Rabu, 27 April 2011

Mengenang Wartawan “Enam Zaman”* Oleh: Ali Rif’an**

Kamis, 14 April 2011, langit Indonesia tampak kelabu. Bangsa Indonesia kembali kehilangan putra terbaiknya: Rosihan Anwar. Pencatat sekaligus pelaku sejarah Indonesia itu menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit MMC Kuningan, pukul 08.15 WIB. Ia meninggal pada usia 89 tahun dengan meninggalkan tiga anak dan enam cucu.

Kepergian wartawan senior ini mengetuk hati banyak kalangan. Pejabat negara seperti presiden dan menteri, tokoh nasional, politisi, seniman, budayawan, wartawan, dan para aktivis mahasiswa berbondong-bondong tak ingin ketinggalan memberikan penghormatan terakhir.

Bagi masyarakat Indonesia, Rosihan Anwar patut dicacat ke dalam tinta emas sejarah Indonesia. Sumbangsih Pak Ros—panggilan akrabnya—begitu banyak untuk bangsa ini. Jika Sartono Kartodirdjo dikenal sebagai gurunya guru sejarawan Indonesia dan Habibie disebut-sebut sebagai “paus” teknologi Indonesia, maka Rosihan Anwar layak disebut “mahaguru” jurnalistik Indonesia.

Tokoh kelahiran Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat 10 Mei 1922 ini pernah mendapat gelar akademik doctor honoris causa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 6 Mei 2006. Ia juga pernah mendapat penghargaan sebagai Bintang Mahaputra III dari Presiden RI, Pena Emas dari PWI Pusat, Anugerah Kesetiaan Berkarya sebagai Wartawan, dan Life Time Achievement dari PWI pusat.

Wartawan Langka

Barangkali, untuk sekarang ini, agaknya sulit mencari wartawan/redaktur sekaliber Rosihan Anwar. Ia merupakan satu di antara wartawan langka yang pernah dimiliki Indonesia. Ia menjadi prototipe wartawan kenamaan yang memiliki daya pantau tajam, pengamatan jeli, memori kuat, kecakapan menulis mumpuni, dan pandangan kritis yang mendekati sarkastis. Selan itu, ia juga menguasahi banyak bahasa, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Prancis, dan lain sebagainya.

Tak pelak, sejarawan Taufik Abdullah menjulukinya sebagai wartawan “enam zaman” (Kompas, 15/4). Ia menggeluti dunia wartawan sejak zaman Jepang (1942-1945), zaman Revolusi Kemerdekaan (1945-1950), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Orde Baru (1966-1998), hingga masa Reformasi (1999-sekarang).

Dalam kariernya sebagai wartawan, Rosihan Anwar pernah menjadi pendiri Majalah Siasat (1947-1957), Redaktur Harian Merdeka, dan Pendiri/Pemimpin Redaksi Surat Kabar Pedoman (1948-1961 dan 1968-1974) yang pernah dibredel tiga kali. Bagi seorang Rosihan Anwar, dunia jurnalistik merupakan panggilan hidup. Nafas jurnalistiknya semakin kentara ketika ia juga menyebarkan gagasan-gagasannya ke media asing, seperti Het Vriye Volk (Belanda), The Hindustan Times (India), The Melbourne Age (Australia), The Straits Time (Singapura), New Straits Time (Malaysia) dan Asia Week (Hongkong).

Keran itu, di mata para tokoh, Rosihan Anwar tak ubahnya sebagai saksi sejarah Indonesia. Ia adalah wartawan, pelaku dan pencatat sejarah, pejuang kemerdekaan, serta pemikir yang terus aktif menyumbangkan gagasan-gagasan kritis hingga akhir hayat. Bahkan sebelum meninggal, ia sempat menyiapkan buku berjudul Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraidah Sanawi yang rencananya akan diterbitkan Mei mendatang oleh penerbit Kompas-Gramedia.

Inspirasi Wartawan Muda

Tentu bagi para wartawan muda, sosok Rosihan Anwar sangat menginspirasi sekaligus memberikan amunisi baru bagi wajah wartawan Indonesia yang penuh idiologis dan sakrastis. “Profesi wartawan itu panggilan hidup, bukan pekerjaan atau karier,” begitu ia selalu berpesan. Rosihan Anwar telah mengajarkan banyak hal dalam dunia wartawan yang di dalamnya mencakup kejujuran, dedikasi, tangguungjawab, mencintai profesi, memperjuangkan kebenaran meskipun itu pahit.

Pada titik inilah, suami almarhum Siti Zuraida Sanawi itu hadir dalam pentas sejarah Indonesia dengan penuh makna. Ia telah mengajarkan kecerdasan bercerita dan mendedah kata. Banyak orang bilang, ia merupakan wartawan-penyair, yang nyaris pada tiap laporan atau esai-esainya membawa hanyut pembaca. Tulisannya tidak hanya mengandung greget keberanian, tapi juga ketulusan dan pencerahan. Ia mengakui pernah berkaca pada kakak ipar dan teman sekelasnya, Usmar Ismail--legenda perfileman nasional--tentang ketulusan dan kesunggguhan dalam bekerja.

Semasa hidup, Rosihan Anwar perhan menangis tiga kali. Yaitu pada saat almarhum Usmar Ismail meninggal dunia di tengah usia produktifnya, kehilangan Soedjatmoko sahabat karibnya, dan melihat bocah Irian yang menderita.

Kini Rosihan Anwar telah meninggalkan kita untuk selamanya. Semoga kepergiannya tetap memberikan oase di tengah-tengah profesi wartawan yang dewasa ini mulai kabur dari ruh dan etiknya. Sebab, sekarang banyak kita temukan wartawan karbitan dan amatir yang miskin dedikasi dan mudah dibeli. Padahal, sebagaimana dituturkan almarhum, wartawan bukanlah politisi, tetapi ia harus tahu politik, namun tidak bermain politik praktis.

Media punya kewajiban dekat dengan rakyat, mendidik dan mencerdaskan bangsa, serta menunjukkan ke mana negara dan bangsa ini harus bergerak. Media sebagai corong hati nurani masyarakat. Apalagi dalam iklim demokratisasi seperti sekarang, media (pers) merupakan pilar demokrasi keempat yang kehadirannya melengkapi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sudah seharusnya media mengepakkan empat fungsi utamanya, yakni penyampaikan dan penyebaran informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan penetapan agenda (agenda setting). Sementara wartawan--sebagai “kuli tinta”--haruslah terus meyuarakan kejujuran dan kebenaran.

Akhir kata, “empu” pers Indonesia memang telah pergi, tapi yakinlah bahwa nama dan dedikasinya akan selalu dikenang oleh anak bangsa dan para wartawan Indonesia dari generasi ke generasi. Selamat jalan Pak Ros…

*)Harian Suara Karya, Senin, 18 April 2011, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=276925

**) Penulis adalah Peneliti The Dewantara Institute Jakarta; Ketua Umum FLP Ciputat



0 komentar:

Posting Komentar