik penunjukan menteri. Sebab, sekitar 70% pejabat menteri ini berasal dari partai politik.
Kalau benar begitu, berarti proses penyusunan kabinet masih berbasiskan kepada simbiosis mutualisme antara presiden dan parpol pendukung. Dan, ini tidak ada bedanya dengan kabinet-kabinet sebelumnya. Lantas, mana kabinet profesional yang dijanjikan itu?
*) Pemuda Ikatan Keluarga Kabupaten Pati-Jakarta, Aktivis KM UIN (Komunitas Mahasiswa UIN) Jakarta
Selengkapnya...
Fathun Ni'am*)
Menjelang pembentukan kabinet, SBY sudah menjanjikan akan membentuk “Zaken cabinet” atau kabinet profesional. Dia menjanjikan orang yang dipilih memiliki kompetensi, bersih, gigih, dan penuh dedikasi. Dan, setelah melalui proses perekrutan panjang, sekaligus proses seleksi ketat, akhirnya terbentuk Kabinet Indonesia "Berantakan"—KIB jilid II.
Namun, kabinet yang baru dilantik ini segera mendapatkan pro-kontra. Ada beberapa orang yang dianggap kurang profesional di bidangnya, belum lagi ada isu soal ada menteri yang merupakan titipan asing, AS.
Belum selesai kontroversi ini, sebuah kontroversi baru segera muncul: para menteri menuntut kenaikan gaji, yang awalnya disuarakan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). Ini benar-benar menuai kontroversi, selain karena berhadapan dengan krisis ekonomi yang mendalam, juga dikarenakan kabinet ini belum bekerja sama sekali.
Moralitas Pemerintah
Dalam aturan hubungan industri, ada prinsip yang mengatakan; “no work, no pay”, sebuah prinsip yang pasti benar-benar diketahui oleh menteri-menteri profesional ini. Dengan begitu, seorang baru dianggap layak memperoleh imbalan atau gaji, bila sudah menjalankan pekerjaannya dengan baik dan benar.
Kemudian, perlu diketahui, bahwa setiap kenaikan gaji pejabat negara atau pejabat publik selalu berkolerasi dengan proporsi anggaran secara umum. Artinya, kenaikan gaji ini akan mempengaruhi pos anggaran yang lain, program sosial, misalnya.
Bila disadari bahwa aspek penting dari pekerjaan seorang pejabat publik, termasuk menteri, adalah pelayanan kepada rakyat, maka tuntutan menaikkan gaji benar-benar perilaku inkonsistensi dengan tugas jabatan mereka. Dan, tentu saja, ini sangat bertentangan pula dengan julukan kabinet ini; kaum profesional?
Bila kita menengok ke belakang, masa pemerintahan sebelum ini, kinerja kabinet benar-benar buruk. Ada beberapa nama yang mengisi kabinet sekarang ini, merupakan orang-orang yang pernah mengisi kabinet sebelumnya. Sebagai misal, di sektor perhubungan, yang dulunya pernah dinahkodai Hatta Rajasa, masih dipenuhi dengan persoalan-persoalan penting; sarana transportasi yang buruk, fasilitas jalan raya yang tidak memadai, kecelakaan yang berulang kali terjadi, dan sebagainya.
Saat ini, seorang menteri menerima gaji pokok sebesar Rp18 juta perbulan. Namun, di luar gaji pokok itu, setiap menteri sebetulnya mendapatkan dana taktis sebesar Rp.250 juta per bulan, belum lagi fasilitas-fasilitas lain, seperti rumah dinas, kendaraan pribadi, dan sebagainya.
Berdasarkan data Depkeu pada April tahun 2009, terdapat inventaris seperti 30.716 rumah dinas senilai Rp 1,99 triliun dari 34 kementerian dan lembaga. Jumlah itu terdiri atas 7.974 rumah dinas golongan satu senilai 1,20 triliun. Rumah menteri dan pejabat tinggi negara menggunakan rumah dinas golongan satu. Fasilitas lainnya adalah mobil mewah. Untuk kaninet Indonesia "Berantakan" jidil I menggunakan merek Toyota Camry 3.000 cc yang tahun 2005 senilai Rp 350 juta. Dari informasi yang beredar, saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan mobil dinas Toyota Crown yang sekelas Mercedes Benz S Class.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang menteri di Indonesia juga mendapat begitu banyak kemudahan, diantaranya fasilitas pesawat VIP, kereta eksekutif, dan sebagainya. Dengan begitu, seharusnya seorang menteri sudah sangat terbantu dalam menjalankan aktifitasnya.
Tidak Profesional
Situasi sekarang ini, yang juga seringkali dipaparkan oleh sejumlah pejabat negara, adalah masa-masa yang sulit, berhadapan dengan krisis ekonomi, defisit anggaran, dan persoalan bencana alam yang membutuhkan dana besar untuk rehabilitasi dan perbaikannya.
Sangat berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia, ketika berhadapan dengan krisis energi dunia, justru memangkas gaji menteri dan seluruh pejabat tingginya sebesar 10%. Satu paket dengan kebijakan itu, Badawi, Perdana Menteri Malaysia, juga mengurangi fasilitas liburan ke luar negeri bagi para pejabat tinggi. Hasilnya, gerakan ini mampu menghemat anggaran negara sebesar USD613 juta (Rp5,71 triliun).
Venezuela, ketika berhadapan dengan jatuhnya harga minyak dunia, sekitar bulan Maret 2009 lalu, juga melakukan hal yang sama. Presiden Chavez mengumumkan pemotongan gaji seluruh pejabat senior sebesar 20% untuk menyeimbangkan anggaran. Pada saat itu, seluruh menteri Chaves mendukung keputusan ini, disamping dukungan mayoritas anggota parlemen.
Ini sangat aneh, memang, sebuah kabinet yang berjulukan “profesional” justru meminta imbalan diluar capaian dan kualitas kerjanya. Sehingga, dari situ, kita mempertanyakan profesionalitas seluruh menteri-menteri KIB jilid II ini.
Lebih aneh lagi, presiden SBY yang selalu berbicara profesionalisme, justru turut mengamini rencana kenaikan gaji ini, bahkan ada usulan menaikkan gaji pejabat tinggi negara lainnya, seperti presiden dan wakil presiden. Akibatnya, beberapa pihak menuding bahwa kenaikan gaji ini merupakan “kompensasi” atas transaksi politik di balik penunjukan menteri. Sebab, sekitar 70% pejabat menteri ini berasal dari partai politik.
Kalau benar begitu, berarti proses penyusunan kabinet masih berbasiskan kepada simbiosis mutualisme antara presiden dan parpol pendukung. Dan, ini tidak ada bedanya dengan kabinet-kabinet sebelumnya. Lantas, mana kabinet profesional yang dijanjikan itu?
*) Pemuda Ikatan Keluarga Kabupaten Pati-Jakarta, Aktivis KM UIN (Komunitas Mahasiswa UIN) Jakarta